Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, mengandung banyak sekali ajaran dan petunjuk bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, rentang ayat 135 hingga 150 menawarkan panduan mendalam mengenai bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap dalam menghadapi berbagai situasi, terutama dalam hubungannya dengan keyakinan dan interaksi dengan sesama. Ayat-ayat ini mengajak kita untuk merenungkan hakikat iman, respons terhadap kebenaran, dan pentingnya konsistensi dalam menjalankan perintah Allah.
Ayat 135 hingga 141 dari Surah Al-Baqarah secara umum membahas tentang dialog antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan kepada mereka bahwa jalan keselamatan yang benar adalah mengikuti agama nenek moyang mereka, yaitu agama Nabi Ibrahim AS, yang murni dan lurus, serta tunduk kepada Allah.
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Jadilah kamu pemeluk agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah Ibrahim seorang musyrik”.
Penekanan pada ayat ini adalah pada keesaan Allah dan penolakan terhadap klaim eksklusivitas agama tertentu yang mengklaim sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan tanpa mengikuti ajaran Ibrahim yang hanif (lurus). Ini mengingatkan kita bahwa esensi agama adalah ketauhidan, yaitu mengesakan Allah SWT, dan bukan sekadar mengikuti tradisi atau label agama tertentu. Ajaran Nabi Ibrahim AS adalah teladan utama dalam hal ini, yang senantiasa beriman kepada Allah dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Selanjutnya, Allah SWT menjelaskan bahwa setiap individu akan bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri.
“Masing-masing (memperoleh) balasan dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Ayat ini menegaskan prinsip keadilan ilahi. Tidak ada yang dapat memikul dosa orang lain. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan dan perbuatannya di dunia ini. Hal ini memberikan motivasi kuat bagi setiap individu untuk berusaha memperbaiki diri dan berbuat kebaikan.
Ayat-ayat berikutnya, khususnya mulai dari ayat 143 hingga 150, kembali menekankan pentingnya menjadi saksi dan teladan bagi umat manusia, serta memberikan arahan mengenai arah kiblat. Allah SWT menjadikan umat Islam sebagai umat pertengahan (umat wasathan), agar menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan mereka.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Konsep "umat pertengahan" ini mengandung makna keseimbangan dan keadilan. Umat Islam diharapkan tidak berlebih-lebihan dalam agamanya, tidak ekstrem dalam pandangan, dan senantiasa berada di jalan yang lurus. Menjadi saksi atas perbuatan manusia berarti memberikan contoh yang baik dan menyeru kepada kebaikan, serta menegakkan keadilan.
Perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah di Mekah yang dijelaskan dalam ayat 144 hingga 150 juga memiliki makna spiritual dan historis yang mendalam. Perubahan ini merupakan ujian bagi keimanan umat Islam, menegaskan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih utama daripada segala hal.
“Sungguh, Kami (sering) melihat wajahmu (Nabi Muhammad) menoleh ke langit, maka pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Maka, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang (Ahli Kitab) yang diberi Al-Kitab benar-benar mengetahui bahwa (perubahan kiblat) itu adalah dari Tuhan mereka; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Ayat-ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebenarnya mengetahui kebenaran perubahan kiblat ini, namun banyak di antara mereka yang mengingkarinya karena keangkuhan dan kebencian. Ini menjadi pelajaran bagi kita untuk senantiasa bersikap lapang dada dan menerima kebenaran dari mana pun datangnya, terutama jika itu bersumber dari Allah SWT.
Secara keseluruhan, Al-Baqarah ayat 135-150 merupakan seruan untuk meneguhkan iman, mengutamakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan keseimbangan sebagai umat pilihan. Ayat-ayat ini membimbing kita untuk memahami hakikat beragama yang murni, bertanggung jawab atas diri sendiri, dan menjadi saksi kebaikan di tengah masyarakat. Memahami dan merenungkan makna ayat-ayat ini akan semakin memperkuat pondasi spiritual dan moral setiap mukmin.
Ilustrasi motif Islami yang merepresentasikan keindahan ajaran Al-Qur'an.