Menggali Makna Mendalam: Al Baqarah Ayat 222 hingga 228

Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah
Ilustrasi harmonisasi keluarga

Surat Al-Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Qur'an, merupakan kitab hukum dan panduan hidup bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung berbagai ajaran mengenai ibadah, muamalah, dan akhlak. Di antara rentetan ayat-ayat mulia tersebut, terdapat sekelompok ayat yang secara spesifik membahas aspek krusial dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, yaitu mengenai pernikahan dan talak. Ayat 222 hingga 228 dari surat Al-Baqarah ini memberikan panduan yang sangat komprehensif, menyoroti pentingnya kesucian pernikahan, etika dalam berinteraksi antara suami istri, serta aturan main yang adil dan manusiawi dalam proses perpisahan. Memahami ayat-ayat ini bukan hanya sekadar membaca, melainkan mendalami esensi dan hikmah di baliknya untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, serta memastikan setiap proses perpisahan berjalan sesuai dengan koridor keadilan ilahi.

Ayat 222: Menjelaskan Kesucian Haidh dan Anjuran Taubat

Ayat 222 dari surat Al-Baqarah dimulai dengan menjelaskan hukum terkait wanita yang sedang mengalami haidh. Allah SWT berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, 'Itu adalah suatu kotoran (gangguan).' Maka jauhilah wanita pada masa haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diatur Allah bagimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."

Ayat ini memberikan penjelasan yang lugas mengenai larangan berhubungan intim dengan istri yang sedang dalam keadaan haidh. Kata "aẓan" (أَذًى) yang diterjemahkan sebagai "gangguan" atau "kotoran" menekankan bahwa kondisi tersebut tidak layak untuk melakukan hubungan intim. Namun, penting untuk dicatat bahwa larangan ini bersifat spesifik pada hubungan intim. Interaksi lain seperti berpelukan, berbicara, atau berbagi tempat tidur tetap diperbolehkan. Setelah masa haidh berakhir dan istri telah bersuci, barulah hubungan intim diperbolehkan kembali sesuai dengan tuntunan Allah. Frasa "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri" menjadi penutup yang indah, menganjurkan kedua belah pihak untuk senantiasa membersihkan diri dari dosa dan kesalahan, baik secara fisik maupun spiritual.

Ayat 223: Kebebasan dan Kewajiban dalam Pernikahan

Melanjutkan pembahasan mengenai keluarga, ayat 223 memberikan penekanan pada hubungan intim sebagai sebuah ibadah dan kewajiban dalam pernikahan:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu suka. Dan majukanlah (amal baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu pasti akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman."

Perumpamaan istri sebagai "ladang" (حَرْثٌ) memberikan makna yang mendalam. Ladang adalah tempat menanam benih untuk menghasilkan buah. Demikian pula, istri adalah tempat untuk menyemai keturunan. Kata "an-naa syi'tum" (أَنَّىٰ شِئْتُمْ) yang berarti "sebagaimana kamu suka" memberikan kebebasan dalam cara berhubungan intim, asalkan tidak menyalahi fitrah atau dilakukan pada waktu yang dilarang (seperti saat haidh). Namun, kebebasan ini dibatasi oleh perintah untuk "maju-kanlah (amal baik) untuk dirimu" (وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ). Ini mengimplikasikan bahwa hubungan intim sebaiknya diniatkan untuk tujuan mulia, seperti mendapatkan keturunan yang shalih dan shalihah, serta untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Ayat ini juga mengingatkan pentingnya ketakwaan kepada Allah dan kesadaran bahwa kita akan menghadap-Nya kelak, menjadi motivasi untuk berbuat baik.

Ayat 224-225: Sumpah dan Pencegahan dari Perbuatan Buruk

Ayat 224 hingga 225 menggarisbawahi pentingnya menjaga lisan dan sumpah, terutama dalam konteks hubungan sosial dan keluarga.

وَلَا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan memperbaiki (perdamaian) di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
"Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan (sumpah) yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun."

Ayat 224 secara tegas melarang menjadikan sumpah atas nama Allah sebagai alasan untuk tidak berbuat baik, bertakwa, atau mendamaikan orang lain. Sumpah yang bertujuan untuk menghalangi kebaikan adalah tindakan yang tercela. Sebaliknya, Allah mendorong untuk menggunakan nama-Nya dalam sumpah untuk meneguhkan kebenaran dan kebaikan. Ayat 225 kemudian membedakan antara sumpah yang tidak disengaja (laghwul yamin) dan sumpah yang disengaja. Sumpah yang tidak disengaja, seperti terucap tanpa niat bersumpah, tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Namun, sumpah yang disengaja dan dilanggar akan dimintai pertanggungjawaban. Ini mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam mengucapkan sumpah dan selalu mengutamakan kebaikan serta ketakwaan.

Ayat 226-227: Periode Iddah dan Pilihan Talak

Memasuki ranah talak (perceraian), ayat 226 dan 227 memberikan aturan mengenai iddah (masa tunggu) bagi suami yang mentalak istrinya.

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۖ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Kepada orang-orang yang meng-ila' (bersumpah tidak akan menggauli) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. (Jika mereka kembali kepada istrinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)."
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Dan jika mereka bertekad untuk (menceraikan) istri-istri mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

Ayat 226 membahas tentang ila', yaitu sumpah seorang suami untuk tidak menggauli istrinya. Diberikan masa tenggang selama empat bulan untuk mereka merenungkan kembali. Jika dalam masa tersebut suami kembali rujuk kepada istrinya, maka Allah Maha Pengampun. Namun, jika suami bertekad kuat untuk menceraikan, sebagaimana disebutkan dalam ayat 227, maka Allah Maha Mendengar segala niat dan ucapan mereka. Ketentuan ini memberikan ruang bagi suami untuk introspeksi dan potensi rekonsiliasi, sekaligus memberikan kepastian hukum jika perceraian menjadi pilihan akhir.

Ayat 228: Aturan Iddah dan Hak-Hak Perempuan

Ayat terakhir dari rentetan ini, ayat 228, menjadi penutup yang sangat penting, mengatur secara rinci mengenai iddah dan hak-hak perempuan pasca talak:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ ۚ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Dan para wanita yang diceraikan wajib menahan diri (menunggu) selama tiga kali kuruk. Dan tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak merujuk mereka dalam (masa) itu, jika mereka (suami) menghendaki perbaikan. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada mereka. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

Ayat ini mengatur iddah bagi wanita yang diceraikan adalah tiga kali kuruk (suatu periode yang umumnya diartikan sebagai tiga kali suci dari haidh). Selama masa iddah, perempuan dilarang menyembunyikan kondisi kandungannya, karena hal ini berkaitan dengan hak nasab dan hak suami untuk rujuk. Suami memiliki hak lebih besar untuk merujuk istrinya dalam masa iddah jika tujuannya adalah perbaikan rumah tangga. Ayat ini juga menegaskan prinsip keadilan dalam pernikahan, yaitu bahwa perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara makruf. Namun, disebutkan pula bahwa suami memiliki "satu tingkat kelebihan" (دَرَجَةٌ), yang sering ditafsirkan sebagai tanggung jawab kepemimpinan dan nafkah dalam keluarga. Konsep ini bukan berarti dominasi mutlak, melainkan pembagian peran dan tanggung jawab yang adil dalam bingkai keluarga.

Secara keseluruhan, ayat 222-228 Al-Baqarah memberikan kerangka hukum dan etika yang komprehensif mengenai hubungan suami istri, pernikahan, dan perceraian. Ajaran-ajaran ini dirancang untuk menjaga kesucian institusi pernikahan, memberikan kejelasan dalam setiap prosesnya, serta menjunjung tinggi nilai keadilan dan kasih sayang. Memahami dan mengamalkan ayat-ayat ini adalah kunci untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan masyarakat yang beradab.

🏠 Homepage