Surat Al-Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Qur'an, senantiasa menjadi sumber petunjuk dan hukum bagi umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, rentang ayat 236 hingga 250 memberikan penjelasan mendalam mengenai aturan dan etika seputar pernikahan, perceraian, dan tanggung jawab yang menyertainya. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur aspek hukum, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan hubungan suami istri.
Ayat 236 dari Surat Al-Baqarah membuka pembahasan dengan menjelaskan mengenai kewajiban bagi suami yang menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan badan dan sebelum adanya penetapan mahar. Dalam kondisi seperti ini, diwajibkan bagi suami untuk memberikan mut'ah (bekal atau pemberian) kepada istrinya, sesuai dengan tingkat kemampuan suami. Ayat ini menegaskan prinsip keadilan, bahwa meskipun pernikahan belum tuntas, seorang istri tetap berhak mendapatkan kompensasi atas terputusnya hubungan yang disebabkan oleh suami. Ukuran mut'ah ini bersifat umum, menyerahkan penilaian kepada ma'ruf (kebiasaan yang baik) dan sesuai kemampuan suami, menunjukkan adanya fleksibilitas yang dibarengi dengan tanggung jawab.
"Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri yang belum kamu sentuh (campuri) dan belum (pula) kamu tentukan maharnya; tetapi berilah mereka mut'ah (pemberian) sesuai dengan kemampuannya, yaitu pemberian yang patut. Kewajiban ini berlaku bagi orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqarah: 236)
Melompat ke ayat 238, Allah SWT kembali menegaskan pentingnya menjaga shalat, khususnya shalat wustha (shalat pertengahan), dan mendirikan shalat dengan khusyuk. Perintah ini berlaku umum bagi seluruh orang beriman. Selanjutnya, ayat ini mengingatkan tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, serta menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin. Terdapat pula anjuran untuk mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia. Perintah ini secara implisit mengajarkan bahwa kehidupan rumah tangga yang harmonis tidak terlepas dari hubungan baik dengan Tuhan dan sesama manusia, termasuk keluarga besar.
"Peliharalah semua shalat (termasuk shalat pertengahan) dan berdirilah dalam ketaatan kepada Allah dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berdiri atau naik kendaraan. Apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 238-239, sebagian kutipan)
Ayat 241 kembali menguraikan aturan perceraian. Bagi wanita yang diceraikan sebelum sempat dicampuri dan belum ditetapkan maharnya, maka suami wajib memberikan mut'ah. Ini adalah penegasan dari ayat sebelumnya, menekankan keadilan. Bagi wanita yang telah dicampuri, namun diceraikan, dan telah ditetapkan maharnya, ayat ini tidak secara eksplisit menyebutkan kewajiban mut'ah dalam konteks ini, namun prinsip keadilan dan ihsan tetap menjadi pedoman. Yang terpenting, ayat ini menekankan bahwa pemberian mut'ah adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa, menunjukkan bahwa pelaksanaan syariat adalah bukti ketakwaan.
Menariknya, ayat-ayat ini juga menyentuh aspek tanggung jawab setelah perceraian, seperti kewajiban nafkah bagi mantan istri yang masih dalam masa idah, meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai batasan dan pelaksanaannya. Namun, prinsip dasar adalah kewajiban memberikan hak-hak mereka secara ma'ruf.
Meskipun rentang ayat yang dibahas adalah 236-250, penting untuk dicatat bahwa dalam Al-Baqarah terdapat ayat-ayat lain yang berkaitan dengan keluarga dan tanggung jawab, seperti kisah Nabi Ibrahim AS. Di bagian lain surat Al-Baqarah, terutama pada ayat 125-127, diceritakan bagaimana Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Ismail, membangun Ka'bah. Momen ini penuh dengan pengorbanan, ketundukan pada perintah Allah, dan tanggung jawab besar dalam mendirikan pusat ibadah. Kisah ini mengajarkan tentang kesungguhan dalam menjalankan amanah Ilahi, bahkan dalam skala yang sangat besar dan penuh tantangan. Tanggung jawab seorang ayah dalam mendidik anak dan membangun fondasi keagamaan keluarga terlihat jelas di sini.
Kembali ke rentang ayat 236-250, fokus utama adalah pada tata kelola hubungan suami istri dalam konteks pernikahan dan perceraian. Ayat-ayat ini memberikan panduan yang holistik, mencakup aspek hukum, moral, dan spiritual. Penekanan pada ma'ruf (kebiasaan yang baik) dan ihsan (berbuat baik) menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengatur yang wajib, tetapi juga mendorong umatnya untuk senantiasa berbuat yang terbaik dalam setiap interaksi.
Seluruh rangkaian ayat ini secara kolektif memberikan gambaran komprehensif mengenai pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga. Suami memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah, berlaku adil, dan mempergauli istri dengan baik. Sementara itu, istri memiliki kewajiban untuk menjaga kehormatan diri, harta suami, dan rumah tangga. Perceraian, meskipun diizinkan dalam Islam, bukanlah solusi pertama, melainkan pilihan terakhir ketika rekonsiliasi tidak lagi memungkinkan. Bahkan dalam kondisi perceraian, prinsip keadilan dan kebaikan tetap harus dijaga.
Ayat-ayat ini mengingatkan kita bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang menuntut komitmen, pengertian, dan tanggung jawab dari kedua belah pihak. Pelaksanaan ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari akan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, dan menjadi pondasi yang kuat bagi masyarakat yang harmonis. Memahami dan mengamalkan makna Al-Baqarah ayat 236-250 adalah langkah penting bagi setiap Muslim untuk membangun kehidupan rumah tangga yang diridhai Allah SWT. Perhatian terhadap detail hukum dan etika yang terkandung di dalamnya menunjukkan betapa Islam sangat menghargai institusi pernikahan dan kesejahteraan setiap individu di dalamnya.