Simbol keseimbangan dan keadilan ilahi.
Surah Al-Baqarah, ayat 281 hingga 286, merupakan penutup dari surah terpanjang dalam Al-Qur'an. Rangkaian ayat-ayat ini membawa pesan-pesan krusial mengenai prinsip-prinsip kehidupan seorang Muslim, berpusat pada konsep keadilan, ketakwaan, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Ayat-ayat ini menjadi pengingat abadi akan pentingnya menjalani hidup sesuai tuntunan ilahi, baik dalam interaksi sosial maupun dalam kesiapan menghadapi hari perhitungan.
Ayat 281 membuka rangkaian ini dengan peringatan keras terhadap praktik riba. Allah SWT berfirman:
"Dan bertakwalah kepada suatu hari (ketika) kamu semua akan dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya, dan mereka tidak akan dizalimi."
Ayat ini secara gamblang menekankan bahwa setiap individu akan menghadapi hari pertanggungjawaban di hadapan Allah. Segala perbuatan, baik yang kecil maupun besar, akan diperhitungkan secara adil. Konteks sebelum ayat ini memang membahas tentang transaksi keuangan, termasuk larangan riba. Namun, inti pesan dari ayat 281 meluas ke seluruh aspek kehidupan. Ini adalah pengingat fundamental bahwa tidak ada satu pun perbuatan yang luput dari pantauan Allah, dan setiap orang akan menerima ganjaran atas apa yang telah mereka lakukan, tanpa ada sedikit pun kezaliman.
Melanjutkan pembahasan mengenai transaksi, ayat 282 memberikan panduan rinci mengenai pencatatan utang dan kesaksian. Ini adalah implementasi praktis dari keadilan dan transparansi dalam muamalah:
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika orang yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah kekuatannya atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan adil. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki dari antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua perempuan dari orang-orang yang kamu setujui sebagai saksi, agar jika yang seorang lupa, yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu merasa enggan menuliskannya, baik kecil maupun besar, sampai batas waktunya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat memberikan kesaksian yang kuat, dan lebih menjauhkan kamu dari keraguan. Kecuali kalau itu adalah perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan bersaksilah apabila kamu berjual beli. Dan janganlah ada yang menyusahkan penulis dan saksi. Jika kamu melakukan demikian, maka sesungguhnya itu adalah kefasikan bagimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarkan kamu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ayat ini sangat detail, menunjukkan perhatian Islam terhadap hak-hak setiap pihak dalam transaksi. Kewajiban mencatat utang bertujuan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari, menjaga kejujuran, dan memberikan bukti yang jelas. Penggunaan saksi, termasuk pengaturan jumlah dan jenis kelamin saksi, adalah bentuk penguatan keabsahan perjanjian. Semua ini demi terciptanya keadilan dan minimnya keraguan, serta agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Selanjutnya, ayat 283 membahas tentang amanat, terutama dalam konteks utang yang belum dibayar, yang belum dicatat:
"Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang memberi utang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan bertakwalah kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya berdosa. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Ayat ini mengajarkan pentingnya kepercayaan dan kejujuran dalam bermuamalah, terutama ketika tidak ada sarana pencatatan atau jaminan. Jika ada kepercayaan di antara pihak-pihak yang bertransaksi, maka orang yang dipercaya wajib menunaikan amanatnya. Menahan atau menyembunyikan kesaksian dalam konteks ini juga dilarang keras, karena akan menimbulkan dosa bagi hati pelakunya. Ini menegaskan bahwa pondasi muamalah yang sehat adalah kejujuran dan kepercayaan yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah.
Ayat 284 mengingatkan kita tentang kekuasaan absolut Allah atas segala sesuatu di langit dan di bumi:
"Milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan memperhitungkannya. Dia akan mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
Ayat ini adalah puncak dari pemahaman mengenai pertanggungjawaban. Allah adalah pemilik mutlak segala sesuatu. Apa pun yang ada dalam diri manusia, baik yang terucap, tersembunyi, maupun terlintas dalam pikiran, semuanya diketahui oleh Allah dan akan diperhitungkan. Namun, ayat ini juga membawa harapan dengan menegaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Kuasa untuk menentukan siapa yang akan diampuni dan siapa yang akan dihukum. Ini mendorong manusia untuk senantiasa menjaga niat dan perbuatannya, serta memohon ampunan kepada-Nya.
Ayat 285 mempertegas tentang keimanan dan ketaatan kepada Rasulullah SAW sebagai bagian integral dari keimanan kepada Allah:
"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, (mereka berkata): 'Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.' Dan mereka berkata: 'Kami dengar dan kami taat.' (Hanya) kepada Engkau, wahai Tuhan kami, kami memohon ampunan, dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Ayat ini merupakan pernyataan iman yang komprehensif. Iman tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada seluruh ciptaan dan utusan-Nya. Penekanan pada 'tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-Nya' menunjukkan bahwa keimanan yang benar adalah menerima seluruh risalah para nabi. Seruan "Kami dengar dan kami taat" menjadi inti dari kepatuhan seorang mukmin. Mereka mengakui bahwa tujuan akhir adalah kembali kepada Allah dan memohon ampunan atas segala kekurangan.
Terakhir, ayat 286 memberikan penutup yang penuh harapan dan realisme:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan mendapat (siksa) dari (keburukan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa): 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami berbuat salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami pikul. Ampunilah kami, ma'afkanlah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.'"
Ayat ini adalah penegasan tentang keadilan dan kasih sayang Allah. Allah tidak akan membebani hamba-Nya melampaui batas kemampuannya. Setiap usaha dan perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagian akhir dari ayat ini adalah doa yang sangat indah dan penuh kerendahan hati. Umat Islam diajarkan untuk memohon agar tidak dihukum karena kelalaian atau kesalahan, agar tidak dibebani dengan kesulitan yang berat, dan agar diberikan ampunan, kasih sayang, serta pertolongan dalam menghadapi segala tantangan, khususnya dari pihak-pihak yang menentang kebenaran.
Secara keseluruhan, Al-Baqarah ayat 281-286 memberikan fondasi yang kuat bagi seorang Muslim untuk menjalani hidup yang adil, bertanggung jawab, dan penuh ketakwaan. Ayat-ayat ini mengingatkan kita akan imperatif untuk hidup jujur dalam setiap transaksi, menjaga amanat, menyadari kekuasaan Allah yang mutlak, patuh pada ajaran-Nya, dan senantiasa memohon ampunan serta pertolongan-Nya.