Surah Al-Baqarah, ayat 5 hingga 10, merupakan permulaan yang sangat penting dalam Al-Qur'an. Setelah Allah SWT memperkenalkan diri-Nya sebagai Tuhan semesta alam dan menurunkan Kitab Suci sebagai petunjuk, kini Allah SWT mulai mengklasifikasikan manusia berdasarkan respons mereka terhadap petunjuk tersebut. Ayat-ayat ini secara khusus menyoroti sifat-sifat orang yang beriman dan bertakwa, mereka yang benar-benar mengambil manfaat dari petunjuk ilahi, dan membedakannya dari golongan lain yang akan kita bahas di ayat-ayat selanjutnya.
Ayat kelima Al-Baqarah berbunyi:
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ"Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung."
Ayat ini secara langsung menghubungkan orang yang bertakwa dengan keberuntungan sejati. Keberuntungan di sini bukan sekadar kesuksesan duniawi, melainkan kesuksesan abadi di akhirat. Mereka yang mengikuti petunjuk Allah dengan hati yang tulus akan meraih kemenangan hakiki. Ini adalah inti dari ketakwaan: kemampuan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, serta memilih jalan kebaikan yang telah ditunjukkan oleh Sang Pencipta.
Selanjutnya, ayat keenam memberikan gambaran mengenai golongan yang berbeda, yaitu mereka yang secara sadar menolak kebenaran:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman."
Ayat ini menggambarkan kondisi hati yang terkunci. Meskipun kebenaran telah disajikan dengan jelas, bahkan jika diperingatkan berulang kali, mereka tetap teguh dalam kekafiran mereka. Ini menunjukkan bahwa keimanan bukanlah sekadar menerima informasi, tetapi sebuah respons aktif dari hati yang terbuka dan bersedia menerima kebenaran. Keteguhan dalam menolak ini, meskipun diperingatkan, adalah sebuah karakteristik yang kontras dengan orang bertakwa.
Ayat ketujuh menjelaskan lebih lanjut kondisi mereka yang menolak petunjuk:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاءٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ"Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka tertutup. Dan bagi mereka azab yang berat."
Penyebutan "mengunci hati dan pendengaran" serta "penglihatan yang tertutup" adalah metafora untuk ketidakmampuan mereka untuk menerima kebenaran. Hati yang terkunci berarti tidak dapat menerima pelajaran, pendengaran yang tertutup berarti tidak dapat mendengar nasihat yang baik, dan penglihatan yang tertutup berarti tidak dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Ini adalah konsekuensi dari penolakan mereka sendiri yang berkelanjutan. Azab yang berat adalah peringatan akan akibat kekerasan hati dan penolakan yang disengaja.
Selanjutnya, ayat 8 dan 9 memperkenalkan golongan ketiga, yaitu orang munafik:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ"Dan di antara manusia ada yang berkata, 'Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,' padahal sesungguhnya mereka bukanlah orang beriman."
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ"Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri dan mereka tidak menyadarinya."
Orang munafik adalah mereka yang secara lisan mengaku beriman tetapi dalam hati tidak demikian. Mereka mencoba menipu Allah dan orang beriman, namun sebenarnya mereka menipu diri sendiri. Ketidakmampuan mereka untuk menyadari penipuan diri sendiri ini menunjukkan kelemahan moral dan spiritual yang mendalam. Mereka hidup dalam kebohongan yang akhirnya akan merugikan diri mereka sendiri di dunia maupun di akhirat.
Ayat kesepuluh menggambarkan kondisi hati orang munafik lebih lanjut:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ"Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah akan menambah penyakitnya; dan bagi mereka azab yang pedih, disebabkan mereka berdusta."
Penyakit hati di sini merujuk pada kemunafikan, keraguan, iri hati, dan penyakit-penyakit batin lainnya. Semakin mereka mendekati kebohongan dan kemunafikan, semakin Allah membiarkan penyakit hati mereka bertambah parah. Ini adalah gambaran yang jelas tentang siklus kehancuran diri akibat kebohongan yang terus menerus. Azab yang pedih adalah konsekuensi langsung dari dusta dan kemunafikan yang mereka lakukan.
Melalui ayat-ayat 5 hingga 10 ini, Allah SWT memberikan peta jalan yang jelas untuk mengenali siapa yang benar-benar mendapat petunjuk dan keberuntungan. Ia membedakan antara orang bertakwa yang hatinya terbuka, orang kafir yang hatinya tertutup karena penolakan, dan orang munafik yang hatinya sakit karena kebohongan. Memahami makna mendalam dari ayat-ayat ini dapat menjadi motivasi bagi kita untuk terus membersihkan hati, membukanya terhadap kebenaran, dan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang beruntung.