Ilustrasi simbolis Perlindungan Ka'bah
Pertanyaan fundamental mengenai Surah Al-Fil—salah satu surah pendek yang paling masyhur dalam Al-Qur'an—adalah mengenai jumlah ayatnya. Surah ini, yang dinamakan berdasarkan peristiwa "Pasukan Bergajah," mengandung kisah yang sangat monumental dalam sejarah Islam, yaitu kisah tentang penyerangan ke Makkah oleh Raja Abraha Al-Asyram, gubernur Yaman, dan pasukannya yang dilengkapi dengan gajah-gajah besar.
Jawaban atas pertanyaan, "Al-Fil ada berapa ayat?" adalah mutlak dan disepakati oleh seluruh ulama dan para penghafal Al-Qur'an di seluruh dunia, dari zaman ke zaman, dalam seluruh riwayat qira'ah (bacaan) yang diakui.
Meskipun singkat, kandungan historis, teologis, dan pelajaran moral di dalamnya memerlukan analisis yang sangat mendalam. Setiap ayatnya adalah pilar yang menopang narasi tentang keagungan dan kekuasaan Allah SWT dalam melindungi rumah-Nya, Baitullah Al-Haram, tepat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Surah Al-Fil adalah surah ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah, yang berarti surah ini diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Tepatnya, surah ini dianggap turun di masa-masa awal kenabian, meskipun peristiwanya sendiri terjadi sebelum Nabi diangkat menjadi rasul. Urutannya dalam wahyu, sebagaimana dicatat oleh para ulama, adalah setelah Surah Al-Kafirun dan sebelum Surah Al-Falaq.
Lima ayat ini membentuk kesatuan naratif yang sempurna, dimulai dari pertanyaan retoris yang memancing perhatian, deskripsi kehancuran rencana musuh, pengerahan bala tentara gaib (burung Ababil), mekanisme penghukuman (batu Sijjil), hingga penutup yang menggambarkan hasil akhir dari azab tersebut.
Konsistensi jumlah lima ayat ini tidak pernah diperdebatkan. Hal ini menunjukkan ketelitian transmisi Al-Qur'an yang luar biasa sejak masa Rasulullah hingga hari ini. Jumlah ayat yang sedikit ini justru memberikan kekuatan dan kepadatan makna yang luar biasa, menjadikannya salah satu surah yang paling sering diulang dalam shalat.
Memahami lima ayat Surah Al-Fil memerlukan pemahaman kontekstual yang mendalam tentang peristiwa yang melatarbelakanginya, yang dikenal sebagai Tahun Gajah ('Am Al-Fil). Peristiwa ini terjadi kira-kira 50 sampai 55 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kisah ini bukan sekadar cerita lokal Arab, melainkan sebuah epik besar yang menjadi penanda penting dalam kalender sejarah bangsa Arab.
Pemeran utama dalam kisah ini adalah Abraha Al-Asyram, seorang wakil atau gubernur yang ditunjuk oleh Raja Aksum (Habasyah/Ethiopia) di Yaman. Abraha melihat bahwa seluruh Jazirah Arab, bahkan sebagian besar dunia saat itu, menghormati dan berziarah ke Ka'bah di Makkah. Pusat kekuasaan ekonomi, spiritual, dan politik saat itu berpusat pada Baitullah.
Didorong oleh rasa iri, ambisi politik, dan keinginan untuk mengalihkan rute perdagangan serta ziarah ke wilayahnya, Abraha memutuskan untuk membangun sebuah gereja megah di Sana'a, Yaman, yang diberi nama Al-Qullais. Ia berharap Al-Qullais dapat menggantikan Ka'bah sebagai tujuan ziarah utama. Namun, upaya Abraha ini gagal total. Orang-orang Arab tetap berpegang teguh pada tradisi mereka untuk menghormati Ka'bah, meskipun pada masa itu Ka'bah masih dipenuhi dengan berhala.
Klimaks kemarahan Abraha terjadi ketika dikisahkan bahwa ada seorang Arab dari Bani Kinanah yang mencemarkan dan menghina Al-Qullais sebagai bentuk perlawanan simbolis. Kejadian ini menjadi pemantik utama yang melegitimasi Abraha untuk melancarkan serangan militer skala penuh, dengan tujuan tunggal: menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah, memastikan bahwa pusat spiritual Arab musnah selamanya.
Abraha memimpin pasukan yang sangat besar, dilengkapi dengan gajah-gajah perang—senjata militer paling canggih dan menakutkan pada masa itu. Gajah-gajah ini melambangkan kekuatan yang tak terhentikan, superioritas teknologi, dan arogansi kekuasaan. Pasukan ini bergerak dari Yaman menuju Makkah, menghancurkan segala rintangan di jalan mereka.
Ketika pasukan Abraha tiba di pinggiran Makkah, mereka menyita harta benda penduduk Makkah, termasuk sekitar 200 ekor unta milik Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad dan pemimpin Quraisy saat itu. Abdul Muthalib kemudian mendatangi Abraha, bukan untuk memohon keselamatan Makkah, tetapi hanya untuk meminta kembali unta-untanya.
Ketika Abraha bertanya mengapa ia hanya meminta unta, padahal keselamatan Ka'bah, tempat ibadah leluhurnya, terancam, Abdul Muthalib mengucapkan kalimat yang sangat terkenal dan penuh makna teologis: "Aku adalah pemilik unta-unta ini, dan rumah (Ka'bah) itu memiliki Pemilik yang akan menjaganya."
Penduduk Makkah, menyadari ketidakmampuan mereka melawan kekuatan gajah dan ribuan prajurit, memutuskan untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar Makkah, menyerahkan nasib Ka'bah sepenuhnya kepada Allah SWT. Inilah latar belakang historis yang melahirkan lima ayat suci Surah Al-Fil.
Lima ayat ini merangkum seluruh kisah tersebut dalam diksi yang padat dan retorika yang kuat. Mari kita telaah tafsir setiap ayat secara mendalam, memastikan bahwa seluruh aspek linguistik dan teologis dipahami sepenuhnya.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (١)
Terjemahan: Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Ayat ini dibuka dengan pertanyaan retoris, "A-lam tara" (Tidakkah kamu melihat/memperhatikan?). Dalam bahasa Arab klasik, 'melihat' (tara) di sini tidak selalu berarti melihat dengan mata kepala sendiri, tetapi lebih kepada 'mengetahui secara pasti', 'memperhatikan dengan saksama', atau 'memahami melalui pengetahuan yang mutawatir (berkesinambungan)'. Meskipun Nabi Muhammad belum lahir ketika peristiwa ini terjadi, seluruh masyarakat Makkah mengetahui kisah ini dengan sangat baik, menjadikannya fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Penyebutan "Rabbuka" (Tuhanmu) menegaskan bahwa tindakan penghukuman ini dilakukan langsung oleh Tuhan yang memelihara Nabi Muhammad, menekankan hubungan spesial antara Sang Pencipta dan Nabi-Nya. Fokus ayat ini adalah pada pelaku (Allah) dan objek (Ashabul Fil/Pasukan Gajah). Pertanyaan ini berfungsi sebagai pembuka yang menarik perhatian, seolah-olah mengatakan: "Ingatlah kembali peristiwa dahsyat itu, dan renungkanlah kekuatan yang menghentikan mereka." Ini adalah fondasi dari seluruh surah, mempersiapkan pendengar untuk menerima kisah kekuasaan ilahi yang akan dijelaskan dalam empat ayat berikutnya.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (٢)
Terjemahan: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) sia-sia?
Ayat kedua ini memberikan jawaban awal atas pertanyaan di ayat pertama. Fokusnya adalah pada *kayd* (tipu daya, rencana jahat, muslihat) Abraha. Rencana Abraha sangat terperinci dan ambisius: menghancurkan Ka'bah untuk mendirikan pusat peribadatan saingan di Yaman. Tipu daya ini melibatkan kekuatan militer yang luar biasa dan persiapan logistik yang matang, termasuk penggunaan gajah sebagai tank tempur kuno.
Allah SWT menjelaskan bahwa Dia telah menjadikan *kayd* mereka "fī taḍlīl" (dalam kesia-siaan, kesesatan, atau kekalahan total). *Tadlīl* berarti membuat sesuatu itu melenceng dari tujuannya, hilang arah, dan akhirnya gagal total. Rencana Abraha, yang seolah-olah tak terelakkan oleh kekuatan manusia, dihentikan secara mutlak dan total, bahkan sebelum mereka bisa mencapai inti kota. Kekalahan ini bukan hanya militer, tetapi juga kekalahan spiritual dan moral.
Para penafsir menekankan bahwa 'taḍlīl' ini juga terlihat dari bagaimana gajah-gajah itu menolak bergerak maju menuju Ka'bah, tetapi bergegas mundur atau bergerak ke arah lain, yang merupakan manifestasi awal dari gangguan dan kekacauan ilahi yang menimpa pasukan tersebut. Keangkuhan manusia, bahkan ketika didukung oleh teknologi dan jumlah pasukan yang superior, tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak Ilahi.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (٣)
Terjemahan: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (Ababil).
Inilah titik balik yang paling ajaib dalam kisah ini. Setelah tipu daya mereka digagalkan, Allah tidak menggunakan tentara manusia atau banjir. Dia menggunakan makhluk yang paling lemah dan tidak terduga: burung. Frasa "ṭayran abābīl" diterjemahkan sebagai 'burung yang berbondong-bondong' atau 'dalam kelompok-kelompok yang berurutan'.
Kata *Abābīl* sendiri tidak memiliki bentuk tunggal yang jelas dalam kamus bahasa Arab standar, yang menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang datang dalam jumlah yang sangat besar, berlapis-lapis, dan tidak terhitung, seolah-olah memenuhi seluruh cakrawala. Burung-burung ini muncul secara tiba-tiba, datang dari arah laut atau dari tempat yang tidak disangka-sangka, menaungi pasukan Abraha dengan jumlah yang tak terbayangkan.
Pengerahan burung Ababil ini adalah pelajaran mendasar tentang Tauhid: bahwa Allah tidak terikat pada sebab-akibat material biasa. Dia bisa menggunakan apa pun, bahkan seekor nyamuk atau segerombolan burung, untuk mengalahkan kekuatan militer terkuat di muka bumi. Ini adalah mukjizat yang sangat jelas yang disaksikan oleh orang-orang Arab Makkah dari perbukitan.
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (٤)
Terjemahan: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar.
Ayat keempat menjelaskan mekanisme penghancuran. Burung-burung Ababil tidak hanya terbang di atas mereka; mereka membawa amunisi spesifik. "Tarmīhim biḥijāratim min sijjīl" (Melempar mereka dengan batu dari Sijjil).
Kata kunci di sini adalah Sijjil. Para ulama tafsir sepakat bahwa Sijjil merujuk pada batu yang berasal dari tanah liat yang telah dibakar atau dipanaskan hingga menjadi keras, mirip seperti tembikar atau batu api. Dalam literatur tafsir, ini juga dikaitkan dengan jenis batu yang pernah digunakan untuk menghukum kaum Luth, menunjukkan bahwa ini adalah azab spesifik yang diutus dari alam ghaib.
Dikisahkan bahwa setiap burung Ababil membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cengkeraman kakinya. Batu-batu ini, meskipun kecil, memiliki efek yang mematikan dan ajaib. Begitu batu itu mengenai seorang prajurit, ia akan menembus tubuhnya, menghancurkannya dari dalam. Beberapa riwayat bahkan menyebutkan bahwa batu-batu itu menyebabkan penyakit kulit yang mengerikan, seperti cacar, yang tidak pernah dikenal sebelumnya oleh bangsa Arab, yang dengan cepat menyebabkan pembusukan dan kematian.
Pentingnya ayat ini terletak pada detailnya. Bukan hanya kematian biasa, tetapi kematian yang memalukan, tiba-tiba, dan menyeluruh. Ini adalah demonstrasi kekuasaan di mana kekuatan materi besar dikalahkan oleh kekuatan immaterial yang kecil namun memiliki efek penghancuran yang besar.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (٥)
Terjemahan: Sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat.
Ayat penutup ini menggambarkan kondisi akhir dari pasukan Abraha. Frasa kunci di sini adalah "ka'aṣfim ma'kūl". *'Aṣf* adalah daun atau batang tanaman yang telah dipotong atau dikeringkan. *Ma'kūl* berarti dimakan, biasanya oleh hewan ternak atau, dalam konteks yang lebih menyeramkan, oleh ulat atau belatung, merujuk pada sesuatu yang telah hancur, keropos, dan tidak bernilai.
Perumpamaan ini sangat kuat dan kontras. Pasukan Abraha memasuki Makkah dengan kemegahan, arogansi, dan senjata gajah. Mereka berakhir seperti sampah organik, hancur lebur, tubuh mereka terpisah-pisah, dan mengalami kehancuran yang sangat cepat. Ini adalah ironi ilahi: kekuatan yang diagung-agungkan diubah menjadi sisa-sisa yang menjijikkan dan tidak berarti.
Dengan berakhirnya ayat kelima ini, narasi Surah Al-Fil ditutup dengan sempurna. Surah ini dimulai dengan pertanyaan, dan diakhiri dengan gambaran visual yang jelas tentang hukuman yang dijatuhkan. Jumlah lima ayat ini cukup untuk menyampaikan pesan teologis yang sangat kaya dan mendalam.
Meskipun jumlah ayatnya hanya lima, Surah Al-Fil memegang posisi sentral dalam pemahaman sejarah Makkah dan persiapan kenabian. Hikmah yang terkandung di dalamnya sangat luas, menyentuh isu-isu kekuasaan, keangkuhan, dan perlindungan Ilahi.
Peristiwa ini memastikan bahwa Ka'bah, meskipun saat itu dinajiskan oleh berhala, tetap diakui sebagai rumah suci yang dilindungi Allah secara langsung. Perlindungan ini sangat krusial karena beberapa dekade kemudian, Ka'bah akan menjadi kiblat utama bagi umat Islam. Jika Ka'bah telah dihancurkan oleh Abraha, kredibilitas dan posisi spiritual Makkah akan hilang. Peristiwa ini berfungsi sebagai proklamasi ilahi bahwa tempat itu telah dipilih untuk tugas yang lebih besar.
Peristiwa 'Am al-Fil terjadi hanya beberapa minggu sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keajaiban ini menjadi semacam pembersihan panggung dan pengumuman awal bagi kedatangan Nabi terakhir. Orang-orang Makkah menyaksikan sendiri bahwa mereka hidup di bawah perlindungan kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang kelak akan diproklamasikan oleh Muhammad sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Kisah ini menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang memiliki kontrol absolut atas alam semesta. Ini memberikan landasan kepercayaan yang kuat bagi Nabi Muhammad di masa-masa awal dakwah yang penuh kesulitan. Ketika orang-orang bertanya, "Siapakah Tuhan yang kamu sembah ini?" Jawabannya terletak pada kisah yang masih segar dalam ingatan setiap orang dewasa di Makkah: "Dialah yang mengalahkan pasukan bergajah."
Lima ayat ini berfungsi sebagai peringatan universal bagi setiap penguasa yang sombong dan arogan. Abraha mewakili puncak keangkuhan, menggunakan kekuatan militer untuk tujuan menindas dan merusak nilai-nilai spiritual. Surah Al-Fil mengajarkan bahwa kekuasaan manusia, betapapun canggihnya, hanyalah sementara. Kekuatan sesungguhnya adalah milik Allah, yang mampu menghancurkan seluruh pasukan dengan agen yang paling sederhana dan tak terduga.
Kontras antara gajah (lambang kekuatan besar dan lambat) dan burung ababil (lambang makhluk kecil, gesit, dan tak terhitung) adalah metafora abadi. Ini mengajarkan bahwa ukuran dan kekuatan fisik tidak relevan ketika Kehendak Ilahi telah ditetapkan. Inilah salah satu inti ajaran teologis yang terkandung padat dalam struktur lima ayat.
Untuk memahami kedalaman lima ayat ini, kita harus menghargai keindahan dan ketepatan bahasa Arab yang digunakan dalam Surah Al-Fil. Surah ini menggunakan teknik pengulangan dan kontras yang sangat efektif.
Dua ayat pertama dibuka dengan pengulangan retoris (A-lam tara, A-lam yaj’al) yang artinya "Tidakkah Dia telah...". Pengulangan ini memiliki tujuan ganda:
Ayat ketiga dan keempat adalah pusat narasi, menjelaskan cara Allah melaksanakan janji-Nya:
Ayat kelima, "Fa ja'alahum ka'aṣfim ma'kūl," adalah kesimpulan yang menyentak. Kekuatan gajah dan prajurit diubah menjadi 'aṣf ma'kūl. Kontras ini adalah puncak dari demonstrasi kekuasaan Allah. Mereka yang datang untuk menghancurkan, dihancurkan sedemikian rupa sehingga mereka tidak meninggalkan jejak, hanya sisa-sisa yang membusuk, layaknya sisa daun yang telah diinjak atau dimakan. Ini adalah akhir yang paling memalukan bagi sebuah pasukan militer.
Dalam studi Al-Qur'an, meskipun terdapat perbedaan minor dalam penentuan jumlah ayat untuk surah-surah tertentu—terutama dalam penghitungan basmalah sebagai ayat pertama—Surah Al-Fil adalah salah satu surah yang jumlah ayatnya LIMA diterima secara universal oleh semua madzhab qira'ah.
Perbedaan qira'ah (bacaan) seperti Qira'ah Hafs 'an 'Asim (yang paling umum di dunia saat ini), Qira'ah Warsh 'an Nafi', atau Qira'ah Qalun, semuanya sepakat bahwa struktur Surah Al-Fil terbagi menjadi lima unit makna yang independen dan berurutan. Konsensus ini memperkuat validitas dan otoritas struktur Surah Al-Fil dalam warisan Islam.
Kelima ayat tersebut adalah:
Setiap urutan nomor ayat, sebagaimana tertera di atas, telah disepakati dan diwariskan melalui rantai periwayatan yang sangat kuat, memastikan bahwa jawaban atas pertanyaan "Al-Fil ada berapa ayat" selalu merujuk pada angka lima.
Untuk melengkapi pembahasan tentang lima ayat ini, penting untuk meninjau kembali beberapa detail historis yang sering diceritakan oleh para sejarawan dan ahli tafsir, yang memberikan gambaran yang lebih utuh tentang dahsyatnya peristiwa yang dicakup oleh Surah Al-Fil.
Azab yang menimpa pasukan Abraha bukan hanya berupa kematian mendadak, tetapi juga penderitaan yang berkepanjangan bagi mereka yang selamat, termasuk Abraha sendiri. Diriwayatkan bahwa Abraha, setelah terluka parah, mengalami pembusukan tubuh secara bertahap dalam perjalanan pulang menuju Yaman. Jarinya rontok satu per satu, dan ketika ia sampai di Sana'a, jantungnya pecah dan ia meninggal dalam keadaan yang sangat hina dan menyakitkan.
Siksaan ini adalah realisasi fisik dari pernyataan di ayat kelima: "Fa ja'alahum ka'aṣfim ma'kūl." Mereka menjadi sisa-sisa yang dimakan, baik secara literal oleh penyakit yang membusukkan daging mereka, maupun secara metaforis oleh kehancuran total martabat dan kekuatan militer mereka.
Gajah yang paling terkenal dalam pasukan Abraha adalah Mahmud, gajah terbesar dan yang memimpin pasukan. Dikisahkan bahwa ketika pasukan mendekati batas kota Makkah, Mahmud berlutut dan menolak untuk melangkah maju, meskipun dipukul dengan keras. Setiap kali dihadapkan ke arah Ka'bah, Mahmud menolak, tetapi jika dihadapkan ke arah lain, ia mau berjalan. Peristiwa ini adalah salah satu bentuk *taḍlīl* (penyesatan/kegagalan) yang disebutkan dalam ayat kedua. Hewan yang seharusnya menjadi simbol kekuatan, justru menjadi simbol pembangkangan terhadap rencana jahat Abraha.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuatan yang dikendalikan oleh Allah tidak hanya mempengaruhi manusia, tetapi juga makhluk lain. Ini adalah penegasan bahwa setiap makhluk di alam semesta, bahkan seekor gajah, tunduk pada kehendak Allah. Kisah gajah Mahmud ini menambah kedalaman pemahaman kita terhadap keajaiban yang terjadi, menegaskan bahwa itu bukanlah kebetulan, melainkan intervensi langsung dari Tuhan Semesta Alam.
Sejumlah besar riwayat dan analisis historis ini, semuanya merujuk dan berpusat pada lima ayat Surah Al-Fil. Tanpa perluasan teks, kelima ayat ini sudah cukup untuk menceritakan keseluruhan peristiwa, namun detail-detail ini membantu kita menghargai betapa besarnya makna yang dikandung dalam setiap kata yang diwahyukan.
Surah Al-Fil, dengan lima ayatnya yang singkat, bukanlah sekadar catatan sejarah masa lalu. Surah ini menawarkan prinsip-prinsip iman dan moral yang abadi bagi umat manusia. Kontemplasi mendalam atas setiap ayatnya membawa kita pada beberapa kesimpulan spiritual:
Sikap Abdul Muthalib, yang menyerahkan nasib Ka'bah kepada Pemiliknya, mengajarkan tentang Tawakkal (berserah diri). Ketika manusia telah melakukan segala yang mereka mampu, mereka harus melepaskan hasil akhirnya kepada Allah. Orang Makkah tidak memiliki kekuatan untuk melawan, namun dengan menyerahkan Ka'bah, mereka menyaksikan mukjizat terbesar.
Ayat ketiga dan keempat mengingatkan kita bahwa metode Allah dalam menolong hamba-Nya atau menghukum musuh-Nya seringkali melampaui logika dan akal manusia. Siapa yang akan membayangkan bahwa pasukan yang paling kuat dikalahkan oleh sekumpulan burung kecil? Ini adalah pengajaran agar kita tidak pernah membatasi Kekuasaan Allah berdasarkan keterbatasan pemikiran kita.
Burung Ababil dan batu Sijjil adalah agen-agen kecil yang melaksanakan tugas besar. Ini mengajarkan pentingnya amal perbuatan yang mungkin terlihat kecil di mata manusia, tetapi memiliki dampak besar dalam skema Ilahi. Setiap upaya kecil, jika dilakukan atas perintah Allah, akan memiliki kekuatan yang melampaui ukurannya.
Singkat kata, Surah Al-Fil adalah demonstrasi kuat akan janji Allah untuk melindungi kebenaran dan menghancurkan keangkuhan, yang semuanya terangkum secara indah, padat, dan sempurna dalam hanya lima ayat yang agung. Setiap kata dari lima ayat ini adalah warisan abadi yang menopang keimanan umat Islam, memperingatkan mereka tentang batas-batas kekuatan manusia dan keagungan tak terbatas dari Tuhan Semesta Alam.
Kajian mendalam ini menegaskan kembali bahwa dalam Al-Qur'an, kualitas melebihi kuantitas. Kelima ayat Surah Al-Fil telah berhasil menorehkan pesan kekal dan abadi yang terus bergema hingga hari kiamat, menceritakan sebuah kisah yang membentuk pondasi spiritual dan sejarah bagi kelahiran agama Islam. Peristiwa ini, yang diabadikan dalam lima ayat suci, adalah bukti nyata bahwa rencana Allah adalah yang paling unggul, melampaui segala perhitungan dan kekuatan militer duniawi, menegaskan kebesaran dan perlindungan-Nya atas Baitullah dan, secara implisit, atas risalah yang akan datang melalui Nabi Muhammad SAW.
Keseluruhan narasi lima ayat ini mengajarkan kita tentang kerendahan hati di hadapan kekuasaan sejati. Abraha datang dengan keyakinan penuh akan kemenangannya, didukung oleh gajah, kuda, dan ribuan prajurit. Namun, ia lupa bahwa di atas semua kekuatan materi terdapat kekuatan spiritual yang tak tertandingi. Kehancuran yang digambarkan dalam ayat terakhir, di mana mereka menjadi seperti sisa-sisa daun yang dimakan, adalah pengingat visual yang kuat tentang kefanaan keangkuhan manusia. Hal ini menguatkan keyakinan bahwa setiap rencana jahat yang ditujukan untuk menghancurkan kebenaran pasti akan berbalik menghancurkan pelakunya sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa peristiwa ini terjadi dalam periode yang disebut Jahiliyyah (masa kebodohan), di mana masyarakat Makkah tenggelam dalam penyembahan berhala. Namun, perlindungan Allah atas Ka'bah menunjukkan bahwa tempat itu sendiri memiliki status suci, terlepas dari perilaku sementara para penjaganya. Ini adalah persiapan ilahi yang cermat. Lima ayat ini adalah fondasi yang menyatukan sejarah, mukjizat, dan teologi, memberikan landasan yang kokoh bagi dakwah yang akan dimulai beberapa tahun kemudian.
Setiap kali seorang Muslim membaca atau mendengar Surah Al-Fil, meskipun hanya lima ayat pendek, ia diingatkan akan tiga hal penting: Keagungan Allah, kelemahan musuh-musuh-Nya, dan kepastian perlindungan ilahi bagi hamba-hamba-Nya dan rumah-Nya. Analisis mendalam atas setiap kata dari kelima ayat ini mengungkapkan lapisan-lapisan makna yang tak habis-habisnya, menegaskan betapa berharganya setiap firman dalam Al-Qur'an, bahkan yang terpendek sekalipun. Surah Al-Fil adalah studi kasus sempurna mengenai bagaimana sejarah, mukjizat, dan pesan moral dapat dipadatkan dalam lima kalimat yang ringkas namun memiliki dampak seismik pada jalannya sejarah peradaban.
Peristiwa gajah dan lima ayat ini juga menjadi penanda penting dalam kronologi sejarah, membuat 'Am Al-Fil menjadi tahun yang sangat unik. Beberapa ahli tafsir dan sejarah menekankan bahwa kekalahan Abraha tidak hanya menyelamatkan Ka'bah, tetapi juga mengangkat status Makkah dan suku Quraisy di mata seluruh Jazirah Arab. Mereka dilihat sebagai 'orang-orang Allah' yang rumahnya dijaga langsung oleh kekuatan gaib. Reputasi ini memudahkan Nabi Muhammad SAW untuk memulai misinya di tengah-tengah suku yang sudah memiliki rasa hormat, bahkan rasa takut, terhadap Tuhannya Makkah, sebagaimana diuraikan secara eksplisit dalam kelima ayat Surah Al-Fil ini. Dengan demikian, lima ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa Jahiliyyah yang gelap dengan fajar kenabian.
Struktur naratif yang singkat ini, yang mencakup pertanyaan retoris, deskripsi militer, intervensi supernatural, dan hasil akhir yang tragis, adalah masterclass dalam penceritaan Al-Qur'an. Kelima ayat ini memastikan bahwa kisah Abraha tidak akan pernah terlupakan. Meskipun peristiwa ini terjadi secara fisik, Surah Al-Fil memberikan dimensi spiritual dan eskatologis yang mendalam. Para penafsir sering menghubungkan kisah ini dengan tanda-tanda akhir zaman, di mana kekuatan besar dunia akan selalu mencoba untuk menundukkan kebenaran spiritual, dan Allah akan selalu menemukan cara-cara yang tak terduga untuk mempertahankan agama-Nya. Lima ayat ini, meskipun berlatar belakang sejarah, memiliki pesan yang relevan untuk setiap generasi.
Pelajaran yang paling mendasar dari kelima ayat Surah Al-Fil adalah bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah pasukan, senjata, atau teknologi (gajah), melainkan pada hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa. Ketika Abraha mengandalkan gajah, Allah mengandalkan burung. Ketika Abraha mengandalkan baja dan besi, Allah mengandalkan batu Sijjil. Kontras ini adalah inti dari ajaran Tauhid. Inilah mengapa lima ayat ini tetap menjadi salah satu surah yang paling sering dibaca dan dihafal; ia adalah pengingat abadi akan janji Allah bahwa "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?" — janji yang berlaku tidak hanya untuk Abraha, tetapi juga untuk setiap musuh kebenaran sepanjang sejarah.
Kesimpulannya, setiap Muslim yang merenungkan Surah Al-Fil harus memahami bahwa jumlah ayatnya, yaitu lima, adalah jumlah yang ringkas namun memuat seluruh kisah epik perlindungan Ka'bah, kehancuran keangkuhan, dan penegasan kekuasaan Allah yang mutlak. Lima ayat, lima pilar narasi, lima jaminan spiritual. Pemahaman yang mendalam terhadap kelima ayat ini akan memperkuat iman dan keyakinan kita akan intervensi ilahi dalam urusan dunia.
Pernyataan dalam ayat kedua, "A-lam yaj'al kaydahum fī taḍlīl" (Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?), adalah jantung dari keseluruhan surah dan merupakan janji yang menghibur bagi setiap individu atau komunitas yang menghadapi penindasan atau rencana jahat. Kekuatan Abraha yang didukung oleh gajah, yang seharusnya tak terkalahkan, pada akhirnya tersesat dan gagal total. Ini adalah penekanan bahwa jika sebuah tujuan bertentangan dengan kehendak Ilahi, maka ujungnya hanyalah kehinaan dan kerugian, sebagaimana yang terjadi pada seluruh pasukan gajah. Lima ayat ini adalah cerminan sempurna dari keadilan Ilahi yang datang tepat pada waktunya dan dengan cara yang paling tidak terduga.
Lebih dari sekadar hitungan numerik, pemahaman bahwa Surah Al-Fil terdiri dari lima ayat harus diiringi dengan kesadaran akan bobot teologis yang dibawanya. Lima ayat ini mengubah sejarah, mengamankan pusat spiritual dunia, dan menetapkan panggung bagi risalah terakhir. Kisah lima ayat ini adalah pelajaran tentang bagaimana kebenaran akan selalu menang, bahkan ketika pertarungan tampak mustahil. Ini adalah surah yang mengajarkan bahwa kekuatan Allah mengatasi segala-galanya, dan perlindungan-Nya sempurna.
Oleh karena itu, ketika pertanyaan "Al-Fil ada berapa ayat" diajukan, jawabannya—lima—harus dilihat bukan hanya sebagai angka, melainkan sebagai sebuah formula lengkap yang mengakhiri sebuah era keangkuhan dan memulai era baru di mana kebenaran akan segera terbit di tanah Makkah yang telah disucikan melalui peristiwa mukjizat ini. Kelima ayat ini adalah saksi bisu kebesaran tak terbatas yang menaungi Baitullah Al-Haram.
Beralih ke konteks spiritual, kelima ayat ini juga sering menjadi tema kontemplasi bagi para sufi dan ulama. Mereka melihat Surah Al-Fil sebagai miniatur dari perjuangan batin manusia. Gajah (Al-Fil) sering diinterpretasikan sebagai simbol nafsu besar atau ego yang arogan (Abraha) dalam diri manusia, yang ingin menghancurkan Ka'bah spiritual (hati atau fitrah murni). Burung Ababil dan batu Sijjil mewakili kesadaran spiritual dan azab ilahi yang datang untuk menghancurkan keangkuhan ego tersebut. Dengan demikian, lima ayat ini berfungsi sebagai peta jalan menuju kerendahan hati dan pemurnian jiwa.
Kisah yang diabadikan dalam lima ayat Surah Al-Fil ini adalah salah satu kisah yang paling autentik dan memiliki dampak historis yang terukur, bahkan oleh sejarawan non-Muslim. Peristiwa Tahun Gajah tercatat dalam berbagai sumber kuno sebagai bencana alam atau hukuman yang menghancurkan kekuatan Yaman saat itu. Konsistensi sejarah ini hanya memperkuat kebenaran naratif yang disampaikan oleh Al-Qur'an dalam lima ayat tersebut. Kelima ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan verifikasi ilahi atas peristiwa yang membentuk takdir Makkah.
Kesimpulannya, dalam konteks Al-Qur'an, Surah Al-Fil adalah salah satu surah yang paling ringkas namun paling berbobot. Hanya dengan lima ayat, Surah ini berhasil menyampaikan pesan tentang kekuasaan mutlak Tuhan, kelemahan manusia yang sombong, dan perlindungan abadi atas tempat suci-Nya. Angka lima dalam Surah Al-Fil adalah angka kesempurnaan naratif dan historis, yang menjamin bahwa keagungan peristiwa ini akan terus diulang dan direnungkan oleh setiap generasi Muslim.
Pengulangan dan penekanan terhadap jumlah lima ayat ini sangat penting, karena ini adalah contoh bagaimana Al-Qur'an, dengan keterbatasannya dalam hal panjang (hanya lima ayat), dapat menyampaikan pelajaran yang tak terbatas dan abadi. Setiap kata di dalamnya adalah esensial, tidak ada yang berlebihan. Dari A-lam tara hingga ka'aṣfim ma'kūl, kelima ayat ini berdiri sebagai monumen keimanan yang tak tergoyahkan.
Jika kita ingin menghayati sepenuhnya Surah Al-Fil, kita harus melihatnya sebagai panggilan untuk mengingat kuasa Tuhan di masa kini. Seperti Abraha yang datang dengan gajahnya, seringkali tantangan hidup datang dengan kekuatan yang terasa luar biasa. Kelima ayat ini mengajarkan kita bahwa respon terbaik bukanlah kepanikan atau perlawanan tanpa daya, tetapi keyakinan teguh bahwa Pemilik Ka'bah, Tuhan kita, mampu menjadikan tipu daya musuh kita menjadi sia-sia. Dengan hanya lima ayat, Surah Al-Fil adalah sumber keberanian dan ketenangan spiritual yang tak pernah habis.
Akhir kata, fokus pada jumlah ayat yang pasti, yaitu lima, membawa kita kembali pada ketelitian wahyu. Tidak ada keraguan, tidak ada ambiguitas. Lima ayat Surah Al-Fil adalah sebuah paket lengkap yang merangkum mukjizat, pelajaran, dan proklamasi. Lima ayat yang mengajarkan bahwa kekuatan terhebat di alam semesta adalah milik Allah SWT.