Al-Ikhlas Ayat 4: Puncak Manifestasi Tauhid dan Negasi Segala Tandingan

Simbol Kesatuan dan Keunikan Mutlak (Tauhid) ١ AHAD

Gambar SVG: Simbol Kesatuan Ilahi dan Penegasan Tauhid Mutlak.

Surah Al-Ikhlas, meskipun terdiri dari hanya empat ayat pendek, merupakan jantung ajaran Islam. Ia adalah manifestasi murni dari konsep Tauhid, keesaan Allah SWT. Ayat keempat, yang berbunyi "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad," berfungsi sebagai penutup, penegasan akhir, dan ringkasan yang paling kuat dari seluruh pernyataan ketuhanan yang termuat dalam surah ini. Ayat ini secara definitif menghancurkan setiap kemungkinan perbandingan, penyerupaan, atau tandingan terhadap Dzat Yang Maha Pencipta. Ini adalah inti sari dari pemurnian akidah, menjadikannya kunci untuk memahami esensi Ikhlas (ketulusan) dalam beriman.

I. Membedah Makna Linguistik: Al-Ikhlas Ayat 4

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

"Wa lam yakun lahu kufuwan ahad."

"Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."

Untuk memahami kekuatan ayat ini, kita perlu mengurai setiap komponen linguistiknya:

1. Wa Lam Yakun (Dan Tidak Pernah Ada/Dan Tidak Akan Ada)

Penggunaan "Lam Yakun" (bentuk negasi dalam past tense yang berlanjut) menunjukkan penolakan absolut terhadap keberadaan tandingan Allah, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Ini menegaskan bahwa tandingan tersebut bukan hanya tidak ada sekarang, tetapi secara ontologis (keberadaan) mustahil untuk pernah ada. Negasi ini bersifat mutlak dan abadi. Ayat ini tidak sekadar menyatakan ketidakhadiran, melainkan kemustahilan substansial.

2. Lahu (Bagi-Nya)

Penghubung ini merujuk langsung kepada Allah SWT. Struktur kalimatnya menekankan bahwa ketiadaan tandingan adalah sifat intrinsik dari Dzat Ilahi itu sendiri. Tandingan itu tidak ada karena sifat keilahian menolak adanya entitas lain yang memiliki kualitas serupa.

3. Kufuwan (Setara, Tandingan, Sebanding)

Kata kunci di sini adalah "Kufuwan" (كُفُوًا). Kata ini berarti kesamaan dalam martabat, derajat, atau kualitas. Dalam konteks teologi, 'kufuwan' menolak persamaan dalam hal esensi (Dzat), sifat (Sifat), atau tindakan (Af'al). Ini menolak semua bentuk perbandingan, baik yang bersifat material, spiritual, metafisik, maupun imajiner. Tidak ada yang setara dalam hal penciptaan, kekuasaan, pengetahuan, atau keabadian.

4. Ahad (Seorang Pun/Satu Pun)

Penggunaan "Ahad" di akhir kalimat berfungsi sebagai penguat (penekanan) negasi sebelumnya. Ini bukan sekadar penolakan kolektif, tetapi penolakan terhadap setiap entitas tunggal yang mungkin dianggap setara. Ini menutup semua celah interpretasi; tidak ada satu pun, sekecil apapun, dalam seluruh alam semesta, yang dapat disandingkan dengan Allah.

Keseluruhan ayat al ikhlas ayat 4 adalah deklarasi kemustahilan mutlak atas segala bentuk sinergi, persaingan, atau kesamaan dengan Sang Pencipta. Ayat ini adalah palu godam yang menghancurkan semua doktrin politeisme, dualisme, dan anthropomorphism (penyerupaan Tuhan dengan makhluk).

II. Tauhid Al-Asma wa As-Sifat: Inti Kekuatan Ayat 4

Tiga ayat pertama Surah Al-Ikhlas menetapkan tiga pilar Tauhid: Tauhid Uluhiyah (Ayat 1: Qul Huwallahu Ahad), Tauhid Ash-Shomadiyah (Ayat 2: Allahus Shamad), dan Tauhid Rububiyah (Ayat 3: Lam Yalid wa Lam Yuulad). Namun, al ikhlas ayat 4, "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad," adalah puncak dari Tauhid Al-Asma wa As-Sifat (Keesaan dalam Nama dan Sifat).

1. Kesempurnaan Sifat yang Tak Tertandingi

Ketika kita merenungkan Ayat 4, kita menyadari bahwa tidak ada makhluk yang dapat memiliki sifat-sifat Allah dalam tingkat kesempurnaan mutlak. Sifat Allah adalah wajib al-wujud (wajib adanya) dan qadim (tanpa permulaan), sedangkan sifat makhluk adalah mumkin al-wujud (mungkin ada, mungkin tiada) dan hadits (baru/tercipta).

2. Penolakan terhadap Tandingan dalam Tindakan (Af'al)

Ayat ini juga menolak adanya kesetaraan dalam tindakan ilahi, khususnya tindakan penciptaan dan pemeliharaan (Rububiyah). Siapa pun yang diklaim sebagai 'kufuwan' (tandingan) harus mampu menciptakan, memberi rezeki, mematikan, dan menghidupkan dalam skala yang sama dengan Allah. Karena hanya Allah yang Al-Khaliq (Sang Pencipta) dan Al-Raziq (Pemberi Rezeki), maka klaim kesetaraan apa pun gugur dengan sendirinya.

Tidak ada malaikat, nabi, wali, dewa, atau entitas supranatural manapun yang dapat mengklaim bahwa tindakan mereka setara dengan tindakan Allah SWT. Mereka semua adalah ciptaan yang tunduk pada kehendak-Nya. Ayat 4 adalah fondasi yang membedakan secara tegas antara Khalq (makhluk) dan Khaliq (Pencipta).

III. Menghancurkan Konsep Syirik (Kemusyrikan)

Ayat al ikhlas ayat 4 adalah senjata pamungkas melawan setiap bentuk syirik. Apabila seseorang percaya bahwa Allah tidak memiliki tandingan, secara otomatis semua bentuk penyembahan selain kepada-Nya menjadi tidak valid dan sia-sia.

1. Syirik dalam Rububiyah (Kepemilikan)

Syirik Rububiyah terjadi ketika seseorang meyakini ada pengatur alam semesta lain selain Allah, atau ada kekuatan independen yang setara dalam mengatur nasib. Ayat 4 meniadakan ini. Mustahil ada dua Pencipta yang memiliki kekuasaan setara. Jika ada dua tuhan yang setara (dua 'kufuwan'), maka akan terjadi kekacauan universal, karena kehendak mereka pasti akan berbenturan. Ayat ini menegaskan bahwa hanya ada satu penguasa mutlak yang mengendalikan segala sesuatu tanpa persaingan.

2. Syirik dalam Uluhiyah (Penyembahan)

Syirik Uluhiyah terjadi ketika seseorang menyembah atau memuja selain Allah (patung, berhala, kuburan, makhluk hidup, dsb.). Motivasi dasar penyembahan adalah keyakinan bahwa objek tersebut memiliki kekuatan atau pengaruh ilahi. Ayat 4 menghancurkan keyakinan ini, karena jika objek tersebut setara (kufuwan) dengan Allah, ia harus mampu menciptakan dirinya sendiri. Karena semua objek sembahan adalah ciptaan, mereka tidak mungkin menjadi tandingan. Oleh karena itu, penyembahan mereka adalah kesesatan.

3. Penolakan Filsafat Dualisme dan Trinitas

Ayat ini secara eksplisit menolak doktrin yang mengajukan adanya dua kekuatan utama (baik dan buruk) yang setara, atau konsep ketuhanan yang terbagi dalam tiga entitas yang setara. Kata 'Ahad' yang diperkuat oleh negasi 'Kufuwan' memastikan keesaan dan kesendirian Dzat Ilahi, meniadakan segala bentuk pembagian atau mitra.

IV. Implikasi Filosofis dan Kosmologis dari ‘Kufuwan Ahad’

Kekuatan filosofis dari al ikhlas ayat 4 tidak hanya terletak pada negasi, tetapi juga pada afirmasi mengenai sifat keberadaan Tuhan. Ayat ini menuntun akal manusia menuju pemahaman metafisik yang mendalam tentang kemutlakan.

1. Kemustahilan Penyerupaan (Tanzih)

Konsep ‘Tanzih’ adalah mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk-Nya. Ayat 4 adalah pernyataan tanzih tertinggi. Ketika Allah mengatakan tidak ada yang setara dengan Dia (Kufuwan Ahad), ini mencakup:

Tafsir klasik menekankan bahwa akal manusia, yang terikat pada pengalaman duniawi (material), secara inheren tidak mampu memahami Dzat Ilahi. Oleh karena itu, kita dilarang mencoba membandingkan Allah dengan apapun yang kita ketahui atau bayangkan, karena perbandingan tersebut pasti akan melanggar prinsip "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad."

2. Kebenaran Mutlak dan Realitas Tunggal

Apabila Allah adalah satu-satunya entitas yang tidak memiliki tandingan, maka Dia adalah satu-satunya realitas mutlak (Al-Haqq). Semua realitas selain Dia bersifat relatif dan bergantung. Konsep ini menumbuhkan kerendahan hati (tawadhu) pada diri manusia, karena menyadari bahwa segala pencapaian, kekuasaan, atau kekayaan manusia hanyalah refleksi sementara dari kekuasaan Ilahi. Tidak ada entitas di alam semesta yang dapat berdiri sejajar dengan-Nya, bahkan dalam perspektif keberadaan yang paling fundamental sekalipun.

V. Elaborasi Mendalam: Analisis Ketidakmungkinan Tandingan

Untuk benar-benar mengapresiasi kedalaman al ikhlas ayat 4, kita harus merenungkan secara ekstensif mengapa keberadaan 'kufuwan' (tandingan) bagi Allah adalah suatu kemustahilan yang logis dan teologis. Pemahaman ini memerlukan detail yang sangat rinci mengenai perbedaan antara Sifat Wajib bagi Allah dan sifat yang mungkin bagi makhluk.

1. Ketidakmungkinan Tandingan dalam Sifat Al-Qidam dan Al-Baqa (Keabadian)

Jika ada tandingan bagi Allah (Tuhan B), maka Tuhan B harus memiliki permulaan (hadits) atau tidak memiliki permulaan (qadim). Jika Tuhan B adalah hadits (memiliki permulaan), maka ia diciptakan, dan yang diciptakan tidak mungkin setara dengan Sang Pencipta. Jika Tuhan B juga qadim (tidak memiliki permulaan), maka akan ada dua Dzat yang wajib adanya, sebuah konsep yang mustahil secara rasional, karena dualitas qadim akan membatasi kekuasaan satu sama lain, atau salah satunya harus tunduk pada yang lain, sehingga menggugurkan klaim ketuhanan mereka.

Ayat 4 memastikan bahwa hanya ada satu Dzat Qadim, dan Dzat itu tidak memiliki kufuwan. Tidak ada entitas lain yang berbagi sifat keabadian mutlak, yang tidak terpengaruh oleh waktu atau kehancuran. Manusia, planet, bintang, bahkan malaikat, semuanya memiliki titik awal dan titik akhir (kecuali yang dikecualikan oleh kehendak Allah), dan oleh karena itu, mereka tidak pernah bisa dianggap sebanding dengan Al-Baqa’ (Yang Maha Kekal).

2. Ketidakmungkinan Tandingan dalam Sifat Al-Wahdaniyah (Keesaan)

Ayat 4 adalah penegasan kembali Al-Wahdaniyah. Jika ada tandingan, berarti keesaan Allah batal. Konsekuensi dari adanya tandingan (Kufuwan Ahad) adalah runtuhnya tata tertib kosmik. Misalkan ada dua penguasa, A dan B, yang setara. Jika A menghendaki matahari terbit dari timur dan B menghendaki matahari terbit dari barat, maka harus terjadi salah satu dari tiga kemungkinan:

  1. Kehendak A terjadi, dan kehendak B gagal. Ini berarti A lebih kuat, sehingga B bukanlah 'kufuwan'.
  2. Kehendak B terjadi, dan kehendak A gagal. Ini berarti B lebih kuat, sehingga A bukanlah 'kufuwan'.
  3. Tidak terjadi apa-apa (stagnasi). Ini menunjukkan ketidakmampuan kedua-duanya, yang berarti keduanya tidak layak menjadi Tuhan.

Logika ini, yang didukung oleh al ikhlas ayat 4, memastikan bahwa ketuhanan hanya dapat dipegang oleh Dzat tunggal yang kekuasaan-Nya mutlak, tak tertandingi, dan tak terbagi.

3. Ketidakmungkinan Tandingan dalam Sifat Al-Mushawwir (Pembentuk Rupa)

Sifat Al-Mushawwir (Yang Maha Pembentuk) adalah bagian dari Tauhid Af'al. Hanya Allah yang membentuk rupa, memberikan bentuk unik kepada setiap ciptaan. Ayat 4 menolak adanya 'kufuwan' yang mampu menciptakan kehidupan, memberikannya rupa, dan kemudian mempertahankan eksistensinya. Bahkan seni paling canggih atau teknologi paling mutakhir dari manusia hanyalah modifikasi dari materi yang sudah ada. Manusia tidak pernah menciptakan sesuatu dari ketiadaan (ex nihilo). Allah adalah satu-satunya yang mampu menciptakan ketiadaan menjadi keberadaan (Al-I’dam ila Al-Wujud).

Ini adalah dimensi penting dalam memahami al ikhlas ayat 4: bahwa mustahil ada kesetaraan dalam daya kreasi. Jika ada entitas lain yang mampu mencipta dalam kesetaraan, maka eksistensi kosmik akan menjadi sangat kacau dan tak teratur. Justru keteraturan dan keharmonisan alam semesta adalah bukti nyata bahwa hanya ada satu kehendak, satu Pencipta, dan tiada tandingan bagi-Nya.

VI. Pengaruh Ayat 4 Terhadap Akidah dan Kehidupan Mukmin

Pemahaman mendalam tentang "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad" bukan sekadar doktrin teologis, tetapi fondasi praktis bagi setiap aspek kehidupan seorang mukmin.

1. Pemurnian Niat (Ikhlas Sejati)

Ikhlas, yang merupakan nama surah ini, berarti memurnikan ibadah hanya untuk Allah. Ayat 4 memastikan bahwa hanya Allah yang layak menerima ibadah. Mengapa? Karena hanya Dzat yang tidak memiliki tandingan dalam kesempurnaan-Nya yang layak menerima pengabdian mutlak. Jika kita beribadah kepada sesuatu yang memiliki tandingan atau kekurangan, ibadah kita menjadi sia-sia. Pengakuan bahwa tiada yang setara dengan-Nya memaksa mukmin untuk mengarahkan seluruh energinya (doa, harapan, takut, cinta) hanya kepada Dzat yang Mutlak tersebut.

2. Penghapusan Rasa Takut yang Tidak Perlu

Jika Allah tidak memiliki tandingan, maka tidak ada kekuatan di alam semesta—baik manusia, alam, jin, atau sihir—yang dapat menimpakan mudarat atau memberikan manfaat tanpa izin-Nya. Rasa takut yang berlebihan terhadap makhluk lain hilang karena kesadaran bahwa mereka bukanlah 'kufuwan' (tandingan) bagi kekuasaan Allah. Ayat 4 menanamkan rasa percaya diri (tawakkal) yang kokoh, karena mukmin menyadari bahwa perlindungan dari Dzat yang tidak tertandingi jauh lebih kuat daripada ancaman dari makhluk yang terbatas.

3. Penolakan terhadap Fanatisme Buta (Ghulw)

Dalam sejarah umat, seringkali terjadi 'ghulw' (berlebihan) dalam memuja nabi, wali, atau pemimpin spiritual, hingga menempatkan mereka pada derajat hampir ilahi. Ayat al ikhlas ayat 4 berfungsi sebagai rem spiritual. Walaupun nabi dan wali adalah figur mulia, mereka tetaplah makhluk yang memiliki permulaan dan akhir, sehingga mustahil mereka mencapai derajat 'kufuwan' (kesetaraan). Ayat ini memastikan bahwa garis pemisah antara Pencipta dan ciptaan tetaplah mutlak.

VII. Tafsir Lanjutan: Mendalami Konsep Kufuwan dalam Konteks Asmaul Husna

Untuk mencapai keluasan pemahaman yang menyeluruh, kita harus mengkaji bagaimana negasi ‘kufuwan’ (tandingan) berlaku pada setiap Nama dan Sifat Allah yang Agung (Asmaul Husna). Keindahan dari Ayat 4 adalah bahwa ia tidak hanya menolak tandingan secara umum, tetapi juga secara spesifik dalam setiap atribut ilahi.

1. Ketiadaan Tandingan dalam Kekuatan (Al-Qawiy, Al-Aziz)

Jika Allah adalah Al-Aziz (Yang Maha Perkasa), yang kekuasaan-Nya tak terbatas, maka mustahil ada kekuatan setara yang bisa menentang kehendak-Nya. Manusia mungkin memiliki kekuatan fisik, kekayaan, atau pengaruh, tetapi semua itu fana dan rapuh. Kekuatan mereka hanyalah setetes air di lautan Kekuatan Ilahi. Al ikhlas ayat 4 menegaskan bahwa tidak ada entitas yang mampu menahan takdir atau mengubah keputusan Ilahi; semua tunduk di bawah keperkasaan Al-Aziz. Setiap perlawanan atau usaha untuk menandingi-Nya adalah kesombongan yang sia-sia.

2. Ketiadaan Tandingan dalam Keindahan dan Kesempurnaan (Al-Jamil, Al-Kamal)

Allah SWT adalah Al-Jamil (Yang Maha Indah), dan keindahan-Nya mutlak dan tak terlukiskan. Segala keindahan di alam semesta hanyalah bayangan atau refleksi dari keindahan Dzat-Nya. Mustahil ada 'kufuwan' yang setara dalam keindahan, karena keindahan makhluk bersifat relatif, temporal, dan akhirnya memudar. Ketika seorang mukmin merenungkan keindahan alam semesta, ia diingatkan bahwa sumber keindahan ini adalah Dzat yang tidak memiliki tandingan, mengarahkan cinta sejati pada Al-Jamil yang Abadi.

3. Ketiadaan Tandingan dalam Keadilan (Al-Adl, Al-Hakam)

Keadilan Allah adalah sempurna, meliputi segala sesuatu, dan tidak dipengaruhi oleh emosi, prasangka, atau kepentingan. Keadilan manusia, meskipun idealnya mulia, selalu terikat oleh keterbatasan informasi, bias, dan hukum yang berubah-ubah. Tidak ada hakim, penguasa, atau sistem di bumi yang dapat mengklaim kesetaraan dengan keadilan Ilahi. Ayat 4 menetapkan bahwa hanya Dzat yang tidak memiliki tandingan yang mampu menjadi Al-Hakam (Hakim Tertinggi) yang mutlak dan tak tergoyahkan.

VIII. Penegasan Ulang Prinsip Tauhid melalui Negasi Berulang

Kita kembali lagi pada inti Surah Al-Ikhlas, terutama ayat terakhir, karena penekanannya yang luar biasa penting. Dalam tradisi tafsir, para ulama menekankan bahwa negasi yang kuat dalam "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad" adalah pengulangan retoris yang bertujuan untuk menutup semua pintu kesalahpahaman. Setiap kali kata tersebut diulang dalam renungan, ia memperkuat benteng tauhid dalam hati.

1. Menghindari Tasybih dan Ta'thil

Prinsip Ayat 4 melindungi mukmin dari dua kesalahan teologis utama:

Keseimbangan antara Itsbat dan Tanfidh inilah yang menjadi puncak kemurnian akidah. Kita menetapkan sifat sempurna bagi-Nya, dan pada saat yang sama, kita menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan tandingan.

2. Kekuatan Makna dalam Hadits Nabi

Rasulullah SAW bersabda bahwa Surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa doktrin tauhid yang terkandung di dalamnya memiliki bobot substansial yang sangat besar, dan puncaknya adalah al ikhlas ayat 4. Pengakuan bahwa tiada yang setara dengan Allah merupakan pengakuan terhadap seluruh aspek keilahian, Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat, yang merupakan sepertiga pokok ajaran Al-Qur'an.

Perenungan mendalam terhadap ayat ini seharusnya membawa mukmin pada tingkat keyakinan yang tidak tergoyahkan. Kepercayaan ini melampaui logika sederhana; ia adalah fitrah, pengakuan alamiah bahwa hanya ada satu Sumber Kekuatan, satu Sumber Keabadian, dan satu Sumber Keagungan, dan Dia tidak memerlukan mitra, sekutu, atau 'kufuwan' apapun.

IX. Kedalaman Filosofis Eksistensi Tanpa Tandingan

Pembahasan mengenai kemutlakan al ikhlas ayat 4 juga harus menyentuh ranah filsafat eksistensi dan ontologi. Jika Allah adalah 'Ahad' yang tidak memiliki 'Kufuwan', ini menempatkan-Nya dalam kategori keberadaan yang sama sekali terpisah dari keberadaan alam semesta (kontingen).

1. Transendensi Mutlak

Ayat 4 menekankan transendensi (kemahatinggian) Allah. Transendensi berarti Allah berada di luar jangkauan pengalaman dan pemahaman makhluk-Nya, tidak terikat oleh batasan ciptaan. Jika Dia memiliki tandingan, Dia harus memiliki sifat yang sama dengan tandingan itu, yang berarti Dia terbatasi. Karena Allah tidak memiliki 'kufuwan', Dia adalah Dzat yang Transenden secara mutlak. Dia ada, tetapi cara keberadaan-Nya sepenuhnya berbeda dari cara keberadaan segala sesuatu yang lain.

Ini adalah respon mutlak terhadap dorongan alami manusia untuk mempersonifikasikan keilahian. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Allah dekat dengan kita (sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat lain), keesaan Dzat-Nya tetap terpisah dan tidak dapat dijangkau oleh perbandingan indrawi atau mental kita.

2. Kesempurnaan yang Tidak Bertitik Awal

Dalam konteks kemustahilan tandingan, kesempurnaan Allah tidaklah dimulai pada titik waktu tertentu, melainkan adalah esensi-Nya. Dia tidak menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, atau lebih adil; Dia adalah Kekuatan, Kebijaksanaan, dan Keadilan. Jika ada tandingan, berarti tandingan itu juga harus memiliki kesempurnaan yang tidak bertitik awal, yang mana, seperti yang telah dijelaskan, mengarah pada kekacauan dan kemustahilan logis.

Oleh karena itu, setiap kali mukmin membaca al ikhlas ayat 4, ia sedang merayakan kesempurnaan yang tak terhingga dan tak terbagi. Ini adalah pengakuan bahwa seluruh realitas bergantung pada Dzat Tunggal yang berdiri sendiri dalam keagungan-Nya.

X. Penutup: Pengokohan Pilar Ikhlas

Surah Al-Ikhlas, ditutup dengan ayat yang tegas dan lugas, "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad," menancapkan paku terakhir pada peti mati syirik dan keraguan. Ayat ini adalah kesimpulan sempurna yang mengikat semua prinsip keesaan yang dijelaskan sebelumnya: keesaan Dzat (Ahad), keesaan Kebutuhan (Ash-Shamad), dan keesaan Asal Usul (Lam Yalid wa Lam Yuulad).

Pengakuan ini adalah identitas dasar seorang Muslim. Ia membedakan Islam dari semua sistem kepercayaan lainnya yang mempercayai adanya mitra, anak, tandingan, atau perantara yang setara dengan Tuhan. Dalam ayat ini terdapat kedamaian, karena hati yang memahami bahwa tiada tandingan bagi Allah akan tenang, mengetahui bahwa mereka hanya perlu bergantung pada satu kekuatan Yang Maha Sempurna.

Setiap huruf dan kata dalam al ikhlas ayat 4 adalah deklarasi kemerdekaan spiritual dari penyembahan makhluk, ketakutan yang tidak perlu, dan kekeliruan filosofis. Ia mengajarkan kita untuk melihat alam semesta bukan sebagai tempat yang penuh dewa-dewa yang bersaing, melainkan sebagai karya seni tunggal yang diatur oleh satu seniman yang tidak tertandingi. Inilah esensi Ikhlas, kemurnian keyakinan, yang diwariskan dari Rasulullah SAW kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.

Artikel ini adalah eksplorasi mendalam teologis dan linguistik mengenai Surah Al-Ikhlas ayat 4, berfokus pada konsep Tauhid Mutlak (Keesaan Allah) dan penolakan terhadap segala bentuk perbandingan atau tandingan (Kufuwan Ahad).

🏠 Homepage