Simbol abstrak yang melambangkan ketetapan (lingkaran) dan kebenaran (panah di dalam).
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, senantiasa memberikan petunjuk dan pencerahan bagi kehidupan manusia. Di antara lautan hikmah yang terkandung di dalamnya, Surah Al-Baqarah memegang kedudukan istimewa. Khususnya pada ayat 106 hingga 112, terdapat penekanan kuat mengenai ketetapan Allah SWT, perubahan hukum ilahi, serta posisi kaum mukmin, Yahudi, dan Nasrani di hadapan kebenaran.
Ayat 106 dari Surah Al-Baqarah menjelaskan bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan mutlak untuk mengganti atau menghapus ayat-ayat Al-Qur'an yang telah diturunkan sebelumnya, atau menggantinya dengan yang lebih baik atau yang serupa. Ketetapan ini bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kebijakan ilahi yang memiliki hikmah mendalam.
Tidak ada satu nasib (ayat) pun yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (terlupakan) dari padanya, melainkan Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang serupa dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Penafsiran ayat ini menekankan bahwa perubahan hukum atau aturan dalam wahyu bukanlah berarti kontradiksi atau ketidaksempurnaan. Sebaliknya, ini menunjukkan fleksibilitas dan kemaslahatan yang terus diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan umat. Allah SWT menurunkan hukum yang paling sesuai dan memberikan kebaikan yang lebih besar, atau setidaknya yang serupa, untuk kebaikan hamba-Nya.
Selanjutnya, ayat 107-109 menegaskan kembali kekuasaan Allah SWT atas langit dan bumi. Tidak ada pelindung atau penolong selain Allah SWT. Ayat-ayat ini menjadi pengingat bagi setiap individu bahwa segala urusan, baik besar maupun kecil, sepenuhnya berada dalam genggaman dan pengetahuan-Nya.
Ayat 107 secara eksplisit menyatakan:
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah memiliki kerajaan langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada pelindung dan tidak ada penolong bagimu selain Allah?
Hal ini berarti segala bentuk ketergantungan seharusnya hanya ditujukan kepada Allah SWT. Mencari perlindungan atau pertolongan kepada selain-Nya adalah sebuah kesia-siaan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap kekuasaan-Nya yang Maha Mutlak. Ayat ini mengajarkan tawakal yang hakiki, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah sambil tetap berusaha.
Ayat 108 dan 109 kemudian mengajak manusia untuk bertanya-tanya kepada Rasulullah SAW, sebagaimana kaum sebelumnya telah bertanya kepada Musa AS. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkadang muncul dari keraguan, keinginan untuk mendebat, atau bahkan sekadar rasa ingin tahu yang tidak disertai niat baik. Namun, esensi dari ayat ini adalah penegasan bahwa kebenaran Islam tidak bisa digoyahkan oleh pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Pada ayat 110, Allah SWT berfirman bahwa hanya orang-orang yang beriman kepada-Nya dan beramal saleh yang akan mendapatkan balasan terbaik. Ini merupakan prinsip dasar dalam Islam: iman dan amal saleh adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Apakah kamu hendak meminta kepada Rasulmu yang seperti orang-orang yang diminta kepada Musa dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Kemudian, ayat 111 memperjelas bahwa setiap kaum, baik Yahudi maupun Nasrani, akan mengklaim bahwa hanya mereka yang akan masuk surga. Klaim ini bisa datang dari berbagai latar belakang, baik berdasarkan mazhab atau ajaran yang mereka yakini.
Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang yang ber]):", atau "Orang-orang Nasrani". Itulah (angan-angan) mereka yang kosong. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu memang orang-orang yang benar."
Namun, ayat 112 memberikan bantahan tegas dan penegasan kebenaran Islam. Barang siapa yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah dengan ikhlas (beragama Islam) dan berbuat baik (mengerjakan amal saleh), maka baginya pahala di sisi Tuhannya. Mereka tidak perlu merasa takut dan tidak akan mendapat kesedihan.
Tidak demikian! Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah (maksudnya patuh kepada Allah) sedang dia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati.
Serangkaian ayat ini memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam. Pertama, pentingnya memahami bahwa ajaran agama bersifat dinamis dan selalu dalam kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Kedua, penegasan bahwa kekuasaan dan pertolongan mutlak hanya ada pada Allah SWT, sehingga setiap permohonan dan harapan harus diarahkan kepada-Nya. Ketiga, penolakan terhadap klaim eksklusif surga oleh golongan mana pun, kecuali bagi mereka yang memenuhi syarat keimanan dan amal saleh yang disyariatkan oleh Allah melalui Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan memahami dan merenungi ayat-ayat ini, diharapkan keimanan kita semakin kokoh dan langkah kita dalam menjalani kehidupan selalu berada di jalan kebenaran yang diridhai-Nya.