Pelajaran Abadi tentang Fokus dan Ketergantungan Mutlak kepada Tuhan Semesta Alam
Surah Al-Insyirah (Pembukaan, atau Kelapangan), yang juga dikenal sebagai Ash-Syarh, adalah surah yang diturunkan pada periode Mekah, masa di mana Rasulullah ﷺ dan para sahabat menghadapi tekanan dan kesulitan yang luar biasa dalam menyampaikan risalah tauhid. Surah ini datang sebagai penenang, sebagai jaminan ilahi yang menegaskan bahwa setiap kesulitan pasti diikuti oleh kemudahan. Struktur surah ini sangat simetris, berpusat pada dua pernyataan penting yang hampir identik: فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا ٨ إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا ٩, yang berarti, "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
Setelah memberikan janji ketenangan dan kelapangan dada (Ayat 1-4) dan setelah mengukuhkan prinsip universalitas hukum kemudahan (Ayat 5-6), surah ini bergerak menuju sebuah perintah aksi yang fundamental. Jika seseorang telah melalui kesulitan, dan ia telah menerima jaminan kemudahan dari Allah, lantas apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Bagaimana seharusnya ia menyikapi sisa hidupnya? Jawaban dari pertanyaan mendasar ini terletak pada puncak surah, yaitu ayat ketujuh dan kedelapan, yang merupakan transisi dari janji kepada perintah ibadah.
Ayat ketujuh, فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ ("Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain)"), memerintahkan kontinuitas dalam amal dan perjuangan. Ini adalah perintah untuk menghindari kekosongan; setelah satu pekerjaan ibadah selesai, segera beralih ke pekerjaan ibadah berikutnya. Namun, perintah ini, yang berfokus pada aktivitas fisik dan duniawi, segera diimbangi oleh perintah rohani yang menjadi subjek utama kajian ini, yaitu Al-Insyirah Ayat 8.
Ayat kedelapan dari Surah Al-Insyirah adalah klimaks rohani yang mengarahkan hati dan niat seorang hamba setelah ia menyelesaikan tugas-tugas duniawinya atau setelah ia mendapatkan kelapangan dari kesulitan. Kalimat ini sangat ringkas namun sarat makna, mencakup fondasi utama dari konsep tauhid dalam tindakan:
Dalam transliterasi standar: Wa ilaa Rabbika farghab.
Terjemahan harfiah yang paling umum diterima, dan yang paling kuat maknanya, adalah: "Dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap (atau: mengarahkan keinginanmu)."
Ayat ini berfungsi sebagai kunci spiritual untuk seluruh surah. Jika Ayat 5 dan 6 memberikan harapan, dan Ayat 7 memberikan arahan tindakan, maka Ayat 8 memberikan fokus dan tujuan dari segala tindakan dan harapan tersebut. Ini adalah deklarasi penyerahan total, sebuah perintah untuk memurnikan segala bentuk kerinduan, hasrat, dan tujuan hanya menuju Dzat yang menciptakan dan memelihara.
Untuk memahami kekuatan Ayat 8, kita harus membedah setiap komponen katanya, terutama penempatan kata dan akar kata kerja yang digunakan, yang dalam bahasa Arab, memiliki dampak besar pada penekanan makna.
Partikel 'Wa' di awal ayat ini menunjukkan kelanjutan dan koneksi logis dengan ayat sebelumnya (Ayat 7: *Faidza faraghta fansab*). Artinya, perintah untuk bekerja keras dan beralih dari satu ibadah ke ibadah lain harus segera diikuti atau diimbangi oleh perintah rohani. Ada kesinambungan: selesaikan tugas di dunia, lalu segera arahkan seluruh fokus batin kepada Allah.
Ini adalah poin linguistik yang sangat krusial. Dalam tata bahasa Arab, preposisi إِلَىٰ (ilaa - kepada) biasanya ditempatkan setelah kata kerja. Namun, di sini, frasa *ilaa Rabbika* (kepada Tuhanmu) diletakkan di awal kalimat (disebut *taqdim al-ma'mul*). Penempatan objek di awal kalimat, mendahului kata kerja, dalam retorika Al-Qur'an memiliki satu tujuan utama: Pembatasan (Al-Hashr) atau Eksklusivitas.
Jika kalimat itu berbunyi "Farghab ilaa Rabbika" (Berharaplah kepada Tuhanmu), maknanya umum. Tetapi karena ia berbunyi "Wa ilaa Rabbika farghab", maknanya menjadi: "Dan hanya kepada Tuhanmu SAJA, bukan yang lain, kamu harus mengarahkan harapanmu." Ini menegaskan kembali prinsip Tauhid (keesaan Tuhan) secara eksplisit dalam bentuk perintah amal.
Kata Rabbik (Tuhanmu) menggunakan kata Rabb (Pemelihara, Pemberi Rezeki, Pengatur), yang menekankan bahwa harapan kita harus diarahkan kepada Sumber segala pemeliharaan, bukan kepada sarana-sarana yang Ia ciptakan.
Kata kerja perintah فَٱرْغَبْ (Farghab) berasal dari akar kata R-Gh-B (رغب), yang maknanya sangat kaya. Kata ini tidak sekadar berarti 'berharap' (seperti *raja'*), tetapi membawa konotasi yang lebih intens dan aktif:
Dengan demikian, Farghab bukan sekadar perintah pasif untuk memiliki harapan, melainkan perintah aktif untuk mengubah seluruh orientasi batin, aspirasi, dan hasrat kita menuju Allah SWT. Ini adalah penyerahan total hati, di mana tujuan tertinggi dalam hidup kita, termasuk saat beristirahat dari kesibukan dunia, adalah keridhaan dan janji-janji ilahi.
Perintah ini melibatkan gerakan hati yang murni, lepas dari ketergantungan pada kekuasaan manusia, kekayaan, atau pujian duniawi. Ini adalah pemurnian niat dan hasrat, sebuah praktik *Ikhlas* yang diwujudkan dalam memproyeksikan segala keinginan hanya ke satu arah—kepada Allah, Sang Rabb.
Ayat Al-Insyirah 8 ini adalah salah satu manifestasi paling jelas dari ajaran Tauhid Al-Uluhiyyah (keesaan dalam ibadah) dan Tauhid Al-Asma wa Ash-Shifat (keesaan dalam nama dan sifat). Jika seseorang hanya boleh mengarahkan hasrat dan keinginannya kepada Allah, maka secara otomatis ia telah mempraktikkan ikhlas (memurnikan ibadah).
Ikhlas adalah keadaan di mana perbuatan seseorang, baik itu ibadah ritual maupun amal sehari-hari, didorong semata-mata oleh keinginan untuk mencari wajah Allah dan keridhaan-Nya. Ayat 8 mengajarkan bahwa raghab (keinginan kuat) adalah inti dari ibadah. Tanpa keinginan yang diarahkan secara murni kepada-Nya, ibadah menjadi kosong atau hanya formalitas.
Seorang hamba yang mempraktikkan *wa ilaa rabbika farghab* akan melakukan salat bukan karena takut neraka semata, bukan karena ingin dipuji, melainkan karena ia benar-benar rindu untuk berdiri di hadapan Pemilik Hajat. Ia bersedekah bukan karena ingin terlihat dermawan, tetapi karena ia sangat berharap pahala dan keberkahan yang hanya berasal dari Allah.
Ayat ini menyajikan sebuah kontras dramatis dengan kehidupan duniawi yang sering kali didominasi oleh *raghab* yang diarahkan kepada sesama makhluk: berharap pengakuan dari atasan, berharap keuntungan materi, berharap pujian dari masyarakat. Ketika hati terbagi-bagi dalam berharap, ketenangan (insyirah) tidak akan pernah tercapai. Ketenangan sejati, yang dijanjikan oleh surah ini, hanya datang ketika hati bersatu dan terfokus pada satu tujuan absolut.
Para ulama tafsir menekankan bahwa ayat ini sekaligus merupakan peringatan keras terhadap perbuatan syirik tersembunyi (*syirik asghar*), yaitu riya' (pamer) atau mencari reputasi. Apabila seseorang telah selesai dari suatu urusan (Ayat 7), dan ia kemudian mengarahkan hasratnya kepada selain Allah (misalnya, berharap sanjungan atas kerja kerasnya), ia telah gagal dalam mengamalkan Ayat 8.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa ibadah yang sempurna harus dibangun di atas tiga pilar: *Mahabbah* (Cinta), *Khauf* (Takut), dan *Raja'* (Harapan). Ayat 8, dengan menggunakan kata *Farghab*, secara tegas menggarisbawahi pentingnya *Raja'* (Harapan) yang murni dan terarah. Harapan ini adalah mesin penggerak spiritual yang mencegah seseorang merasa putus asa atau puas diri setelah mencapai kesuksesan duniawi.
Dalam konteks Tauhid, ayat ini mengajarkan kita bahwa kekayaan, kedudukan, popularitas, atau bahkan kesehatan, adalah sekadar perantara (sebab). Sumber tunggal dari segala manfaat dan pencegah segala bahaya adalah Allah (*Rabbik*). Mengarahkan hasrat kepada sebab-sebab tersebut (tanpa melewati Dzat yang menciptakannya) adalah kelemahan iman. Ayat 8 menuntut lompatan spiritual—mengabaikan perantara, dan langsung menuju Sumbernya.
Ayat 8, meskipun pendek, telah menjadi subjek interpretasi yang kaya di kalangan mufasir (ahli tafsir) selama berabad-abad. Mereka sepakat mengenai makna eksklusivitas, tetapi memperluas penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan dan spiritualitas.
Salah satu tafsir awal dari Mujahid, seorang tabi'in terkemuka, menafsirkan *Farghab* dalam konteks Doa. Beliau menyatakan, "Dan apabila engkau selesai dari shalatmu, maka bersungguh-sungguhlah dalam doa kepada Tuhanmu." Ini menyoroti bahwa puncak dari ibadah formal (shalat) haruslah diakhiri dengan komunikasi batin yang mendalam dan memohon hanya kepada Allah. Dalam pandangan ini, *raghab* adalah manifestasi dari kebutuhan dan permohonan yang ditujukan sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Qatadah memberikan interpretasi yang lebih luas, menghubungkannya dengan seluruh amal saleh. Menurutnya, setelah selesai dari urusan dunia, seseorang harus mengarahkan keinginan besarnya (raghab) kepada Akhirat. Ayat ini menjadi jembatan antara aktivitas dunia (Ayat 7) dan orientasi spiritual (Ayat 8). Setelah berjuang di dunia, hati harus segera ditarik kembali ke medan perjuangan yang abadi—mencari tempat di surga dan keridhaan Allah.
Ibnu Katsir menguatkan pandangan bahwa ayat ini adalah perintah untuk ikhlas dan memurnikan niat. Ia menjelaskan bahwa ketika seseorang menyelesaikan urusannya di dunia atau ibadahnya, hendaknya ia mengalihkan perhatiannya untuk beribadah dan berharap kepada Allah. Ibnu Katsir menegaskan bahwa segala bentuk kerinduan dan permohonan harus diakhiri di hadapan Allah, Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Ini mengikat makna ayat ini secara erat dengan doktrin dasar Tauhid.
Dalam tafsir modern, seperti yang dikemukakan oleh para ulama abad ke-20 dan ke-21, Ayat 8 dilihat sebagai peta jalan untuk Resiliensi Spiritual. Setelah melewati kesulitan dan mendapatkan kelapangan (janji Surah Al-Insyirah), manusia rentan jatuh dalam kesombongan atau bergantung pada diri sendiri. Ayat 8 datang untuk mengoreksi: keberhasilan dan kelapangan itu bukan hasil murni usahamu, melainkan anugerah Allah. Oleh karena itu, jangan pernah jadikan keberhasilanmu sebagai berhala baru. Arahkan segala hasrat, termasuk hasrat untuk mempertahankan keberhasilan tersebut, hanya kepada Allah.
Ketika seseorang mengamalkan *Farghab*, ia tidak pernah merasa puas dengan pencapaian duniawinya. Setiap kali ia mencapai puncak, ia segera mencari puncak yang lebih tinggi: kedekatan dengan Allah. Ini menciptakan siklus ibadah yang tak terputus dan motivasi yang tak terbatas, karena tujuan akhirnya (Allah) adalah entitas yang Mahasempurna, yang keridhaan-Nya tidak pernah dapat dicapai secara tuntas kecuali di Jannah.
Bagaimana ayat ini, yang penuh dengan kedalaman linguistik dan teologis, dapat dihidupkan dalam rutinitas seorang Muslim di era modern? Ayat 8 menuntut transformasi bukan hanya dalam ritual, tetapi juga dalam psikologi dan etos kerja kita.
Ayat 7 memerintahkan kita untuk berjuang (beramal) secara berkelanjutan. Ayat 8 memerintahkan bahwa setelah perjuangan itu (baik dalam pekerjaan, studi, atau ibadah), jangan mencari relaksasi total dalam hal-hal yang sia-sia atau hiburan yang melalaikan. Sebaliknya, gunakan momen transisi itu untuk segera mengarahkan hati kembali kepada Allah.
Dalam salat, *raghab* harus hadir dalam bentuk khusyuk. Khusyuk adalah keinginan dan kerinduan untuk hadir seutuhnya di hadapan Allah. Ketika seseorang bertakbir, ia tidak hanya meninggalkan dunia secara fisik, tetapi ia juga harus meninggalkan segala keinginan duniawi. Seluruh keinginannya saat itu, dari awal hingga salam, adalah untuk menyempurnakan pertemuan spiritual tersebut.
Dalam puasa, *raghab* termanifestasi dalam kesabaran menahan lapar dan dahaga. Bukan semata-mata kepatuhan fisik, tetapi kerinduan yang mendalam akan janji-janji pahala bagi orang yang berpuasa. Keinginan batin ini, yang diarahkan murni kepada Allah, adalah yang membedakan puasa sekadar diet dengan ibadah yang sejati.
Pada dasarnya, kecemasan manusia muncul dari harapan yang diletakkan pada entitas yang fana (duniawi). Ketika kita berharap pada manusia, kita pasti kecewa. Ketika kita berharap pada harta, harta bisa hilang. Ayat 8 adalah resep untuk menghilangkan kecemasan, karena ia mengalihkan harapan kita kepada Dzat yang abadi, Maha Kaya, dan Maha Menepati Janji.
Jika hati kita *Farghab* hanya kepada Allah, maka kehilangan materi, pengkhianatan teman, atau kegagalan karir, tidak akan menghancurkan jiwa kita, karena fokus utama (yaitu keridhaan Allah) tetap utuh dan stabil. Prinsip ini mengubah pandangan kita terhadap dunia: dunia adalah ladang amal (Ayat 7), namun bukan tujuan tempat kita menanamkan harapan batin (Ayat 8).
Tawakkul sering kali disalahpahami sebagai kepasrahan pasif. Padahal, Tawakkul yang benar adalah hasil dari *Farghab* yang murni. Setelah seorang hamba bekerja keras, mengeluarkan segala upaya (sesuai Ayat 7), ia harus mengakhiri pekerjaannya dengan menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah (Ayat 8). Ia berharap keberhasilan hanya datang dari Allah, bukan dari kecerdasan atau kekuatannya semata.
Tawakkul yang didasari *raghab* yang murni adalah fondasi ketenangan. Ia bekerja dengan maksimal seolah-olah semuanya bergantung padanya, tetapi ia berserah diri seolah-olah tidak ada yang bergantung padanya, kecuali Allah. Ini adalah keseimbangan sempurna yang ditawarkan oleh Surah Al-Insyirah: Kerja Keras (Ayat 7) dan Fokus Murni (Ayat 8).
Meskipun sebagian ulama menafsirkan *Farghab* sebagai doa, makna mendalamnya jauh lebih luas. *Raghab* adalah filosofi hidup yang mengarahkan seluruh motivasi internal manusia. Ini adalah tentang mengidentifikasi di mana sumber energi emosional dan spiritual kita diletakkan.
Bagi seorang penuntut ilmu, *raghab* kepada Allah berarti ia belajar dan mendalami pengetahuan bukan untuk gelar, gaji, atau popularitas, tetapi karena ia rindu untuk memahami wahyu Allah dan menggunakan ilmu tersebut untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jika ia berhasil meraih gelar tertinggi, hasratnya tetap sama: berharap ilmu itu menjadi bekal di hari akhir.
Bagi seorang da'i atau aktivis sosial, *raghab* kepada Allah berarti ia bekerja untuk masyarakat, menanggung kesulitan dan celaan, tanpa mengharapkan terima kasih dari manusia. Ia bekerja dalam sunyi, karena kerinduannya hanya ditujukan pada pengakuan dari Sang Pencipta. Keinginan tulus ini menjaga hati da'i dari kelelahan spiritual dan sindrom *burnout*, karena sumber energinya tidak pernah kering: yaitu keridhaan Ilahi.
Ketika seseorang ditimpa musibah yang luar biasa—sakit parah, kehilangan orang tercinta, atau kemiskinan—reaksi naluriah adalah mencari sandaran cepat. Ayat 8 mengajarkan bahwa di tengah puncak penderitaan, hasrat terbesar kita harus tetap pada Allah. Kita harus *Farghab* kepada-Nya dengan meyakini bahwa ujian ini adalah cara untuk membersihkan dosa dan bahwa pahala yang disediakan Allah atas kesabaran jauh lebih besar daripada rasa sakit duniawi.
Ini adalah perbedaan mendasar antara harapan yang bersifat manusiawi (yang seringkali putus asa) dan *raghab* yang bersifat ilahi. Harapan kepada Allah tidak pernah mengenal kata selesai atau putus asa, karena Allah tidak pernah berhenti memelihara dan memberi rezeki. Keadaan ini menciptakan ketenangan hati yang fundamental, karena ia menyadari bahwa penderitaan fisik akan berakhir, tetapi pahala dari *raghab* yang diarahkan kepada-Nya adalah kekal.
Dalam terminologi spiritual, *Farghab* menciptakan semacam "ketidakpuasan yang terpuji" terhadap dunia. Seseorang yang mengamalkan ayat ini tidak pernah merasa cukup dengan amal baiknya. Ia tidak pernah puas dengan jumlah sedekah yang ia berikan, dengan kualitas salatnya, atau dengan tingkat ketakwaannya, karena ia tahu bahwa objek kerinduannya (kesempurnaan ibadah dan keridhaan Allah) adalah tujuan yang tak terbatas.
Kondisi *raghab* yang murni ini mencegah stagnasi spiritual. Ia terus-menerus mendorong hamba untuk mencari lebih banyak kebaikan, karena ia telah memutuskan bahwa harapan dan kerinduan terbesarnya harus ditanamkan pada investasi akhirat, yang janji keuntungannya adalah pasti.
Tantangan terbesar dalam mengamalkan *Wa ilaa Rabbika farghab* adalah godaan untuk mendistorsi *raghab* itu sendiri. Manusia secara naluriah memiliki *raghab* (keinginan). Syaitan dan dunia bekerja untuk mengalihkan arah *raghab* tersebut dari Allah kepada objek-objek fana. Untuk mempertahankan fokus yang diperintahkan dalam Ayat 8, diperlukan perjuangan batin yang konstan.
Dunia seringkali tampil sebagai kompetitor utama bagi Allah dalam memperebutkan hati. Ketika seseorang mencari pengakuan sosial, ia sedang mengarahkan *raghab*-nya kepada masyarakat. Ketika ia mengejar harta dengan keserakahan, ia sedang mengarahkan *raghab*-nya kepada kekayaan. Al-Qur'an dan Sunnah secara konsisten memperingatkan bahwa *raghab* yang diarahkan kepada dunia secara berlebihan akan menghasilkan kerugian abadi dan kekecewaan di dunia.
Ayat 8 adalah perintah untuk membalikkan piramida nilai. Benda, kekuasaan, dan popularitas harus turun ke dasar piramida, sedangkan keridhaan Allah harus menduduki puncak. Praktik ini memerlukan muhasabah (introspeksi) harian: "Kepada siapakah saya berharap hari ini?" "Untuk tujuan apakah saya bekerja keras pagi ini?" Jika jawaban dari pertanyaan tersebut melibatkan makhluk secara dominan, maka *raghab* kita perlu dikoreksi dan dikembalikan ke orbit *Rabbik*.
Sarana utama untuk menjaga *raghab* tetap terfokus adalah *Zikrullah*. Zikir, dalam segala bentuknya (bacaan Al-Qur'an, tasbih, tahmid, tahlil), berfungsi sebagai jangkar spiritual yang mengikat hati kepada Allah. Ketika seseorang terus-menerus mengingat sifat-sifat kebesaran Allah—kekuatan-Nya, kekayaan-Nya, dan kemurahan-Nya—maka secara otomatis, hasrat dan keinginannya akan diarahkan kepada Dzat yang memiliki segalanya.
Zikir adalah pengulangan perintah *Farghab* di dalam hati. Ia mengingatkan kita bahwa segala kelapangan (insyirah) yang kita alami berasal dari-Nya, dan hanya kepada-Nyalah kita harus mengarahkan keinginan untuk mendapatkan lebih banyak anugerah. Tanpa zikir yang kuat, hati akan mudah terseret oleh *raghab* yang diarahkan kepada kilauan palsu duniawi.
Surah Al-Insyirah diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ yang pada saat itu sudah menjadi teladan tertinggi dalam *raghab* kepada Allah. Beliau adalah pribadi yang paling bekerja keras (Ayat 7), namun juga yang paling zuhud dan paling sedikit ketergantungan hatinya kepada dunia (Ayat 8). Walaupun beliau adalah pemimpin negara dan panglima perang, beliau tidur di atas tikar kasar dan segala hasratnya tertuju pada akhirat. Kehidupannya menjadi bukti nyata bahwa seseorang dapat menggabungkan etos kerja yang kuat di dunia dengan fokus spiritual yang mutlak kepada Allah.
Oleh karena itu, mengamalkan *Wa ilaa Rabbika farghab* berarti meniru Rasulullah ﷺ dalam menyeimbangkan antara aktivitas fisik yang produktif dan ketenangan batin yang bersumber dari ketergantungan total kepada Sang Pencipta.
Sura Al-Insyirah seringkali dipelajari bersama Sura Adh-Dhuha, karena keduanya diturunkan untuk memberikan jaminan dan dukungan kepada Rasulullah ﷺ di masa sulit. Adh-Dhuha berakhir dengan perintah tentang amal sosial (*fa'ammā al-yatīma falā taqhar, wa ammā as-sā'ila falā tanhar*), namun Al-Insyirah berakhir dengan perintah tentang orientasi hati (*wa ilaa rabbika farghab*). Ini menunjukkan bahwa setelah beramal di dunia (kepada yatim dan peminta-minta), niat dan harapan harus segera disempurnakan dengan diarahkan kepada Allah. Keduanya saling melengkapi: amal lahiriah dan kemurnian batin.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, mengapa Al-Qur'an menuntut eksklusivitas total dalam harapan (*ilaa Rabbika*)? Mengapa tidak boleh berharap kepada Allah DAN kepada perantara yang kuat? Jawabannya terletak pada sifat hati manusia dan sifat Allah SWT.
Hati manusia adalah wadah. Ketika wadah itu diisi oleh berbagai macam harapan, ia menjadi terbagi, bingung, dan lemah. Hati yang terbagi akan mengalami konflik kepentingan (riya', syirik kecil) dan rentan terhadap kekecewaan besar. Ketenangan sejati (*insyirah*) hanya mungkin tercapai ketika hati memiliki satu kiblat harapan, yaitu Allah, yang Mahamampu memenuhi segala hajat.
Para sufi sering menyebut kondisi ini sebagai *tauhid al-maqasid* (mengesakan tujuan). Tujuan hidup, aspirasi, dan kerinduan harus tunggal. Ketika hati telah mencapai keadaan ini, ia tidak lagi dicampakkan oleh gejolak dunia, karena ia telah menemukan pelabuhan yang stabil dan kekal. Inilah sebabnya mengapa penempatan *Ilaa Rabbika* di awal ayat sangat penting—ia adalah penegasan eksklusivitas.
Satu-satunya entitas yang layak menerima *raghab* total kita adalah Allah, karena hanya Dia yang memiliki sifat-sifat yang memastikan *raghab* kita tidak akan sia-sia:
Dengan demikian, perintah *Wa ilaa Rabbika farghab* bukanlah sekadar dogma agama, melainkan sebuah resep spiritual untuk kesehatan mental dan emosional yang optimal. Ia mengajarkan kita untuk menginvestasikan energi harapan kita pada saham yang tidak akan pernah merugi.
Keagungan dari perintah ini terletak pada kesederhanaannya yang mendasar. Setelah semua perjuangan, semua kesulitan yang telah kita atasi, semua tugas yang telah kita selesaikan, pesan terakhir adalah kembalilah kepada Dzat yang merupakan Sumber dari segala kemudahan itu. Jangan biarkan hati berpaling. Jangan biarkan ambisi menjadi berhala. Arahkan seluruh hasratmu, sepenuh hatimu, hanya kepada Rabbmu.
Hubungan antara *raghab* (berharap) dan *syukr* (bersyukur) juga sangat erat. Ketika seseorang mengarahkan harapan hanya kepada Allah, ia menyadari bahwa setiap nikmat, sekecil apapun, adalah karunia langsung dari-Nya. Penyadaran ini mendorong rasa syukur yang mendalam. Syukur sejati adalah hasil dari *raghab* yang murni; kita bersyukur atas yang telah diberikan, dan kita berharap (*raghab*) untuk mendapatkan yang lebih baik di sisi-Nya, yang akan memicu kita untuk beramal lebih keras lagi.
Seorang yang *Farghab* tidak akan pernah berhenti beramal, karena ia terus berharap. Dan ia tidak pernah lupa bersyukur, karena ia menyadari bahwa Allah yang ia harapkan adalah Allah yang sama yang telah memberinya segala yang ia miliki saat ini. Ini menciptakan dinamika spiritual yang sehat, di mana kerja keras di dunia (Ayat 7) menjadi manifestasi nyata dari harapan murni di akhirat (Ayat 8).
Dalam setiap langkah, setiap nafas, setiap pencapaian, dan setiap kegagalan, Ayat 8 menjadi kompas yang selalu mengarahkan hati kembali ke arah yang benar. Ia adalah penutup yang sempurna bagi surah yang menjanjikan ketenangan, menegaskan bahwa ketenangan hakiki bukan ditemukan dalam selesainya kesulitan, melainkan dalam penyerahan total hasrat kepada Rabbul Alamin.
Kehidupan ini adalah serangkaian urusan yang tak pernah usai. Setiap kali kita menyelesaikan satu fase kesulitan, Allah menjanjikan kemudahan, diikuti oleh tantangan baru, tugas baru. Ayat 7 memerintahkan kita untuk segera bangkit menyambut tugas baru itu. Namun, Ayat 8 mengingatkan bahwa motivasi untuk bangkit dan berjuang tidak boleh datang dari ambisi duniawi yang fana, melainkan harus sepenuhnya bersumber dari kerinduan abadi kepada Allah SWT.
Inilah yang menjadi inti dari pesan Al-Insyirah: kelapangan dada yang sejati bukan hanya berarti berakhirnya kesulitan, tetapi terbukanya jalan hati menuju satu-satunya tujuan yang layak dikejar. Dengan mengamalkan *Wa ilaa Rabbika farghab*, seorang hamba memastikan bahwa seluruh orientasi hidupnya tidak akan pernah sia-sia, karena ia telah menyandarkan harapannya pada Dzat Yang Maha Kekal dan Maha Menguasai.
Pengulangan dan penekanan terhadap pentingnya mengarahkan segala keinginan ini tidak pernah berlebihan. Dalam setiap detik kehidupan, manusia dihadapkan pada ribuan pilihan kemana ia akan menyandarkan harapannya. Setiap pilihan selain Allah adalah investasi berisiko tinggi. Ayat ini menjamin bahwa investasi hasrat kita hanya akan menghasilkan dividen abadi jika diarahkan kepada Yang Maha Memiliki. Ini adalah inti dari iman, inti dari amal, dan inti dari ketenangan jiwa. Hanya kepada-Nyalah, dan tidak kepada yang lain, seluruh jiwa dan raga ini harus kembali dan berharap.