AL-KAHFI 24: PILLAR ETIKA PERENCANAAN

Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua," merupakan salah satu surah Makkiyah yang kaya akan pelajaran mendalam mengenai berbagai bentuk ujian kehidupan. Di antara kisah-kisah agung—Kisah Ashabul Kahfi, Kisah Nabi Musa dan Khidr, serta Kisah Dzulqarnain—tersembunyi sebuah instruksi etika fundamental yang menjadi kunci utama bagi seorang Muslim dalam menyikapi masa depan dan takdir. Instruksi ini terkandung dalam ayat yang tampak sederhana namun memiliki bobot tauhid yang luar biasa: Ayat ke-24.

Ayat ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kekuatan tertinggi bukan berada di tangan manusia, melainkan sepenuhnya di bawah kendali Ilahi. Setiap rencana, setiap janji, dan setiap proyeksi masa depan harus dilekatkan pada kehendak Allah SWT, melalui frasa sakral "In Shaa Allah" (Jika Allah menghendaki). Etika ini bukan sekadar formalitas lisan, melainkan manifestasi nyata dari Tawhid Rububiyah, pengakuan bahwa hanya Allah yang mengelola alam semesta dan segala isinya.

I. Teks dan Konteks Historis Al-Kahfi 24

Untuk memahami kedalaman ayat 24, kita harus mengembalikannya pada konteks pewahyuannya (*Asbabun Nuzul*). Kisah ini terkait erat dengan tantangan yang diajukan oleh kaum Quraisy di Mekkah kepada Rasulullah SAW, setelah mereka mendapatkan saran dari para pendeta Yahudi di Madinah. Mereka mengajukan tiga pertanyaan kompleks yang dianggap mustahil dijawab oleh seorang nabi yang tidak memiliki pengetahuan kitab terdahulu: tentang pemuda penghuni gua (Ashabul Kahfi), tentang seorang pengembara agung (Dzulqarnain), dan tentang hakikat ruh (jiwa).

Ayat 24: Inti Larangan dan Pengecualian

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَا۟ىْءٍ إِنِّى فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَٱذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰٓ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّى لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا

Terjemahan: "Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan melakukannya besok,' kecuali (dengan mengucapkan), 'Insya Allah.' Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenarannya.'"

Asbabun Nuzul: Pelajaran dari Keterlambatan Wahyu

Ketika pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, Rasulullah SAW, dengan keyakinan diri, menjawab bahwa beliau akan memberikan jawabannya besok, tanpa menambahkan pengecualian ilahi: "In Shaa Allah." Menurut riwayat, Allah SWT kemudian menahan wahyu selama beberapa hari—ada yang menyebut tiga hari, tujuh hari, bahkan hingga lima belas hari. Penangguhan ini menimbulkan kegelisahan di kalangan Muslim dan cemoohan dari kaum Quraisy, yang mengklaim bahwa Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.

Penangguhan wahyu ini adalah pendidikan ilahi yang keras namun penting. Tujuannya bukan untuk menghukum, melainkan untuk menegakkan prinsip tauhid yang paling murni: bahkan seorang Nabi pun tidak memiliki kepastian mutlak atas apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan dalam rentang waktu sesingkat besok. Tindakan manusia, bahkan niat yang paling mulia, harus selalu bergantung pada izin dan kehendak Allah. Keterlambatan ini mengukuhkan bahwa Allah adalah Al-Qadir (Maha Mampu) dan bahwa waktu serta kejadian berada di luar kendali total manusia.

Pelajaran ini begitu mendalam sehingga membentuk pondasi etika berkomunikasi dan merencanakan dalam Islam. Larangan dalam ayat ini menggunakan "Nun Tawkid Tsāqilah" (nun penegasan yang berat) pada kata "laa taqulanna", menunjukkan larangan yang tegas dan absolut. Ini bukan sekadar anjuran, melainkan perintah yang mengikat.

Ilustrasi Roda Waktu dan Keterbatasan Manusia Rencana Vs. Kehendak Ilahi

Alt Text: Roda waktu yang menunjukkan perencanaan manusia (tangan jam) selalu dikelilingi oleh ketidakterbatasan takdir Ilahi.

II. Analisis Linguistik dan Teologi Istithna (Pengecualian)

Kata kunci dalam ayat ini adalah Istithna (pengecualian), yang diwujudkan dalam frasa "Illa an yashaa Allah" (kecuali jika Allah menghendaki). Istithna bukan hanya untuk menghindari ketergelinciran dalam kesombongan, tetapi juga untuk menyempurnakan keimanan seseorang terhadap konsep Qada' (ketetapan) dan Qadar (ukuran/takdir).

Tafsir Mendalam pada Setiap Kata Kunci

Frasa "Wa laa taqulanna lishay-in" (Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu) mencakup segala bentuk rencana, baik yang besar maupun yang kecil, yang direncanakan untuk masa depan. Ini menegaskan universalitas larangan tersebut. Perencanaan itu sendiri tidak dilarang; yang dilarang adalah meyakini bahwa rencana tersebut akan terlaksana semata-mata karena kemampuan atau kehendak diri sendiri.

Kata "Ghadaa" secara harfiah berarti "besok." Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini merujuk pada segala sesuatu yang akan dilakukan di masa depan, baik esok hari, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Ia menjadi simbol waktu yang belum terjadi dan berada di luar jangkauan kekuasaan manusia saat ini. Kehidupan masa depan adalah domain eksklusif Allah, dan mengklaim kepastian atasnya tanpa Istithna adalah bentuk kecil dari menyekutukan Allah dalam kekuasaan-Nya atas waktu.

Pengecualian, "Illa an yashaa Allah," adalah penyerahan total. Ini merupakan pengakuan bahwa meskipun manusia telah berikhtiar dan membuat rencana terbaik (yang merupakan perintah syariat), keberhasilan dan pelaksanaannya tetap tergantung pada Mashii'ah (Kehendak) Allah. Ini adalah titik temu sempurna antara usaha manusia (*kasb*) dan takdir Ilahi (*qadar*).

Menghubungkan Istithna dengan Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah adalah pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pengatur alam semesta. Ayat 24 adalah penegasan Rububiyah. Ketika seseorang lupa mengucapkan In Shaa Allah, secara tidak langsung ia menempatkan dirinya sebagai penguasa absolut atas masa depannya. Tindakan ini merusak kesempurnaan tauhid karena menyiratkan keyakinan bahwa kekuatan eksekusi berasal dari dirinya sendiri, bukan dari izin Allah.

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini mengingatkan manusia akan keterbatasan akal dan kekuatan mereka. Betapapun canggihnya perencanaan, variabel tak terduga yang berada di bawah kendali Allah (sakit, kematian, bencana, perubahan hati) selalu dapat mengubah segalanya. Oleh karena itu, Istithna adalah jembatan yang menghubungkan niat tulus manusia dengan realitas kekuasaan Allah yang tak terbatas.

Para ulama juga membedakan antara Mashii'ah (Kehendak Kosmis/Universal) dan Iradah Syar'iyyah (Kehendak Legislatif/Syariat). Ketika kita mengucapkan In Shaa Allah, kita merujuk pada Mashii'ah, yakni kehendak Allah yang pasti akan terjadi, terlepas dari apakah hal itu disukai oleh syariat-Nya atau tidak. Dalam konteks ayat 24, kita memohon agar rencana kita sejalan dengan kehendak kosmis-Nya yang mengatur segala sesuatu.

III. Aplikasi Praktis Istithna dalam Kehidupan Sehari-hari

Kewajiban mengucapkan In Shaa Allah tidak hanya berlaku dalam konteks perencanaan jangka panjang, tetapi juga dalam etika berjanji, bersumpah, dan bahkan dalam konteks meluruskan kembali tauhid saat terjadi kelalaian.

Etika Perencanaan dan Janji

Dalam interaksi sosial, ketika seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu di masa depan, menambahkan In Shaa Allah membebaskan dirinya dari beban moral dan spiritual jika ia gagal menepati janji karena alasan di luar kendalinya. Ini bukan izin untuk ingkar janji, melainkan pengakuan bahwa kemampuan menepati janji itu sendiri merupakan karunia dari Allah.

Para ahli fiqih sepakat bahwa In Shaa Allah harus diucapkan segera setelah niat atau janji diungkapkan. Dalam bagian kedua ayat 24, Allah memberikan jalan keluar bagi kelalaian yang mungkin terjadi: "Wa adzkur Rabbaka idzaa nasiita" (Dan ingatlah Tuhanmu jika engkau lupa).

Pentingnya Mengingat Kembali Saat Lupa

Jika seseorang terlanjur membuat janji atau rencana tanpa mengucapkan In Shaa Allah, ia diperintahkan untuk segera mengucapkannya saat ia teringat, bahkan jika sudah terjadi selang waktu yang lama. Inilah yang dilakukan Rasulullah SAW ketika wahyu datang setelah penangguhan, di mana beliau kemudian disuruh untuk menyusulkan Istithna dan memohon petunjuk. Ayat ini mengajarkan bahwa pintu taubat dan koreksi tauhid selalu terbuka.

Mengapa penting untuk segera mengingat dan mengucapkan Istithna ketika lupa? Karena kelupaan tersebut, jika tidak dikoreksi, dapat mengendapkan bibit-bibit kesombongan tersembunyi (*riya'* atau *ujub*) di dalam hati, seolah-olah kekuatan perencanaan manusia adalah kekuatan final. Dengan menyusulkan In Shaa Allah, hati segera dibersihkan dari potensi kesyirikan kecil tersebut.

Istithna dalam Konteks Sumpah (Yamin)

Dalam jurisprudensi Islam (*fiqh*), penggunaan In Shaa Allah memiliki dampak yang signifikan terhadap validitas sumpah. Jika seseorang bersumpah atas sesuatu di masa depan, dan ia menyambungnya dengan In Shaa Allah, maka ia tidak wajib membayar kafarat (denda) jika ia melanggar sumpah tersebut. Hal ini karena ia telah mengembalikan urusan kepada Allah sejak awal, sehingga sumpah tersebut secara efektif tidak bersifat mengikat secara mutlak dari sudut pandang syariat.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa Istithna ini harus diucapkan segera atau dalam rangkaian kalimat yang sama dengan sumpah. Jika diucapkan setelah jeda yang panjang, efeknya dalam hukum sumpah bisa hilang, meskipun nilai spiritual dan tauhidnya tetap ada.

Konsep ini menegaskan betapa sentralnya Istithna dalam membatasi klaim manusia atas hal-hal yang berada di luar kekuasaannya. Ia mengajarkan kerendahan hati yang melekat dalam setiap interaksi dan niat, mengubah perencanaan dari tindakan yang berorientasi pada ego menjadi ibadah yang berorientasi pada penyerahan diri.

IV. Keterkaitan Al-Kahfi 24 dengan Tema Sentral Surah

Surah Al-Kahfi sering disebut sebagai perlindungan dari empat fitnah (ujian) utama kehidupan: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu/kekuatan (Musa dan Khidr), dan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain). Ayat 24—etika perencanaan—secara halus mengikat keempat fitnah ini menjadi satu pelajaran utama: Tidak ada yang abadi atau pasti kecuali Kehendak Allah.

1. Menghadapi Fitnah Ilmu dan Kekuatan (Musa dan Khidr)

Kisah Nabi Musa dan Khidr mengajarkan bahwa bahkan seorang Rasul yang memiliki ilmu syariat pun tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang dimensi esoterik dan takdir. Khidr melakukan tiga tindakan yang tampak tidak adil atau salah di mata Musa, namun ternyata memiliki hikmah ilahi yang lebih besar. Ini adalah pelajaran sempurna tentang keterbatasan wawasan manusia.

Ayat 24 melengkapi pelajaran ini. Jika Musa yang merupakan nabi Allah diperlihatkan bahwa ada pengetahuan yang ia tidak miliki, maka manusia biasa harus lebih lagi menyadari bahwa rencana mereka mungkin bertentangan dengan desain ilahi yang lebih luas dan lebih baik. Ketika kita mengucapkan In Shaa Allah, kita menerima potensi bahwa apa yang kita rencanakan mungkin bukan yang terbaik dalam pandangan Allah, dan kita siap untuk takdir yang berbeda.

2. Menghadapi Fitnah Kekuasaan (Dzulqarnain)

Dzulqarnain adalah seorang penguasa agung yang diberikan kekuasaan dan sarana oleh Allah untuk menguasai timur dan barat. Meskipun ia memiliki kekuatan militer, logistik, dan kecerdasan luar biasa, setiap kali ia mencapai sebuah pencapaian—seperti saat ia berhasil membangun benteng untuk Ya'juj dan Ma'juj—ia selalu mengembalikan pujian dan kekuatan kepada Allah.

Ayat 24 adalah cetak biru mental Dzulqarnain. Ketika ia selesai membangun, ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." Ia tidak mengklaim kesuksesan itu sebagai miliknya. Inilah manifestasi dari Istithna dalam tindakan; pengakuan bahwa kekuasaan manusia, meskipun besar, hanyalah pinjaman dan pelaksanaan dari kehendak Allah.

Kegagalan untuk mengucapkan In Shaa Allah, seperti yang ditunjukkan dalam Asbabun Nuzul, adalah bentuk kecil dari mengklaim kekuasaan mutlak, yang merupakan kebalikan dari sikap Dzulqarnain yang tunduk dan berserah diri.

Ilustrasi Kitab dan Penyerahan Diri (Tawakkul)

Alt Text: Ilustrasi kitab terbuka (takdir) dengan dua tangan yang menengadah memohon petunjuk dan penyerahan diri (Tawakkul).

V. Kekayaan Tafsir Klasik Terhadap Hukum Istithna

Para ulama tafsir sepanjang sejarah telah membahas ayat 24 ini dengan detail yang luar biasa, tidak hanya dari sudut pandang teologis tetapi juga hukum, menunjukkan urgensi kalimat ini dalam keimanan seorang Muslim. Analisis mereka memperkuat bahwa In Shaa Allah adalah filter wajib antara niat dan pelaksanaan.

Pandangan Imam At-Tabari

Imam Muhammad bin Jarir At-Tabari, dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, mengaitkan ayat ini secara langsung dengan masalah Nabi SAW dan penangguhan wahyu. Beliau menjelaskan bahwa perintah ini adalah teguran lembut kepada Nabi, sekaligus menjadi hukum universal bagi seluruh umat. At-Tabari berpendapat bahwa larangan tersebut adalah untuk menghindari penyandaran kepastian tindakan masa depan pada kehendak diri sendiri, yang merupakan ciri khas orang-orang yang tidak beriman. Seorang Mukmin harus selalu menyadari bahwa dirinya tunduk pada kuasa Allah, bahkan dalam tindakan yang paling remeh sekalipun.

Lebih jauh, At-Tabari membahas bagian ayat "Dan ingatlah Tuhanmu jika engkau lupa." Beliau menafsirkan bahwa jika seseorang lupa mengucapkan In Shaa Allah, dan kemudian teringat setelah berjalan beberapa langkah atau setelah beberapa waktu, maka ia harus segera mengucapkannya. Ini adalah bentuk istiqamah (keteguhan) dalam tauhid dan upaya koreksi diri yang diperintahkan langsung oleh Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa nilai spiritual Istithna tidak mudah hilang hanya karena kelalaian sesaat.

Pandangan Imam Ibnu Katsir

Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa Istithna adalah bagian dari kesempurnaan Tawakkul (penyerahan diri). Dalam tafsirnya, beliau mengutip hadis-hadis yang berkaitan dengan penangguhan wahyu dan dampak buruk dari tidak mengucapkannya. Ibnu Katsir menekankan bahwa Istithna adalah pengakuan terhadap Qadar Allah. Tanpa pengakuan ini, niat manusia, meskipun baik, bisa mengandung unsur kesombongan tersembunyi. Dengan Istithna, seseorang membebaskan dirinya dari beban hasil, karena hasil akhir berada di tangan Allah.

Beliau juga menyoroti aspek kesopanan (*adab*) kepada Allah. Dalam konteks budaya Arab saat itu, membuat janji tanpa pengecualian dianggap sebagai kepastian yang mutlak. Qur'an datang untuk mengoreksi etika berbicara ini, mengubah janji menjadi harapan yang disertai penyerahan kepada Kehendak Yang Lebih Tinggi.

Diskusi Mengenai Pilihan Manusia (Ikhtiyar)

Ayat 24 menjadi penting dalam perdebatan teologis tentang kehendak bebas manusia (*Ikhtiyar*) dan takdir Ilahi (*Qadar*). Ayat ini secara efektif menengahi dua ekstrem: Jabariyah (fatalis yang meniadakan pilihan manusia) dan Qadariyah (yang mengklaim bahwa manusia menciptakan tindakannya sepenuhnya terlepas dari Allah).

Dengan Istithna, seorang Muslim mengakui bahwa ia memiliki kemampuan untuk berniat dan merencanakan (ikhtiyar), yang mana ia akan dimintai pertanggungjawaban atas niat tersebut. Namun, pelaksanaan dan hasil dari niat itu sepenuhnya bergantung pada izin Allah. Tindakan manusia adalah usaha, tetapi keberhasilan adalah anugerah. Ini menciptakan keseimbangan teologis yang sehat: berikhtiar seolah-olah semuanya bergantung pada usaha kita, tetapi bertawakkal seolah-olah hasilnya hanya ada di tangan Allah.

VI. Perluasan Makna "Mudah-mudahan Tuhanku Memberi Petunjuk"

Ayat 24 diakhiri dengan frasa yang sering terabaikan tetapi sangat penting:

"Wa qul ‘asaa an yahdiyani Rabbii li-aqraba min haadzaa rashadaa" (dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenarannya/kebaikan').

Bagian penutup ini adalah doa yang diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW dan umatnya, yang harus diucapkan setelah mengalami kelalaian atau ketika mencari jawaban atas pertanyaan yang sulit (seperti yang dialami Nabi ketika ditanya Quraisy).

Implikasi Doa Petunjuk

1. **Permintaan Koreksi:** Frasa ini adalah permohonan agar Allah mengoreksi arah kita jika ternyata rencana atau pandangan kita saat ini tidaklah yang paling benar (*rashadaa*). Ini adalah ekspresi kerendahan hati yang ekstrim; pengakuan bahwa meskipun telah berusaha keras, kita mungkin masih salah, dan hanya Allah yang dapat memberikan petunjuk paling tepat.

2. **Optimisme dan Harapan:** Kata ‘asaa (mudah-mudahan/semoga) dalam konteks Al-Qur'an ketika dinisbatkan kepada Allah seringkali mengandung kepastian akan pengabulan. Ini mengisi hati orang yang melakukan Istithna dengan harapan. Setelah mengakui keterbatasan diri melalui In Shaa Allah, seorang hamba diberi janji bahwa Allah akan membimbingnya ke jalur yang lebih baik.

3. **Mengatasi Keterlambatan:** Dalam konteks Asbabun Nuzul, ketika wahyu ditahan, doa ini menjadi penghiburan. Nabi SAW tidak hanya disuruh mengakui kehendak Allah, tetapi juga diberi harapan bahwa Allah akan segera memberikan jawaban yang lebih jelas, lebih bijak, dan lebih membimbing daripada yang diharapkan semula. Ini mengajarkan bahwa penundaan ilahi seringkali mengandung kebaikan yang lebih besar.

Doa ini mengubah kelalaian (lupa mengucapkan In Shaa Allah) menjadi peluang untuk peningkatan spiritual. Kelupaan tersebut membawa kepada koreksi tauhid (mengucapkan Istithna saat teringat) dan kemudian membawa kepada peningkatan kualitas iman (memohon petunjuk yang lebih baik). Ini adalah siklus pembelajaran spiritual yang diabadikan dalam ayat 24.

VII. Istithna sebagai Benteng dari Ujub dan Kesombongan

Salah satu penyakit hati yang paling berbahaya adalah ujub (kekaguman diri) dan kibr (kesombongan). Kedua penyakit ini seringkali berakar pada keyakinan bahwa kesuksesan, perencanaan, atau kemampuan yang dimiliki seseorang adalah murni hasil dari upaya dan kecerdasannya sendiri, tanpa campur tangan Ilahi.

In Shaa Allah bekerja sebagai vaksin spiritual terhadap penyakit-penyakit ini. Setiap kali seorang Muslim merencanakan atau berjanji, dengan sengaja ia mematahkan potensi ujub dengan mengakui bahwa segala daya dan upaya berasal dari Allah (La hawla wa la quwwata illa billah).

Konteks Sosial dan Psikologis

Dalam masyarakat modern yang sangat mengagungkan perencanaan, produktivitas, dan kendali diri, ayat 24 berfungsi sebagai rem spiritual. Ada kecenderungan untuk percaya bahwa dengan data yang cukup, algoritma yang tepat, dan kerja keras yang optimal, hasil dapat dijamin 100%. Islam mengoreksi pandangan ini.

Perencanaan yang didasarkan pada In Shaa Allah adalah perencanaan yang sehat secara mental dan spiritual. Jika rencana berhasil, Muslim tahu untuk bersyukur kepada Allah dan menghindari kesombongan. Jika rencana gagal, ia tidak akan jatuh ke dalam keputusasaan yang mendalam karena ia telah menyerahkan hasilnya kepada Allah sejak awal, memahami bahwa mungkin ada kebaikan di balik kegagalan itu yang luput dari pandangannya.

Inilah inti dari Tawakkul: berikhtiar maksimal sambil melepaskan kendali atas hasil. Istithna adalah praktik lisan dan mental harian dari tawakkul ini. Hal ini membedakan seorang Muslim dari mereka yang mengandalkan sepenuhnya pada kekuatan materi dan statistik, menempatkan keyakinan pada Zat Yang Maha Mengatur segala variabel yang tak terhitung jumlahnya.

VIII. Mendalami Makna Kebahasaan Istithna: Kekuatan Gramatikal

Untuk memahami mengapa Istithna memiliki kekuatan yang begitu besar, kita harus melihat strukturnya dalam bahasa Arab.

Kata Kerja “Yashaa” (Menghendaki)

Kata Yashaa berasal dari akar kata shiin-yaa-hamzah (ش-ي-أ), yang secara harfiah berarti 'menghendaki' atau 'menginginkan sesuatu menjadi ada.' Dalam konteks ayat ini, penggunaan bentuk kata kerja ini merujuk pada kehendak aktual Allah yang mewujudkan sesuatu. Ini berbeda dengan Iradah (keinginan atau niat) yang mungkin memiliki makna lebih luas.

Ketika kita berkata "In shaa Allah," kita tidak hanya berharap; kita secara tegas mengakui bahwa tindakan yang kita rencanakan untuk masa depan (*fa'ilun dhaalika ghadaa*) hanya akan terjadi jika Allah menghendaki keberadaannya secara aktual. Ini adalah pengakuan akan kedaulatan penuh Allah (Sovereignty).

Kekuatan ‘Nun Tawkid’ pada Larangan

Seperti yang telah disebutkan, kata “laa taqulanna” menggunakan *nun tawkid* (nun penegasan yang berat). Ini adalah bentuk gramatikal yang paling kuat dalam bahasa Arab untuk menyampaikan larangan atau perintah. Ini menunjukkan bahwa Allah sangat menekankan agar umat Islam tidak pernah melupakan prinsip tauhid ini ketika berbicara tentang masa depan.

Jika Allah hanya ingin memberikan saran, mungkin akan digunakan bentuk larangan yang lebih ringan (laa taqul). Namun, penggunaan laa taqulanna menunjukkan bahwa melupakan Istithna adalah kesalahan yang serius dalam pandangan Allah, yang menuntut koreksi segera. Ini meningkatkan status Istithna dari sekadar etiket menjadi pondasi aqidah.

IX. Istithna dan Konsep Amal Shalih

Amal shalih tidak hanya tentang kuantitas atau kualitas tindakan itu sendiri, tetapi juga tentang cara tindakan tersebut dikaitkan dengan Allah. Seorang Muslim yang merencanakan suatu kebaikan (amal shalih) harus menyertai niatnya dengan Istithna. Ini memastikan bahwa amal shalih tersebut bebas dari riya’ (pamer) dan ujub (kekaguman diri), menjadikannya lebih murni dan lebih besar pahalanya di sisi Allah.

Bayangkan seorang yang berniat bersedekah besar esok hari. Jika ia berkata, "Aku pasti akan sedekah besok," ia mengambil risiko merusak niatnya jika terjadi sesuatu yang menghalanginya. Namun, jika ia berkata, "Aku akan sedekah besok, In Shaa Allah," ia telah mengamankan niatnya secara spiritual. Jika ia berhasil, itu karena izin Allah. Jika ia gagal (misalnya karena sakit atau musibah), ia tetap mendapatkan pahala niatnya karena ia telah menyandarkan pelaksanaannya pada kehendak Allah.

Dengan demikian, Istithna adalah pelengkap yang krusial bagi amal shalih, memastikan bahwa seluruh proses, dari niat hingga pelaksanaan, adalah ibadah yang tulus dan murni. Ini adalah praktik Ikhlas (ketulusan) yang diwujudkan dalam bahasa.

X. Istithna dalam Pemeliharaan Hubungan Interpersonal

Selain dampaknya pada hubungan hamba dengan Tuhannya, Istithna juga memainkan peran penting dalam memelihara hubungan antar manusia.

Menjaga Kepercayaan dan Ekspektasi

Ketika kita membuat janji dalam urusan bisnis atau pribadi, menambahkan In Shaa Allah secara jujur dan tulus menunjukkan bahwa kita telah melakukan yang terbaik dari sisi kita, namun kita juga menyadari adanya faktor-faktor tak terduga yang berada di luar kendali kita. Ini membantu dalam mengelola ekspektasi pihak lain dan mengurangi konflik yang mungkin timbul akibat kegagalan yang tidak disengaja.

Tentu saja, penggunaan In Shaa Allah tidak boleh dijadikan dalih untuk kemalasan atau ketidakseriusan. Jika seseorang menggunakannya untuk menutupi niat buruk atau kemalasan, ini adalah penyalahgunaan etika Qur'ani yang mulia ini. Penggunaan yang benar haruslah disertai dengan ikhtiar (usaha) maksimal di pihak manusia.

Membangun Empati dan Toleransi

Ketika seseorang mengatakan In Shaa Allah, ia secara implisit memohon doa. Ini adalah pengingat bagi pendengarnya bahwa segala sesuatu bersifat sementara. Dalam konteks saling berinteraksi, ini menumbuhkan sikap empati. Ketika rencana seseorang gagal, komunitas Mukmin dapat lebih mudah menerima dan memberikan dukungan, karena semua telah memahami sejak awal bahwa kepastian hanya milik Allah.

Ini adalah perbedaan mendasar dari budaya yang menuntut pertanggungjawaban mutlak atas setiap janji tanpa mempertimbangkan takdir. Islam mengajarkan bahwa kita bertanggung jawab atas usaha kita, tetapi hasilnya adalah urusan Allah.

XI. Kontinuitas Istithna: Dari Al-Kahfi ke Seluruh Sunnah

Prinsip Istithna yang diajarkan dalam Al-Kahfi 24 diperkuat dan diamalkan secara konsisten dalam seluruh ajaran Nabi Muhammad SAW. Banyak hadis dan praktik beliau menunjukkan bahwa Istithna adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari beliau.

Salah satu contoh paling menonjol adalah ketika Nabi Muhammad SAW mengajar umatnya untuk berjanji dengan Istithna. Bahkan dalam doa-doa tertentu, terdapat unsur penyerahan diri yang sama, seperti ketika menziarahi kubur, di mana beliau berkata, "Sesungguhnya kami, In Shaa Allah, akan menyusulmu." Ucapan ini tidak hanya menunjukkan pengakuan atas kematian yang pasti tetapi juga pengembalian waktu dan kehidupan kepada kehendak Allah.

Kekonsistenan ini menunjukkan bahwa Al-Kahfi 24 bukanlah perintah yang terisolasi, melainkan prinsip sentral yang mengarahkan seluruh kehidupan seorang Mukmin: tidak ada momen, rencana, atau tindakan yang bebas dari naungan tauhid dan ketergantungan pada Allah.

Perbedaan Antara Harapan dan Kepastian

Istithna mengajarkan kita untuk membedakan antara harapan yang kuat (*raja'*) dan klaim kepastian. Kita diperintahkan untuk memiliki harapan yang besar terhadap rahmat Allah dan keberhasilan rencana kita, tetapi harapan ini harus selalu dibingkai oleh pengakuan bahwa Allah bisa memilih jalan lain yang mungkin lebih baik bagi kita (seperti yang ditunjukkan dalam doa "memberi petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenarannya").

Kepastian mutlak dalam rencana masa depan adalah sifat yang hanya pantas bagi Allah. Manusia hanya bisa memiliki harapan dan niat. Jarak antara niat dan pelaksanaan hanya bisa dijembatani oleh Kehendak Ilahi, dan Istithna adalah pengakuan lisan atas jembatan tersebut.

XII. Penutup: Hidup dalam Naungan Istithna

Surah Al-Kahfi ayat 24 adalah permata etika dan tauhid. Ia adalah pengingat abadi bahwa manusia, meskipun memiliki kemampuan berpikir, merencanakan, dan berkehendak, hanyalah pelaksana dari skenario yang lebih besar yang telah ditetapkan oleh Al-Qadir. Larangan tegas untuk tidak berjanji melakukan sesuatu di masa depan tanpa Istithna adalah perlindungan dari kesyirikan tersembunyi, penyeimbang antara usaha dan penyerahan diri.

Mengucapkan In Shaa Allah bukan sekadar ucapan rutin yang menghilangkan tanggung jawab; ia adalah ritual harian pengakuan tauhid. Ia menjamin bahwa setiap rencana yang kita buat, setiap janji yang kita ucapkan, dan setiap harapan yang kita pegang, berada dalam kerangka penyerahan diri yang sempurna kepada Allah SWT. Dengan mengamalkan Istithna, seorang Muslim hidup dalam kerendahan hati yang konstan, siap untuk menerima takdir, dan selalu memohon petunjuk yang terbaik, sebagaimana petunjuk yang diberikan langsung dalam firman Allah yang agung.

Prinsip Al-Kahfi 24 mengajarkan bahwa hidup adalah serangkaian niat yang diiringi oleh usaha, namun disempurnakan oleh penyerahan total kepada Kehendak Ilahi. Inilah jalan rashadaa—jalan kebenaran dan petunjuk yang mendekatkan kita kepada Allah dalam setiap langkah dan setiap rencana yang kita susun untuk hari esok.

Keagungan ayat ini terletak pada kemampuannya menyederhanakan kompleksitas hubungan antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan menjadi sebuah frasa yang ringkas namun maha kuat: In Shaa Allah. Kalimat inilah yang menjadi benteng tauhid, pelindung dari kesombongan, dan kunci bagi ketenangan jiwa dalam menghadapi ketidakpastian masa depan.

Pada akhirnya, pembelajaran dari Al-Kahfi 24 mendorong kita untuk menjadi perencana yang cerdas dan pekerja keras, tetapi pada saat yang sama, menjadi hamba yang tunduk dan tawadhu’ (rendah hati). Dengan mempraktikkan Istithna, kita menjamin bahwa meskipun dunia terus berubah dan rencana seringkali meleset, hati kita tetap teguh bersandar pada Sang Pengatur Sejati, Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kita, hari ini dan esok.

Penting untuk merenungkan makna mendalam dari perintah untuk "mengingat Tuhanmu jika engkau lupa." Ini adalah isyarat rahmat yang luar biasa, menunjukkan bahwa Allah mengetahui kelemahan manusiawi kita—kecenderungan untuk lalai dan lupa. Namun, kelalaian tersebut tidak harus menjadi kegagalan permanen. Ketika memori tauhid kembali, koreksi harus segera dilakukan, memastikan bahwa benang ketergantungan kepada Allah tidak terputus. Ini menunjukkan sifat fleksibel dan pemaaf dari syariat Islam yang ditujukan untuk memudahkan hamba-Nya yang berjuang di jalan kebenaran.

Kesempurnaan Istithna tidak hanya terletak pada ucapan, tetapi pada keyakinan hati yang menyertainya. Seorang Muslim yang sejati, bahkan ketika ia tidak mengucapkannya secara lisan dalam setiap kalimat (terkadang konteks percakapan tidak memungkinkan), hatinya harus senantiasa menyertakan pengecualian ilahi ini. Hati yang terhubung dengan Istithna adalah hati yang senantiasa mutawakkil (berserah diri).

Sebagai penutup dari perenungan mendalam ini, Al-Kahfi 24 adalah sebuah piagam etika yang melampaui waktu. Ia mengajarkan kita bahwa masa depan, betapapun dekatnya ia, adalah dimensi yang harus didekati dengan kerendahan hati dan kepasrahan total kepada Pencipta. Ini adalah inti dari iman, intisari dari tawakkul, dan kunci untuk meraih rashadaa—petunjuk paling benar dalam menjalani kehidupan yang penuh ujian ini. Dengan demikian, setiap perencanaan, dari yang terkecil hingga yang terbesar, menjadi sebuah ibadah, sebuah pengakuan, dan sebuah jaminan perlindungan spiritual.

Semua pengetahuan dan kemampuan adalah karunia, bukan hak mutlak. Semua rencana adalah harapan, bukan kepastian. Dan semua hari esok adalah anugerah yang harus disambut dengan ucapan: In Shaa Allah.

Lanjutan pembahasan mengenai implikasi istithna dalam kehidupan ekonomi modern juga sangat relevan. Di era kapitalisme dan perencanaan jangka panjang yang agresif, seringkali individu dan perusahaan cenderung mengadopsi bahasa kepastian absolut ("Kami akan mencapai target ini," "Proyek ini dijamin sukses 100%"). Etika Al-Kahfi 24 menjadi kritikus lembut terhadap mentalitas ini. Ia tidak melarang ambisi atau proyeksi, tetapi menuntut agar ambisi tersebut dibumikan dalam realitas teologis, yaitu keterbatasan manusia dan ketidakpastian duniawi. Seorang pengusaha Muslim yang mengucapkan In Shaa Allah ketika merencanakan investasi besar menunjukkan kematangan imannya dan secara efektif mengurangi stres dan kecemasan yang diakibatkan oleh keterikatan berlebihan pada hasil. Kegagalan tidak dilihat sebagai kehancuran total, melainkan sebagai manifestasi dari mashii’ah Allah yang mungkin membawa hikmah yang lebih besar atau mengarahkan kepada peluang yang lebih baik.

Dalam konteks pendidikan dan pengembangan diri, seorang pelajar yang berjuang untuk meraih gelar atau mencapai nilai tertentu juga diajarkan untuk menyertai usahanya dengan Istithna. "Saya akan belajar keras, dan saya akan lulus, In Shaa Allah." Kombinasi usaha keras (ikhtiar) dan penyerahan diri (tawakkul melalui Istithna) adalah formula Qur'ani untuk mencapai kesuksesan yang berkelanjutan dan berkah. Ini melindungi pelajar dari kesombongan jika berhasil, dan dari keputusasaan jika gagal, karena ia tahu bahwa ia telah melakukan bagiannya dan sisanya diserahkan kepada Allah yang memiliki rencana terbaik.

Penerapan Istithna ini harus dipraktikkan secara konsisten hingga menjadi sifat kedua (*tabi’at*) dalam komunikasi. Semakin sering seseorang secara sadar mengucapkan In Shaa Allah dengan penuh penghayatan, semakin kuat ikatan tauhidnya. Ini adalah latihan mental yang terus-menerus menarik kembali kesadaran dari fokus diri ke fokus Ilahi. Istithna adalah pengingat bahwa kita hanyalah instrumen, dan alat hanya dapat berfungsi jika dioperasikan oleh Pembuatnya.

Ayat 24 juga mengandung nilai-nilai yang mendalam tentang tasawuf (spiritualitas Islam). Seorang sufi atau penempuh jalan spiritual melihat seluruh kehidupannya sebagai perjalanan yang dipandu oleh Allah, dan Istithna adalah napas dalam perjalanan itu. Ia menolak ilusi kendali dan merangkul kerahasiaan takdir. Ini memunculkan ketenangan batin (*sakinah*) yang tidak tergoyahkan oleh perubahan-perubahan dunia. Ketenangan ini datang dari realisasi bahwa kekuasaan ada di tangan Allah, dan Dia Maha Adil serta Maha Bijaksana dalam menetapkan segala sesuatu.

Pengajaran ini sangat relevan untuk menghadapi fitnah terakhir zaman, yaitu fitnah Dajjal. Dajjal akan mengklaim kekuasaan absolut atas sumber daya alam, kehidupan, dan kematian. Keimanan yang kuat pada prinsip Istithna—bahwa tidak ada kekuatan di bumi, bahkan yang supernatural sekalipun, yang dapat beroperasi di luar kehendak Allah—adalah benteng utama melawan ilusi yang dibawa oleh Dajjal. Dengan mengucapkan In Shaa Allah, seorang Muslim secara spiritual menolak klaim kekuasaan mutlak dari makhluk manapun, kecuali Allah.

Oleh karena itu, Surah Al-Kahfi 24 tidak hanya berbicara tentang etika berbicara, tetapi tentang arsitektur keimanan yang kokoh, yang harus dibangun di atas dasar penyerahan diri yang tanpa syarat. Ini adalah fondasi dari seluruh bangunan Islam: penolakan terhadap kepastian diri dan penegasan kepastian Allah. Istithna bukan hanya untuk janji, tetapi untuk setiap tarikan napas dan setiap niat yang ditujukan ke masa depan.

Dalam memahami keluasan ayat ini, kita diajak untuk menghargai setiap momen yang diberikan sebagai anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena waktu ke depan bukanlah milik kita. Kata ghadaa (besok) menjadi pengingat yang menyakitkan namun lembut bahwa bahkan kepastian hidup hingga besok pun berada di luar jangkauan otoritas kita. Kita hanya bisa berharap, berusaha, dan menyerahkan, semuanya dengan kalimat sakral: In Shaa Allah.

Prinsip tauhid yang terkandung dalam Istithna menjangkau seluruh spektrum eksistensi manusia, mulai dari interaksi sosial yang paling kasual hingga keputusan hidup yang paling monumental. Ayat 24 menanamkan dalam diri setiap Muslim sebuah kesadaran kosmik, bahwa keberadaan kita, beserta segala rencana dan cita-cita kita, adalah bagian kecil dari drama ilahi yang luas, di mana sutradara utamanya adalah Allah SWT. Ini adalah etika yang memberdayakan, karena ia membebaskan kita dari ilusi kontrol yang seringkali menimbulkan kecemasan, dan menggantinya dengan kepasrahan yang menghasilkan kedamaian abadi.

Dengan mengakhiri perenungan ini, pesan utama yang harus dibawa adalah: Istithna adalah jembatan antara ikhtiar yang sungguh-sungguh dan tawakkul yang sempurna. Ia adalah tanda pengenal bagi mereka yang memahami batas-batas kemanusiaan mereka dan keagungan tak terbatas dari Tuhan mereka. Seluruh kehidupan harus menjadi Istithna yang berkelanjutan, sebuah dialog abadi antara hamba yang berusaha dan Rabb yang Maha Mengatur. Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.

Pewahyuan Al-Kahfi 24 memberikan hikmah bahwa kehendak dan kekuasaan manusia tidak pernah berada di atas kehendak Allah. Ketika Rasulullah SAW, manusia termulia, tunduk dan mengamalkan perintah ini setelah teguran lembut, ini menetapkan standar tertinggi bagi seluruh umat. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam hal yang tampak sepele seperti menjawab pertanyaan, menafikan kehendak Allah adalah suatu kecerobohan yang serius secara spiritual. Kita diperintahkan untuk meneladani kesempurnaan penyerahan diri ini dalam setiap aspek kehidupan kita, menjadikan Istithna sebagai pengakuan yang tulus dan berkelanjutan akan kedaulatan ilahi. Ini adalah inti dari kehidupan seorang Muslim yang sadar akan takdirnya dan tunduk pada Penciptanya.

Setiap desahan, setiap langkah, dan setiap proyeksi yang dilakukan manusia haruslah dilingkupi oleh kesadaran ini. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa jiwa senantiasa terjaga dari godaan kesombongan dan selalu berada dalam orbit tauhid yang murni, menunggu dan menerima segala ketetapan dengan hati yang lapang.

Maka, mari kita jadikan Istithna bukan sekadar tradisi lisan, tetapi inti dari perencanaan dan komunikasi kita, menegaskan kembali janji kita sebagai hamba yang senantiasa bergantung, berharap, dan berserah diri sepenuhnya kepada Kehendak Yang Maha Agung. In Shaa Allah.

🏠 Homepage