Surah Al-Kahfi, sebuah surah yang penuh dengan hikmah dan pelajaran tentang fitnah (ujian) dalam kehidupan, menyajikan empat kisah utama yang menjadi tiang penyangga pemahaman spiritual. Salah satu kisah paling menarik dan sarat makna adalah kisah perjalanan seorang penguasa yang dianugerahi kekuasaan besar, yaitu Dzulqarnain. Kisah ini, yang terbentang luas mulai dari ayat 83 hingga ayat 98, memberikan kerangka teologis tentang bagaimana seharusnya kekuasaan duniawi dikelola, dan bagaimana seorang pemimpin harus menerapkan keadilan tanpa pandang bulu.
Fokus utama pembahasan ini adalah Ayat 88, sebuah simpul penting yang mengungkapkan esensi dari metodologi pemerintahan Dzulqarnain, khususnya dalam aspek pengambilan keputusan dan penetapan hukuman. Ayat ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah panduan universal tentang tanggung jawab moral yang melekat pada otoritas.
Makna dan Tafsir Ayat 88 Surah Al-Kahfi (18:88)
قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا
"Dia berkata: 'Adapun orang yang zalim, maka kelak akan Kami azab, kemudian ia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.'" (QS. Al-Kahfi: 88)
Ayat 88 ini merupakan puncak dari dialog Dzulqarnain dengan kaum yang ditemuinya di tempat terbenam matahari (seperti yang diceritakan pada ayat-ayat sebelumnya). Setelah ia diberi pilihan untuk menghukum atau berbuat baik kepada kaum tersebut, Dzulqarnain menetapkan sistem keadilannya. Jawaban yang ia berikan adalah manifestasi sempurna dari keadilan Ilahi yang diterapkan di bumi, membagi masyarakat menjadi dua kategori yang jelas: yang zalim dan yang beriman serta beramal saleh (yang disebutkan pada ayat 87 dan 89).
Pembedaan Kategori Manusia: Zalim vs. Beriman
Dalam konteks ayat ini, Dzulqarnain membagi manusia menjadi dua kelompok berdasarkan perbuatan mereka. Ayat 88 secara spesifik menargetkan kelompok pertama: *man zhalama* (orang yang zalim). Kata *zhalama* memiliki makna yang luas dalam bahasa Arab, mencakup ketidakadilan, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, melampaui batas, dan menyekutukan Allah (syirik), yang merupakan kezaliman terbesar.
Dzulqarnain, yang kekuasaannya berasal dari anugerah Tuhan (*sabab*), menegaskan bahwa kezaliman tidak akan dibiarkan. Hukuman yang ia tetapkan memiliki dua dimensi:
- Azab Duniawi (*fasaūfa nu'adzdzibuhu*): Azab yang akan ia berikan secara langsung, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh penguasa di dunia. Ini mencerminkan penegakan hukum dan keadilan sosial yang segera. Hukuman ini bisa berupa hukuman fisik, pengasingan, atau tindakan tegas lainnya yang bertujuan menghentikan kezaliman dan menegakkan ketertiban.
- Azab Akhirat (*tsumma yuraddu ilā rabbihī fa yu'adzdzibuhu 'adzāban nukrā*): Kemudian ia dikembalikan kepada Tuhannya, dan Tuhan akan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Ini adalah pengakuan Dzulqarnain bahwa kekuasaan duniawinya terbatas. Sekalipun ia mampu menghukum di dunia, hukuman yang paling dahsyat dan abadi adalah milik Allah SWT semata. Kata *nukrā* (tidak ada taranya, asing, atau sangat keji) menekankan intensitas azab akhirat.
Pernyataan ini bukan hanya ancaman, tetapi juga sebuah pernyataan teologis mendalam: keadilan sejati melampaui ranah kekuasaan manusia. Pemimpin yang beriman, meskipun diberi kekuasaan absolut, harus selalu menyadari bahwa ada pengadilan yang lebih tinggi. Tanggung jawabnya hanyalah menjalankan azab duniawi sesuai syariat, sementara nasib akhir manusia sepenuhnya ada di tangan Pencipta.
Prinsip Keadilan Dzulqarnain: Menegakkan hukum duniawi, namun menyerahkan azab tertinggi kepada Allah.
Konsep ‘Sabab’ dan Tanggung Jawab Kekuasaan dalam Sirah Dzulqarnain
Kisah Dzulqarnain dibuka dengan pemberian *sabab* (sebab, sarana, atau jalan) oleh Allah (Ayat 84). Pemahaman terhadap *sabab* ini krusial untuk memahami mengapa Dzulqarnain mengambil keputusan yang begitu tegas di Ayat 88. *Sabab* adalah anugerah kekuasaan, sumber daya, pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan Dzulqarnain melakukan penjelajahan dan penaklukan luar biasa dari barat hingga timur.
Kewajiban Menggunakan Sabab untuk Keadilan
Ayat 88 mengajarkan bahwa anugerah *sabab* tidak bersifat netral; ia datang dengan tanggung jawab moral yang besar. Kekuatan (baik militer, ekonomi, atau politik) harus diarahkan untuk dua tujuan:
- Menghukum Kezaliman: Menggunakan kekuatan untuk menindak mereka yang menzalimi diri sendiri atau orang lain (*fasaūfa nu'adzdzibuhu*).
- Mendorong Kebaikan: Menggunakan sumber daya untuk memfasilitasi kebaikan dan memberi pahala bagi orang saleh (seperti yang dijelaskan pada ayat 89).
Tanpa adanya ketegasan dalam menegakkan hukuman bagi yang zalim, kekuasaan yang dianugerahkan akan menjadi sia-sia dan bahkan dapat berubah menjadi sumber kezaliman baru. Dzulqarnain memahami bahwa ia adalah alat keadilan Ilahi di bumi. Ketika ia bertemu dengan suatu kaum yang berbuat kerusakan atau menolak kebenaran, tugasnya adalah menerapkan azab duniawi seadil-adilnya, membersihkan masyarakat dari elemen-elemen yang merusak tatanan sosial dan spiritual.
Falsafah kepemimpinan ini menolak pandangan relativistik terhadap keadilan. Dzulqarnain tidak menunjukkan keraguan dalam membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang adil dan yang zalim. Keputusannya di Ayat 88 adalah contoh bagaimana seorang pemimpin harus memiliki visi moral yang jelas, didukung oleh kekuatan untuk melaksanakan visi tersebut.
Pembahasan mengenai *sabab* ini membuka pintu kepada analisis teologis yang lebih luas tentang kehendak bebas manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan. Dzulqarnain menjalankan kehendak bebasnya—mengambil keputusan, menempuh perjalanan, dan membangun—tetapi semua tindakannya dimungkinkan oleh *sabab* yang disediakan oleh Allah. Ini menciptakan sinergi antara usaha manusia dan takdir Ilahi, di mana usaha yang paling bermakna adalah usaha yang diarahkan pada penegakan keadilan dan penolakan kezaliman.
Ekspansi Mendalam: Analisis Linguistik Kata 'Zhalama' dan 'Nukra'
Untuk memahami kedalaman janji hukuman Dzulqarnain, kita perlu melihat akar kata yang digunakan. Kata *Zhalama* (ظَلَمَ) secara etimologis berakar pada konsep kegelapan atau penggelapan. Secara teologis, kezaliman adalah penyimpangan dari fitrah yang lurus, kegelapan yang menutupi cahaya kebenaran. Orang yang zalim adalah mereka yang menolak cahaya hidayah dan memilih jalan kerusakan, baik terhadap diri sendiri (syirik) maupun terhadap orang lain (pelanggaran hak).
Dalam konteks Surah Al-Kahfi, kezaliman yang dimaksud Dzulqarnain mencakup:
- Kezaliman Spiritual: Tidak beriman kepada Allah, atau menzalimi nabi/utusan Allah yang mungkin diutus kepada kaum tersebut (meskipun Dzulqarnain sendiri bukan nabi, ia menjalankan misi tauhid).
- Kezaliman Sosial: Penindasan, pencurian, kekerasan, atau merusak stabilitas masyarakat yang ia kuasai.
Ayat 88 memastikan bahwa kezaliman ini memiliki konsekuensi ganda. Ini adalah strategi hukum yang efektif: hukuman segera untuk memulihkan ketertiban, dan ancaman azab abadi untuk menumbuhkan rasa takut kepada Tuhan. Hukuman duniawi berfungsi sebagai pencegah, sementara kepastian azab akhirat (dengan kata *nukrā*) menunjukkan bahwa kezaliman adalah kejahatan yang tidak dapat dimaafkan tanpa taubat yang sungguh-sungguh.
Kata *Nukrā* (نُّكْرًا) sendiri memiliki konotasi keanehan atau kengerian yang luar biasa. Ini bukan sekadar azab biasa, melainkan azab yang intensitasnya belum pernah dialami atau terbayangkan. Ini adalah peringatan kuat kepada semua penguasa dan rakyat bahwa sekalipun lolos dari pengadilan dunia, tidak ada jalan keluar dari pengadilan Allah yang Maha Adil.
Perjalanan Dzulqarnain dan Penerapan Hukum
Kisah Dzulqarnain dibagi menjadi tiga perjalanan utama: ke Barat (tempat matahari terbenam), ke Timur (tempat matahari terbit), dan ke Utara (antara dua gunung). Ayat 88 diposisikan setelah perjalanan pertama, yang merupakan ujian pertama bagi kebijaksanaan dan penerapan keadilannya. Kaum di sana digambarkan memiliki kebebasan yang besar untuk berbuat baik atau jahat, dan Dzulqarnain diberi kuasa untuk menentukan nasib mereka.
Kontras Antara Kekuatan dan Keadilan
Penguasa yang kuat sering kali tergoda untuk menggunakan kekuatannya demi kepentingan pribadi atau tiraninya. Namun, Dzulqarnain memberikan pelajaran fundamental: Kekuatan sejati adalah kekuatan yang tunduk pada prinsip keadilan. Jika ia mau, Dzulqarnain bisa saja menaklukkan semua kaum dengan kekerasan dan memaksa mereka tunduk. Namun, ia memilih jalan hukum dan diskriminasi moral.
Tindakannya adalah model bagi pemimpin Muslim: Kekuatan militer dan politik harus menjadi instrumen *rahmah* (kasih sayang) bagi yang benar, dan *syiddah* (ketegasan) bagi yang zalim. Keseimbangan ini mencegah kekuasaan berubah menjadi tirani yang menindas.
Pemberian Sabab: Kekuatan Ilahi yang digunakan untuk perjalanan dan penegakan hukum.
Implementasi Keadilan dalam Tiga Tahap
Dzulqarnain tidak langsung menghukum. Ia melalui proses yang menunjukkan metodologi keadilan yang terstruktur, yang dapat ditarik dari gabungan Ayat 87 hingga 89:
Tahap 1: Pengamatan dan Penilaian
Dzulqarnain mengamati kaum yang ia temui. Ia menilai kondisi mereka, tingkat kezaliman atau keimanan mereka, serta kebutuhan mereka. Penilaian ini bersifat objektif, tidak didasarkan pada keuntungan pribadi Dzulqarnain.
Tahap 2: Deklarasi dan Peringatan (Ayat 88)
Ia mendeklarasikan hukumnya: Zalim akan dihukum di dunia, dan yang lebih penting, akan menghadapi azab Allah yang tak tertandingi di akhirat. Deklarasi ini memberikan kejelasan hukum dan sekaligus peringatan rohani. Ini adalah langkah pencegahan yang paling utama.
Tahap 3: Pemberian Pahalanya (Ayat 89)
Ia menjanjikan pahala (kebaikan) bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Ini menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang penghargaan. Tugas pemimpin adalah memastikan lingkungan yang kondusif bagi kebaikan dan memberikan fasilitas bagi orang-orang saleh.
Struktur ini membuktikan bahwa Dzulqarnain adalah pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan distributif (memberi hak kepada yang berhak) dan keadilan retributif (menghukum yang bersalah). Ayat 88 adalah poros retributif ini, menunjukkan ketidaktegaannya terhadap segala bentuk penyimpangan.
Implikasi Teologis dan Moral bagi Umat Manusia
Kisah Dzulqarnain sering diposisikan dalam Surah Al-Kahfi sebagai kontras terhadap kisah Musa dan Khidr, yang menunjukkan batasan pengetahuan manusia. Kisah Dzulqarnain, sebaliknya, menunjukkan batasan kekuasaan manusia di hadapan kekuasaan Ilahi, meskipun kekuasaan tersebut dianugerahkan oleh Allah.
Hubungan Dzulqarnain dengan Qadha dan Qadar
Ayat 88 memperkuat pemahaman tentang takdir dan tanggung jawab. Dzulqarnain, meskipun diberi kuasa untuk memutuskan hukuman, menyadari bahwa ia hanyalah perantara. Hukuman yang paling berat, azab *nukrā*, adalah bagian dari takdir mutlak (Qadha) yang hanya dapat dilaksanakan oleh Allah. Ini mengajarkan kerendahan hati kepada pemimpin: bahkan ketika memegang palu keadilan, ia harus menyadari kemahabesaran Allah.
Konsep ini sangat penting karena mencegah pemimpin jatuh ke dalam jebakan keangkuhan (*istibdād*). Pemimpin yang memahami Ayat 88 akan selalu memimpin dengan takut kepada Allah, karena ia tahu bahwa setiap keputusan yang ia buat akan dipertanggungjawabkan dua kali: pertama, di pengadilannya sendiri (hukuman duniawi), dan kedua, di pengadilan akhirat yang tak terhindarkan.
Keadilan Melawan Kejahatan Struktural
Ketika Dzulqarnain menghadapi kaum di tempat matahari terbenam, ia berhadapan dengan masalah kejahatan yang terstruktur atau merata. Pernyataan di Ayat 88 memastikan bahwa siapa pun yang berperan dalam kezaliman, baik sebagai pelaku utama maupun sebagai pendukung sistem kezaliman, akan mendapatkan hukuman. Ini relevan dalam konteks modern, di mana kezaliman seringkali diwujudkan melalui sistem korupsi, penindasan ekonomi, atau kebijakan diskriminatif.
Pelajaran dari Ayat 88 adalah bahwa pemimpin yang adil harus memiliki keberanian untuk membongkar dan menghukum kejahatan struktural, bukan hanya kejahatan individu. Ia tidak boleh berkompromi dengan kezaliman hanya demi stabilitas politik atau keuntungan sesaat. Kezaliman harus diakhiri secara tegas melalui penerapan hukum yang adil (*fasaūfa nu'adzdzibuhu*).
Perdebatan Identitas Dzulqarnain: Dampak Terhadap Konsep Kekuasaan
Untuk melengkapi analisis tentang Dzulqarnain sebagai model keadilan (Ayat 88), penting untuk membahas secara ekstensif siapa sosok ini, karena identitasnya memengaruhi bagaimana kita menafsirkan sumber kekuasaannya dan sifat keadilannya.
Pandangan Historis Utama
Meskipun Al-Quran tidak menyebutkan namanya, mayoritas ulama dan sejarawan Islam terbagi menjadi tiga teori utama mengenai identitas Dzulqarnain ('Pemilik Dua Tanduk' atau 'Pemilik Dua Zaman'):
1. Iskandar Agung (Alexander the Great)
Ini adalah pandangan yang populer dalam tradisi Barat dan beberapa tradisi tafsir awal Islam. Proponentsnya menunjuk pada penaklukan Alexander yang luas, mencapai timur dan barat, serta pembangunan benteng dan tembok. Namun, pandangan ini menghadapi kritik keras. Alexander dikenal sebagai penyembah berhala, terlibat dalam kezaliman, dan minum khamr, yang bertentangan dengan gambaran Dzulqarnain sebagai hamba yang beriman, yang selalu menghubungkan kekuasaannya dengan kehendak Allah, dan yang menerapkan keadilan Ilahi (Ayat 88).
Jika Dzulqarnain adalah Alexander, maka penerapan keadilan di Ayat 88 akan menjadi kontradiksi besar dengan catatan sejarah sekulernya. Oleh karena itu, mayoritas ulama kontemporer menolak identifikasi ini, karena kepribadian dan moralitas Alexander tidak cocok dengan profil pemimpin yang saleh yang dijelaskan dalam Al-Quran.
2. Koresh Agung (Cyrus the Great)
Pandangan ini didukung kuat oleh beberapa sarjana modern, termasuk Abul Kalam Azad. Koresh adalah Raja Persia Achaemenid (sekitar abad ke-6 SM). Bukti yang mendukung Koresh meliputi:
- Monoteisme: Koresh dikenal memiliki toleransi beragama yang tinggi dan diyakini oleh beberapa sejarawan telah membantu kaum Yahudi (Ahli Kitab) kembali ke Yerusalem, yang dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan baik yang konsisten dengan Ayat 89.
- Julukan: Simbol dua tanduk (Dzulqarnain) mungkin merujuk pada mahkota yang ia kenakan atau penaklukan dua kekaisaran besar.
- Perjalanan: Penaklukan Koresh mencakup wilayah yang luas, dari Anatolia Barat hingga India Timur.
Jika Koresh adalah Dzulqarnain, maka penerapan keadilan yang tegas di Ayat 88 menjadi sangat masuk akal, karena ia memerintah dengan hukum dan membangun imperium yang stabil berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, meskipun detail teologisnya hanya Allah yang tahu.
3. Seorang Raja Himyarite dari Yaman
Beberapa tradisi Arab kuno mengidentifikasi Dzulqarnain sebagai seorang raja dari Kerajaan Himyar di Yaman pra-Islam, seperti Al-Hārith bin Said. Argumen ini didasarkan pada puisi kuno dan prasasti yang menyebut raja-raja yang menaklukkan wilayah yang luas dan diberi gelar yang mirip. Pandangan ini menekankan bahwa tokoh tersebut adalah tokoh Arab yang kurang dikenal secara universal, namun dikenal kuat di semenanjung Arab. Walaupun pandangan ini menarik, bukti historisnya lebih lemah dibandingkan dengan Koresh.
Kesimpulan tentang Identitas dan Keadilan
Terlepas dari siapa identitas pastinya, tujuan utama kisah ini, terutama Ayat 88, bukanlah pelajaran sejarah, melainkan pelajaran moral. Al-Quran sengaja membuat identitas Dzulqarnain menjadi ambigu agar fokus pembaca tetap pada kualitasnya sebagai pemimpin ideal: seorang yang taat kepada Allah, yang diberi kekuasaan, dan yang menggunakan kekuasaan itu secara imparsial untuk menumpas kezaliman dan memajukan kebaikan. Janji hukuman ganda di Ayat 88 adalah standar abadi, bukan hanya kebijakan seorang raja tertentu.
Analisis yang mendalam terhadap setiap calon identitas Dzulqarnain menegaskan kembali pentingnya sifat-sifat yang Allah puji. Dzulqarnain adalah figur yang, meskipun memiliki kekuatan tak terbatas, memilih untuk tidak menjadi tirani, melainkan hakim. Ia mengintegrasikan hukum manusia (*fasaūfa nu'adzdzibuhu*) dengan ketakutan akan hukum Ilahi (*adzāban nukrā*). Model kepemimpinan yang ditawarkan di sini adalah model yang menggabungkan kekuatan implementasi (sabab) dengan kesadaran eskatologis (akhirat).
Keterkaitan Ayat 88 dengan Epilog Al-Kahfi: Fokus pada Amal Saleh
Surah Al-Kahfi diakhiri dengan penekanan pada amal saleh dan keikhlasan (Ayat 110). Ayat 88, yang berbicara tentang hukuman bagi yang zalim, berfungsi sebagai kontras yang kuat terhadap epilog tersebut. Jika Ayat 110 mendorong umat untuk beriman dan tidak menyekutukan Allah, Ayat 88 menunjukkan konsekuensi mengerikan bagi mereka yang gagal memenuhi panggilan tersebut dan sebaliknya memilih jalan kezaliman.
Kezaliman sebagai Kebalikan Iman
Kezaliman yang dimaksud Dzulqarnain di sini adalah kebalikan dari amal saleh. Amal saleh adalah penataan kehidupan yang harmonis sesuai kehendak Allah, sementara kezaliman adalah kekacauan. Dzulqarnain, dengan hukuman tegasnya, bertindak sebagai restorator harmoni sosial dan spiritual. Ia membersihkan medan sebelum kebaikan dapat tumbuh subur.
Penting untuk diingat bahwa kisah Dzulqarnain adalah respons terhadap pertanyaan tentang "siapa yang telah mencapai timur dan barat," yang diajukan oleh kaum Quraisy atas dorongan Ahli Kitab. Dengan memberikan kisah ini, Al-Quran tidak hanya menjawab pertanyaan geografis, tetapi juga pertanyaan filosofis: Apa arti kekuasaan? Kekuasaan bukan tentang penaklukan wilayah, tetapi tentang penaklukan hawa nafsu dan penegakan keadilan. Kezaliman (Ayat 88) adalah kegagalan terbesar dalam menjalankan amanah kekuasaan.
Konsekuensi azab *nukrā* di akhirat adalah pengingat bahwa keadilan Allah adalah puncak dari segala keadilan. Tidak ada pemimpin, sekuat Dzulqarnain pun, yang bisa menandingi atau menggantikan peran hakim mutlak. Ayat 88 dengan indah menyeimbangkan antara tanggung jawab manusia untuk bertindak dan kedaulatan Tuhan untuk menghakimi.
Penerapan Prinsip Al-Kahfi 88 dalam Kepemimpinan Kontemporer
Meskipun Dzulqarnain adalah tokoh historis yang hidup ribuan tahun lalu, prinsip keadilannya, yang dirangkum dalam Ayat 88, tetap relevan bagi para pemimpin, hakim, dan bahkan individu di era modern. Bagaimana prinsip ini dapat diterapkan?
1. Penegasan Hukum dan Kepastian Hukuman
Model Dzulqarnain menuntut adanya kepastian hukum. Jika seseorang terbukti zalim (korupsi, penipuan, penindasan), maka hukuman duniawi harus diterapkan secara tegas dan tanpa tawar-menawar (*fasaūfa nu'adzdzibuhu*). Di banyak negara, kezaliman sering kali lolos karena lemahnya penegakan hukum atau adanya praktik pilih kasih. Dzulqarnain menolak semua bentuk nepotisme atau pandangan yang bias dalam keadilan.
2. Memimpin dengan Kesadaran Eskatologis
Seorang pemimpin kontemporer harus menyadari bahwa kekuasaan adalah pinjaman, dan ia akan menghadapi 'Azab yang Tidak Ada Taranya' jika ia menggunakan kekuasaannya untuk menzalimi rakyatnya. Kesadaran akan Azab Akhirat (*adzāban nukrā*) berfungsi sebagai rem moral terkuat terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini mendorong pemimpin untuk selalu membuat keputusan yang didasarkan pada kebenaran, bukan popularitas atau keuntungan finansial.
3. Membedakan Antara Hukuman Negara dan Pengampunan Tuhan
Ayat 88 mengajarkan bahwa negara memiliki hak untuk menghukum berdasarkan hukum positif yang ada, tetapi pengampunan akhir adalah milik Tuhan. Ini berarti, hukuman duniawi dijalankan untuk ketertiban, namun pemimpin tidak boleh mengambil peran Tuhan dalam menentukan nasib spiritual seseorang. Seorang hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara, tetapi ia harus menyerahkan urusan taubat dan nasib spiritual terpidana kepada Allah. Hal ini menjaga batas antara yurisdiksi negara dan kedaulatan Ilahi.
Implikasi yang lebih jauh dari Ayat 88 adalah bahwa pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas kezaliman yang ia lakukan, tetapi juga atas kezaliman yang ia biarkan terjadi di bawah kekuasaannya. Diam terhadap kezaliman adalah bentuk kezaliman itu sendiri. Oleh karena itu, tugasnya adalah aktif mencari dan menindak pelaku kezaliman di semua lapisan masyarakat yang berada di bawah otoritasnya.
Menggali Lebih Jauh: Hikmah di Balik Penyebutan Dua Azab
Mengapa Al-Quran menekankan adanya dua jenis azab bagi yang zalim (duniawi oleh Dzulqarnain dan akhirat oleh Allah)? Pengulangan janji hukuman ini memiliki hikmah psikologis dan teologis yang mendalam.
Aspek Psikologis: Motivasi Ganda
Bagi sebagian orang, hukuman yang segera, yang terlihat, dan yang dapat dirasakan (hukuman duniawi) adalah motivator yang lebih kuat untuk meninggalkan kezaliman. Bagi mereka yang lebih sadar spiritual, ancaman Azab Akhirat (*nukrā*) adalah pencegah yang lebih efektif. Dengan menggabungkan keduanya, Dzulqarnain menciptakan sistem yang memberikan dorongan moral bagi semua jenis individu dalam masyarakatnya.
Aspek Teologis: Kesempurnaan Keadilan
Keadilan manusia selalu tidak sempurna. Hukuman duniawi mungkin tidak sepenuhnya sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, atau pelaku kezaliman mungkin luput dari pengadilan manusia. Ayat 88 menjamin bahwa meskipun keadilan manusia gagal, keadilan Allah tidak akan pernah luput. Azab *nukrā* memastikan bahwa setiap kezaliman, sekecil apa pun, akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya di hari perhitungan.
Penyebutan dua azab ini juga memperjelas bahwa keberhasilan di dunia (lolos dari hukuman Dzulqarnain) bukanlah jaminan keselamatan di akhirat. Kekuatan Dzulqarnain bersifat sementara; kekuasaan Allah bersifat abadi. Ini adalah penyeimbang spiritual yang krusial.
Kekuatan sebagai Perlindungan: Dzulqarnain menggunakan kekuasaannya untuk membatasi kezaliman.
Hubungan Keadilan Dzulqarnain dengan Kisah Ya'juj dan Ma'juj
Setelah menetapkan prinsip hukuman bagi yang zalim di Ayat 88, perjalanan Dzulqarnain membawanya kepada kaum yang meminta perlindungan dari Ya'juj dan Ma'juj (Ayat 93-94). Hukuman yang tegas bagi yang zalim pada perjalanan pertama menjadi dasar moral bagi tindakannya pada perjalanan ketiga: membangun tembok (sedd).
Pembangunan tembok itu sendiri adalah tindakan pencegahan kezaliman massal. Ya'juj dan Ma'juj digambarkan sebagai kaum yang suka berbuat kerusakan di bumi. Tindakan Dzulqarnain di Ayat 88—menghukum pelaku kerusakan individu—kemudian dielevasikan menjadi tindakan menghalangi pelaku kerusakan kolektif dan struktural (Ya'juj dan Ma'juj). Ini menunjukkan konsistensi dalam metodologi Dzulqarnain: membatasi kezaliman dan melindungi mereka yang membutuhkan perlindungan.
Keadilan Preventif dan Represif
Ayat 88 adalah keadilan represif (hukuman setelah kejahatan terjadi). Pembangunan tembok adalah keadilan preventif (mencegah kejahatan terjadi). Seorang pemimpin yang ideal, seperti Dzulqarnain, harus mahir dalam kedua aspek ini. Ia harus mampu menghukum yang zalim, dan pada saat yang sama, ia harus membangun struktur (hukum, infrastruktur, keamanan) yang membuat kezaliman sulit untuk dilakukan.
Kisah ini mengajarkan bahwa keadilan bukanlah konsep pasif. Keadilan harus aktif dan proaktif. Dzulqarnain tidak menunggu kezaliman merajalela; ia bergerak untuk menetapkan hukum, dan ia bergerak untuk membangun penghalang fisik terhadap ancaman yang lebih besar. Prinsip di Ayat 88 adalah fondasi yang memungkinkan semua tindakan heroik Dzulqarnain lainnya, karena ia memulainya dengan pembersihan moral masyarakat yang ia temui.
Penutup: Warisan Abadi Al-Kahfi 88
Surah Al-Kahfi Ayat 88 adalah sumbu moral dari kisah Dzulqarnain. Ayat ini merangkum esensi dari tanggung jawab kepemimpinan: menggunakan anugerah kekuasaan (sabab) untuk memisahkan kebenaran dari kezaliman, menghukum yang jahat dengan hukum duniawi yang tegas, dan yang paling penting, selalu merujuk kembali kepada kekuasaan Allah SWT yang mutlak sebagai sumber hukuman yang paling dahsyat. Pesan abadi ini relevan bagi setiap individu dan setiap penguasa: kezaliman tidak hanya memiliki biaya sosial, tetapi juga konsekuensi spiritual yang tidak terbatas. Seorang mukmin harus hidup dengan kesadaran bahwa ia selalu berada di bawah pengawasan Hakim Yang Maha Adil, dan bahwa setiap penyimpangan akan berujung pada Azab *Nukrā*, Azab yang tidak ada taranya.
Kisah ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati adalah pelayanan yang tulus kepada prinsip keadilan Ilahi, bukan pengejaran ambisi pribadi. Dzulqarnain menunjukkan kepada kita bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan yang digunakan untuk melindungi yang lemah dan menindak yang menindas, sambil selalu mengingat akhirat. Inilah warisan yang disampaikan oleh Al-Kahfi 88, sebuah cetak biru untuk pemimpin yang ingin sukses di dunia dan meraih keselamatan dari Azab yang tidak tertandingi di sisi Tuhan mereka.
Pengulangan analisis terhadap konsep keadilan ini memastikan bahwa intisari dari Ayat 88 tidak hilang dalam narasi panjang perjalanan Dzulqarnain. Setiap kali kita membaca tentang perjalanan ke timur atau barat, kita harus mengingat bahwa tujuan utama dari semua perjalanan itu bukanlah penaklukan geografis, melainkan penegakan hukum berdasarkan standar moral yang ketat. Tanpa prinsip Ayat 88, Dzulqarnain hanya akan menjadi seorang penakluk duniawi biasa. Dengan prinsip ini, ia menjadi teladan pemimpin yang saleh, yang kekuasaannya didasarkan pada ketakutan kepada Allah dan implementasi keadilan sosial yang tidak kenal kompromi.
Dalam konteks modern, ketika batas-batas moral sering kabur, dan korupsi menjadi ancaman global, janji hukuman ganda ini harus menjadi pengingat yang kuat. Kekuatan media, ekonomi, atau politik yang ada pada individu manapun adalah *sabab* yang harus dipertanggungjawabkan. Kegagalan menggunakan *sabab* ini untuk melawan kezaliman, atau bahkan menggunakannya untuk menindas, akan mengarah kepada azab duniawi yang mungkin (penegakan hukum di bumi) dan pasti azab akhirat yang *nukrā* (azab yang tidak tertandingi).
Penting untuk menggarisbawahi sifat final dan tidak terhindarkan dari azab akhirat. Ketika Dzulqarnain mengatakan, "kemudian ia dikembalikan kepada Tuhannya," ini adalah penyerahan total. Kekuatan manusia berakhir di sini. Kekuasaan hanya mencakup jangkauan fisik dan temporal. Namun, Allah SWT adalah Hakim yang Mahatahu atas niat dan perbuatan, dan hukuman-Nya melampaui segala batasan waktu dan ruang yang ditetapkan oleh Dzulqarnain. Oleh karena itu, Ayat 88 adalah inti dari pesan etika teologis yang berlaku sepanjang masa.
Analisis setiap kata dalam ayat ini, dari *zhalama* hingga *nukrā*, membawa kita kepada kesimpulan tunggal: bahwa kekuasaan tanpa keadilan adalah kekosongan, dan keadilan sejati harus memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. Dzulqarnain mewakili integrasi sempurna antara kekuasaan duniawi (untuk melaksanakan *nu'adzdzibuhu*) dan kerendahan hati spiritual (untuk mengakui *adzāban nukrā*). Dengan demikian, Ayat 88 Surah Al-Kahfi berfungsi sebagai mercusuar moralitas bagi siapa saja yang ingin memahami hakikat sejati kepemimpinan yang saleh.
Kesimpulan dari semua interpretasi tafsir adalah bahwa kisah Dzulqarnain, dengan fokusnya pada Ayat 88, adalah cerminan dari Hukum Ilahi di bumi. Ia mengajarkan umat manusia bahwa tidak ada kekuasaan yang absolut kecuali kekuasaan Allah, dan bahwa semua wewenang yang diberikan kepada manusia harus digunakan untuk menegakkan hukum dan melindungi orang yang benar. Setiap penyimpangan dari jalan keadilan akan membawa pada konsekuensi yang tidak hanya terasa di dunia fana, tetapi juga di alam keabadian. Ayat ini adalah peringatan, sekaligus janji keadilan yang tuntas.
Tanggung jawab yang diemban oleh Dzulqarnain adalah tanggung jawab yang dihadapi oleh setiap individu yang memiliki peran dalam masyarakat: seorang manajer, seorang ayah, seorang hakim, atau seorang politisi. Setiap keputusan yang diambil dalam posisi otoritas harus didasarkan pada prinsip yang sama: menghukum kezaliman dan memberi penghargaan pada kebaikan. Jika kita gagal menerapkan prinsip ini, kita tidak hanya gagal dalam amanah duniawi, tetapi juga berisiko menghadapi azab akhirat yang digambarkan dengan kata *nukrā*, azab yang intensitasnya tak terlukiskan oleh lisan manusia, sebuah hukuman yang melampaui semua standar penderitaan duniawi.
Pemahaman mendalam terhadap struktur linguistik dan konteks historis Ayat 88 memberikan kerangka kerja etis yang kokoh. Ini adalah ayat yang menuntut keberanian moral. Keberanian untuk berdiri di hadapan kezaliman, tidak peduli seberapa kuatnya pelaku kezaliman itu, dan mengumumkan hukuman yang adil. Keberanian ini hanya dapat muncul dari keyakinan teguh bahwa ada azab yang lebih besar menanti jika keadilan duniawi diabaikan. Inilah yang menjadikan Dzulqarnain sebagai figur arketipe pemimpin yang menggabungkan kekuatan fisik dengan kekuatan spiritual, dan itulah mengapa Ayat 88 tetap menjadi salah satu pernyataan paling kuat tentang keadilan retributif dalam Al-Quran.
Keadilan, menurut Dzulqarnain, bukanlah negosiasi; ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Hukuman bagi yang zalim bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan demi kelangsungan tatanan sosial yang berlandaskan tauhid. Dan kepastian bahwa Allah akan menambahkan azab yang tak tertandingi memberikan dimensi kekal pada setiap tindakan hukum Dzulqarnain. Ini adalah pelajaran yang harus diinternalisasi oleh setiap hamba Allah yang memiliki peran kepemimpinan, besar atau kecil.
Penelusuran ini menegaskan kembali mengapa Surah Al-Kahfi sering dibaca sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal di akhir zaman. Dzulqarnain adalah antitesis dari Dajjal. Dzulqarnain menggunakan kekuasaan untuk menegakkan tauhid dan keadilan; Dajjal menggunakan kekuasaan untuk menyebar syirik dan kezaliman. Azab yang dijanjikan di Ayat 88 adalah hukuman yang menanti mereka yang mengikuti jalan Dajjal, jalan kezaliman mutlak. Dengan demikian, Ayat 88 bukan hanya tafsir sejarah, melainkan petunjuk eskatologis untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan hingga hari kiamat.
Oleh karena itu, setiap baris dalam Ayat 88 adalah perintah untuk bertindak adil. Ia adalah panggilan untuk menggunakan setiap *sabab* yang telah Allah anugerahkan—baik itu kecerdasan, kekayaan, atau posisi—untuk meminimalkan kezaliman di bumi, karena jika kita gagal, kita akan menghadapi konsekuensi yang tidak hanya ditetapkan oleh Dzulqarnain, tetapi yang telah ditetapkan oleh Raja di atas segala raja.
Akhir dari analisis mendalam ini menekankan bahwa pesan dari Dzulqarnain melampaui sekadar hukuman. Pesannya adalah tentang harapan dan tanggung jawab. Harapan bagi yang tertindas bahwa kezaliman tidak akan abadi, dan tanggung jawab bagi yang berkuasa bahwa kekuasaan mereka adalah pedang bermata dua yang harus digunakan dengan ketakutan dan ketaatan yang sempurna kepada Allah SWT.