Melampaui Batas Langit dan Bumi: Tafsir Mendalam Surat Al Kahfi 91-100

Surat Al Kahfi, secara universal diakui sebagai salah satu surat terpenting dalam Al-Qur’an, sering dibaca untuk perlindungan dari fitnah Dajjal, ujian terbesar di akhir zaman. Empat kisah utama dalam surat ini—Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Zulkarnain—merefleksikan empat fitnah fundamental yang menguji manusia: fitnah agama, harta, ilmu, dan kekuasaan.

Penutup dari kisah Zulkarnain, yang tercakup dalam ayat 91 hingga 100, bukan hanya sekadar akhir dari sebuah narasi sejarah atau legenda. Ia adalah jembatan yang menghubungkan amal perbuatan Zulkarnain di dunia dengan janji dan ketetapan Hari Kiamat. Ayat-ayat ini membawa kita dari konstruksi fisik benteng pertahanan menuju gambaran metaforis kehancuran total di akhir zaman, di mana benteng materi tidak lagi berarti.

Ayat 91 membuka kunci pemahaman kita terhadap karakter Zulkarnain dan hikmah di balik seluruh ekspedisinya. Setelah mencapai batas antara dua gunung, membangun tembok besi yang maha kuat untuk mengurung kaum Ya'juj dan Ma'juj, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

كَذَٰلِكَ ۚ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا

"Demikianlah. Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya (Zulkarnain), secara terperinci." (QS. Al-Kahfi: 91)

I. Penegasan Ilahi dan Purnawirata Zulkarnain (Ayat 91-92)

Kata "Kadzalika" (Demikianlah) menandakan penutupan kisah perjalanan Zulkarnain, mengesahkan bahwa semua yang telah ia lakukan—dari kemenangannya, pembangunan benteng, hingga ucapannya yang penuh tawadhu' (kerendahan hati)—adalah benar dan sesuai dengan kehendak Ilahi. Hal ini menegaskan bahwa Zulkarnain bukanlah penakluk biasa yang didorong oleh ambisi kekuasaan semata, melainkan seorang hamba yang dibimbing oleh wahyu (ilham) atau ilmu khusus dari Allah.

1. Keilmuan Allah yang Meliputi Segala Sesuatu

Frasa "wa qad aḥaṭnā bimā ladayhi khubrā" (Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya, secara terperinci) merupakan inti teologis dari ayat ini. Ini adalah penegasan mutlak bahwa pengetahuan Allah meliputi segala hal, baik tindakan, motivasi, niat, maupun kemampuan yang dimiliki oleh Zulkarnain. Bagi Zulkarnain, ini adalah sertifikasi ketuhanan atas kemurnian niatnya; ia membangun benteng bukan untuk kemuliaan pribadinya, tetapi untuk menolong kaum yang tertindas dan karena rahmat Tuhannya.

Pengetahuan Allah yang terperinci ini menjadi pengingat bagi setiap manusia. Segala daya upaya yang kita kerahkan, sekecil apa pun, berada dalam pengawasan dan perhitungan Yang Maha Kuasa. Jika Zulkarnain yang dianugerahi kekuasaan besar tetap tunduk pada pengetahuan ini, apalagi kita, manusia biasa yang terbatas kekuatannya. Kualitas amal ibadah yang sesungguhnya diukur bukan dari hasil luarnya, melainkan dari niat dan ketulusan batin yang hanya diketahui oleh Allah.

2. Perjalanan Lanjut dan Transisi (Ayat 92)

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا

"Kemudian dia menempuh jalan yang lain." (QS. Al-Kahfi: 92)

Ayat pendek ini menandakan bahwa Zulkarnain tidak berhenti setelah tugas besar selesai. Ia terus bergerak, terus beramal, mencari jalan lain untuk menyebarkan kebaikan dan keadilan di muka bumi. Dalam konteks naratif, ayat ini menunjukkan bahwa perjalanan hidup seorang hamba Allah tidak mengenal kata selesai, melainkan sebuah proses berkelanjutan hingga ajal menjemput. Meskipun Al-Qur'an tidak merinci tujuan 'jalan yang lain' ini, implikasinya sangat jelas: kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan secara maksimal dan terus-menerus dalam ketaatan.

Tafsir mengenai 'jalan yang lain' ini sering dihubungkan dengan dimensi spiritual, di mana Zulkarnain mungkin saja mencari ilmu atau hikmah yang lebih dalam lagi, menyamai pencarian yang dilakukan oleh Nabi Musa bersama Khidir. Setelah menguasai dunia fisik dan politis, ia mungkin mencari keutamaan di alam maknawi, menunjukkan bahwa puncak kekuasaan duniawi harus selalu diikuti oleh puncak ketakwaan dan pencarian kebenaran ilahiah.

II. Kisah Ya'juj dan Ma'juj dan Pembangunan Benteng Akhir Zaman (Ayat 93-98)

Meskipun ayat 93-98 secara tekstual mendeskripsikan pembangunan benteng yang telah selesai, namun konteksnya wajib diulang dan diperkuat karena benteng ini sendiri adalah penanda zaman dan salah satu tanda besar Hari Kiamat.

Benteng (Radm) yang dibangun Zulkarnain bukanlah sekadar tumpukan batu. Ia adalah simbol kekuatan material yang dimanfaatkan sepenuhnya untuk tujuan spiritual dan kemanusiaan. Dalam ayat 98, Zulkarnain menegaskan:

قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي ۖ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا

"Dia (Zulkarnain) berkata, 'Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh. Dan janji Tuhanku itu benar.'" (QS. Al-Kahfi: 98)

1. Puncak Ketawadhuan dan Pengakuan Rahmat

Ayat 98 ini adalah puncaknya. Setelah mengerahkan segala daya upaya, teknologi, dan sumber daya alam (besi dan tembaga cair), Zulkarnain tidak mengklaim kesuksesan itu sebagai hasil kehebatannya. Ia menghubungkan semuanya kepada "raḥmatum min Rabbī" (rahmat dari Tuhanku). Ini adalah pelajaran esensial bagi para pemimpin dan orang-orang yang berkuasa: keberhasilan sejati adalah ketika kekuasaan tidak melahirkan kesombongan, melainkan rasa syukur dan pengakuan akan karunia Allah.

Ilustrasi Benteng Ya'juj Ma'juj BENTENG BESAR (RADM) Ilustrasi Tembok atau Benteng Besi yang kokoh menjulang di antara dua gunung, menyimbolkan benteng yang dibangun Zulkarnain untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj.

2. Janji Kehancuran (Waktu yang Telah Ditetapkan)

Bagian kedua dari ayat 98 adalah proklamasi kenabian yang menghubungkan sejarah dengan eskatologi. Zulkarnain, meskipun membangun benteng terkuat yang mungkin pernah ada di bumi, mengakui bahwa benteng itu hanya bersifat sementara. Frasa "fa idzā jā’a wa’du Rabbī ja‘alahū dakkā’" (maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh) merujuk pada salah satu tanda besar Hari Kiamat, yaitu saat Ya'juj dan Ma'juj dilepaskan dari kurungan mereka.

Kata dakkā’ (hancur luluh, rata dengan tanah) menunjukkan kehancuran total yang melampaui kemampuan manusia. Ini mengajarkan bahwa tidak ada ciptaan materi di dunia ini yang abadi. Segala kekuatan, kekayaan, dan pertahanan yang dibangun manusia akan berakhir dan kembali pada kondisi nol ketika kehendak Allah tiba. Kehancuran benteng ini adalah simbol metaforis bahwa fitnah dan kerusakan yang diwakili oleh Ya'juj dan Ma'juj akan melanda dunia secara terbuka di saat-saat akhir.

Kisah ini dengan tegas mengalihkan fokus dari keberhasilan manusia di dunia menuju realitas abadi di akhirat. Kekuasaan Zulkarnain yang paripurna sekalipun hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah ketaatan kepada Janji Tuhan yang pasti datang.

III. Peniupan Sangkakala dan Penampakan Ya'juj dan Ma'juj (Ayat 99)

Setelah tuntasnya kisah Zulkarnain, Al-Qur’an segera melompat ke gambaran akhir zaman yang menakutkan, menunjukkan korelasi langsung antara pembangunan benteng (sebuah peristiwa sejarah) dan kehancurannya (sebuah peristiwa eskatologis). Ayat 99 berbunyi:

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا

"Pada hari itu Kami biarkan mereka (Ya’juj dan Ma’juj) berbaur antara satu dengan yang lain, dan ditiuplah sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka semua." (QS. Al-Kahfi: 99)

1. Kerumunan Ya'juj dan Ma'juj (Yamuuju fi Ba'dh)

Frasa "yamūju fī ba‘ḍin" (berbaur antara satu dengan yang lain, atau bergelombang) menggambarkan dua fase besar kehancuran. Fase pertama adalah keluarnya Ya'juj dan Ma'juj dari balik benteng. Mereka akan menyebar ke seluruh penjuru bumi, jumlahnya sangat banyak, bagaikan air bah atau ombak yang tak terhitung, membawa kerusakan dan kekacauan. Fase ini seringkali diinterpretasikan sebagai salah satu tanda Kiamat minor atau mendekati Kiamat besar, di mana tatanan sosial dan alam dihancurkan oleh kekejaman dan jumlah mereka yang tak tertandingi.

Tafsir kontemporer sering melihat Ya'juj dan Ma'juj tidak hanya sebagai entitas fisik, tetapi juga sebagai metafora untuk kekuatan destruktif yang timbul dari sifat-sifat buruk manusia, seperti keserakahan, kerusakan moral yang masif, dan teknologi yang digunakan untuk menghancurkan, yang semuanya 'keluar' ketika batasan keimanan dan moralitas (benteng spiritual) telah runtuh.

2. Peniupan Sangkakala dan Pengumpulan (Jami'an)

Ayat ini kemudian beralih dari kiamat kecil (kerusakan Ya'juj dan Ma'juj) menuju Kiamat Kubra (Hari Kebangkitan). "Wa nufikha fīṣ-ṣūri" (dan ditiuplah sangkakala) adalah peniupan kedua, peniupan kebangkitan. Ini adalah titik balik di mana kehidupan dunia berakhir dan kehidupan akhirat dimulai.

"Fa jama‘nāhum jam‘ā" (lalu Kami kumpulkan mereka semua) menekankan universalitas pengumpulan ini. Tidak ada satu pun makhluk—dari manusia pertama hingga terakhir, dari yang saleh hingga Ya'juj dan Ma'juj, dari yang tertutup di bumi hingga yang terkubur di lautan—yang akan luput dari pengumpulan di Padang Mahsyar. Pengumpulan ini bersifat menyeluruh, menegaskan kedaulatan Allah atas waktu, ruang, dan kehidupan.

Pemandangan di Padang Mahsyar adalah permulaan penghakiman. Semua manusia dikumpulkan untuk menanti perhitungan amal, dalam keadaan telanjang, tidak beralas kaki, dan belum dikhitan, disaksikan oleh seluruh generasi yang pernah hidup. Kehancuran dunia oleh Ya'juj dan Ma'juj hanyalah pemanasan menuju peristiwa agung ini.

IV. Pembukaan Jahannam dan Penghisaban Bagi yang Rugi (Ayat 100)

Setelah pengumpulan di Mahsyar, fokus beralih pada pemandangan yang paling mengerikan bagi orang-orang yang ingkar. Ayat 100 menggambarkan destinasi akhir bagi mereka yang menolak kebenaran, sebuah balasan yang sesuai dengan kesia-siaan hidup mereka di dunia:

وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَافِرِينَ عَرْضًا

"Dan Kami perlihatkan Jahannam kepada orang-orang kafir pada hari itu dengan jelas." (QS. Al-Kahfi: 100)

1. Penampakan Jahannam (Arḍan)

Kata 'araḍnā' (Kami perlihatkan) dan 'arḍan' (dengan jelas, atau secara langsung) menyiratkan bahwa pada Hari Kiamat, Jahannam tidak lagi hanya menjadi konsep teologis abstrak. Ia akan dibawa dan disajikan secara fisik di hadapan seluruh makhluk, agar orang-orang kafir dapat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Ini adalah penampakan yang menghancurkan semua harapan palsu dan ilusi duniawi yang mereka genggam.

Peristiwa ini, yang disebut dalam hadis sebagai 'Jahannam ditarik dengan 70.000 tali, dan setiap tali ditarik oleh 70.000 malaikat,' menekankan besarnya, kedahsyatan, dan kedekatan api neraka. Bagi orang-orang yang ingkar, melihat Jahannam adalah puncak dari realisasi bahwa kehidupan yang mereka jalani adalah sebuah kegagalan monumental.

Mengapa Jahannam ditampakkan? Untuk memberikan keadilan sempurna dan menghilangkan keraguan sekecil apa pun dari mereka yang dihukum. Ini adalah demonstrasi visual dan spiritual dari balasan yang telah dijanjikan Allah bagi mereka yang kufur dan mendustakan hari akhir.

V. Mereka yang Rugi Amalannya: Analisis Mendalam Khasiran

Walaupun ayat 100 mengakhiri bagian yang diminta (91-100), konteks teologisnya tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat berikutnya (103-104) yang menjelaskan lebih lanjut siapa sesungguhnya orang-orang kafir yang berhak menyaksikan Jahannam dengan jelas. Konsep *al-Khāsiroona A'mālahum* (orang-orang yang rugi amalannya) adalah inti pelajaran dari seluruh surat Al-Kahfi.

1. Siapakah Orang-Orang yang Rugi Itu?

Allah kemudian menjelaskan identitas mereka (yang rugi) dalam ayat 103 dan 104:

"Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Kerugian yang dimaksud di sini bukanlah sekadar kerugian finansial atau materi, melainkan kerugian total atas modal hidup mereka: waktu, energi, dan potensi mereka. Mereka adalah orang-orang yang melakukan amal kebaikan, bekerja keras, membangun peradaban, bahkan beribadah, tetapi semua itu tidak diterima karena fondasi keimanan mereka rusak. Inilah pelajaran paling keras dari Al-Kahfi.

Ada dua kategori kerugian besar yang ditimbulkan oleh ayat ini:

A. Kerugian Akibat Syirik dan Kufur Dasar

Ini adalah kerugian bagi mereka yang menolak tauhid secara fundamental. Mereka mungkin berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi karena mereka menyekutukan Allah atau mengingkari-Nya, semua amal itu—seperti yang ditegaskan dalam ayat 105—menjadi batal dan tidak ada nilainya di sisi Allah pada Hari Kiamat.

B. Kerugian Akibat Ilusi Diri (Sangkaan Berbuat Sebaik-baiknya)

Ini adalah dimensi kerugian yang paling halus dan berbahaya. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam delusi spiritual. Mereka yakin bahwa cara hidup, ibadah, dan etos kerja mereka sudah paling benar dan terbaik. Namun, keyakinan diri yang berlebihan ini membuat mereka menolak nasihat, mengabaikan syariat, atau melakukan inovasi dalam agama tanpa dasar yang sah (bid’ah). Mereka bekerja keras dalam kehidupan dunia, menyangka amal mereka akan menyelamatkan mereka, padahal pondasi yang mereka bangun rapuh.

Kisah Zulkarnain (91-100) berfungsi sebagai kontras sempurna. Zulkarnain melakukan pekerjaan yang luar biasa, membangun monumen peradaban, namun ia tidak pernah menyandarkan kesuksesan itu pada dirinya sendiri. Ia menisbatkannya kepada Rahmat Tuhan. Sementara itu, orang-orang yang rugi (ayat 103-104) menyandarkan segala amal dan perbuatan mereka pada kehebatan dan prasangka diri mereka sendiri.

Perbedaan inilah yang memisahkan mereka yang selamat dan mereka yang menjadi penghuni Jahannam yang disajikan di hadapan mereka (Ayat 100). Kerugian amal adalah hasil akhir dari fitnah yang gagal dihadapi selama hidup: fitnah ilmu (kesombongan), fitnah harta (cinta dunia), dan fitnah kekuasaan (keingkaran). Ilustrasi Timbangan Amal Amal Sia-sia Amal Diterima Ilustrasi timbangan amal (Mizan) yang miring ke satu sisi, menyimbolkan penghisaban di Hari Kiamat, di mana amal orang kafir menjadi ringan atau sia-sia.

VI. Elaborasi Filosofis: Ketaatan dan Kedaulatan Waktu

Inti dari ayat 91-100 adalah pengajaran tentang kedaulatan Allah atas waktu (Janji Kiamat) dan ketaatan dalam kekuasaan (Zulkarnain). Zulkarnain adalah model ideal pemimpin yang menyadari batas kekuasaannya. Ia tahu bahwa bentengnya, meskipun perkasa, hanyalah penangguhan, bukan penyelesaian mutlak. Penangguhan itu berakhir ketika Janji Tuhan datang.

1. Batasan Material vs. Kekekalan Ilahi

Kisah pembangunan benteng dengan besi dan tembaga menggambarkan betapa kerasnya upaya manusia untuk menciptakan keamanan dan stabilitas di dunia. Namun, ketidakabadian benteng itu (ia akan hancur luluh: *dakkā'*) mengingatkan kita bahwa setiap pencapaian materi, setiap sistem politik, setiap teknologi pertahanan, hanya bersifat sementara. Manusia menghabiskan hidupnya untuk membangun, tetapi Allah memiliki janji kehancuran mutlak (*al-wa'd*) yang tidak dapat dielakkan oleh kekuatan apa pun.

Perenungan ini mendorong mukmin sejati untuk berinvestasi bukan pada benteng besi yang fana, melainkan pada benteng takwa yang abadi. Amal saleh yang didasari tauhid adalah satu-satunya 'bangunan' yang tidak akan hancur ketika Janji Tuhan datang.

2. Hakikat Pengumpulan (Al-Hasyr)

Ayat 99, "lalu Kami kumpulkan mereka semua," merupakan penekanan teologis terhadap konsep pertanggungjawaban personal. Semua manusia, terlepas dari perbedaan waktu, tempat, dan status sosial, akan dihadapkan pada pengadilan yang sama. Tidak ada sistem peradilan duniawi yang mampu mengumpulkan dan mengadili miliaran jiwa secara serentak. Ini adalah hak prerogatif Allah semata.

Keluarnya Ya'juj dan Ma'juj yang 'bergelombang' (*yamūju*) menggambarkan kekacauan duniawi yang ekstrem sebelum keheningan mutlak Hari Pengadilan. Kekacauan ini adalah ujian terakhir bagi umat manusia, dan hanya mereka yang teguh dalam keimanan yang akan bertahan, sementara semua pelaku kezaliman dan kesia-siaan (termasuk yang rugi amalannya) akan disapu oleh gelombang kehancuran tersebut.

3. Kekuatan Kesadaran Diri (Al-Ikhlas)

Sangat penting untuk terus merenungkan kontras antara Zulkarnain (yang bertawadhu, 98) dan orang-orang yang rugi (yang sombong dalam anggapan, 104). Ketaatan Zulkarnain bukan hanya pada tindakannya, tetapi pada kesadaran dirinya. Ia mengakui bahwa kekuasaan datang dari Allah, sementara orang-orang yang rugi menolak untuk mengakui kedaulatan Tuhan, bahkan ketika mereka sibuk beramal. Ikhlas, atau ketulusan niat, adalah benteng spiritual yang sesungguhnya. Tanpa ikhlas, semua amal hanya akan menjadi debu yang beterbangan (*habaa'am manthuroo*).

VII. Konsekuensi Ketakutan: Jaminan dan Ancaman

Ayat 91-100 memberikan dua jaminan besar: jaminan bagi hamba yang beriman dan ancaman bagi hamba yang kufur.

1. Jaminan Pengetahuan Ilahi (Bagi Zulkarnain dan Mukmin)

Ayat 91 menjamin bahwa semua amal Zulkarnain telah diketahui secara terperinci oleh Allah (*khubrā*). Ini adalah janji bagi setiap mukmin: tidak ada upaya tulus yang sia-sia, meskipun ia mungkin tidak diakui oleh manusia. Sekecil apa pun perbuatan, kejujuran niat, dan ketaatan yang tersembunyi, semua itu tercatat dengan sempurna dalam timbangan Allah.

2. Ancaman Kerugian Total (Bagi Orang Kafir)

Ancaman utama bagi orang kafir (ayat 100) bukanlah ketiadaan amal, tetapi kerugian atas amal yang mereka lakukan. Mereka memiliki potensi, waktu, dan sumber daya, tetapi mereka mengarahkannya ke jalan yang salah, menolak wahyu Allah sebagai panduan utama. Mereka membangun kerajaan yang megah di dunia, tetapi di akhirat, yang tersisa hanyalah neraka Jahannam yang ditampakkan dengan jelas di hadapan mereka.

Analogi yang sering digunakan adalah seorang pedagang yang menghabiskan seluruh hidupnya mengumpulkan kekayaan. Namun, ketika tiba saatnya menghitung laba, ia menyadari bahwa seluruh usahanya didasarkan pada mata uang palsu. Seluruh usahanya sia-sia, dan ia pulang dengan tangan hampa. Inilah makna terdalam dari 'khāsiroona a'mālahum'—investasi seumur hidup yang gagal total.

Ayat-ayat penutup kisah Zulkarnain ini berfungsi sebagai kesimpulan universal atas seluruh narasi Al-Kahfi. Ia mengingatkan kita bahwa ujian kekuasaan, kekayaan, dan ilmu hanyalah sementara. Hasil akhirnya adalah perhitungan yang adil dan mutlak di hadapan Allah, di mana hanya amalan yang didasari tauhid dan keikhlasan yang akan memiliki bobot.

VIII. Penutup: Refleksi Abadi Surat Al-Kahfi

Kisah Zulkarnain dan puncaknya di ayat 91-100 memberikan perspektif yang sangat luas mengenai hubungan antara kekuasaan dunia dan kekuasaan akhirat. Zulkarnain menunjukkan bahwa kekuasaan sejati adalah ketika manusia mampu mengendalikan dirinya sendiri, mengakui sumber kekuatannya, dan berfokus pada melayani orang lain daripada melayani ambisi pribadi.

Sebaliknya, pengumpulan di Padang Mahsyar dan penampakan Jahannam mengingatkan kita bahwa segala usaha yang tidak berlandaskan ketaatan kepada Allah adalah fatamorgana yang akan hilang begitu saja. Ketetapan Allah untuk menghancurkan benteng Ya'juj dan Ma'juj pada hari yang telah ditentukan mengajarkan kita bahwa semua sistem dan batas-batas duniawi hanya memiliki masa berlaku. Hanya ketetapan Allah yang abadi.

Dengan demikian, surat Al Kahfi 91-100 adalah panggilan untuk introspeksi mendalam: Apakah kita membangun benteng yang fana atau benteng keimanan yang abadi? Apakah kita memiliki kesadaran diri yang sama dengan Zulkarnain, yang tahu bahwa segala keberhasilannya adalah rahmat dari Tuhan? Atau, apakah kita termasuk orang-orang yang merugi, yang menghabiskan seluruh potensi hidup, tetapi pulang ke hadapan Allah dengan amal yang sia-sia karena delusi kebenaran diri?

Kehadiran Ya'juj dan Ma'juj sebagai simbol kekacauan yang tak terhindarkan dan penampakan Jahannam sebagai realitas yang tak terbantahkan adalah pengingat eskatologis yang kuat. Ketaatan, tauhid, dan keikhlasan adalah satu-satunya bekal yang akan menyelamatkan kita dari kerugian total di hari yang dijanjikan.

Sesungguhnya, pelajaran ini adalah cerminan bagi setiap jiwa yang mencari kebenaran. Jalan yang ditempuh Zulkarnain adalah jalan kemuliaan, karena ia memahami hakikat dunia dan akhirat. Jalan yang ditempuh orang-orang yang merugi adalah jalan kesia-siaan, karena mereka tertipu oleh gemerlap kehidupan dunia dan prasangka palsu tentang kebaikan diri mereka sendiri. Semoga kita semua terhindar dari kerugian amal yang mengerikan itu.

🏠 Homepage