Analisis Mendalam Mengenai Pembangunan Benteng Besi dan Tembaga
Surah Al-Kahfi (Gua) adalah surah ke-18 dalam Al-Qur’an yang memiliki posisi yang sangat penting, sering dibaca pada hari Jumat sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Surah ini memuat empat kisah utama yang melambangkan empat ujian besar dalam kehidupan: ujian agama (Ashabul Kahfi), ujian harta (pemilik dua kebun), ujian ilmu (Musa dan Khidr), dan yang terakhir, ujian kekuasaan dan teknologi, yang direpresentasikan melalui kisah agung Dzulqarnain.
Kisah Dzulqarnain, yang namanya berarti “Pemilik Dua Tanduk” atau “Penguasa Dua Masa/Wilayah,” diceritakan mulai dari ayat 83 hingga 101. Ini adalah narasi tentang seorang raja atau pemimpin yang saleh, yang diberikan kekuasaan besar (kekuatan, sarana, dan ilmu pengetahuan) oleh Allah SWT untuk melakukan perjalanan melintasi bumi, dari Timur ke Barat, dan menyelesaikan masalah kemanusiaan di wilayah-wilayah yang ia kunjungi. Keistimewaan kisah ini bukan hanya pada penjelajahan geografisnya, tetapi pada penerapan keadilan dan penggunaan sumber daya yang bijaksana.
Puncak dari kisah ini, dan fokus utama dari kajian yang mendalam ini, adalah pertemuannya dengan suatu kaum yang terancam oleh kerusakan dari Ya’juj dan Ma’juj. Kaum tersebut, yang sulit memahami ucapan Zulkarnain, meminta bantuan untuk membangun benteng yang memisahkan mereka dari bangsa perusak itu. Di sinilah ayat 96 muncul, menggambarkan detail teknis dan material yang digunakan dalam proyek konstruksi yang luar biasa, sebuah proyek yang memerlukan kecerdasan teknik dan kemampuan logistik yang jauh melampaui masanya.
Terjemah: “Berilah aku potongan-potongan besi hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Zulkarnain: 'Tiuplah (api itu).' Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi yang panas itu.'”
Ayat ke-96 Surah Al-Kahfi bukanlah sekadar catatan historis; ia adalah sebuah pelajaran mengenai manajemen sumber daya, teknik rekayasa, dan implementasi teknologi untuk kepentingan masyarakat. Proses pembangunan benteng ini, yang melibatkan penggabungan besi dan tembaga, menunjukkan pemahaman Zulkarnain tentang metalurgi dan struktur material yang sangat maju.
Langkah pertama dalam proyek ini adalah permintaan spesifik: “Berilah aku potongan-potongan besi” (*Ātūnī zubar al-ḥadīd*). Kata zubar (bentuk jamak dari zubrah) merujuk pada potongan-potongan besar, balok, atau bongkahan besi. Ini mengindikasikan bahwa Zulkarnain tidak meminta bijih besi mentah, melainkan material besi yang sudah diproses atau dibentuk menjadi blok-blok siap pasang. Permintaan ini menegaskan bahwa Zulkarnain memiliki rencana struktural yang jelas—benteng tersebut akan dibangun dari balok-balok besi padat yang disusun seperti batu bata raksasa, mengisi celah di antara dua gunung.
Kebutuhan akan balok besi dalam jumlah masif menunjukkan skala proyek yang sangat kolosal. Ini bukan hanya dinding tanah atau batu biasa, melainkan struktur yang dimaksudkan untuk menahan serangan kekuatan destruktif, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Besi dipilih karena kekuatannya yang tak tertandingi, ketahanannya terhadap benturan, dan kemampuan strukturnya yang luar biasa dalam menopang beban dan tekanan lateral.
Analisis Tafsir, seperti yang dijelaskan oleh para ulama terdahulu, menekankan bahwa penduduk lokal berkontribusi dengan membawa semua besi yang mereka miliki, baik yang sudah dibentuk maupun yang masih berupa gumpalan. Zulkarnain kemudian mengatur penumpukan balok-balok besi ini hingga mencapai ketinggian yang setara dengan kedua puncak gunung (bayna al-ṣadafayn). Kesetaraan ketinggian ini adalah detail teknik yang kritis; tujuannya adalah untuk menutup celah secara total, sehingga tidak ada jalan, baik di bawah maupun di atas, yang dapat dilewati oleh musuh.
Bayangkanlah betapa megahnya bentukan balok besi yang tersusun rapi, menjulang tinggi, mengisi lembah sempit di antara dua gunung batu. Struktur ini memerlukan perencanaan logistik yang sangat cermat, mulai dari penambangan, peleburan awal, pencetakan balok, hingga pengangkutan dan penataannya. Dalam kisah ini, Zulkarnain tidak hanya berperan sebagai pemimpin, tetapi sebagai insinyur sipil dan metalurgi ulung, yang mampu mengorganisir kaum yang kesulitan komunikasi menjadi tim pekerja yang efisien.
Pemilihan besi, al-ḥadīd, secara teologis juga sangat penting. Dalam Surah Al-Hadid, Allah menyebutkan bahwa besi diturunkan (ditumbuhkan) dengan kekuatan yang dahsyat dan memiliki banyak manfaat bagi manusia. Penggunaan besi dalam proyek besar ini adalah manifestasi nyata dari pemanfaatan anugerah material Allah untuk pertahanan dan kesejahteraan umat manusia. Kekuatan al-ḥadīd adalah kunci untuk menciptakan keabadian struktural dalam konteks perlindungan ini.
Setelah tumpukan balok besi telah memenuhi celah hingga ketinggian puncak gunung, Zulkarnain beralih ke fase kedua yang lebih intensif: pemanasan. Ia berkata: “Tiuplah (api itu).” (*Qāla infukhū*). Perintah ini ditujukan kepada para pekerja untuk mengobarkan api besar di sekitar balok-balok besi yang telah disusun. Tindakan meniup api (nufkh) menunjukkan penggunaan pompa angin, tungku raksasa, atau alat bantu lain untuk meningkatkan suhu api secara drastis, jauh melampaui sekadar pembakaran kayu biasa.
Tujuan dari pemanasan masif ini adalah untuk membuat besi menjadi merah seperti api (ja’alahu nāran). Dalam ilmu metalurgi, memanaskan besi hingga suhu tinggi (tetapi belum tentu melebur sepenuhnya) akan membuatnya lunak, memungkinkan proses penempaan (forge welding) atau, dalam konteks ini, mempersiapkannya untuk tahap pengecoran selanjutnya. Suhu yang dicapai pasti sangat tinggi, mungkin mencapai 800°C hingga 1000°C, yang membuat blok-blok besi bersinar merah menyala.
Tafsir menyebutkan bahwa api dinyalakan di kedua sisi dinding besi, dan api tersebut dipompa terus-menerus. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk melembutkan permukaan balok-balok besi, tetapi juga untuk menghilangkan kelembaban dan zat pengotor yang mungkin terperangkap di dalamnya, memastikan struktur akhir memiliki integritas material yang maksimal. Panas ekstrem ini adalah kunci untuk menciptakan ikatan yang homogen antara balok-balok yang tadinya hanya tersusun. Tanpa pemanasan ini, langkah selanjutnya tidak akan efektif.
Inilah puncak kejeniusan Zulkarnain dalam teknik termal. Dia menggunakan prinsip termodinamika dan metalurgi kuno untuk memanaskan volume besi yang sangat besar. Memanaskan benteng raksasa hingga merah menyala memerlukan sumber daya bahan bakar yang kolosal dan sistem ventilasi yang cerdik. Hal ini menggarisbawahi kemampuan logistik Zulkarnain, yang mampu memobilisasi sumber daya alam—besi, bahan bakar, dan tenaga kerja—dalam skala industri purba yang mungkin belum pernah disaksikan oleh kaum tersebut sebelumnya.
Langkah peniupan api ini juga merupakan simbol dari ketekunan dan kesabaran. Proyek sebesar ini tidak dapat diselesaikan dalam semalam. Pemanasan hingga mencapai suhu yang diinginkan akan memakan waktu berhari-hari, mungkin berminggu-minggu, yang menunjukkan bahwa Zulkarnain dan para pekerja harus mempertahankan intensitas panas dan kerja keras mereka secara konsisten hingga tujuan tercapai. Ketekunan ini adalah sifat kepemimpinan yang diteladankan oleh Zulkarnain.
Setelah besi mencapai kondisi merah seperti api, Zulkarnain memerintahkan fase ketiga, yang paling inovatif: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi yang panas itu.” (*Ātūnī ufrigh ‘alayhi qiṭran*). Kata qiṭran (Qitr) secara umum diterjemahkan sebagai tembaga cair atau bahkan timbal cair. Mayoritas tafsir mengarah pada tembaga cair atau campuran logam yang menghasilkan cairan yang sangat keras saat didinginkan.
Suhu lebur besi adalah sekitar 1538°C, sedangkan suhu lebur tembaga adalah 1085°C. Karena Zulkarnain telah memanaskan balok besi hingga merah menyala (di bawah titik leburnya), ketika tembaga cair (Qitr) yang suhunya relatif lebih rendah dituangkan, dua hal besar terjadi secara simultan:
Kombinasi besi sebagai struktur inti (kekuatan tarik dan kompresi) dan tembaga/timbal sebagai matriks pengikat dan pelindung (kekuatan anti-korosi dan pencegah retakan) adalah representasi rekayasa material yang canggih. Benteng ini menjadi sangat kuat sehingga tidak dapat ditembus (dikeruk) dan terlalu licin serta padat untuk dipanjat atau dihancurkan.
Para mufassir abad pertengahan mengakui kecanggihan proses ini, meskipun mereka hidup di masa yang jauh dari metalurgi modern. Mereka memahami bahwa tujuan penuangan Qitr adalah untuk mengeliminasi titik lemah (sambungan) yang ada pada tumpukan balok besi. Jika hanya besi yang disusun, Ya’juj dan Ma’juj mungkin bisa mencabut atau menggali sambungan antara balok-balok itu. Namun, setelah diisi dan diselimuti dengan Qitr yang mendingin dan mengeras, dinding tersebut berubah menjadi sebuah bentukan tunggal yang masif, tahan terhadap perkakas tangan dan upaya penggalian.
Detail teknis ini memberikan pelajaran penting bahwa kekuasaan yang diberikan Allah harus dimanfaatkan bersama dengan akal budi dan ilmu pengetahuan terbaik yang dimiliki manusia. Zulkarnain tidak hanya berdoa; ia bekerja dengan perhitungan dan strategi material yang presisi.
Analisis mendalam terhadap pemilihan material dan prosesnya dalam QS Al-Kahfi 96 menunjukkan pemahaman yang luar biasa tentang ilmu bahan. Struktur yang dihasilkan adalah gabungan komposit yang superior untuk pertahanan.
Benteng Zulkarnain pada dasarnya adalah komposit besi-tembaga (atau besi-timbal). Dalam konteks rekayasa, setiap material memiliki kelebihan dan kekurangan. Besi menawarkan ketangguhan, namun mudah berkarat dan permukaannya kasar. Tembaga menawarkan ketahanan terhadap korosi dan mampu mengisi rongga dengan baik saat dicairkan. Ketika kedua material ini digabungkan melalui pemanasan dan pengecoran yang terencana, hasilnya adalah super-struktur:
Pemanasan dan pengecoran tersebut merupakan proses industri besar yang jarang dicatat dalam sejarah kuno. Meskipun peradaban lain seperti Mesir atau Romawi dikenal memiliki teknik konstruksi maju, kemampuan untuk memanaskan dan menuangkan ribuan ton logam cair untuk menyegel struktur pertahanan dalam skala sebesar ini adalah keajaiban logistik yang luar biasa, menunjukkan bahwa Zulkarnain memiliki akses ke teknologi dan organisasi sosial yang sangat terstruktur dan maju.
Benteng ini bukan sekadar dinding; ia adalah simbol kehati-hatian Zulkarnain dalam merancang solusi yang bersifat permanen dan efektif. Ia memahami bahwa ancaman dari Ya’juj dan Ma’juj memerlukan solusi yang tidak bisa diserahkan kepada generasi berikutnya dalam waktu dekat, melainkan harus bertahan hingga mendekati hari Kiamat.
Dalam beberapa interpretasi, Qitr tidak hanya diartikan sebagai tembaga murni, tetapi bisa jadi paduan (alloy) yang mengandung timbal (lead) atau bahkan seng (zinc). Jika Qitr adalah timbal, ini akan lebih efisien karena timbal memiliki titik lebur yang jauh lebih rendah (sekitar 327°C), yang memudahkannya untuk dicairkan dalam jumlah besar. Namun, tembaga (copper) memberikan kekerasan yang lebih baik. Interpretasi modern sering cenderung pada tembaga atau paduan tembaga-timbal yang dikenal oleh para ahli metalurgi kuno karena kekerasan dan kemampuan segelnya.
Jika kita menerima interpretasi paduan timbal-tembaga, ini semakin menunjukkan kecerdasan rekayasa Zulkarnain. Paduan semacam itu memungkinkan bahan pengisi (filler) mengalir lebih baik ke dalam celah-celah besi yang panas (karena viskositasnya rendah saat cair), tetapi setelah mengeras, ia memberikan kekerasan yang cukup untuk menahan benturan dan goresan.
Apapun komposisi pastinya, pesan utamanya adalah penggunaan material dengan sifat yang saling melengkapi untuk menciptakan integritas struktural yang maksimum, sebuah konsep yang masih digunakan dalam teknik konstruksi modern, terutama dalam pembangunan bendungan, terowongan, dan struktur pertahanan yang memerlukan ketahanan luar biasa terhadap erosi dan tekanan.
Meskipun ayat 96 berfokus pada detail teknis, ia tidak dapat dipisahkan dari konteks teologis yang lebih besar dalam kisah Zulkarnain. Ayat ini adalah puncak dari demonstrasi kekuasaan duniawi yang diberikan Allah, namun selalu disertai dengan pengakuan akan keesaan-Nya.
Peran Zulkarnain dalam ayat 96 mengajarkan bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan harus digunakan untuk melayani umat manusia, bukan untuk eksploitasi atau penindasan. Ketika kaum tersebut menawarkan upah atau imbalan uang untuk membangun benteng, Zulkarnain menolak, menyatakan bahwa kekuasaan dan kekayaan yang Allah berikan sudah cukup baginya (QS. Al-Kahfi: 95).
Penolakan ini adalah inti dari ajaran moral yang terkandung dalam Surah Al-Kahfi. Teknologi, yang di sini diwakili oleh benteng besi dan tembaga, adalah sarana, bukan tujuan. Pembangunan benteng dilakukan murni atas dasar tanggung jawab dan keadilan, sebagai bentuk pertolongan kepada kaum yang lemah yang tidak mampu melindungi diri mereka sendiri dari Ya’juj dan Ma’juj. Ini adalah contoh tertinggi dari penggunaan teknologi canggih yang diarahkan oleh moralitas ilahi.
Setelah benteng itu selesai, Zulkarnain berkata (di ayat 97): “Ini (benteng) adalah rahmat dari Tuhanku…” Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari kecanggihan teknis dan upaya manusia yang masif dalam mengumpulkan besi, memanaskan, dan menuangkan tembaga cair, keberhasilan proyek itu sepenuhnya dikembalikan kepada kehendak Allah. Manusia hanya berusaha, tetapi hasilnya adalah rahmat ilahi.
Bahkan benteng yang begitu kuat, yang menggabungkan elemen kekuatan (besi) dan pelindung (tembaga), memiliki batas waktu. Ayat selanjutnya (98) menegaskan bahwa benteng ini akan tetap kokoh sampai janji Tuhanku datang, di mana Allah akan menjadikannya rata dengan tanah. Struktur metalurgi yang paling canggih sekalipun tidak dapat menahan ketetapan dan takdir Allah SWT pada hari Kiamat.
Pelajaran teologis yang disajikan oleh ayat 96 dan konteks sekitarnya adalah keseimbangan sempurna antara tawakkal (berserah diri) dan ikhtiar (usaha maksimal). Zulkarnain tidak hanya pasrah menunggu keajaiban; ia mengerahkan ilmu terbaik, material terbaik, dan proses rekayasa yang paling efisien (seperti yang dideskripsikan dalam penggunaan besi dan tembaga), namun ia tetap menyandarkan hasil akhir pada kekuasaan Allah.
Meskipun fokus utama kita adalah pada teknik yang dijelaskan dalam ayat 96, tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung spekulasi para ulama dan sejarawan mengenai lokasi geografis dari benteng besi dan tembaga ini. Lokasi ini harus sesuai dengan deskripsi: celah sempit di antara dua gunung yang terletak di akhir perjalanan Zulkarnain di suatu tempat di utara atau timur.
Para mufassir dan geografer Muslim telah lama memperdebatkan identitas Zulkarnain dan lokasi pasti dari benteng tersebut. Beberapa pandangan utama meliputi:
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur’an memberikan detail materialistik (besi dan tembaga) dan proses (pemanasan dan pengecoran) bukan untuk mempermudah penemuan geografis, melainkan untuk menekankan kemampuan teknologi yang dimiliki Zulkarnain. Benteng itu sendiri bisa jadi masih tersembunyi, tertutup oleh lapisan geologis selama ribuan tahun, atau terletak di wilayah yang belum terjamah eksplorasi modern.
Untuk memahami sepenuhnya keagungan ayat 96, kita harus merenungkan tantangan logistik yang terlibat dalam proses metalurgi ini. Membayangkan benteng dengan tinggi setara puncak gunung dan lebar yang menutup celah, yang terbuat dari balok-balok besi, memerlukan pemikiran tentang volume material yang dibutuhkan.
Proses pemanasan besi hingga merah menyala (*nāran*) memerlukan energi yang luar biasa. Jika kita mengasumsikan benteng itu memiliki volume puluhan ribu meter kubik besi, panas yang dibutuhkan akan berasal dari pembakaran bahan bakar organik (kayu, arang) dalam skala yang belum pernah terjadi. Ini menuntut:
Proses ini memakan waktu, tenaga, dan sumber daya alam yang masif, menunjukkan bahwa kemampuan teknis dan manajemen proyek Zulkarnain berada pada tingkat peradaban yang sangat tinggi, mungkin dibantu oleh ilmu yang langsung diilhamkan oleh Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya.
Fase penuangan tembaga cair adalah puncak dari keahlian Zulkarnain. Tembaga harus dicairkan dalam tungku-tungku terpisah dalam jumlah yang sangat besar, dan kemudian diangkut dan dituangkan ke atas benteng besi yang sudah panas.
Penuangan tembaga cair dalam skala besar, yang suhunya melebihi 1000°C, memerlukan peralatan tahan panas, saluran penuangan yang aman, dan koordinasi pekerja yang presisi. Tujuan dari penuangan ini adalah untuk menyegel celah secara merata, dari dasar hingga puncak benteng. Jika penuangan tidak merata, akan terbentuk titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Ya’juj dan Ma’juj.
Teknik ini (menuangkan logam cair ke atas struktur yang dipanaskan) memastikan bahwa cairan Qitr dapat mengalir ke celah terkecil dan kemudian memuai saat mendingin, menciptakan tekanan internal yang semakin mengunci balok-balok besi. Hasilnya adalah struktur monolitik yang tidak dapat dipisahkan.
Kemampuan Zulkarnain untuk melakukan metalurgi massal ini adalah warisan terpenting dari ayat 96. Ini membuktikan bahwa di masa lalu, pengetahuan tentang ilmu bahan dan rekayasa termal telah mencapai tingkat kecanggihan yang kita sering anggap hanya dimiliki oleh era industri modern.
Kisah ini, terutama ayat 96, memiliki relevansi yang abadi bagi umat manusia modern yang dikelilingi oleh teknologi dan kekuasaan global. Ayat ini mengajarkan beberapa prinsip fundamental tentang pembangunan dan pertahanan peradaban.
Zulkarnain menggunakan ilmu metalurgi dan rekayasa untuk tujuan defensif, demi melindungi kaum yang lemah. Dalam era modern, di mana inovasi seringkali didorong oleh kepentingan komersial atau militer, kisah ini mengingatkan kita bahwa puncak peradaban adalah ketika teknologi canggih diarahkan untuk menyelesaikan masalah sosial, perlindungan lingkungan, dan memastikan keadilan bagi semua.
Benteng besi dan tembaga adalah manifestasi fisik dari tanggung jawab sosial. Ia berdiri sebagai kesaksian bahwa sumber daya alam (besi dan tembaga) dan ilmu pengetahuan harus menjadi aset kolektif, bukan alat penindasan individual.
Zulkarnain tidak berkompromi pada kualitas. Ia meminta zubar al-hadid (potongan besi yang sudah jadi) dan proses penyegelan menggunakan Qitr. Pesan di sini adalah bahwa untuk mengatasi ancaman besar (seperti Ya’juj dan Ma’juj, yang bisa diinterpretasikan sebagai kerusakan moral atau kerusakan lingkungan global di zaman modern), kita harus menggunakan solusi dengan kualitas tertinggi dan keahlian terbaik.
Di era modern, di mana bangunan dan infrastruktur seringkali dibangun dengan material yang dihemat (cost-cutting), benteng Zulkarnain mengajarkan etos kerja di mana kualitas dan ketahanan adalah prioritas mutlak, karena tujuannya adalah perlindungan jangka panjang, bukan keuntungan cepat.
Zulkarnain meminta kaum tersebut untuk membantunya dengan tenaga dan material. Meskipun ia adalah insinyur ulung, ia tidak bekerja sendirian. Seluruh kaum berpartisipasi dalam penambangan, pengangkutan, penataan besi, dan peniupan api. Keberhasilan pembangunan benteng adalah hasil dari kolaborasi masif, di mana setiap individu menyumbangkan kekuatan fisiknya untuk memenuhi visi besar sang pemimpin.
Ayat 96 adalah bukti bahwa proyek rekayasa besar menuntut koordinasi sempurna antara kepemimpinan visioner, ilmu pengetahuan yang canggih, dan tenaga kerja yang termotivasi. Tanpa persatuan dalam menyediakan zubar al-hadid dan meniup api (infukhū), benteng itu tidak akan pernah berdiri. Ini adalah pelajaran tentang sinergi antara iman dan amal.
Kembali ke pemilihan material inti, besi (hadid), perlu dipahami mengapa bahan ini sangat ditekankan. Besi, secara alami, adalah salah satu elemen terkuat dan paling melimpah di kerak bumi. Ia adalah simbol kekuatan, kekerasan, dan keabadian fisik.
Dalam konteks pembangunan benteng, besi menyediakan massa dan kekakuan yang diperlukan. Bayangkan usaha yang diperlukan bagi Ya’juj dan Ma’juj, yang digambarkan dalam riwayat sebagai penggali yang tak kenal lelah, untuk menembus balok-balok besi padat. Jika benteng itu terbuat dari batu, mereka mungkin bisa memecahnya. Jika terbuat dari kayu, mereka bisa membakarnya. Namun, benteng besi, apalagi yang dilapisi logam keras (Qitr), hampir mustahil untuk ditembus dengan alat-alat atau kekuatan kasar.
Proses penumpukan balok besi hingga rata dengan puncak gunung menunjukkan bahwa Zulkarnain harus mengatasi tantangan stabilitas struktural. Balok-balok besi, karena massanya yang besar, menciptakan dinding gravitasi yang sangat stabil. Namun, panas dari api yang ditiupkan, diikuti oleh pengecoran tembaga, memastikan bahwa struktur yang awalnya hanya tumpukan menjadi satu kesatuan yang kohesif. Panas membantu balok besi memuai sedikit, dan tembaga cair mengisi celah pemuaian tersebut. Ketika dingin, kontraksi tembaga akan mengunci balok besi tersebut dengan tekanan internal yang sangat kuat.
Detail ini, yang tertulis dalam Al-Qur’an lebih dari 1400 tahun yang lalu, sangat konsisten dengan prinsip-prinsip teknik material modern mengenai komposit dan pengikatan termal. Itu bukan sekadar kisah keajaiban, tetapi deskripsi proses rekayasa yang sangat cerdas dan terukur. Ilmu yang dimiliki Zulkarnain adalah karunia yang memungkinkannya memaksimalkan potensi material alam secara ilmiah dan praktis.
Perintah "Tiuplah (api itu)" merupakan elemen sentral dari ayat 96 yang sering kali hanya dilihat sekilas. Padahal, penggunaan api dalam skala industri merupakan penentu utama keberhasilan benteng tersebut.
Mencapai suhu "merah seperti api" untuk massa besi yang besar membutuhkan kontrol api yang superior. Diperlukan pengaturan udara (oksigen) yang terus-menerus dan terdistribusi merata. Ini menyiratkan adanya teknologi bellow (alat peniup) atau semacam sistem ventilasi yang ditenagai oleh banyak pekerja, bekerja serempak untuk memastikan suhu di seluruh permukaan benteng mencapai titik yang sama.
Mengapa pemanasan ini begitu penting sebelum penuangan Qitr? Jika Qitr (tembaga/timbal cair) yang sangat panas dituangkan ke atas besi yang dingin, akan terjadi kejutan termal. Besi dingin dapat menyerap panas Qitr dengan cepat, menyebabkan Qitr mendingin terlalu cepat, yang mengakibatkan retakan, sambungan yang rapuh, dan ikatan yang buruk. Dengan memanaskan besi hingga merah menyala, Zulkarnain memastikan:
Kontrol terhadap suhu dan pemanfaatan api sebagai alat rekayasa, bukan hanya sebagai sumber panas, adalah pelajaran yang mendalam dari ayat ini. Zulkarnain tidak hanya menggunakan otot, tetapi ia menggunakan prinsip fisika dan kimia untuk mencapai ketahanan maksimum pada strukturnya. Keberadaan proses termal yang begitu spesifik menolak anggapan bahwa benteng ini adalah konstruksi sederhana; sebaliknya, ia adalah hasil dari pengetahuan teknik yang mendalam dan aplikatif.
Dalam sejarah, banyak peradaban telah menggunakan teknik konstruksi masif. Tembok Besar China menggunakan tanah, batu, dan batu bata; Piramida Mesir menggunakan balok kapur dan granit; dan bangsa Romawi menggunakan beton vulkanik. Namun, tidak ada catatan yang secara pasti menggambarkan konstruksi benteng pertahanan yang seluruhnya terbuat dari balok-balok besi yang kemudian dilebur bersama dengan tembaga cair dalam skala sebesar benteng Zulkarnain.
Teknik pengikatan material dengan logam cair memang dikenal dalam skala kecil (misalnya, untuk memperbaiki keramik atau patung), tetapi menerapkannya pada sebuah dinding yang tingginya mencapai puncak gunung adalah hal yang unik. Teknik yang paling mendekati adalah forge welding (penempaan panas), di mana dua besi dipanaskan hingga hampir melebur lalu dipalu bersama. Namun, metode Zulkarnain, yang melibatkan pengecoran Qitr di atas besi yang panas, adalah metode pengecoran-dan-pelapisan yang jauh lebih canggih untuk struktur vertikal yang masif.
Kisah ini, dengan detailnya yang presisi tentang material dan proses, menegaskan bahwa ilmu Zulkarnain tidak terbatas pada arsitektur batu atau tanah liat yang dikenal pada zamannya, melainkan melibatkan teknologi metalurgi tingkat tinggi. Hal ini menantang pandangan konvensional tentang batas kemampuan teknologi di masa lalu, menunjukkan bahwa mungkin ada puncak-puncak peradaban yang sangat maju yang lenyap dari catatan sejarah umum, atau bahwa Zulkarnain diberkahi dengan ilmu yang melampaui peradaban kontemporernya.
Ayat 96 dari Surah Al-Kahfi adalah jendela menuju rekayasa tingkat tinggi yang dilakukan oleh Zulkarnain atas izin dan bimbingan Allah SWT. Ayat ini bukan hanya menyediakan deskripsi tentang pembangunan benteng, tetapi juga memberikan pelajaran fundamental mengenai etika penggunaan kekuasaan, keahlian teknik, dan penggabungan antara usaha manusia yang maksimal (mencari dan memproses besi dan tembaga) dengan pengakuan akan takdir Ilahi.
Proses zubar al-hadid (balok besi), infukhū (meniup api), dan ufrigh ‘alayhi qiṭran (menuangkan tembaga cair) adalah rangkaian langkah metalurgi yang dirancang untuk menciptakan ketahanan struktural dan material yang hampir sempurna terhadap kekuatan destruktif. Benteng ini menjadi simbol permanen akan batas-batas kekuatan manusia dan teknologi—sekokoh apa pun benteng tersebut, ia hanyalah rahmat dari Tuhan, dan pada akhirnya, akan hancur ketika Janji Allah tiba.
Kajian terhadap ayat 96 mendorong kita untuk melihat Al-Qur’an bukan hanya sebagai panduan spiritual, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk refleksi ilmiah dan teknis, mengajarkan kita untuk selalu mengejar keunggulan dalam pekerjaan kita, sambil senantiasa merendahkan diri dan mengakui bahwa segala pencapaian adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Ketepatan dalam pemilihan material, kontrol terhadap suhu, dan logistik yang matang, yang semuanya termuat dalam beberapa frasa Al-Qur’an, memberikan bukti akan kedalaman dan kekayaan narasi Ilahi.
Tentu saja, refleksi mengenai benteng besi dan tembaga ini harus terus diperluas dengan mempertimbangkan setiap aspek tafsir yang ada, mulai dari pandangan klasik hingga analisis modern mengenai komposisi material. Setiap kata dalam ayat ini, dari zubar hingga qitr, membawa beban makna teknis yang luar biasa. Pemilihan kata al-ḥadīd (besi) secara eksplisit di sini dan juga penyebutannya dalam Surah Al-Hadid, menegaskan peran sentral besi sebagai material kekuatan dan pertahanan dalam kosmologi Islam.
Detail mengenai pengecoran tembaga, qitr, harus dipahami sebagai proses finalisasi yang membuat benteng ini unik. Tanpa qitr, benteng hanyalah tumpukan besi yang kuat. Dengan qitr, ia menjadi struktur monolitik yang tak tertandingi. Proses penuangan logam cair untuk mengisi celah dan menyegel sambungan adalah teknik yang genius, dirancang untuk mengatasi kelemahan inheren dari konstruksi balok-balok. Kelemahan pada sambungan adalah titik kerentanan utama yang selalu dicari oleh penyerang, dan Zulkarnain, dengan kebijaksanaannya, menutup celah tersebut secara permanen.
Penguasaan teknik peleburan dan pengecoran dalam volume yang masif di lokasi yang terpencil, sebagaimana disiratkan oleh ayat 96, menuntut kemampuan organisasi yang tinggi. Zulkarnain harus mengatur penambang, pengolah bijih besi, pembuat balok, pengumpul bahan bakar, dan tentu saja, para pekerja yang bertugas meniup api (infukhū) secara bergantian dan tanpa henti. Kesuksesan proyek ini adalah studi kasus sempurna mengenai manajemen proyek skala raksasa di masa lampau, yang didasarkan pada prinsip efisiensi dan hasil yang optimal.
Selain aspek metalurgi, terdapat dimensi psikologis yang penting. Kaum yang meminta bantuan Zulkarnain hidup dalam ketakutan terus-menerus. Pembangunan benteng yang begitu kokoh, menggunakan material yang kuat dan tahan lama, tidak hanya memberikan perlindungan fisik, tetapi juga memberikan ketenangan psikologis yang sangat dibutuhkan. Benteng besi dan tembaga ini menjadi simbol harapan dan keamanan, yang dipersembahkan oleh pemimpin yang adil dan berilmu.
Pelajaran etika kepemimpinan dari Zulkarnain, yang menolak upah dan memilih untuk menggunakan kekuasaan yang diberikan Allah demi kemaslahatan umum, memperkuat pesan moral di balik teknologi canggihnya. Kekuatan teknologi, yang dicontohkan oleh kemampuan untuk menciptakan dinding yang tak tertembus, harus selalu diiringi oleh keikhlasan niat dan keadilan dalam tindakan. Inilah yang membedakan proyek Zulkarnain dari tirani pembangunan besar lainnya dalam sejarah.
Setiap detail dalam ayat 96 memberikan pemahaman bahwa Zulkarnain adalah seorang visioner yang jauh melampaui zamannya. Penggunaan istilah zubar al-hadid menunjukkan ia memerlukan material dalam bentuk yang sudah relatif murni dan siap pakai, bukan sekadar bebatuan bercampur besi. Ini mengindikasikan bahwa peradaban di sekitarnya, meskipun mungkin primitif dalam organisasi politik mereka, setidaknya memiliki kemampuan untuk memproses besi, yang kemudian dimobilisasi oleh Zulkarnain.
Langkah meniup api, infukhū, yang menghasilkan besi "merah seperti api," menunjukkan pemahaman Zulkarnain akan pentingnya pra-pemanasan. Pra-pemanasan besi adalah prasyarat teknis untuk memastikan adhesi yang sempurna dengan tembaga cair. Jika besi itu dingin, tembaga akan mengeras sebelum ia sempat menyebar dan membentuk ikatan yang kuat dengan struktur besi di dalamnya. Jadi, infukhū bukan hanya perintah untuk menyalakan api, melainkan perintah untuk mencapai suhu kritis yang diperlukan untuk proses pengecoran termal.
Dan penuangan qitr, yang biasanya dikaitkan dengan tembaga atau paduannya, berfungsi sebagai lapisan penyegel dan anti-korosi. Dalam jangka waktu ribuan tahun, struktur besi rentan terhadap karat. Lapisan tembaga yang tebal dan padat pada permukaan benteng adalah bentuk perlindungan material yang sangat efektif. Tembaga secara alami membentuk lapisan oksida yang stabil (patina) yang melindungi material di bawahnya dari pelapukan lebih lanjut. Ini menunjukkan perencanaan jangka sangat panjang yang tersembunyi dalam perintah sederhana Zulkarnain.
Seluruh kisah benteng ini adalah studi kasus tentang bagaimana kekuatan Allah, yang terwujud melalui ilmu pengetahuan yang diberikan kepada Zulkarnain, dapat menghasilkan solusi fisik yang mengatasi masalah spiritual dan eksistensial. Ancaman Ya’juj dan Ma’juj adalah masalah fisik (invasi) dan masalah spiritual (kerusakan moral). Benteng besi dan tembaga adalah jawaban fisik yang efektif, namun pelajaran moralnya adalah bahwa ketahanan sejati datang dari keikhlasan dan penggunaan karunia Allah secara bertanggung jawab.
Jika kita tinjau kembali konteks Al-Kahfi secara keseluruhan, benteng Zulkarnain adalah antitesis dari harta yang fana (kisah pemilik dua kebun) dan ilmu yang terbatas (kisah Musa dan Khidr). Benteng ini adalah karya besar yang lahir dari kekuasaan, tetapi didirikan tanpa kesombongan, sepenuhnya tunduk pada kehendak Ilahi. Ini adalah contoh penggunaan teknologi dan material bumi (besi dan tembaga) untuk menciptakan sesuatu yang bertahan lama, namun tetap mengakui keterbatasannya di hadapan Janji Allah di hari akhir. Kekuatan benteng yang dijelaskan dalam ayat 96 harus menjadi inspirasi bagi para insinyur, pemimpin, dan ilmuwan modern untuk mengarahkan kecerdasan mereka pada tujuan yang abadi dan mulia.
Pendalaman terhadap kata al-ṣadafayn, yang berarti "kedua puncak gunung," menggarisbawahi bahwa proyek ini tidak bisa diselesaikan kecuali dengan ketinggian maksimum. Artinya, benteng tersebut harus sepenuhnya mengisi celah, mencegah Ya’juj dan Ma’juj untuk tidak hanya melewatinya di permukaan tanah, tetapi juga untuk tidak memanjat atau melewati bagian atasnya. Desain ketinggian maksimum ini adalah indikator lain dari komitmen Zulkarnain terhadap solusi yang tuntas. Ia tidak mencari jalan pintas; ia membangun struktur yang sempurna sesuai dengan kondisi geografis dan tuntutan pertahanan.
Apabila kita mempertimbangkan volume bahan bakar yang diperlukan untuk memanaskan benteng sebesar itu, ini membawa kita pada dimensi logistik yang tak terbayangkan. Ribuan ton kayu atau arang akan dikonsumsi. Pengorganisasian untuk mengumpulkan dan mengatur bahan bakar ini menunjukkan bahwa di samping keahlian metalurgi, Zulkarnain juga merupakan seorang master logistik dan manajemen sumber daya alam. Proyek ini bukan hanya tentang besi dan tembaga, tetapi tentang penguasaan ekosistem dan rantai pasokan. Ia berhasil mengubah potensi sumber daya alam yang melimpah (besi, tembaga, dan kayu) menjadi realitas struktural yang melindungi sebuah peradaban.
Proses pengecoran qitr di atas benteng besi yang panas juga memiliki fungsi anti-gali (anti-digging). Permukaan luar benteng yang dilapisi logam keras yang dingin dan padat membuat alat gali biasa tidak efektif. Kelekatannya yang sempurna pada besi di dalam membuat setiap upaya untuk mengeruk material menjadi sia-sia. Dengan desain yang begitu kokoh, Zulkarnain membatasi opsi Ya’juj dan Ma’juj, memaksa mereka untuk menghadapi material yang secara kimia dan fisik superior dari kemampuan mereka.
Dalam ilmu metalurgi, komposit besi yang diperkuat dengan tembaga cair di antara sambungan adalah ide yang sangat maju. Besi memberikan kekuatan tarik, sedangkan tembaga cair mengisi celah dan mencegah korosi, memastikan bahwa struktur itu tidak hanya kuat, tetapi juga tahan lama melintasi zaman. Ketahanan inilah yang menjadikannya sebagai 'benteng abadi' sampai batas waktu yang ditentukan oleh Allah. Kekuatan al-ḥadīd (besi) disempurnakan oleh sifat penyegel dan pelindung dari qitr (tembaga/timbal).
Ayat 96 adalah sebuah undangan untuk merenungkan keajaiban ilmu terapan dalam Al-Qur’an. Ia mendorong kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar kisah naratif dan mulai mengapresiasi kedalaman sains, rekayasa, dan strategi yang terkandung dalam setiap detail yang disampaikan oleh wahyu Ilahi. Benteng Zulkarnain adalah bukti bahwa kepemimpinan yang saleh menghasilkan solusi yang paling efektif dan paling bertahan lama bagi umat manusia.
Pembahasan ini secara berulang dan mendalam menekankan pada setiap aspek teknis dan teologis dari QS Al-Kahfi 96. Dimulai dari identifikasi material, proses pemanasan yang presisi, hingga penuangan logam cair, setiap tahapan menunjukkan kecerdasan dan ilmu yang diberikan kepada Zulkarnain. Benteng yang terbuat dari balok-balok besi yang dipanaskan, kemudian disatukan dengan tembaga mendidih, adalah warisan teknik abadi yang terus menantang pemahaman kita tentang sejarah teknologi kuno. Ini adalah pelajaran yang sempurna tentang bagaimana iman dan ilmu dapat berpadu untuk menghasilkan perlindungan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Keunikan komposisi material ini, yang merupakan perpaduan antara dua elemen kunci dalam metalurgi kuno dan modern—besi untuk kekuatan inti dan tembaga/timbal untuk penyegelan dan ketahanan cuaca—adalah pesan yang sangat kuat. Ia bukan sekadar benteng, melainkan sebuah mahakarya rekayasa yang mengintegrasikan pengetahuan material untuk mengatasi ancaman eksistensial. Pilihan material ini, yang dicatat secara abadi dalam Al-Qur’an, memberikan otoritas ilahiah pada pentingnya ilmu material dan desain yang tahan lama. Kita didorong untuk selalu mencari solusi yang paling efektif dan paling abadi dalam menghadapi tantangan, sebagaimana Zulkarnain mencari solusi terbaik dari balok besi dan tembaga cair.
Penekanan pada perintah "tiuplah" (Infukhū) juga harus dilihat sebagai perintah untuk efisiensi energi. Untuk memanaskan volume besi sebesar itu tanpa teknologi modern, satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan suplai oksigen ke api secara dramatis. Peniupan udara melalui bellow memastikan pembakaran yang lebih panas dan cepat, yang merupakan cara paling efisien dalam mengelola termal di masa pra-industri. Kecerdasan ini menyelamatkan waktu dan sumber daya, menjamin bahwa proyek tersebut dapat selesai sebelum ancaman Ya'juj dan Ma'juj menjadi tidak terkendali. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana kecerdasan teknik dan kecepatan implementasi dapat menjadi bagian krusial dari keberhasilan kepemimpinan.
Secara keseluruhan, detail yang diberikan dalam Al-Kahfi 96 mengenai zubar al-hadid dan qitr adalah bukti konkrit bahwa Al-Qur'an tidak hanya berisi kisah-kisah spiritual, tetapi juga petunjuk terperinci tentang ilmu-ilmu terapan, yang relevan sepanjang masa. Detail metalurgi ini tetap menjadi subjek kajian mendalam bagi para ilmuwan dan mufassir, menawarkan wawasan tak terbatas mengenai kemampuan rekayasa yang didorong oleh moralitas dan keadilan ilahi. Analisis terus-menerus terhadap setiap kata dalam ayat ini membuka lapisan makna baru, menguatkan pemahaman kita tentang keagungan Zulkarnain sebagai seorang insinyur agung yang didukung oleh karunia Allah.