Surah Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu permata dalam Al-Qur’an, dikenal karena empat kisah utamanya: Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, serta Dzulqarnain. Namun, inti dari seluruh narasi dan peringatan dalam surah ini mencapai puncaknya pada sepuluh ayat terakhir, yaitu ayat 100 hingga 110. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan narasi duniawi dengan realitas Hari Kiamat, memberikan penekanan tajam mengenai konsekuensi dari pilihan hidup manusia, keadilan ilahi, dan hakikat ibadah yang sesungguhnya.
Akhir Surah Al-Kahfi bukan hanya penutup; ia adalah ringkasan teologis tentang kerugian terbesar (Al-Akhsarina A’malan) dan penegasan mutlak terhadap keesaan Allah (Tawhid). Kajian ini akan menelaah setiap ayat, memahami konteks, implikasi tafsir, dan pelajaran praktis yang harus diresapi oleh setiap Muslim.
Ayat 100 dan 101 memulai penghakiman dengan kontras yang keras antara keadaan para mukmin dan orang-orang kafir pada Hari Perhitungan, secara khusus menyoroti Neraka Jahannam sebagai tempat tinggal abadi bagi mereka yang ingkar.
100. Dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "wa ‘araḍnā" (dan Kami tampakkan) dan "‘arḍan" (dengan jelas/pertampakan yang sempurna). Ini menunjukkan bahwa Neraka Jahannam, yang sebelumnya tersembunyi atau hanya dipercayai melalui iman (ghaib), pada hari itu akan disajikan secara visual dan nyata di hadapan mata orang-orang kafir. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan realitas fisik yang menakutkan.
Para mufassir menjelaskan bahwa penampakan Jahannam ini adalah bagian dari kehinaan bagi mereka yang menolak kebenaran. Kengeriannya adalah puncak dari kekecewaan, di mana semua kesenangan duniawi yang mereka kejar tanpa peduli syariat kini sirna, digantikan oleh pemandangan yang menggetarkan jiwa. Penampakan ini bersifat menyeluruh, meliputi segala sisi pandang mereka, memastikan bahwa tidak ada jalan keluar dan tidak ada ruang untuk penyangkalan lagi.
Implikasi psikologis dari penampakan Jahannam yang jelas ini sangat penting. Keraguan mereka di dunia kini dijawab dengan kepastian yang menyakitkan. Mereka yang menertawakan konsep Akhirat, kini terpaksa menghadapinya secara langsung, menambah rasa penyesalan yang tak terhingga.
101. (Yaitu) orang-orang yang mata (hati) mereka dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku, dan mereka tidak mampu mendengar (kebenaran).
Ayat ini mendeskripsikan sifat dasar orang-orang kafir yang diancam Neraka. Allah menyebutkan dua cacat utama mereka yang bersifat spiritual dan intelektual:
Kondisi "ghiṭā’in" dan "lā yastaṭī’ūna sam’an" adalah metafora untuk kebutaan spiritual. Mereka memiliki indra fisik yang berfungsi, tetapi mereka sengaja menonaktifkan indra batin mereka (akal dan hati) dari tugas terpentingnya: mencari dan menerima hidayah. Kerugian mereka di Akhirat berakar pada kesengajaan mereka menolak menggunakan karunia akal dan pendengaran di dunia.
Ayat 102 hingga 104 adalah jantung dari bagian ini, memperkenalkan konsep "Al-Akhsarīna A’mālan" (orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya). Ini adalah peringatan keras bahwa usaha keras, jika diarahkan pada tujuan yang salah, akan berakhir sia-sia.
102. Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan Jahannam sebagai tempat tinggal (penghormatan) bagi orang-orang kafir.
Ayat ini menegur praktik syirik, di mana manusia mengambil perantara atau penolong (Awliyā’) selain Allah, bahkan jika yang dijadikan perantara itu adalah hamba-hamba Allah yang saleh (seperti Nabi, Malaikat, atau orang suci). Inti dari Tauhid (keesaan) adalah bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan diminta pertolongan mutlak.
Pertanyaan retoris "Afahasiba..." (Maka apakah mereka menyangka...) menunjukkan kekeliruan besar dalam pemikiran mereka. Mereka keliru jika mengira bahwa pelindung-pelindung palsu itu dapat memberikan manfaat atau menolak azab di hari perhitungan. Konsekuensi dari kekeliruan ini ditegaskan di akhir ayat: Jahannam telah disiapkan sebagai "Nuzulan". Kata Nuzulan secara harfiah berarti hidangan atau tempat tinggal yang disiapkan untuk tamu. Penggunaan kata ini secara ironis menekankan bahwa Jahannam adalah 'hidangan kehormatan' yang pantas bagi kekafiran mereka, sebuah ejekan terhadap kehormatan yang mereka cari di dunia.
103. Katakanlah (Muhammad), “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Ayat ini berfungsi sebagai pembuka dramatis, menarik perhatian pendengar. Siapa yang tidak ingin tahu tentang identitas orang-orang yang paling merugi? Penggunaan kata "Al-Akhsarīna" (paling rugi) adalah superlative, menunjukkan tingkat kerugian yang melebihi kerugian lainnya. Ini bukan sekadar orang rugi, tetapi puncak dari kerugian.
Kerugian ini secara spesifik terkait dengan "A’mālan" (amal perbuatan). Ini mengindikasikan bahwa kerugian mereka bukanlah karena mereka malas atau tidak berbuat apa-apa, melainkan karena amal perbuatan mereka, meskipun banyak dan melelahkan, diarahkan pada tujuan yang salah atau didasarkan pada keyakinan yang batil.
104. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Ayat ini memberikan definisi yang menusuk tentang siapa "Al-Akhsarīna A’mālan" itu. Mereka adalah orang-orang yang "ḍalla sa’yuhum" (sia-sia usaha mereka/sesat perjuangan mereka). Mereka telah bekerja keras, berjuang, dan mungkin berkorban besar, tetapi seluruh upaya mereka itu sesat karena tidak didasarkan pada keimanan yang benar (Tauhid).
Poin paling kritis dari ayat ini terletak pada bagian kedua: "wahum yaḥsabūna annahum yuḥsinūna ṣun’an" (sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya). Ini adalah kerugian yang paling menyedihkan—berusaha keras, tetapi dengan keyakinan buta bahwa mereka berada di jalan yang benar. Mereka mungkin adalah orang-orang yang:
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa amal yang sia-sia adalah amal yang tidak memenuhi dua syarat diterimanya ibadah: Ikhlas (hanya karena Allah) dan Ittiba’ (sesuai tuntunan syariat). Jika salah satu hilang, usaha sebanyak apa pun akan menjadi debu yang beterbangan (sebagaimana digambarkan dalam ayat selanjutnya).
Setelah mengidentifikasi siapa yang paling merugi, ayat-ayat berikutnya menjelaskan nasib dan sebab utama kerugian mereka: penolakan terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya.
105. Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sia seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan bagi (amal) mereka pada hari Kiamat.
Ayat ini menyimpulkan akar masalah para ‘Al-Akhsarīn’:
Karena pengingkaran mendasar ini, Allah menetapkan dua konsekuensi:
Pernyataan tentang ketiadaan timbangan (waznan) adalah penghinaan yang sangat besar. Para mufassir seperti Imam Qurtubi menjelaskan bahwa ini berarti amal mereka tidak memiliki bobot kebaikan sedikit pun di sisi Allah. Timbangan (Mizan) pada Hari Kiamat hanya akan didirikan untuk menimbang amal orang-orang mukmin yang memiliki potensi kebaikan. Bagi orang kafir, amalnya sudah pasti sia-sia, sehingga tidak perlu ditimbang; mereka langsung dihakimi berdasarkan kekafiran mereka.
106. Demikianlah balasan mereka itu Neraka Jahannam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan ejekan.
Ayat ini menegaskan bahwa hukuman di Neraka adalah balasan yang adil (jazā’uhum) atas dua dosa spesifik:
Ejekan terhadap agama (Istihzā') adalah perbuatan yang sangat serius dalam Islam, karena menunjukkan penghinaan total terhadap sumber kebenaran dan otoritas Ilahi. Balasan mereka, Jahannam, setara dengan besarnya penghinaan yang mereka lakukan terhadap keesaan Allah dan utusan-Nya.
107. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah Surga Firdaus sebagai tempat tinggal (penghormatan).
Ayat ini langsung membalikkan perbandingan, memberikan harapan dan janji kepada orang-orang mukmin yang kontras dengan janji Neraka bagi orang kafir (Ayat 102). Syarat untuk mendapatkan janji ini adalah kombinasi integral: Āmanū (beriman) dan ‘Amilūṣ-Ṣāliḥāt (beramal saleh).
Ganjaran mereka adalah Jannātul Firdaus (Surga Firdaus). Firdaus dikenal sebagai tingkatan tertinggi dan terbaik dari Surga, letaknya di bawah ‘Arsy (Singgasana) Allah. Sekali lagi, digunakan kata Nuzulan (tempat tinggal/hidangan penghormatan), tetapi kali ini maknanya sejati—penghormatan yang mulia dan abadi.
Ayat ini menekankan bahwa iman sejati harus diwujudkan dalam tindakan. Keimanan tanpa amal saleh adalah teori kosong, dan amal saleh tanpa keimanan sejati (Tauhid) adalah kesia-siaan (seperti dijelaskan di Ayat 104). Hanya kombinasi keduanya yang menghasilkan ganjaran tertinggi.
Ayat 108 dan 109 menjelaskan tentang sifat kekekalan dan tak terbatasnya kenikmatan Surga, sekaligus memindahkan fokus dari nasib manusia ke keagungan dan luasnya ilmu Allah SWT.
108. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari padanya.
Orang-orang mukmin di Firdaus akan Khālidīna fīhā (kekal di dalamnya). Keabadian adalah kenikmatan terbesar di Surga, karena menjamin bahwa kebahagiaan tidak akan pernah berakhir.
Bagian kedua ayat ini, lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā (mereka tidak ingin pindah dari padanya), menunjukkan kesempurnaan kenikmatan Surga. Kenikmatan duniawi, betapapun hebatnya, selalu diiringi oleh rasa bosan atau keinginan untuk mencari yang lebih baik. Di Firdaus, kenikmatan begitu sempurna dan beragam sehingga penghuninya tidak akan pernah merasa jenuh atau memiliki keinginan sedikit pun untuk berpindah ke tempat lain, menegaskan bahwa tidak ada lagi yang lebih baik dari apa yang telah mereka capai.
109. Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Ayat ini adalah salah satu ayat paling agung yang menggambarkan kebesaran ilmu dan hikmah Allah. Konteks ayat ini sering dikaitkan dengan dialog Nabi Muhammad dengan kaum Musyrikin atau Ahli Kitab mengenai hakikat wahyu.
Allah menggunakan hiperbola kosmik: seandainya seluruh air lautan di dunia diubah menjadi tinta (midādan), ia akan habis sebelum Kalimāt Rabbī (Kalimat-kalimat Tuhanku) selesai ditulis. Kalimat-kalimat Allah mencakup segala sesuatu: wahyu, perintah, larangan, ilmu, takdir, dan segala pengetahuan yang ada. Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan dan hikmah Allah bersifat tak terbatas (Infinite).
Penegasan di akhir ayat, wa law ji’nā bi-mithlihī madadan (meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula), menambah intensitas perumpamaan tersebut. Bahkan jika seluruh lautan digandakan berkali-kali, ia tetap tidak akan cukup. Ini mengajarkan kerendahan hati mutlak di hadapan ilmu Allah. Ilmu manusia, sehebat apa pun pencapaiannya, hanyalah setetes dibandingkan samudra ilmu Ilahi.
Ayat terakhir Surah Al-Kahfi berfungsi sebagai kesimpulan universal dan ringkasan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pesan inti dari Tauhid.
110. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.’ Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Ayat ini dibagi menjadi tiga perintah esensial, yang merangkum seluruh pesan kenabian:
“Innamā anā basharun mithlukum” (Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu).
Pernyataan ini sangat penting untuk mencegah pengkultusan individu Nabi Muhammad SAW hingga mencapai tingkat ketuhanan (seperti yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka). Nabi adalah manusia, makan, tidur, menikah, dan merasakan sakit. Ini menegaskan bahwa Nabi adalah model yang dapat diikuti, bukan sosok mitos yang tidak terjangkau. Namun, kemanusiaannya dibedakan oleh wahyu:
“Yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhun wāḥidun” (yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.’)
Tugasnya adalah menyampaikan pesan Tauhid yang murni. Kemanusiaannya adalah sarana, dan wahyu adalah inti dari risalahnya.
“Faman kāna yarjū liqā’a Rabbihī fa-lya’mal ‘amalan ṣāliḥan” (Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh).
Harapan untuk bertemu Allah (Yarju Liqā’a Rabbihī), yaitu mencapai Surga dan keridhaan-Nya, harus diwujudkan melalui Amal Saleh. Ayat ini kembali ke tema Ayat 107—bahwa keimanan harus diterjemahkan menjadi perbuatan yang bermanfaat dan benar (sesuai syariat).
“Wa lā yushrik bi-‘ibādati Rabbihī aḥadan” (dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya).
Ini adalah syarat penerimaan amal yang kedua, yaitu Ikhlas. Amal saleh harus murni dari segala bentuk syirik, baik syirik besar (mempersembahkan ibadah kepada selain Allah) maupun syirik kecil (Riya' – beramal demi pujian manusia).
Ayat 110 memberikan rumus kesuksesan abadi: Tauhid Murni + Amal Saleh Murni (Ikhlas) = Pertemuan Bahagia dengan Allah. Ini adalah kunci yang menghilangkan kerugian yang diderita oleh Al-Akhsarīna A’mālan (Ayat 104).
Untuk mencapai pemahaman menyeluruh, kita perlu mengurai beberapa istilah kunci yang muncul dalam ayat 100-110 dan implikasinya dalam tafsir klasik dan kontemporer.
Istilah ini, yang diterjemahkan sebagai 'orang-orang yang paling merugi amalnya', memiliki implikasi psikologis dan teologis yang mendalam. Mereka bukan pemalas, melainkan orang yang sangat aktif.
Imam Al-Qurtubi dan Ibn Katsir menyebutkan bahwa ayat ini mencakup seluruh kaum kafir yang melakukan amal di dunia, seperti membantu fakir miskin, membangun jembatan, atau menjaga silaturahmi, tetapi karena mereka tidak memiliki fondasi tauhid, amal-amal tersebut tidak memiliki bobot di Akhirat. Ini termasuk:
Pelajaran terpenting dari definisi ini adalah bahwa kualitas amal jauh lebih penting daripada kuantitas. Kualitas ditentukan oleh niat (Ikhlas) dan kesesuaian dengan syariat (Ittiba’). Tanpa Ikhlas, kerja keras duniawi (Sa’yu) hanya menambah kelelahan tanpa menghasilkan pahala abadi.
Allah menggunakan kata Nuzulan dua kali dalam konteks yang bertolak belakang:
Dalam bahasa Arab, *Nuzulan* adalah hidangan yang disajikan kepada tamu yang dihormati. Kontras ini adalah bentuk ‘Istihzā’ Ilahi’ (ejekan ilahi) terhadap orang-orang kafir. Mereka yang sombong di dunia diperlakukan sebagai tamu, tetapi 'hidangan' mereka adalah api neraka. Sementara itu, orang mukmin mendapatkan penghormatan sejati sesuai dengan janji-Nya. Penggunaan kata yang sama dalam konteks yang berlawanan memperkuat keadilan yang kontras: balasan sesuai dengan perbuatan.
Para mufassir berbeda pendapat sedikit mengenai cakupan ‘Kalimatullah’ di Ayat 109, namun intinya sama: keluasan yang tak terbatas.
Apapun cakupannya, pesan utamanya adalah kemahaluasan Ilmu Allah. Ayat ini menanamkan kesadaran pada Nabi dan umatnya bahwa, meskipun mereka telah menerima Al-Qur'an (yang merupakan firman Allah), apa yang mereka ketahui hanyalah sebagian kecil dari lautan pengetahuan Allah yang tidak akan pernah habis ditulis.
Ayat-ayat penutup Surah Al-Kahfi ini memberikan petunjuk yang sangat jelas tentang bagaimana kita harus menjalani kehidupan di dunia untuk menjamin kesuksesan di Akhirat.
Ayat 101 memperingatkan tentang kebutaan spiritual. Pelajaran bagi kita adalah kewajiban untuk secara aktif menghilangkan tabir (ghiṭā’) yang menutupi hati kita. Ini dilakukan melalui Tadabbur (merenungkan) Al-Qur'an dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam (Ayatullah Al-Kauniyah). Setiap Mukmin harus proaktif dalam mencari hidayah, tidak menunggu kebenaran datang tanpa usaha.
Ayat 103 dan 104 memaksa kita untuk mengoreksi niat. Adalah mungkin bagi seseorang untuk beribadah dan beramal kebaikan setiap hari (puasa, salat malam, sedekah), tetapi jika niatnya adalah pujian publik, mendapatkan jabatan, atau pengakuan manusia, maka seluruh usaha itu berisiko menjadi ḍalla sa’yuhum (sia-sia).
Syarat yang ditekankan dalam Ayat 110—wa lā yushrik bi-‘ibādati Rabbihī aḥadan—adalah benteng pertahanan dari kerugian ini. Menjaga Ikhlas adalah perjuangan seumur hidup melawan Syirik Kecil (Riya’ dan Sum’ah).
Pengingkaran terhadap Hari Pertemuan (Liqā’ullah) adalah penyebab kerugian tertinggi (Ayat 105). Sebaliknya, mengharapkan pertemuan itu (Yarjū Liqā’a Rabbihī) adalah motivasi utama bagi Mukmin (Ayat 110).
Harapan ini harus menjadi pendorong semua tindakan kita. Jika kita benar-benar percaya bahwa kita akan berdiri di hadapan Allah, kita akan selalu memastikan bahwa amal kita benar (ṣāliḥ) dan niat kita murni. Rasa takut akan perhitungan dan harapan akan ganjaran (Surga Firdaus) harus seimbang.
Ayat 110 menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah basharun mithlukum (manusia seperti kamu). Ini memberikan batasan yang jelas dalam mencintai Rasulullah SAW. Kecintaan harus diwujudkan dalam Ittiba’ (mengikuti ajarannya dan Sunnahnya), bukan dalam pengkultusan yang menghilangkan unsur kemanusiaannya. Mengikuti beliau berarti mengikuti petunjuk yang diwahyukan kepadanya: Tauhid.
Sebagian besar Surah Al-Kahfi dihafal dan dibaca untuk menghindari fitnah Dajjal. Para ulama menjelaskan bahwa kesebelas ayat terakhir (atau sepuluh ayat pertama) secara spesifik melindungi pembacanya karena ayat-ayat ini memberikan solusi teologis untuk menghadapi empat fitnah besar yang diwakili dalam surah ini, yang akan mencapai puncaknya pada masa Dajjal:
Ayat 100-110 menyimpulkan semua solusi ini. Ketika Dajjal datang dengan fitnah kekuasaan, kekayaan, dan ilmu yang menipu, Mukmin yang memahami Ayat 104 (kerugian amal tanpa Tauhid) dan Ayat 110 (kewajiban Tauhid murni) tidak akan tertipu oleh perbuatan baik atau mukjizat palsu Dajjal. Mereka akan memahami bahwa amal yang tidak didasarkan pada Tauhid Ilāhun Wāhidun adalah sia-sia (Al-Akhsarīna A’mālan).
Intinya, penutup surah ini adalah imunisasi spiritual yang mengajarkan bahwa satu-satunya kekayaan abadi adalah Ikhlas dan Amal Saleh, dan satu-satunya sumber pengetahuan dan kekuatan adalah Allah SWT yang Kalimat-Nya tak terhingga (Ayat 109).
Ayat 109 sering dikaitkan dengan ayat lain yang membahas ilmu Allah, seperti Surah Luqman (31:27), yang menggunakan perumpamaan tujuh lautan lagi yang ditambahkan. Pengulangan metafora ini menekankan bahwa manusia tidak akan pernah bisa mengukur atau memahami seluruh keagungan Allah.
Konteksnya juga relevan dengan tantangan ilmu pengetahuan modern. Semakin manusia menemukan kompleksitas alam semesta, semakin jelas bahwa penciptaan Allah (yang merupakan manifestasi dari Kalimat-Nya) adalah tanpa batas. Baik ilmu fisika, biologi, maupun astronomi modern hanya menggores permukaan dari lautan ilmu yang dikandung oleh firman-Nya.
Sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi adalah peta jalan yang ringkas dan tegas menuju kesuksesan abadi, sekaligus peringatan paling serius tentang jebakan kerugian abadi.
Ayat-ayat ini mengajarkan kita bahwa kerugian terbesar bukanlah kemiskinan atau kegagalan duniawi, melainkan kesia-siaan amal (Ayat 104) yang diakibatkan oleh penolakan terhadap Tauhid (Ayat 105). Jalan menuju Surga Firdaus (Ayat 107) jelas dan tidak berliku:
1. Iman yang Benar (Tauhid): Mengakui keesaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (Ayat 110).
2. Amal Saleh: Mengerjakan perbuatan baik sesuai tuntunan syariat.
3. Ikhlas: Memurnikan niat, memastikan tidak ada sekutu (syirik) yang mendampingi Allah dalam ibadah kita (Ayat 110).
Akhir Surah Al-Kahfi menyajikan perbandingan abadi antara kehormatan yang ironis (Jahannam) dan kehormatan sejati (Firdaus). Bagi Mukmin, ayat-ayat ini adalah penutup yang memotivasi untuk selalu mengevaluasi niat dan perbuatan, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil di dunia adalah dalam kerangka Tauhid, demi mencapai keridhaan Allah Yang Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa beramal saleh dengan ikhlas, dan diwafatkan dalam keadaan mengharap pertemuan dengan Rabb Yang Maha Agung, sehingga dianugerahi tempat tinggal abadi di Jannatul Firdaus.