Ilustrasi simbol nyala api (Lahab), esensi dari hukuman yang dijelaskan dalam surah ini.
Surah Al-Lahab, yang merupakan surah ke-111 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu teks yang paling dramatis dan tegas dalam wahyu Islam. Surah ini secara langsung menunjuk dan mengutuk salah satu musuh paling gigih dari Nabi Muhammad ﷺ, yaitu pamannya sendiri, Abu Lahab, serta istrinya, Ummu Jamil. Nama surah ini diambil dari akhir ayat ketiga, yang merujuk pada "nyala api" (*lahab*) yang telah disiapkan bagi Abu Lahab. Kajian mendalam terhadap surah ini tidak hanya mengungkap takdir seseorang di masa lalu, tetapi juga memberikan pelajaran fundamental mengenai konsekuensi dari penolakan yang sengaja dan permusuhan terhadap kebenaran, terlepas dari ikatan keluarga atau status sosial.
Posisi Surah Al-Lahab dalam mushaf Al-Qur'an dan urutan pewahyuan menunjukkan betapa pentingnya konteks historis yang melingkupinya. Surah ini diturunkan di Mekkah, pada periode awal dakwah ketika permusuhan terhadap Islam mulai memuncak. Ini adalah periode ketika Nabi Muhammad ﷺ dan sekelompok kecil pengikutnya menghadapi penindasan, boikot, dan cemoohan yang tiada henti dari suku Quraisy. Di tengah tekanan ini, ancaman dan kutukan yang ditujukan kepada Abu Lahab menjadi penegasan ilahi bahwa upaya-upaya permusuhan tersebut akan menemui kegagalan total, dan bahwa perlindungan Allah SWT senantiasa menyertai Rasul-Nya.
Untuk memahami kekuatan dan signifikansi Surah Al-Lahab, penting untuk menggali konteks sejarah yang dikenal sebagai *Asbabun Nuzul*. Peristiwa yang memicu pewahyuan surah ini adalah momen krusial dalam sejarah dakwah Islam, menandai dimulainya dakwah secara terang-terangan kepada seluruh suku Quraisy setelah masa dakwah sembunyi-sembunyi.
Setelah tiga tahun dakwah rahasia, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka. Nabi ﷺ naik ke Bukit Safa, bukit tertinggi di Mekkah, dan memanggil seluruh kabilah Quraisy, memperingatkan mereka tentang bahaya yang akan datang. Dalam tradisi Arab, seruan dari bukit yang tinggi seperti itu hanya dilakukan ketika ada bahaya besar, seperti serangan musuh atau bencana alam. Oleh karena itu, semua pemimpin Quraisy berkumpul, termasuk Abu Lahab.
Nabi ﷺ bertanya kepada mereka: "Seandainya aku memberi tahu kalian bahwa ada sekelompok kuda perang yang sedang bersiap menyerang kalian dari balik lembah ini, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serentak menjawab, "Kami tidak pernah mendengar kebohongan darimu." Kemudian, Nabi ﷺ melanjutkan: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya siksa yang pedih."
Reaksi yang muncul dari kerumunan adalah penghinaan dan penolakan, namun yang paling lantang dan kejam adalah tanggapan dari paman Nabi sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, yang dikenal sebagai Abu Lahab (Bapak Jilatan Api), julukan yang mungkin diberikan karena wajahnya yang kemerahan atau karena semangatnya yang membara dalam permusuhan.
Abu Lahab berdiri dan berkata, dengan suara yang dipenuhi amarah dan cemoohan: "Celakalah kamu! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?" Perkataan ini bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan publik terhadap keponakannya dan pesan yang dibawanya. Permusuhan Abu Lahab jauh melampaui sekadar skeptisisme; ia secara aktif berusaha merusak upaya dakwah Nabi ﷺ dengan mengikuti beliau di pasar-pasar dan pertemuan, menyatakan: "Orang ini adalah pendusta, dia adalah orang gila. Jangan kalian ikuti dia."
Sebagai respons langsung terhadap penghinaan dan permusuhan yang terang-terangan tersebut, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab. Fakta bahwa surah ini secara eksplisit mengutuk Abu Lahab saat ia masih hidup dan menubuatkan kehancurannya di neraka memiliki implikasi teologis yang sangat besar. Ini bukan hanya sebuah ancaman, tetapi sebuah ramalan yang pasti akan terjadi. Ini menegaskan bahwa permusuhan yang ia tunjukkan terhadap risalah Nabi ﷺ telah mencapai titik di mana tidak ada lagi harapan baginya untuk bertaubat, dan takdirnya telah ditetapkan oleh ketetapan ilahi.
Konteks ini juga menjelaskan mengapa kutukan dalam surah ini begitu pedas. Nabi Muhammad ﷺ harus menghadapi permusuhan terburuk dari anggota keluarganya sendiri, seseorang yang secara moral seharusnya menjadi pelindungnya berdasarkan tradisi suku. Permusuhan dari Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil (saudara perempuan Abu Sufyan) memberikan tekanan sosial dan psikologis yang luar biasa pada Nabi dan pengikutnya, yang mendorong turunnya perlindungan dan penegasan ilahi melalui Surah Al-Lahab.
Surah Al-Lahab terdiri dari lima ayat yang pendek namun padat, masing-masing membawa bobot makna yang mendalam mengenai konsekuensi dari penentangan terhadap kebenaran.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّTabbat yadā Abī Lahabin wa tabb.
Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan celaka.
Kata kunci dalam ayat ini adalah *Tabbat*. Secara harfiah, kata ini berarti 'hancur', 'rusak', 'celaka', atau 'merugi'. Ini adalah bentuk doa buruk atau kutukan yang sangat kuat. Ketika Allah menggunakan kata ini, itu berarti kehancuran total dan pasti. Penggunaan kata ini dalam bentuk masa lalu (atau bentuk yang menunjukkan kepastian) menunjukkan bahwa takdir kehancuran Abu Lahab sudah pasti dan seolah-olah sudah terjadi.
Mengapa Allah secara spesifik menyebut "kedua tangan" (*yadā*)? Tangan adalah simbol dari tindakan, usaha, dan kekuasaan seseorang. Dalam konteks Arab, tindakan 'mencoba' atau 'berusaha' sering dihubungkan dengan tangan. Dengan mengutuk tangannya, Allah mengutuk semua usaha dan upaya yang dilakukan Abu Lahab untuk merusak dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Itu berarti semua rencananya, kekuatannya, dan tindakannya ditakdirkan untuk gagal dan berakhir dalam kehancuran.
Frasa kedua, *wa tabb*, mengulangi dan memperkuat kutukan tersebut. Ini adalah penegasan ilahi: tidak hanya upaya fisiknya yang hancur, tetapi keberadaannya secara keseluruhan juga ditakdirkan untuk kerugian abadi. Sebagian mufasir menafsirkan *Tabbat yadā* sebagai hukuman di dunia (kegagalan usahanya), sementara *wa tabb* sebagai hukuman di akhirat (kehancurannya di neraka), menunjukkan bahwa ia akan merugi dalam segala hal, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Pengulangan dan penekanan ini adalah bagian dari gaya retorika Al-Qur'an (al-balaghah) untuk memberikan dampak maksimal. Ini menunjukkan bahwa penghinaan yang dilakukan Abu Lahab terhadap Nabi ﷺ adalah dosa yang sangat besar sehingga layak mendapatkan kutukan dua kali lipat dan kepastian hukuman yang tak terhindarkan.
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَMā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab.
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.
Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk kekuatan duniawi yang dimiliki Abu Lahab—kekayaan (*māl*) dan hasil usahanya (*mā kasab*)—tidak akan mampu menyelamatkannya dari takdir yang telah ditetapkan. Di masa Quraisy Mekkah, kekayaan dan jumlah anak laki-laki adalah penentu utama status, kehormatan, dan kekuatan seseorang. Abu Lahab adalah orang yang kaya dan memiliki status yang tinggi.
Kata *aghna* berarti 'memberi manfaat' atau 'menyelamatkan'. Allah secara tegas meniadakan manfaat dari kekayaan Abu Lahab. Kekayaannya, yang mungkin ia gunakan untuk melawan Islam (misalnya, untuk mendanai permusuhan atau membayar orang lain untuk mencemooh Nabi), tidak akan menjadi penebusnya di hadapan Allah.
Adapun frasa *wa mā kasab* (dan apa yang dia usahakan), para ulama tafsir memiliki dua penafsiran utama:
Dengan menafikan manfaat dari harta dan anak-anaknya, ayat ini memberikan pelajaran universal bahwa ikatan darah atau aset material tidak akan menjadi perisai ketika seseorang secara sengaja menolak kebenaran ilahi. Kekuasaan duniawi akan runtuh di hadapan ketetapan Allah.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍSayaṣlā nāran dhāta lahab.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (yang mempunyai nyala api).
Ayat ini adalah inti dari hukuman bagi Abu Lahab dan menjelaskan dari mana nama surah ini diambil. Kata *sayaṣlā* berarti 'dia akan masuk' atau 'dia akan terbakar', menggunakan kata depan *sa* yang menunjukkan masa depan yang pasti dan dekat. Hukuman ini bukanlah ancaman kosong, melainkan sebuah kepastian.
Dia akan masuk ke dalam *nāran dhāta lahab* (api yang memiliki nyala api). Di sini terjadi resonansi linguistik yang luar biasa, dikenal sebagai *jinas* atau permainan kata. Julukannya adalah Abu Lahab (Bapak Nyala Api), dan takdirnya adalah *Nāran dhāta Lahab* (Api yang Memiliki Nyala Api). Ini adalah ejekan teologis: ia menyandang julukan api di dunia karena penampilannya atau permusuhannya yang membara, dan ia akan mendapatkan manifestasi fisik dari julukan tersebut sebagai tempat tinggal abadinya di akhirat.
Koneksi yang dalam antara nama dan hukuman ini menunjukkan kesempurnaan Al-Qur'an dalam retorika. Seolah-olah takdirnya telah tercetak dalam namanya sendiri—seorang musuh Islam yang hidup dengan nyala permusuhan akan dibayar dengan nyala api neraka yang sesungguhnya.
Penjelasan mengenai Neraka yang "bernyala" menunjukkan intensitas siksaan. Tidak hanya api yang panas, tetapi api yang menyala-nyala dan bergejolak, jauh melampaui api duniawi yang biasa kita kenal. Ini adalah gambaran tentang siksaan yang paling mengerikan yang menanti mereka yang secara definitif menolak kenabian.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِWa-mra’atuhū ḥammālatal-ḥaṭab.
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
Kutukan diperluas kepada istri Abu Lahab, Ummu Jamil (Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan sebelum ia masuk Islam). Ia digambarkan sebagai *ḥammālatal-ḥaṭab* (pembawa kayu bakar).
Frasa "pembawa kayu bakar" memiliki dua interpretasi yang saling melengkapi di kalangan mufasir:
Ummu Jamil terkenal karena permusuhannya yang aktif. Ia sering kali meletakkan duri, kotoran, dan onak di jalur yang dilewati Nabi Muhammad ﷺ saat gelap di sekitar rumahnya untuk melukai dan menghina beliau. Dengan demikian, ia adalah mitra sempurna bagi suaminya dalam kejahatan, secara aktif "menyalakan api" permusuhan di dunia, sehingga hukuman di akhirat juga mencerminkan profesi jahatnya di dunia. Keterlibatannya menunjukkan bahwa permusuhan terhadap risalah tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan, dan hukuman ilahi berlaku sama atas dasar perbuatan, bukan hanya gender.
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍFī jīdihā ḥablum mim masad.
Di lehernya ada tali dari sabut (atau serat kasar).
Ayat terakhir ini menutup gambaran kehinaan Ummu Jamil dengan gambaran yang sangat spesifik dan merendahkan. *Fī jīdihā* berarti 'di lehernya' (jīd adalah bagian leher yang indah dan dihiasi), dan *ḥablum mim masad* berarti 'tali dari sabut' atau 'serat kasar/palem yang dipilin'.
Secara harfiah, di Akhirat, Ummu Jamil akan membawa beban fitnahnya (kayu bakar) di punggungnya, yang diikatkan di lehernya dengan tali dari sabut yang kasar, bukannya kalung berharga yang ia kenakan di dunia. Tali dari sabut adalah tali yang biasa digunakan untuk mengikat ternak atau membawa beban berat, dan penggunaannya pada leher menunjukkan kehinaan tertinggi, status seperti budak atau binatang beban.
Ayat ini berfungsi sebagai kontras tajam dengan kekayaan dan kemuliaan yang dinikmati Ummu Jamil di dunia. Di dunia, ia mungkin mengenakan perhiasan berharga di lehernya; di akhirat, perhiasannya diganti dengan tali kasar yang menyakitkan. Gambaran ini menekankan bahwa semua kemegahan duniawi akan dilucuti, dan manusia akan dihakimi berdasarkan perbuatannya, di mana kehormatan akan digantikan oleh kehinaan mutlak.
Surah Al-Lahab memiliki bobot teologis yang luar biasa yang melampaui kisah individu Abu Lahab dan Ummu Jamil. Surah ini menjadi salah satu bukti terkuat akan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ dan sifat Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi yang mutlak.
Surah ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup dan sangat aktif dalam menentang Islam. Ayat-ayat tersebut secara eksplisit menubuatkan takdirnya di Neraka, menjadikannya musuh Islam pertama dan satu-satunya yang ditakdirkan Allah untuk kehancuran abadi saat ia masih bernafas.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada tantangan yang tersirat di dalamnya. Untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah pendusta, Abu Lahab hanya perlu melakukan satu hal: mengucapkan syahadat, atau setidaknya berpura-pura masuk Islam, baik secara tulus maupun munafik. Jika ia melakukan itu, dan kemudian ia mati dalam keadaan Islam, maka ramalan Al-Qur'an akan terbantahkan. Hal ini secara fundamental akan merusak klaim Nabi Muhammad ﷺ sebagai Rasul Allah.
Namun, Abu Lahab tidak pernah melakukan itu. Ia tetap gigih dalam kekafirannya, ia terus menentang, dan ia meninggal dalam keadaan kafir tak lama setelah Perang Badar (meskipun tidak berpartisipasi dalam perang, ia meninggal karena penyakit menular yang mengerikan), yang dianggap oleh banyak mufasir sebagai manifestasi dari *Tabbat yadā* di dunia. Kematiannya yang hina dan kepastian kekafirannya hingga akhir hayatnya menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa Surah Al-Lahab adalah pengetahuan ilahi yang pasti tentang takdir masa depan seseorang, sebuah hal yang mustahil diketahui oleh manusia biasa.
Ini menegaskan sifat kenabian: Al-Qur'an tidak membuat prediksi berdasarkan probabilitas, tetapi berdasarkan ketetapan Allah SWT. Ramalan yang terpenuhi ini menjadi salah satu pilar argumentasi para ulama dalam menjelaskan kemukjizatan Al-Qur'an.
Abu Lahab adalah paman Nabi, anggota Bani Hasyim, kabilah yang secara tradisi bertanggung jawab melindungi Nabi ﷺ. Namun, Al-Qur'an menunjukkan bahwa ikatan darah tidak memberikan kekebalan atau keistimewaan dari hukuman ilahi. Ayat kedua, *Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab*, secara jelas menafikan nilai kekayaan, status, dan bahkan garis keturunan dalam konteks keselamatan akhirat.
Pelajaran teologis yang mendasar adalah bahwa keselamatan adalah masalah tanggung jawab individu dan iman, bukan warisan keluarga atau kekuasaan sosial. Seseorang akan dibalas atas permusuhan dan penolakan yang sengaja ia tunjukkan terhadap kebenaran, terlepas dari seberapa dekat ia dengan Nabi atau seberapa kaya ia di mata masyarakat.
Prinsip ini sangat penting dalam Islam, menolak konsep nepotisme spiritual. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ adalah makhluk termulia, ia tidak dapat menyelamatkan pamannya, karena pintu iman telah ditutup oleh kehendak Abu Lahab sendiri untuk menolak kebenaran. Pintu hidayah selalu terbuka, tetapi ketika penolakan mencapai tingkat permusuhan yang tak terobati dan terencana, maka takdir kehancuran akan ditetapkan.
Untuk memahami mengapa hukuman dalam Surah Al-Lahab begitu spesifik dan keras, kita harus menganalisis karakter dan peran yang dimainkan oleh Abu Lahab dan istrinya dalam menentang dakwah Islam.
Gambaran visual yang merepresentasikan lanskap Mekkah pada masa awal dakwah Nabi Muhammad.
Abu Lahab memiliki status yang kontradiktif. Ia adalah paman Nabi ﷺ dan pada awalnya, ketika Bani Hasyim menghadapi tekanan dari kabilah lain, Abu Lahab sempat mendukung kabilahnya. Namun, ketika pesan Islam mulai mengancam struktur sosial dan agama pagan yang ada, ia menjadi penentang paling keras dan jahat dari Bani Hasyim. Setelah pamannya, Abu Thalib (pelindung utama Nabi), meninggal, Abu Lahab mengambil alih peran kepemimpinan dalam Bani Hasyim untuk sementara, dan segera ia menggunakan posisi itu untuk mencabut perlindungan yang diberikan kepada Nabi ﷺ.
Permusuhannya sangat pribadi dan publik. Ia bukan sekadar tidak percaya; ia secara aktif mengganggu dakwah Nabi. Ketika Nabi ﷺ berkhutbah kepada para peziarah di musim haji, Abu Lahab akan berdiri di belakangnya dan berteriak, "Wahai manusia, jangan kalian dengarkan dia! Dia adalah pembohong!" Jika Nabi ﷺ berdakwah di pasar, Abu Lahab akan menunggunya di pintu keluar dan memanggilnya dengan sebutan buruk. Permusuhan ini sangat efektif dalam menghalangi orang asing yang mungkin tertarik pada pesan Islam.
Sikap Abu Lahab menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebenaran terkadang berakar pada kesombongan sosial, ketakutan akan kehilangan kekuasaan, dan fanatisme terhadap tradisi nenek moyang, bukan hanya kurangnya bukti. Ia memilih mempertahankan statusnya di Quraisy daripada mengikuti keponakannya yang menyerukan tauhid.
Ummu Jamil adalah karakter kunci kedua dalam surah ini. Sebagai saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum masuk Islam), ia berasal dari keluarga yang sangat berpengaruh, Bani Umayyah, yang bersaing ketat dengan Bani Hasyim. Permusuhannya terhadap Nabi ﷺ termotivasi oleh kebencian antar-kabilah, perlindungan terhadap agama pagan suaminya, dan mungkin kecemburuan pribadi.
Ummu Jamil dicatat dalam sejarah Islam sebagai penyebar fitnah yang sangat efisien. Inilah yang menjadi landasan penafsiran bahwa ia adalah *ḥammālatal-ḥaṭab* (pembawa kayu bakar). Ia secara lisan menyebarkan gosip, kebohongan, dan fitnah tentang Nabi ﷺ, yang tujuannya adalah memecah belah komunitas Muslim yang baru lahir dan menyulut kemarahan kaum Quraisy terhadap Nabi ﷺ. Sifatnya yang sangat vokal dan aktif dalam oposisi inilah yang membedakannya dari istri-istri musuh lain yang mungkin hanya pasif.
Selain fitnah lisan, ia juga dikenal karena tindakan fisik yang keji, seperti menaburkan duri. Tindakan ini merupakan penghinaan yang sangat rendah di Mekkah, menunjukkan betapa rendahnya ia bersedia merendahkan dirinya demi menentang Islam. Kehinaan ini dijawab dengan gambaran tali sabut di lehernya, sebuah kehinaan yang abadi dan setara dengan perbuatannya di dunia.
Meskipun Surah Al-Lahab secara spesifik ditujukan kepada dua individu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan berlaku di setiap zaman. Surah ini menawarkan wawasan mendalam tentang sifat permusuhan, keadilan ilahi, dan nilai-nilai sejati.
Pesan sentral dari Surah Al-Lahab adalah bahwa kekuatan, kekayaan, dan status sosial tidak menawarkan perlindungan dari keadilan Tuhan. Abu Lahab adalah simbol kesombongan materialistik dan kekuatan suku yang digunakan untuk menindas kebenaran. Al-Qur'an menghancurkan ilusi ini dengan menyatakan bahwa kekayaannya tidak akan menyelamatkannya.
Hal ini mengajarkan umat Islam untuk tidak terpesona oleh kemewahan atau kekuasaan para penentang kebenaran. Kekuatan duniawi mereka hanyalah sementara. Ketika takdir ilahi datang, segala usaha, harta, dan bahkan anak-anak yang mereka banggakan akan menjadi tidak berharga. Kekayaan yang diperoleh melalui penindasan atau yang digunakan untuk menentang kebenaran akan menjadi api yang membakar pemiliknya sendiri.
Surah ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi siapa pun yang secara sengaja, sadar, dan aktif memilih untuk memusuhi kebenaran dan menyerang para pembawa pesan kebenaran. Abu Lahab dan Ummu Jamil tidak hanya pasif dalam ketidakpercayaan mereka; mereka adalah agen aktif kejahatan. Mereka memobilisasi kebencian, menyebarkan kebohongan, dan berusaha melukai Nabi ﷺ.
Hal ini membedakan mereka dari orang kafir lain yang mungkin bertaubat di kemudian hari. Permusuhan mereka telah mencapai tingkat di mana hati mereka terkunci, dan oleh karena itu, mereka telah ditetapkan takdirnya. Surah ini menetapkan standar: permusuhan yang disengaja terhadap Islam dan Rasul-Nya membawa konsekuensi yang paling berat, yang tidak dapat ditebus oleh ikatan darah atau status duniawi.
Bagi Nabi Muhammad ﷺ dan pengikutnya yang sedang tertindas di Mekkah, Surah Al-Lahab adalah sumber ketenangan dan penegasan. Bayangkan beban psikologis melihat paman sendiri menjadi musuh terburuk. Surah ini datang untuk mengangkat beban tersebut, memberi tahu Nabi ﷺ bahwa Allah SWT sendiri yang akan menangani musuh tersebut, dan bahwa kehancuran mereka telah dijamin.
Surah ini mengajarkan bahwa ketika hamba-Nya yang saleh dianiaya, Allah akan menjadi pelindung dan pembalas. Dukungan ini jauh lebih kuat dan lebih pasti daripada perlindungan suku atau perjanjian manusia mana pun. Ia memberikan kekuatan kepada kaum Muslim awal untuk bertahan menghadapi penindasan, mengetahui bahwa nasib para penentang mereka sudah ditentukan.
Keindahan dan kekuatan Surah Al-Lahab juga terletak pada retorika dan pilihan kata yang digunakan, yang menunjukkan kedalaman bahasa Arab Al-Qur'an.
Seperti yang telah dibahas, penggunaan kata *Lahab* dalam nama panggilan (Abu Lahab) dan deskripsi neraka (*dhāta lahab*) adalah contoh *jinas* yang sempurna, yaitu dua kata yang sama bunyinya tetapi berbeda maknanya (atau dalam kasus ini, satu merujuk pada julukan, yang lain pada realitas). Resonansi ini menciptakan kohesi yang kuat dan dampak yang mendalam: takdirnya terkait dengan namanya. Ini adalah salah satu contoh paling jelas dari koherensi tematik dan linguistik dalam Al-Qur'an.
Penggambaran Ummu Jamil sebagai *ḥammālatal-ḥaṭab* dan penegasan bahwa di lehernya ada *ḥablum mim masad* (tali sabut) memberikan visualisasi siksaan yang sangat spesifik dan merendahkan.
Al-Qur'an bisa saja menggunakan deskripsi umum tentang hukuman neraka, tetapi ia memilih detail ini untuk menegaskan bahwa hukuman di akhirat akan secara langsung berhubungan dengan penghinaan yang mereka lakukan di dunia. Ketika seseorang melakukan kejahatan yang direndahkan (seperti menyebar fitnah yang kasar atau meletakkan duri di jalan), ia akan dihukum dengan cara yang menghinakan (seperti membawa beban dengan tali kasar), yang mencerminkan keadilan ilahi yang sangat teliti.
Penggambaran tali sabut sangat signifikan. Sabut (*masad*) adalah serat kasar dan murah yang digunakan oleh orang miskin atau budak. Mengikatkan tali sabut di leher seorang wanita bangsawan Mekkah yang kaya raya di akhirat adalah penghinaan yang paling menyakitkan, menunjukkan bahwa di mata Allah, status sosialnya tidak bernilai apa-apa.
Pilihan kata kerja *Tabbat* di awal surah, alih-alih kata yang lebih umum untuk 'binasa' atau 'gagal', menunjukkan bahwa kehancuran yang ditakdirkan adalah kehancuran yang lengkap, mendalam, dan tak terhindarkan. *Tabbat* memiliki nuansa kerugian yang melumpuhkan, seolah-olah seluruh fondasi kehidupannya telah runtuh. Penempatan kata ini di awal surah memberikan nada ancaman yang mendominasi seluruh teks, memastikan bahwa pembaca segera menyadari keseriusan takdir Abu Lahab.
Selama berabad-abad, ulama tafsir telah membahas Surah Al-Lahab, terutama mengenai makna metaforis dari ayat 4 dan 5, dan implikasi hukum dari takdir yang ditentukan.
Imam At-Tabari, dalam *Jāmi' al-Bayān*, banyak mengutip riwayat yang menjelaskan *Asbabun Nuzul* di Bukit Safa. Ia menekankan bahwa kehancuran yang dijanjikan pada Abu Lahab tidak hanya terjadi di akhirat, tetapi juga di dunia. Ia mencatat bahwa Abu Lahab meninggal dalam keadaan yang sangat hina dan mengerikan. Ketika wabah *Al-‘Adasah* (sejenis bisul yang sangat menular) melanda Mekkah, Abu Lahab terkena penyakit tersebut. Keluarganya takut mendekatinya karena penyakit itu sangat menular dan mematikan. Ia dibiarkan membusuk selama tiga hari. Ketika ia akhirnya meninggal, ia hanya dikuburkan dengan cara yang paling minimal oleh budak yang disewa, didorong menggunakan kayu panjang untuk menghindari kontak, menunjukkan kehinaan yang nyata, sesuai dengan makna *Tabbat yadā*.
Kisah ini menegaskan bahwa kutukan ilahi terhadap Abu Lahab segera terwujud dalam kehinaan fisik dan sosial bahkan sebelum ia menghadapi neraka *dhāta lahab*.
Fakhruddin Ar-Razi, dalam *Mafatih al-Ghayb*, sangat menekankan aspek mukjizat profetik Surah Al-Lahab. Ar-Razi berpendapat bahwa fakta bahwa surah ini diturunkan di awal periode Mekkah dan secara definitif menyatakan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka adalah bukti paling kuat dari kenabian. Menurut Ar-Razi, jika saja Abu Lahab mampu mengucapkan syahadat, bahkan secara munafik, seluruh struktur kenabian akan goyah. Tetapi karena ia tidak pernah melakukannya—sebuah pilihan yang diyakini Ar-Razi dikendalikan oleh kehendak Allah untuk membuktikan kebenaran Al-Qur'an—maka surah ini berdiri sebagai bukti yang tak terbantahkan.
Ar-Razi juga membahas mendalam mengenai makna *mā kasab* (apa yang dia usahakan), menyimpulkan bahwa penafsiran yang paling kuat adalah merujuk pada anak-anak Abu Lahab. Ini menekankan bahwa ikatan keluarga yang paling berharga pun tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah.
Dalam tafsir modern *Fī Ẓilāl al-Qur'ān*, Sayyid Qutb melihat Surah Al-Lahab sebagai pemutus total antara Islam dan sistem nilai Jahiliyah. Qutb berpendapat bahwa masyarakat Jahiliyah Mekkah sangat bergantung pada kekuasaan suku dan ikatan darah. Surah ini menghancurkan kedua pilar tersebut. Ia menunjukkan bahwa permusuhan terhadap Allah memutuskan ikatan darah, dan bahwa kekayaan tidak memiliki nilai ketika berhadapan dengan kebenaran ilahi.
Qutb berfokus pada Ummu Jamil sebagai representasi dari oposisi yang menggunakan alat-alat kotor seperti fitnah dan gosip, yang merupakan senjata umum bagi mereka yang tidak memiliki argumen yang kuat. Ia menegaskan bahwa hukuman di neraka adalah cerminan langsung dari kejahatan duniawi: fitnah yang menyulut api dibalas dengan api neraka, dan kehinaan dibalas dengan tali budak.
Bagaimana Surah Al-Lahab, yang tampaknya sangat spesifik terhadap Abu Lahab dan istrinya, relevan bagi umat Islam di zaman kontemporer? Relevansinya terletak pada prinsip-prinsip etika yang ditanamkannya.
Pelajaran terpenting mungkin adalah bahwa permusuhan yang paling berbahaya sering datang dari orang-orang terdekat, dari 'lingkaran dalam'. Abu Lahab bukanlah orang asing atau musuh dari kabilah jauh; ia adalah keluarga. Hal ini mengingatkan kita bahwa kebenaran dan keadilan harus diutamakan di atas loyalitas kesukuan atau ikatan darah yang buta.
Dalam konteks modern, ini dapat diartikan sebagai kewaspadaan terhadap kemunafikan dan penolakan yang datang dari individu atau kelompok yang seharusnya menjadi bagian dari komunitas, tetapi malah secara aktif menentang nilai-nilai kebenaran, integritas, dan keadilan dalam masyarakat.
Hukuman yang spesifik bagi Ummu Jamil menyoroti betapa seriusnya dosa lisan, yaitu fitnah (*namimah*) dan penyebaran kebohongan. Menggambarkan Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" adalah kiasan yang menakutkan tentang bagaimana kata-kata jahat dapat "menyalakan api" perselisihan, kebencian, dan kerusakan sosial.
Surah ini mengajarkan bahwa penggunaan lidah untuk menyebar fitnah dan merusak reputasi orang lain, terutama mereka yang membawa pesan kebenaran, adalah dosa yang membawa konsekuensi seberat hukuman neraka. Dalam era informasi dan media sosial, di mana fitnah dapat menyebar lebih cepat daripada api, peringatan dalam Surah Al-Lahab menjadi sangat mendesak.
Pengabaian harta dan *mā kasab* (usaha) oleh Allah dalam ayat kedua berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa tujuan akhir hidup bukanlah mengumpulkan kekayaan atau mempertahankan status, melainkan mencari keridhaan Allah. Ketika kekayaan dan upaya digunakan untuk memerangi kebenaran, keduanya menjadi bencana bagi pemiliknya sendiri. Pelajaran ini relevan bagi setiap individu untuk memastikan bahwa semua sumber daya dan energi yang dimiliki diarahkan pada jalan kebaikan, dan tidak disalahgunakan untuk kesombongan atau penindasan.
Pada akhirnya, Surah Al-Lahab adalah deklarasi tegas tentang keadilan Tuhan. Ia adalah surah penghiburan bagi mereka yang berjuang melawan permusuhan dan penindasan, menjamin bahwa bahkan musuh yang paling gigih dan berkuasa pun akan runtuh di hadapan ketetapan ilahi. Surah ini tidak hanya mengutuk takdir dua individu di masa lalu, tetapi juga menegaskan prinsip universal bahwa permusuhan yang disengaja terhadap cahaya kebenaran akan selalu membawa pada kehancuran dan kerugian abadi. Kebenaran yang dibawa oleh Muhammad ﷺ akan bertahan, sementara semua penentangnya, terlepas dari kekayaan atau kekuasaan mereka, akan menemui takdir yang telah ditetapkan: *Tabbat yadā*.