Mengurai Tirai Hikmah: Tafsir Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 81–90

Surah Al-Kahfi adalah lautan luas yang menyimpan pelajaran abadi, mencakup empat pilar utama kearifan: kisah Ashabul Kahfi (ujian keimanan), kisah Musa dan Khidir (ujian ilmu), kisah pemilik dua kebun (ujian harta), dan kisah Dzulqarnain (ujian kekuasaan). Ayat 81 hingga 90 memuat titik klimaks dari kisah kedua, di mana misteri takdir terungkap, sekaligus menjadi gerbang pembuka menuju narasi ketiga yang berbicara tentang kepemimpinan kosmik dan pembangunan peradaban.

Dalam rentang sepuluh ayat ini, kita disajikan pemahaman fundamental mengenai keadilan yang melampaui logika indrawi manusia, diakhiri dengan gambaran pemimpin ideal yang melakukan ekspedisi ke penjuru bumi, menyebarkan keadilan dan mempraktikkan manajemen kekuasaan yang bersumber dari ketundukan total kepada Sang Pencipta.

I. Penyingkapan Rahasia Takdir: Justifikasi Khidir (Al-Kahfi 81–82)

Ayat 81 dan 82 adalah penutup yang indah dan mengharukan bagi kisah Musa dan Khidir. Setelah Musa (AS) merasa tidak sabar dan meminta penjelasan mutlak atas tiga peristiwa yang tampak zalim—merusak perahu, membunuh seorang anak, dan memperbaiki dinding tanpa upah—Khidir memberikan justifikasi ilahiah yang mengandung lapisan hikmah dan rahmat yang mendalam.

Simbol Ilmu Gaib dan Hikmah Takdir

Ayat 81: Rahmat dan Pengganti yang Lebih Baik

فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَوةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا

“Maka Kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dan lebih sayang (kepada kedua orang tuanya).”

Justifikasi Khidir terhadap pembunuhan anak laki-laki itu mengungkap konsep superioritas pengetahuan ilahi atas pengetahuan manusia. Anak tersebut, walau secara fisik tampak sehat, ditakdirkan untuk membawa kesusahan dan kekufuran yang ekstrem (*tughyanan* dan *kufran*) bagi kedua orang tuanya yang saleh. Jika anak itu dibiarkan hidup, ia akan merusak keimanan orang tuanya, atau setidaknya, menimbulkan penderitaan yang tak tertanggungkan di dunia dan akhirat.

Konsep ‘Penggantian yang Lebih Baik’ (*khairan minhu*) adalah titik penting yang menenangkan jiwa. Allah (SWT) tidak sekadar mengambil nyawa, tetapi menjanjikan pertukaran yang jauh lebih unggul, baik dari segi kesucian (*zakatan*) maupun kelembutan kasih sayang (*ruhman*). Ini mengajarkan kita bahwa ketika kehilangan terjadi atas kehendak-Nya, di baliknya tersembunyi janji kompensasi ilahi yang sempurna, seringkali tak terduga oleh nalar kita.

Dari sudut pandang teologis, ayat ini menekankan bahwa ujian keimanan kadang kala memerlukan campur tangan yang tampak kejam di permukaan, namun hakikatnya adalah operasi rahmat. Ketika rahmat itu harus dikorbankan di satu titik (nyawa anak), tujuannya adalah untuk menyelamatkan rahmat yang lebih besar di titik lain (keimanan orang tua dan keturunan yang saleh). Kehidupan anak itu adalah harga kecil untuk menyelamatkan iman satu keluarga, menunjukkan betapa berharganya nilai tauhid di mata Allah.

Ayat 82: Amanah dan Pertanggungjawaban Generasi

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا

“Adapun dinding itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta simpanan bagi mereka berdua. Ayah mereka adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah penjelasan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”

Ayat ini adalah mutiara tentang keberkahan amal saleh yang melintasi generasi. Khidir memperbaiki dinding yang hampir roboh di kota yang masyarakatnya pelit (*bakhil*) tanpa meminta bayaran. Tujuannya bukan demi kemaslahatan masyarakat itu, melainkan demi menjaga harta (kenz) milik dua anak yatim yang tersembunyi di bawah dinding tersebut. Harta itu harus dilindungi sampai mereka cukup dewasa untuk mengelolanya.

Poin teologis utamanya: Ayah mereka adalah orang yang saleh. Kesalehan orang tua memiliki dampak spiritual dan material yang berkelanjutan kepada keturunan mereka, bahkan melintasi waktu. Ini adalah konsep 'tabungan kesalehan' yang menjamin bahwa Allah akan mengirimkan penjaga, bahkan dari kalangan yang tidak dikenal (seperti Khidir), untuk melindungi warisan dan masa depan anak-anak dari hamba-Nya yang beriman.

Frasa kunci lainnya: Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri (*Wama fa’altuhu ‘an amri*). Khidir menegaskan bahwa tindakannya bukanlah hasil pemikiran, kejeniusan, atau inisiatif pribadinya, melainkan pelaksanaan perintah langsung, inspirasi, atau izin dari Allah (SWT). Ini membedakan ilmu *ladunni* (ilmu langsung dari sisi Allah) dari ilmu *kasbi* (ilmu yang diperoleh melalui usaha dan studi). Ini sekaligus mengajarkan Musa (AS) dan kita semua tentang batasan jangkauan akal manusia dalam memahami totalitas rencana Ilahi.

Kesabaran adalah kunci untuk menyaksikan keindahan *ta'wil* (penjelasan hakiki) dari peristiwa yang tampak buruk di mata kita. Setiap kehilangan, setiap pengorbanan yang terjadi dalam takdir adalah investasi yang akan membuahkan hasil, baik berupa keturunan yang saleh atau perlindungan atas amanah yang dititipkan.

II. Gerbang Kekuasaan Kosmik: Kisah Dzulqarnain (Al-Kahfi 83–84)

Setelah misteri takdir Khidir terurai, Allah (SWT) mengalihkan perhatian kita kepada kisah Dzulqarnain. Kisah ini memenuhi setengah dari bagian akhir Surah Al-Kahfi, memberikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya kekuasaan global dipegang dan dijalankan.

Ayat 83: Pertanyaan dan Janji Kisah

وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: ‘Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari kisahnya’.”

Ayat ini menegaskan bahwa kisah Dzulqarnain adalah jawaban langsung atas pertanyaan dari kaum musyrikin Mekah, yang dihasut oleh kaum Yahudi. Kaum Yahudi menggunakan tiga pertanyaan (tentang Ashabul Kahfi, Ruh, dan Dzulqarnain) sebagai ujian kenabian. Dzulqarnain, yang namanya berarti ‘Pemilik Dua Tanduk’ atau ‘Pemilik Dua Zaman/Kekuasaan’, adalah sosok misterius yang identitas historisnya diperdebatkan (apakah dia Cyrus Agung, Iskandar Agung, atau raja lainnya), namun yang terpenting adalah fungsi perannya sebagai model pemimpin beriman.

Ayat 84: Pemberian Kekuatan dan Kedaulatan

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا

“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya sebab (jalan) untuk mencapai segala sesuatu.”

Ayat ini adalah fondasi filosofis dari kepemimpinan Dzulqarnain. Dua konsep utama muncul: *Tamkin* (pemberian kekuasaan atau dominasi) dan *Sabab* (cara, jalan, atau sarana untuk mencapai tujuan). Allah menegaskan bahwa kekuasaan Dzulqarnain bukanlah hasil ambisi murni pribadinya, melainkan anugerah ilahi (*Inna makkanna lahu*).

Frasa *Atainahu min kulli syai’in sababa* menunjukkan bahwa Allah melengkapi Dzulqarnain dengan setiap sarana yang ia butuhkan untuk menjalankan misi ekspansinya. Sarana ini tidak hanya mencakup kekuatan militer, logistik, dan kekayaan, tetapi juga ilmu pengetahuan, manajemen strategis, dan kebijakan yang efektif. Ia memiliki kemampuan untuk menerjemahkan kehendak ilahi (Tujuan) menjadi tindakan nyata (Sarana).

Pelajaran yang terkandung di sini sangat mendalam: Kekuasaan sejati datang dari Tuhan. Seorang pemimpin, betapapun hebatnya strateginya, harus menyadari bahwa sarana yang ia gunakan adalah pemberian, dan kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan sesuai dengan tujuan Ilahi, yaitu menegakkan keadilan.

III. Ekspedisi Pertama: Menuju Barat (Al-Kahfi 85–86)

Setelah dianugerahi sarana, Dzulqarnain segera memulai ekspedisi pertamanya. Perjalanan ini melambangkan penaklukan dan pertemuan antara peradaban yang berkuasa dengan komunitas yang tertindas.

Simbol Dzulqarnain dan Ekspedisi

Ayat 85: Memanfaatkan Sarana

فَأَتْبَعَ سَبَبًا

“Maka dia pun menempuh suatu jalan.”

Ayat yang sangat ringkas ini menegaskan bahwa Dzulqarnain, meskipun kekuasaannya adalah anugerah, tidak bersikap pasif. Ia menggunakan sarana (*sababa*) yang diberikan kepadanya dengan upaya keras (*fa'atba'a*). Ini adalah pelajaran manajemen praktis: karunia ilahi harus diiringi dengan perencanaan matang dan tindakan yang tegas. Seorang pemimpin yang dianugerahi sumber daya tidak boleh bermalas-malasan; ia harus menggunakannya secara optimal untuk mencapai tujuan keadilan.

Ayat 86: Matahari Terbenam dan Pilihan Keadilan

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا

“Hingga apabila dia telah sampai di tempat terbenamnya matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di situ ia mendapati suatu kaum. Kami berfirman, ‘Wahai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka’.”

Ekspedisi pertama membawanya ke ujung barat yang paling jauh (secara geografis yang diketahui pada masa itu). Deskripsi ‘Matahari terbenam di laut berlumpur hitam’ (*‘ainin hami’ah*) sering diperdebatkan. Secara ilmiah, matahari tidak terbenam di mata air. Para mufassir menjelaskan bahwa ini adalah deskripsi visual atau persepsi mata, bukan fakta geologis absolut. Dzulqarnain mencapai titik di mana air dan lumpur tampak tak terbatas, batas terjauh di mana ia menyaksikan matahari menghilang dari pandangan, menandakan batas wilayah kekuasaannya di barat.

Di sana, ia menemukan suatu kaum. Poin terpenting dari ayat ini adalah intervensi Ilahi dalam bentuk perintah atau inspirasi: Kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka. Ini adalah ujian terberat bagi seorang penguasa: kebebasan absolut untuk memilih metode pemerintahannya. Allah (SWT) memberinya otoritas penuh, tetapi menguji etika kekuasaan Dzulqarnain. Apakah ia akan bertindak layaknya tiran penakluk, atau pemimpin yang bijaksana?

Pilihan yang diberikan kepadanya mencerminkan dua kutub kekuasaan: represi (*tu’adzdziba*) atau perbaikan (*husnan*). Pemimpin yang beriman akan selalu memilih kebaikan kecuali jika kejahatan yang ditemuinya bersifat permanen dan mengancam tatanan sosial yang lebih besar. Keputusan Dzulqarnain dalam ayat berikutnya menunjukkan kebijaksanaan luar biasa dalam menerapkan keadilan diferensial.

IV. Penerapan Keadilan Diferensial (Al-Kahfi 87–88)

Dzulqarnain menunjukkan bahwa kekuasaan tidak digunakan secara sewenang-wenang. Hukuman dan ganjaran harus diterapkan berdasarkan meritokrasi dan keadilan yang tegas.

Ayat 87: Keadilan Bagi Pelaku Kezaliman

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا

“Dia berkata, ‘Adapun orang yang zalim, maka kami akan menyiksanya (di dunia), kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksaan yang sangat pedih’.”

Dzulqarnain menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan segera. Ia membedakan dua jenis hukuman: hukuman duniawi (yang ia eksekusi) dan hukuman akhirat (yang Allah eksekusi). Keputusan ini menunjukkan dua hal: Pertama, ia menggunakan kekuasaannya sebagai penegak hukum Ilahi. Kedua, ia menyadari batasan kekuasaannya; ia hanya bisa menghukum kezaliman yang tampak di dunia, sementara siksaan sejati bagi pelaku dosa besar adalah urusan Tuhannya.

Penggunaan kata *nukran* (siksaan yang sangat keji/pedih) untuk siksaan akhirat berfungsi sebagai peringatan bahwa hukuman dunia hanyalah permulaan. Keputusan ini menunjukkan pemimpin yang memiliki perspektif eskatologis; tindakannya di dunia selalu terhubung dengan pertanggungjawaban di akhirat.

Ayat 88: Ganjaran Bagi Pelaku Kebaikan

وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا

“Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan kami akan mengatakan kepadanya (perintah-perintah) kami dengan mudah.”

Sebaliknya, Dzulqarnain menjanjikan *Al-Husna* (pahala terbaik/surga) bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Ia juga berjanji akan memperlakukan mereka dengan *yusra* (kemudahan). Artinya, pemerintahan Dzulqarnain tidak akan membebani warga yang baik dengan aturan yang rumit atau pajak yang memberatkan. Ia akan memfasilitasi kehidupan mereka, menjadikan urusan mereka mudah, dan memberikan kehormatan yang layak di bawah kekuasaannya.

Ayat 87 dan 88 adalah manifesto politik Dzulqarnain: Keadilan ditegakkan secara proporsional. Tidak ada pengampunan bagi penindas, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuat baik. Ini adalah model pemerintahan Islam yang ideal—tegas terhadap kezaliman, lunak dan memudahkan bagi kebaikan.

V. Ekspedisi Kedua: Menuju Timur (Al-Kahfi 89–90)

Setelah menstabilkan wilayah Barat, Dzulqarnain melanjutkan perjalanannya menuju Timur, menghadapi tantangan geografis dan sosial yang berbeda.

Ayat 89: Melanjutkan Misi

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا

“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain).”

Pengulangan frasa Kemudian dia menempuh suatu jalan menunjukkan ketekunan (istiqamah) dan dinamisme Dzulqarnain. Ia tidak berpuas diri dengan satu penaklukan. Sebagai pemimpin global, tanggung jawabnya meluas tanpa henti. Ini menekankan pentingnya mobilitas dan kesiapan pemimpin untuk berpindah dari satu masalah ke masalah lainnya, menggunakan kembali sarana yang telah Allah berikan.

Ayat 90: Matahari Terbit dan Komunitas Primitif

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا

“Hingga apabila dia telah sampai di tempat terbitnya matahari (di Timur) dia mendapatinya (matahari) terbit di atas suatu kaum yang tidak Kami jadikan bagi mereka pelindung selainnya.”

Di Timur, Dzulqarnain mencapai batas terjauh sebaliknya. Jika di Barat ia menyaksikan peradaban yang harus diatur, di Timur ia menemukan kaum yang hidup dalam kondisi yang sangat primitif, di mana tidak ada penghalang fisik maupun budaya antara mereka dan panas matahari (*sitr*). Para mufassir menjelaskan *sitr* ini sebagai tidak adanya pakaian, rumah, atau mungkin bahkan pohon yang lebat, menunjukkan masyarakat yang sangat terbelakang atau hidup di lingkungan yang sangat keras.

Perbedaan komunitas di Barat dan Timur menggarisbawahi fleksibilitas kepemimpinan Dzulqarnain. Di Barat, ia harus menetapkan hukum; di Timur, ia harus menyediakan kebutuhan dasar dan peradaban. Tugas pemimpin bukan hanya menghukum yang zalim, tetapi juga memberdayakan yang lemah dan terbelakang.

VI. Analisis Tematik dan Implementasi Filosofis

Ayat 81 hingga 90, meskipun memuat dua kisah yang berbeda, dipersatukan oleh tema sentral yang sama: batas-batas pengetahuan dan penggunaan kekuasaan yang berlandaskan rahmat ilahi.

A. Hakikat Kekuasaan (Tamkin) dan Sarana (Sabab)

Konsep *Tamkin* (84) menekankan bahwa kekuasaan, dalam skala apa pun, adalah penugasan sementara. Dzulqarnain tidak mengklaim kepemilikan mutlak atas bumi; ia hanya seorang manajer yang diberi izin. Hal ini melahirkan sikap tawadhu (rendah hati) di tengah kekuasaan besar. Seorang pemimpin yang lupa bahwa ia hanya diberi *sabab* (sarana) dan bukan sumber *sabab* itu sendiri, cenderung menjadi tiran.

Dzulqarnain mengajarkan bahwa sarana harus dicari dan digunakan secara maksimal (*fa'atba'a sababa*), namun tujuannya harus selalu transenden (untuk menegakkan keadilan dan tauhid). Tanpa orientasi ilahiah, kekuasaan akan berubah menjadi alat penindasan diri dan orang lain.

B. Keadilan Diferensial dan Prinsip Proporsionalitas

Salah satu pelajaran terbesar dari Dzulqarnain adalah penerapan keadilan yang tidak seragam, tetapi proporsional. Ia memisahkan antara yang zalim dan yang saleh. Dalam ilmu tata negara modern, ini dikenal sebagai prinsip diferensiasi dalam kebijakan publik.

Keadilan Dzulqarnain adalah keadilan yang berorientasi pada masa depan. Ia menghukum bukan hanya sebagai balasan, tetapi sebagai tindakan pencegahan dan pemeliharaan masyarakat yang sehat. Ia menawarkan kemudahan agar orang saleh dapat berfungsi secara optimal dan produktif.

C. Kontinuitas Kesalehan: Warisan Dinding (Ayat 82)

Kisah dinding di ayat 82 adalah jembatan spiritual yang esensial sebelum masuk ke kisah Dzulqarnain. Dinding itu mengajarkan bahwa investasi spiritual yang dilakukan oleh seorang ayah saleh dapat menghasilkan dividen material bagi keturunannya yang yatim. Ini adalah motivasi kuat bagi umat untuk berinvestasi dalam kesalehan pribadi dan keluarga, karena Allah akan menjadi Penjaga terbaik bagi warisan mereka, baik material maupun non-material.

Tafsir mengenai *kanz* (harta simpanan) juga bervariasi. Sebagian mufasir mengatakan itu emas dan perak, sementara yang lain menafsirkan *kanz* sebagai ilmu pengetahuan, buku, atau catatan hikmah yang ditinggalkan ayah mereka. Jika *kanz* adalah ilmu, maka perbaikan dinding oleh Khidir adalah upaya Allah menjaga sumber ilmu dan kearifan agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

VII. Tahlil Lughawi (Analisis Linguistik) Mendalam

Memahami kekayaan Surah Al-Kahfi memerlukan pembongkaran beberapa istilah kunci yang muncul dalam ayat 81-90.

1. Zakatan dan Ruhman (Ayat 81)

Khidir berharap Allah memberikan pengganti yang lebih baik dalam hal *zakatan* (kesucian, pertumbuhan spiritual) dan *ruhman* (kasih sayang, kelembutan hati). Pilihan kata ini menunjukkan prioritas ilahi. Anak yang diambil nyawanya adalah ancaman terhadap *zakatan* (kesucian) orang tuanya karena dia akan mendorong mereka pada kekafiran. Penggantinya haruslah yang paling utama dalam hal moral dan spiritual, memastikan lingkungan keluarga yang sehat.

2. Kanz (Ayat 82)

Kata *kanz* (harta simpanan) biasanya merujuk pada kekayaan yang ditimbun. Namun, konteksnya di sini sangat mulia karena dikaitkan dengan kesalehan ayah mereka. Dalam banyak riwayat, menimbun harta duniawi dikritik, tetapi *kanz* dalam konteks ini dikecualikan karena ditujukan untuk anak yatim dan dilindungi oleh Rahmat Ilahi. Ini mengajarkan pentingnya menabung dan mewariskan kekayaan, asalkan niatnya suci dan sesuai syariat.

3. Sabab (Ayat 84, 85, 89)

Kata *sabab* (sarana, jalan, sebab) diulang tiga kali, menjadi poros utama kisah Dzulqarnain. Ini adalah pelajaran metodologi Islam: untuk mencapai hasil, kita harus mengambil sarana yang tersedia. Dzulqarnain diberikan sarana yang luas (*min kulli syai’in sababa*), tetapi ia juga harus mengikutinya (*fa’atba’a sababa*). Tanpa upaya mengikuti sarana, anugerah ilahi tidak akan terwujud menjadi prestasi nyata. Hal ini menolak fatalisme pasif dan menganjurkan proaktivitas dalam kepemimpinan.

4. Hami’ah (Ayat 86)

Kata *Hami’ah* berarti berlumpur hitam, air panas, atau mata air keruh. Penggunaan kata ini dalam deskripsi matahari terbenam menunjukkan suatu tempat yang jauh, mungkin di perbatasan dunia yang dikenal, tempat air dan daratan bertemu dalam keadaan yang gelap atau tidak jernih. Ini sering diartikan sebagai kiasan untuk tempat di mana peradaban telah mencapai batasnya, dan kekuasaan atau pengetahuan menjadi samar dan keruh.

5. Sitr (Ayat 90)

Kaum di Timur tidak memiliki *sitr* (pelindung) dari matahari. Secara harfiah, ini adalah kurangnya naungan. Secara metaforis, ini berarti kurangnya perlindungan sosial, pengetahuan, atau peradaban. Ini menempatkan tanggung jawab pada Dzulqarnain untuk membawa *sitr*—yaitu, perlindungan, pengetahuan, dan sistem sosial yang melindungi mereka dari kekerasan alam maupun manusia.

VIII. Implikasi Kontemporer Kisah Dzulqarnain

Kisah Dzulqarnain bukanlah hanya cerita sejarah; ia adalah manual kepemimpinan yang relevan hingga hari ini, terutama dalam menghadapi tantangan global dan ketidakpastian sosial.

1. Pemimpin Global yang Tawadhu

Dalam semua interaksinya, Dzulqarnain selalu mengembalikan keberhasilannya kepada Allah. Ketika ia menetapkan hukum (Ayat 87-88), ia menggunakan ‘Kami’ (bentuk jamak keagungan, mewakili kekuasaan yang sah), tetapi ketika ia merujuk pada kekuasaannya, ia mengakui sumbernya adalah Allah. Pemimpin modern, di era hiper-kekuasaan dan megalomania, membutuhkan pengingat konstan bahwa otoritas mereka adalah pinjaman semata.

2. Pembangunan vs. Penaklukan

Perjalanan Dzulqarnain ke Barat dan Timur menunjukkan perbedaan antara penakluk (yang hanya mengambil sumber daya) dan pembangun (yang menstabilkan, mengatur, dan memberdayakan). Di Barat, ia mengatur hukum. Di Timur (yang akan berlanjut di ayat-ayat selanjutnya), ia membangun infrastruktur monumental (dinding). Kepemimpinan yang benar adalah tentang membangun tatanan yang adil, bukan sekadar memperluas wilayah.

3. Menghadapi Keterbelakangan Sosial

Kaum di Timur (Ayat 90) yang hidup tanpa *sitr* mewakili komunitas yang terpinggirkan. Tugas pemimpin adalah memperhatikan lapisan masyarakat yang paling rentan. Jika Dzulqarnain, seorang penguasa kosmik, meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan kaum paling terbelakang, ini menunjukkan bahwa keadilan harus mencakup upaya intensif untuk mengangkat martabat semua manusia, terlepas dari tingkat peradaban mereka.

Kisah Dzulqarnain, yang berawal dari Ayat 83, memberikan cetak biru bagi siapa pun yang memegang kekuasaan. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan adalah ujian terbesar. Seorang pemimpin harus memiliki visi yang luas (mencapai Barat dan Timur), hati yang tunduk (sepenuhnya bergantung pada *sabab* ilahi), dan kebijakan yang adil (membedakan ganjaran dan hukuman).

IX. Puncak Hikmah Surah Al-Kahfi 81–90

Melalui dua kisah yang bertemu di titik 81 dan berpisah menuju 83, Al-Kahfi menawarkan keseimbangan antara menerima takdir dan proaktivitas dalam kepemimpinan.

Kisah Khidir mengajarkan kerendahan hati intelektual: kita harus menerima bahwa ada dimensi takdir dan hikmah yang melebihi kemampuan pemahaman kita. Kita tidak selalu harus tahu mengapa; kita hanya perlu tahu bahwa ada Rahmat di balik setiap tindakan ilahi, seperti melindungi anak yatim melalui kesalehan orang tua.

Sementara itu, kisah Dzulqarnain mengajarkan etika kepemimpinan proaktif: Meskipun kekuasaan adalah anugerah, ia harus dijalankan dengan maksimalisasi sarana. Kepasrahan terhadap takdir (pelajaran Khidir) tidak boleh menjadi alasan untuk pasif dalam menjalankan tugas di dunia (aksi Dzulqarnain).

Kesalehan dan kekuasaan bertemu di sini. Kesalehan seorang ayah (82) melindungi anaknya dari Khidir (81), dan kesalehan Dzulqarnain (87-88) memberinya kemampuan untuk bertindak sebagai agen ilahi dalam menegakkan keadilan di seluruh bumi. Hikmah yang tak terlihat (Khidir) melengkapi kekuasaan yang terlihat (Dzulqarnain), menciptakan sebuah narasi sempurna tentang bagaimana seharusnya kehidupan duniawi dijalani di bawah naungan kesadaran akan kekuasaan Tuhan yang absolut.

Melalui penafsiran yang mendalam, kita menyadari bahwa setiap detail dalam ayat 81 hingga 90, mulai dari pemilihan kata *zakatan* dan *ruhman*, hingga pengulangan *fa’atba’a sababa*, adalah panggilan untuk merenungkan tanggung jawab kita di bumi, baik sebagai individu yang mencari ilmu atau sebagai pemimpin yang menjalankan amanah.

🏠 Homepage