Alt Text: Ilustrasi Dinding Besi Dzul Qarnain yang menjulang tinggi di antara dua puncak gunung.
Surah Al-Kahfi, yang disunnahkan untuk dibaca pada hari Jumat, memuat empat kisah utama yang sarat makna dan pelajaran esensial bagi kehidupan seorang Muslim. Salah satu kisah yang paling misterius, paling sarat dengan dimensi sejarah, geografis, dan eskatologis adalah kisah tentang Dzul Qarnain. Kisah ini diperkenalkan melalui sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana diabadikan dalam firman Allah SWT:
(QS. Al-Kahfi [18]: 83)
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzul Qarnain. Katakanlah: 'Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari ceritanya'."
Ayat ke-83 ini merupakan gerbang menuju rangkaian ayat berikutnya (84 hingga 98) yang menceritakan secara rinci perjalanan dan misi Dzul Qarnain. Konteks diturunkannya ayat ini sangat penting: ini adalah salah satu dari tiga pertanyaan yang diajukan oleh kaum Quraisy atas saran para pendeta Yahudi di Madinah, yang bertujuan untuk menguji kenabian Muhammad. Pertanyaan tentang Dzul Qarnain, bersama dengan pertanyaan tentang Ashabul Kahfi (Para Pemuda Gua) dan Ruh (Roh), adalah pertanyaan-pertanyaan yang hanya dapat dijawab melalui wahyu ilahi, karena informasi tersebut tidak umum diketahui di kalangan Arab saat itu. Dengan demikian, Al-Kahfi 83 bukan hanya pembuka sebuah cerita, melainkan penegasan otentisitas wahyu yang diterima oleh Rasulullah.
Nama Dzul Qarnain secara harfiah berarti 'Pemilik Dua Tanduk' atau 'Pemilik Dua Zaman' (Dzu: pemilik, al-Qarn: tanduk atau zaman/generasi). Identitas historisnya telah menjadi subjek perdebatan yang intens di kalangan ulama tafsir dan sejarawan Islam selama berabad-abad. Walaupun Al-Qur'an tidak menyebutkan nama pribadinya, ciri-ciri yang disematkan kepadanya menunjukkan sosok pemimpin yang unik dan luar biasa.
Walaupun Allah SWT sengaja mengaburkan identitas pastinya, para mufassirin mengajukan beberapa kandidat historis, masing-masing memiliki argumen yang kuat:
Terlepas dari perbedaan sejarah, yang terpenting adalah sifat ketuhanan dari Dzul Qarnain yang digambarkan dalam ayat 84: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." Kekuasaan yang ia miliki adalah anugerah langsung dari Allah, dan ia menggunakannya bukan untuk penaklukan semata, melainkan untuk menegakkan keadilan ilahi.
Ayat-ayat berikutnya (84-86) menggambarkan tiga perjalanan epik Dzul Qarnain: ke Barat (tempat terbenamnya matahari), ke Timur (tempat terbitnya matahari), dan akhirnya ke lokasi terpencil di antara dua gunung. Perjalanan-perjalanan ini bukan sekadar narasi geografis; ini adalah simbol penguasaannya atas seluruh bentangan bumi yang dapat ia capai, serta pelaksanaan hukum dan keadilan Allah di seluruh wilayah tersebut.
Dalam perjalanan pertamanya, ia menemukan sekelompok orang yang zalim, dan Allah memberinya pilihan: menghukum mereka atau berlaku baik. Dalam perjalanan keduanya, ia berhadapan dengan kaum yang sederhana. Dalam kedua situasi tersebut, Dzul Qarnain menunjukkan kebijaksanaan dan keadilan yang mutlak. Ia menghukum yang zalim dan memberi ganjaran serta pengajaran kepada yang berbuat baik, menetapkan standar kepemimpinan yang berlandaskan tauhid dan etika.
Model kepemimpinan Dzul Qarnain adalah pelajaran penting yang tersembunyi dalam kisah ini. Ia tidak memandang kekuasaan sebagai tujuan akhir atau sarana penindasan, melainkan sebagai amanah (tanggung jawab) yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Setiap keputusan yang ia buat mencerminkan kesadarannya bahwa kekuasaan, sumber daya, dan pengetahuan yang ia miliki berasal dari Tuhannya.
Inti dari kisah ini, yang menghubungkan Dzul Qarnain dengan eskatologi Islam, dimulai ketika ia mencapai lokasi antara dua gunung. Di sanalah ia bertemu dengan kaum yang tidak memahami perkataannya dengan mudah (kemungkinan karena bahasa yang berbeda) tetapi berhasil menyampaikan permohonan mereka yang mendesak.
(QS. Al-Kahfi [18]: 94)
"Mereka berkata: 'Wahai Dzul Qarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka bolehkah kami memberikan imbalan (upah) kepadamu, agar engkau membuatkan dinding antara kami dan mereka?'"
Permohonan ini menyoroti tiga elemen kunci:
Reaksi Dzul Qarnain terhadap tawaran upah adalah salah satu pelajaran moral paling kuat dalam Surah Al-Kahfi. Ia menolak harta benda duniawi, menyatakan bahwa kekuasaan dan rezeki yang diberikan Allah kepadanya jauh lebih baik daripada imbalan mereka. Ia hanya meminta bantuan fisik: tenaga dan material.
"Dia (Dzul Qarnain) berkata: 'Apa yang telah dikuasakan Tuhanku kepadaku adalah lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan benteng antara kamu dan mereka.'" (QS. Al-Kahfi [18]: 95).
Keputusan ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati berorientasi pada pelayanan dan menegakkan kebenaran atas nama Tuhan, bukan pada akumulasi kekayaan pribadi.
Ayat 96 dan 97 menjelaskan secara detail proses pembangunan tembok yang monumental, yang menggabungkan ilmu teknik sipil yang canggih dengan kekuatan material yang ekstrem. Dzul Qarnain memulai dengan instruksi yang spesifik:
1. Pengumpulan Material Dasar (Zubar al-Hadid): Ia memerintahkan untuk mengumpulkan lempengan-lempengan besi (potongan-potongan besar besi) dan menumpuknya di antara dua sisi gunung. Para ahli tafsir modern sering membandingkan ini dengan proses pembentukan dinding lapis baja atau beton bertulang, namun materialnya adalah besi murni.
2. Pemanasan Intensif (Nafkha): Setelah tumpukan besi mencapai ketinggian antara dua sisi gunung, Dzul Qarnain memerintahkan mereka untuk meniup api, memanaskan besi hingga menjadi merah membara, hampir meleleh.
3. Penuangan Tembaga Cair (Qithran): Puncak dari proses ini adalah penuangan cairan tembaga panas di atas besi yang membara. Perpaduan tembaga cair dengan besi yang sangat panas menciptakan sebuah material yang sangat keras, menyegel celah dan sambungan. Proses ini pada dasarnya adalah menciptakan sebuah paduan logam (alloy) yang luar biasa kuat dan tahan terhadap korosi serta serangan fisik.
Hasilnya adalah sebuah tembok atau bendungan (sadd) yang begitu kuat sehingga Ya’juj Wa Ma’juj tidak mampu memanjatnya (melalui puncaknya) dan tidak pula mampu melubanginya (melalui dasarnya).
Mengapa kombinasi besi dan tembaga? Besi memberikan kekuatan struktural, sedangkan tembaga cair berfungsi sebagai perekat termal dan agen penguat. Secara kimiawi, peleburan tembaga ke dalam besi yang membara menciptakan lapisan pelindung yang sangat padat. Ini menunjukkan Dzul Qarnain memiliki pengetahuan metalurgi yang sangat maju, pengetahuan yang diberikan langsung oleh Allah, menegaskan kembali bahwa sains dan teknologi, ketika digunakan untuk kebaikan, adalah bagian dari berkah ilahi.
Tembok ini menjadi simbol perlindungan fisik yang efektif. Selama berabad-abad, keberadaan fisik tembok ini menjadi misteri, namun maknanya jauh melampaui geografi. Ini adalah manifestasi nyata dari perlindungan Tuhan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
Penting untuk mengulang dan memahami dimensi teknis ini. Dzul Qarnain tidak hanya memerintahkan; ia memberikan spesifikasi teknik yang sangat presisi: *ātiūnī zubar al-ḥadīd* (berikanlah kepadaku potongan-potongan besi) dan *ufrigh 'alayhi qiṭran* (aku akan tuangkan di atasnya tembaga cair). Detil ini memastikan bahwa tembok tersebut bukan sekadar tumpukan batu, melainkan sebuah mahakarya metalurgi yang dirancang untuk bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama menghadapi musuh yang sangat kuat.
Pembangunan tembok ini juga melambangkan penggunaan akal dan sumber daya yang benar. Di masa kepemimpinan Dzul Qarnain, ia memanfaatkan kemampuan manusia (tenaga kerja) dan sumber daya alam (besi dan tembaga) untuk mencapai tujuan spiritual dan kemanusiaan—melindungi kaum lemah dari kezaliman. Ini adalah antitesis dari penggunaan kekuasaan yang hanya berfokus pada pembangunan monumen diri atau penindasan.
Jika kita tinjau lagi konteks sejarah, kemampuan untuk memanaskan besi hingga titik leleh dan memadukannya dengan tembaga adalah prestasi teknik yang luar biasa di zaman kuno. Ini memperkuat gagasan bahwa Dzul Qarnain adalah sosok yang menerima pengetahuan unik yang melampaui zamannya, sebuah karunia yang tidak dimiliki oleh raja-raja lain yang sezaman dengannya.
Keberhasilan konstruksi ini sekaligus menjadi ujian bagi Ya’juj Wa Ma’juj. Mereka yang selama ini bebas melakukan kerusakan di bumi kini terkurung oleh sebuah struktur yang melampaui kemampuan penghancuran mereka. Dinding ini menjadi penanda batas antara peradaban yang beradab dan kekuatan yang merusak, sebuah pengingat bahwa kezaliman pasti akan dibatasi, meskipun pembatasnya bersifat sementara.
Ayat 97 secara eksplisit menyatakan bahwa Ya’juj Wa Ma’juj tidak mampu mendaki atau melubangi dinding tersebut. Ini menunjukkan efektivitas total dari desain Dzul Qarnain. Namun, kekuatan fisik ini dibatasi oleh kehendak Allah, yang diungkapkan dalam ayat terakhir dari kisah Dzul Qarnain.
Setelah selesai membangun bendungan yang tidak tertembus, Dzul Qarnain mengucapkan kalimat penutup yang luar biasa, yang menjadi inti teologis dari keseluruhan kisah ini. Kalimat ini mengalihkan fokus dari kehebatan teknologi dan kekuatan manusiawi kembali kepada kekuasaan mutlak Allah SWT.
(QS. Al-Kahfi [18]: 98)
"Dia (Dzul Qarnain) berkata: 'Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar'."
Ayat ini adalah titik balik eskatologis. Dzul Qarnain, meskipun seorang raja yang perkasa dan pembangun agung, tidak mengklaim kesuksesan itu sebagai miliknya. Ia menegaskan bahwa dinding itu hanyalah 'rahmah min Rabbī' (rahmat dari Tuhanku). Lebih lanjut, ia segera memberikan peringatan bahwa kemegahan fisik ini tidak abadi.
Frasa 'apabila janji Tuhanku datang' merujuk pada Hari Kiamat atau mendekati tanda-tanda besar Kiamat. Ini adalah ramalan ilahi yang menghubungkan kisah Dzul Qarnain dengan peristiwa Akhir Zaman. Tembok itu, sekuat apa pun ia, akan menjadi *dakkā'*, yaitu hancur lebur, rata dengan tanah.
Kisah ini mengajarkan dua pelajaran fundamental:
Tembok ini menjadi perwujudan sementara dari keadilan yang hanya bisa dipertahankan selamanya oleh Allah sendiri. Ketika tembok itu hancur, kekacauan Ya’juj Wa Ma’juj akan membanjiri bumi, menandai dimulainya fase akhir dari sejarah manusia.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dari kehancuran dinding, kita harus mendalami identitas Ya’juj Wa Ma’juj. Mereka adalah dua bangsa atau suku, keturunan Adam, yang secara inheren memiliki sifat merusak dan kejam. Mereka bukanlah makhluk mitos atau jin, melainkan manusia yang terorganisir dengan jumlah yang sangat besar, digambarkan sebagai gelombang yang tak terbendung.
Dalam hadis-hadis sahih, kemunculan Ya’juj Wa Ma’juj dicantumkan sebagai salah satu dari sepuluh tanda besar menjelang Kiamat. Nabi Isa (Yesus) akan berada di bumi ketika mereka dilepaskan. Mereka akan bergerak begitu cepat dan banyak sehingga meminum habis air Danau Tiberias dan menyebabkan kerusakan yang tak terperikan.
Kisah di Al-Kahfi 83-98 memberikan konteks fisik mengapa mereka tidak muncul sekarang: mereka terkurung di balik benteng yang dibangun Dzul Qarnain. Setiap hari, mereka berusaha melubangi dinding tersebut. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, disebutkan bahwa setiap hari mereka menggali hingga hampir menembus, namun ketika pulang, mereka berkata, "Kita akan melanjutkannya besok." Allah mengembalikannya seperti semula. Namun, pada hari yang ditentukan, salah satu dari mereka akan berkata, "Kita akan melanjutkannya besok, insya Allah," dan pada saat itulah mereka berhasil menembus, karena kehendak Allah telah tiba.
Keterkaitan antara Dzul Qarnain dan Ya’juj Wa Ma’juj adalah dualitas antara kekuatan keadilan yang didorong oleh wahyu dan kekuatan kehancuran yang didorong oleh nafsu buas. Dzul Qarnain, dengan bantuan ilahi, menunda kehancuran tersebut, memberi waktu bagi umat manusia untuk hidup dalam keamanan relatif.
Kita perlu merenungkan sifat kerusakan yang dilakukan oleh Ya'juj Wa Ma'juj. Mereka bukan hanya perusak fisik; mereka adalah simbol dari kekejaman tanpa batas, konsumsi tanpa kendali, dan jumlah yang melebihi kapasitas bumi untuk menampungnya. Ketika mereka dilepaskan, mereka mewakili keruntuhan moral dan tatanan global yang ekstrem, sebuah keadaan di mana keadilan manusia tidak lagi mampu menahan gelombang kezaliman.
Implikasi dari keberadaan mereka adalah bahwa selalu ada kekuatan di luar peradaban yang beradab yang siap menghancurkan tatanan yang telah susah payah dibangun. Dinding Dzul Qarnain adalah pengingat bahwa perlindungan terbaik adalah dari Allah, tetapi manusia juga diperintahkan untuk melakukan upaya maksimal dalam menciptakan benteng pertahanan.
Para mufassir juga membahas tentang lokasi geografis dinding tersebut. Meskipun banyak teori (Tembok Besar Cina, gerbang di Kaukasus), lokasi pastinya tetap dirahasiakan oleh Allah. Kerahasiaan ini penting, karena jika lokasinya diketahui, manusia akan fokus pada fisikalitas dinding, padahal pelajaran utamanya terletak pada dimensi spiritual dan eskatologis.
Dinding itu berdiri sebagai monumen keimanan. Keberadaannya adalah bukti bahwa intervensi ilahi dapat menggunakan teknologi paling maju untuk menegakkan keadilan di bumi. Namun, penegasannya bahwa dinding itu akan hancur luluh mengajarkan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah fana. Kepemimpinan manusia, teknologi manusia, dan benteng pertahanan manusia, betapapun hebatnya, semuanya hanya bersifat sementara.
Kisah Dzul Qarnain yang dibuka pada ayat 83 dan berlanjut hingga 98 menawarkan cetak biru (blueprint) bagi kepemimpinan yang ideal dalam Islam. Pelajaran yang dapat dipetik sangat relevan, baik bagi pemimpin negara maupun pemimpin dalam skala yang lebih kecil.
Dzul Qarnain diberikan kekuasaan ('makanna lahu fil ardh'), namun ia menggunakannya untuk menolong kaum yang lemah. Ia tidak menaklukkan bangsa-bangsa demi menjarah sumber daya, melainkan untuk menyebarkan keadilan. Ketika ia bertemu dengan kaum yang zalim, ia menghukum mereka sesuai hukum ilahi, dan ketika ia bertemu dengan kaum yang baik, ia memperlakukannya dengan ihsan (kebaikan).
Penolakannya terhadap imbalan finansial ('kharjan') dari kaum yang tertindas adalah puncak dari etika kepemimpinannya. Ia menunjukkan bahwa tugas seorang pemimpin yang saleh adalah melayani, bukan mengumpulkan kekayaan. Tindakan ini memisahkan Dzul Qarnain dari tiran-tiran sejarah yang menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Meskipun menolak uang, ia menerima bantuan tenaga kerja dan material. Ini menunjukkan apresiasi terhadap kerja sama dan sumber daya lokal. Ia menggunakan ilmu pengetahuan yang ia miliki (metalurgi) untuk mengatasi masalah, menggarisbawahi pentingnya sains dan teknologi dalam pembangunan umat.
Kalimat penutupnya, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku," adalah pengakuan tauhid yang mutlak. Seorang pemimpin sejati menyadari bahwa kesuksesannya adalah anugerah, bukan hasil kecerdasan atau kekuatannya semata. Kerendahan hati ini melindunginya dari kesombongan dan kezaliman yang sering menyertai kekuasaan besar.
Implikasi dari pelajaran ini sangat dalam. Setiap tindakan Dzul Qarnain, dari timur ke barat, dari hukuman hingga konstruksi, adalah cerminan dari prinsip-prinsip syariah yang universal: menegakkan hak, membatasi kezaliman, dan mengaitkan setiap pencapaian kembali kepada sang Pencipta.
Mari kita telaah lebih jauh tentang bagaimana Dzul Qarnain mengelola sumber daya manusia. Dia tidak hanya meminta material, tetapi juga tenaga. Ini menunjukkan kepemimpinan yang partisipatif. Dia memberdayakan rakyat yang tertindas untuk menjadi bagian dari solusi mereka sendiri. Dengan meminta mereka membawa potongan-potongan besi, ia memberikan mereka martabat dan tujuan, mengubah mereka dari korban pasif menjadi kontributor aktif dalam pertahanan kolektif mereka.
Aspek manajerial ini sering terlewatkan. Dzul Qarnain menunjukkan bahwa pemimpin harus menjadi seorang organisator yang efektif. Ia harus mampu mengkomunikasikan rencana yang kompleks (seperti teknik metalurgi) kepada kaum yang bahkan sulit memahami bahasanya, dan memobilisasi sumber daya yang masif dengan cepat dan efisien. Ini menunjukkan kapasitasnya sebagai administrator yang luar biasa, dikombinasikan dengan kearifan spiritual.
Dalam Al-Qur'an, kata yang digunakan untuk merujuk pada dinding ini adalah 'Sadd' (bendungan/penghalang) dan 'Radm' (tambalan/bahan isian yang kuat). Ayat 94 menggunakan 'saddan' ketika kaum tersebut memintanya, sedangkan ayat 96 dan 97 menggambarkan 'radman' yang telah ia bangun. Para ulama tafsir membedakan kedua istilah ini. Sadd biasanya merujuk pada penghalang alami, sementara Radm merujuk pada konstruksi yang sangat kuat, seringkali buatan manusia atau diperkuat. Penggunaan kata 'Radm' menegaskan sifat luar biasa dari tembok besi-tembaga yang ia bangun.
Bahkan penempatan kisah ini dalam Surah Al-Kahfi sangatlah signifikan. Surah ini sering disebut sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Kisah Dzul Qarnain yang mengurung Ya’juj Wa Ma’juj (kekuatan anarkis) paralel dengan bagaimana iman dapat mengurung atau melindungi seseorang dari fitnah Dajjal (fitnah yang merusak moral dan keimanan). Kedua kekuatan ini—Dajjal dan Ya’juj Wa Ma’juj—adalah kekuatan perusak yang dilepaskan di Akhir Zaman.
Kisah ini adalah penegasan Al-Qur'an tentang nilai ilmu pengetahuan yang diterapkan. Dzul Qarnain tidak mengalahkan musuh hanya dengan kekuatan militer, tetapi dengan kecerdasan teknik yang ia terima dari Allah. Ini mendorong umat Islam untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi demi melayani kemanusiaan dan menegakkan keadilan, bukan semata-mata untuk tujuan dominasi.
Kombinasi besi (hadīd) dan tembaga (qiṭran) melambangkan kekuatan dan ketahanan. Dalam terminologi kimia modern, tembaga yang dilebur ke dalam besi dapat meningkatkan ketahanan terhadap korosi dan meningkatkan kekerasan material. Ini adalah contoh mukjizat ilmiah yang terkandung dalam narasi Al-Qur'an, yang relevan dengan perkembangan metalurgi di sepanjang sejarah.
Jika kita memperluas pandangan pada keseluruhan narasi Al-Kahfi, Dzul Qarnain (pemimpin duniawi yang saleh), Ashabul Kahfi (pemuda yang lari dari dunia), dan Musa dan Khidir (pencari ilmu batin) mewakili tiga jenis solusi terhadap fitnah dunia. Dzul Qarnain menawarkan solusi aktif: menghadapi kezaliman dengan kekuasaan dan teknologi. Kisahnya memberi harapan bahwa bahkan di hadapan ancaman terbesar sekalipun, upaya manusia yang dibimbing wahyu dapat memberikan perlindungan sementara, hingga datangnya ketetapan Allah.
Misteri lokasi geografis Dzul Qarnain dan temboknya sebenarnya adalah bagian integral dari hikmah yang ingin disampaikan. Jika lokasi tersebut diungkapkan, manusia akan sibuk mencari artefak fisik, melupakan pesan spiritual yang lebih besar.
Pesan yang paling universal dan mendalam dari ayat 83 hingga akhir kisah ini adalah tentang manajemen kekuasaan. Kekuasaan itu netral; ia bisa menjadi rahmat (seperti yang diucapkan Dzul Qarnain) atau fitnah. Dzul Qarnain memilih untuk menjadikannya rahmat, menggunakannya untuk memberdayakan kaum yang tertindas dan menahan kekuatan penghancur yang tidak beradab. Inilah yang membedakannya dari tiran lainnya.
Setiap Muslim diajarkan bahwa, terlepas dari skala kekuasaan yang dimiliki—apakah ia memimpin rumah tangga, sebuah perusahaan, atau sebuah bangsa—kepemimpinannya harus dicirikan oleh kerendahan hati, keadilan, dan kesadaran bahwa kekuasaan itu fana. Benteng yang kita bangun dalam hidup kita, baik berupa sistem, peraturan, maupun benteng fisik, akan hancur ketika Janji Tuhan tiba.
Pengulangan dan penekanan pada tema tauhid di seluruh kisah ini—bagaimana Dzul Qarnain selalu merujuk kembali kepada Tuhannya untuk segala kekuatan dan pengetahuan—adalah pelajaran inti. Pada akhirnya, Ya’juj Wa Ma’juj akan dibinasakan bukan oleh kekuatan tembok besi-tembaga, melainkan oleh kehendak Allah melalui sejenis ulat yang menyerang leher mereka (seperti disebutkan dalam hadis), menegaskan bahwa perlindungan final dan total hanya datang dari Yang Mahakuasa.
Kisah Dzul Qarnain melalui ayat 83 dan seterusnya memberikan perspektif yang lengkap mengenai siklus kekuasaan dan kehancuran. Manusia membangun, merencanakan, dan melindungi, namun kekekalan hanya milik Allah. Dzul Qarnain adalah perwujudan dari pemimpin yang sempurna, seorang hamba yang saleh yang menggunakan instrumen duniawi—kekuasaan, teknologi, dan sumber daya—untuk mencapai tujuan yang bersifat ukhrawi. Kisahnya, yang diawali dengan pertanyaan yang menguji Nabi Muhammad, berakhir dengan pelajaran abadi tentang iman, kepemimpinan, dan janji Akhir Zaman.
Ayat 83, yang hanya merupakan pembuka, menantang kita untuk mendalami seluruh kisah ini, mencari bukan hanya fakta sejarah, tetapi juga kebijaksanaan yang tersembunyi. Pertanyaan tentang Dzul Qarnain bukanlah sekadar kuis sejarah; ia adalah undangan untuk merenungkan makna kekuasaan dan tanggung jawab kita dalam menghadapi kezaliman di setiap zaman, sampai tembok terakhir runtuh.
Dan refleksi ini harus terus bergulir. Dinding Dzul Qarnain, dalam konteks modern, bisa dimaknai sebagai benteng moral, etika, dan hukum yang kita bangun untuk melindungi masyarakat dari Ya’juj Wa Ma’juj modern—yakni kekuatan-kekuatan anarki, konsumerisme ekstrem, dan nihilisme yang berusaha merusak tatanan sosial dan spiritual. Sama seperti dinding besi tembaga, benteng moral ini harus dibangun dengan upaya maksimal, namun kita harus selalu ingat bahwa ia akan hancur jika kita melupakan Rahmat dan Janji Tuhan.
Kisah Dzul Qarnain memberikan ketenangan. Ia mengajarkan bahwa meskipun kita mungkin menghadapi ancaman yang tampaknya tidak terkalahkan, pemimpin yang benar akan selalu menemukan cara yang efektif dan halal, yang didukung oleh Allah, untuk melindungi umatnya. Namun, ketenangan ini dibingkai oleh kesadaran eskatologis bahwa perjuangan melawan kezaliman bersifat berkelanjutan, dan bahwa akhir dari segala benteng pertahanan adalah kedatangan janji Allah.
Oleh karena itu, Dzul Qarnain adalah ikon harapan dan realisme spiritual. Harapan bahwa keadilan dapat ditegakkan di dunia ini, dan realisme bahwa semua upaya manusia, sekuat apa pun, adalah penangguhan sementara. Pesan yang dimulai dari permintaan untuk bercerita pada ayat 83, "Qul sa'atlū 'alaikum minhu dzikrā" (Katakanlah: 'Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari ceritanya'), adalah cerita tentang kebesaran Allah yang diwujudkan melalui hamba-Nya yang saleh.
Pemahaman mendalam tentang Surah Al-Kahfi ayat 83 memerlukan integrasi sempurna antara sejarah, tafsir linguistik, ilmu pengetahuan (metalurgi), dan dimensi eskatologis. Tanpa integrasi ini, kisah Dzul Qarnain hanya akan menjadi dongeng sejarah. Dengan integrasi ini, ia menjadi peta jalan bagi keimanan dan kepemimpinan di tengah fitnah dunia yang terus bergejolak. Pembangunan dinding yang membutuhkan kekuatan fisik, akal, dan material terbaik adalah metafora untuk perjuangan iman: butuh material terbaik dari hati kita (keikhlasan), akal terbaik (hikmah dan ilmu), dan tenaga terbaik (amal saleh) untuk membangun benteng yang melindungi kita dari Ya'juj Wa Ma’juj spiritual di dalam diri dan di sekitar kita. Walaupun demikian, benteng itu pun hanya berfungsi atas izin Allah, dan kita harus selalu siap menghadapi janji-Nya yang pasti datang.
Sejauh mana kita dapat mereplikasi etika kepemimpinan Dzul Qarnain? Dalam setiap langkah kita harus menolak 'kharjan' (imbalan duniawi) demi 'rahmat min Rabbī' (rahmat dari Tuhanku). Inilah tantangan utama bagi setiap individu dan setiap komunitas yang membaca dan merenungkan kisah agung yang dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana di ayat ke-83 Surah Al-Kahfi.
Kita kembali lagi kepada ayat pembuka, Al-Kahfi 83. Ayat ini menegaskan pentingnya bertanya dan belajar. Kaum Quraisy bertanya untuk menguji, namun Allah menjawab dengan narasi yang mendidik seluruh umat manusia tentang prinsip-prinsip kekuasaan, keadilan, dan akhir zaman. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya menceritakan kisah Dzul Qarnain, tetapi juga mengajarkan kita cara belajar yang benar: melalui wahyu, yang memuat kebijaksanaan melampaui batas-batas pengetahuan manusia.
Pelajaran yang terkandung dalam detail konstruksi, penolakan imbalan, dan pengakuan ilahi memastikan bahwa kisah ini akan terus relevan dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang berjuang mencari jalan kebenaran dan keadilan, hingga saat ketika semua benteng, baik yang dibangun oleh Dzul Qarnain maupun yang kita bangun dalam hidup kita, akan hancur lebur sesuai janji Tuhan yang tak terhindarkan. Dan hanya Allah yang Maha Mengetahui segala rahasia yang tersembunyi di balik kisahnya.
Refleksi terakhir tentang Dzul Qarnain adalah pada kegigihan dan ketekunannya. Dia tidak menyerah meskipun dihadapkan pada kesulitan komunikasi (kaum yang "hampir tidak mengerti perkataan") dan tuntutan proyek yang sangat besar. Ini adalah contoh keuletan yang diilhami oleh tujuan yang mulia. Pemimpin sejati tidak gentar oleh hambatan; mereka melihat hambatan sebagai peluang untuk menerapkan ilmu dan iman yang telah diberikan oleh Allah. Dia tidak hanya melindungi, tetapi juga membangun sebuah warisan iman yang monumental—sebuah pengingat abadi tentang batas kekuatan manusia dan keabadian Rahmat Ilahi.
Dengan demikian, kisah yang dibuka oleh pertanyaan pada Al-Kahfi 83 terus mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejati adalah pelayanan, kekayaan sejati adalah keimanan, dan satu-satunya kepastian abadi adalah janji Tuhan.