Dalam khazanah ajaran Islam, Surah Al-Kahfi menempati posisi yang sangat penting, sering dibaca pada hari Jumat sebagai penawar dari fitnah Dajjal dan sumber petunjuk yang mendalam. Surah ini memuat kisah-kisah luar biasa, mulai dari pemuda Ashabul Kahfi, pertemuan Nabi Musa dengan Khidhir, hingga kisah raja bijaksana Dzulqarnain. Namun, di tengah narasi epik ini, terselip sebuah pengajaran tata krama ilahi yang fundamental, ringkas, namun memiliki konsekuensi teologis yang sangat besar. Pengajaran itu termaktub dalam **Al Kahfi ayat 23**.
Ayat ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah teguran dan instruksi langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya, yang berfungsi sebagai pilar akidah dalam setiap perencanaan dan janji. Konteks diturunkannya ayat ini berkaitan erat dengan penundaan wahyu, sebuah peristiwa yang menyoroti urgensi untuk selalu menggantungkan segala urusan pada Kehendak Mutlak Ilahi. Memahami hakikat **Al Kahfi ayat 23** adalah memahami hakikat tawakkul (berserah diri) yang sejati.
Terjemahan (Kemenag RI):
"Dan jangan sekali-kali engkau mengucapkan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan melakukannya besok'."
Ayat ini dilanjutkan pada ayat ke-24, yang merupakan penyelesaian dari perintah tersebut:
إِلَّا أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَٱذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰٓ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّى لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًاTerjemahan (Kemenag RI):
"Kecuali (dengan mengucapkan), 'Insya Allah'. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenarannya'."
Penting untuk mengkaji kedua ayat ini secara berkesinambungan, karena ayat 23 memberikan larangan atau peringatan, sementara ayat 24 memberikan pengecualian dan solusi: **mengucapkan *Insha'Allah*** (jika Allah menghendaki). Inti dari pengajaran ini adalah penegasan bahwa setiap gerak, janji, dan rencana yang melibatkan masa depan sepenuhnya berada dalam genggaman dan kehendak Allah SWT.
Visualisasi ketergantungan perencanaan masa depan pada Kehendak Ilahi.
Untuk memahami kedalaman teguran dalam **Al Kahfi ayat 23**, kita harus menilik kisah di balik penurunannya, yang merupakan salah satu momen paling sensitif dalam sejarah kenabian.
Ketika dakwah Nabi Muhammad SAW mulai menguat di Makkah, kaum Quraisy mencari cara untuk mengujinya. Mereka mengirim utusan kepada para ulama Yahudi di Madinah (atau Khaibar, menurut beberapa riwayat), yang dikenal memiliki pengetahuan mendalam tentang kitab-kitab terdahulu. Para Rabbi tersebut memberikan tiga pertanyaan kunci yang dianggap mustahil dijawab oleh seorang nabi yang tidak berkitab:
Ketika pertanyaan-pertanyaan ini disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, beliau dengan yakin menjawab, "Aku akan memberitahu kalian jawabannya besok." Namun, beliau lupa untuk menambahkan kalimat pengecualian ilahi: **"Insha'Allah"**.
Akibat kelalaian (lupa) Nabi Muhammad SAW untuk mengaitkan janjinya dengan Kehendak Allah, wahyu terhenti. Penundaan ini berlangsung cukup lama—beberapa riwayat menyebutkan tiga hari, riwayat lain menyebutkan 15 hari, bahkan ada yang menyebut 40 hari. Selama masa penantian yang mencekam itu, Nabi SAW sangat sedih dan kaum Quraisy mulai mencemooh, menyatakan bahwa Tuhannya telah meninggalkannya.
Ketika wahyu akhirnya turun, Surah Al-Kahfi pun diwahyukan, menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Namun, di tengah jawaban, datanglah teguran tegas melalui **Al Kahfi ayat 23** dan 24. Teguran ini mengajarkan bahwa bahkan seorang Rasul pilihan pun tidak memiliki otoritas atas waktu dan masa depan. Segala janji dan rencana yang melampaui waktu saat ini harus diikatkan pada izin dan kehendak Sang Pencipta.
Momen ini, di mana Rasulullah SAW ditegur secara langsung, menunjukkan betapa sentralnya konsep **Tawhid al-Af’al** (mengesakan Allah dalam perbuatan). Ayat ini mengukuhkan bahwa janji tentang masa depan, betapapun pastinya bagi akal manusia, harus disertai kesadaran akan kekuasaan ilahi yang tak terbatas. Lupa mengucapkan *Insha'Allah* berarti secara implisit mengklaim kontrol atas sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia.
Kata kunci dalam **Al Kahfi ayat 23** adalah إِلَّا أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ (*Illa an yashaa Allah* - kecuali jika Allah menghendaki). Kalimat *Insha'Allah* bukan sekadar frasa basa-basi atau mantra, melainkan sebuah pernyataan akidah yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang hubungan antara kehendak manusia dan kehendak ilahi.
Perintah dalam **Al Kahfi ayat 23** berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Kita dapat merencanakan dengan detail, menyiapkan sarana, dan menetapkan target, tetapi realisasi dari rencana tersebut tetap mutlak tergantung pada izin Allah. Peristiwa yang tampaknya pasti (seperti terbitnya matahari besok, atau rencana pertemuan besok pagi) dapat digagalkan oleh faktor-faktor yang sepenuhnya berada di luar kendali kita: kematian, penyakit, bencana alam, atau perubahan keadaan mendadak.
Dengan mengucapkan *Insha'Allah*, seorang Muslim menanggalkan sifat kesombongan dan klaim absolut atas masa depan. Ini adalah ekspresi kerendahan hati (tawadhu') di hadapan Keagungan Allah SWT.
Ayat ini adalah fondasi dari konsep *Tawakkul* (berserah diri). *Tawakkul* bukanlah fatalisme (berdiam diri dan menunggu nasib), tetapi adalah kombinasi antara usaha keras (ikhtiar) yang optimal dan penyerahan hasil total kepada Allah. Ketika kita mengatakan "Aku akan melakukan ini besok, *Insha'Allah*", kita telah menggabungkan usaha kita (janji untuk bertindak) dengan pengakuan bahwa keberhasilan usaha tersebut adalah hak prerogatif Allah semata.
Para ulama tafsir, seperti Imam Al-Qurtubi, menekankan bahwa jika seseorang lupa mengucapkan *Insha'Allah* saat berjanji, ia harus segera mengingatnya dan mengucapkannya saat ia teringat, sesuai dengan penggalan ayat 24: وَٱذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ (Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa). Hal ini menunjukkan bahwa pengikatan janji dengan Kehendak Allah memiliki nilai ibadah yang berkelanjutan.
Konsep yang diangkat oleh **Al Kahfi ayat 23** berkaitan erat dengan rukun iman keenam, yaitu iman kepada *Qada'* (ketetapan) dan *Qadar* (ukuran). Masa depan, dalam pandangan Islam, telah ditetapkan dan dicatat di *Lauhul Mahfuzh*. Meskipun manusia diberikan kehendak bebas parsial (kebebasan memilih untuk berbuat), hasil akhir dari kehendak tersebut tetap terangkai dalam Rencana Ilahi yang lebih besar.
Mengucapkan *Insha'Allah* adalah penegasan bahwa kita menerima skema kosmik ini. Hal ini membebaskan hati dari kecemasan berlebihan akan hasil, karena kita telah menyerahkan kendali ultimate kepada Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa. Jika rencana gagal, kita tidak terlalu kecewa karena sejak awal kita telah mengakui bahwa keberhasilannya tergantung pada Kehendak Allah.
Visualisasi ikhtiar di bawah naungan Kehendak Ilahi (Tawakkul).
Ajaran dalam **Al Kahfi ayat 23** bukan hanya berlaku untuk janji-janji besar kenabian, tetapi meresap ke dalam seluruh aspek interaksi dan perencanaan harian seorang Muslim. Kapan dan bagaimana seharusnya kita mengucapkan *Insha'Allah*?
Dalam konteks muamalah (transaksi dan interaksi sosial), mengucapkan *Insha'Allah* memiliki dua fungsi utama: keagamaan dan etika. Secara agama, ia membebaskan kita dari dosa jika kita gagal memenuhi janji karena halangan tak terduga yang berada di luar kendali. Secara etika, ia mengajarkan kita untuk tidak bersikap terlalu dogmatis atau kaku terhadap rencana. Seseorang yang berkata, "Saya akan membayar hutang Anda besok, *Insha'Allah*," secara implisit meminta pemakluman jika ada halangan, sambil tetap menunjukkan niat kuat untuk memenuhi kewajiban.
Saat merencanakan pernikahan, karir, pendidikan, atau perjalanan, seluruh rencana harus diikat dengan *Insha'Allah*. Para ulama menekankan bahwa semakin besar dan penting rencana tersebut, semakin wajiblah kita mengikatnya dengan Kehendak Allah. Misalnya, ketika seseorang berkata, "Tahun depan saya akan menyelesaikan hafalan Qur'an saya," tanpa *Insha'Allah*, ia seolah mengklaim bahwa ia memiliki kesehatan, waktu, dan kemampuan penuh untuk mengendalikan peristiwa sepanjang tahun tersebut—sebuah klaim yang mustahil bagi makhluk.
Penting untuk membedakan antara mengucapkan *Insha'Allah* karena akidah dengan menggunakannya sebagai alasan untuk menunda atau menghindari tanggung jawab. *Insha'Allah* harus diucapkan dengan niat tulus (shidqun niyyah), yaitu dengan tekad kuat untuk melaksanakan rencana tersebut, sambil mengakui bahwa keberhasilannya hanya dari Allah. Menggunakan *Insha'Allah* hanya untuk menutupi kemalasan atau ketidakseriusan adalah penyalahgunaan etika ilahi yang diajarkan oleh **Al Kahfi ayat 23**.
Teguran yang diterima Nabi SAW atas kelupaan *Insha'Allah* telah menjadi subjek diskusi yang mendalam di kalangan mufassirin (ahli tafsir) selama berabad-abad. Mereka membahas mengapa ayat ini harus menjadi sebuah aturan baku dalam Islam.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat ini adalah perintah langsung untuk melatih lisan dan hati agar selalu terikat pada Kehendak Allah ketika berbicara tentang masa depan. Beliau menjelaskan bahwa penundaan wahyu yang dialami Nabi adalah hukuman pendidikan (ta'dib) agar umatnya memahami betapa fatalnya janji yang tidak dikaitkan dengan *Mashii'ah* (kehendak) Allah. Kelupaan Rasulullah SAW adalah sebuah mekanisme ilahi untuk menetapkan syariat bagi umat setelahnya.
Al-Qurtubi berfokus pada sisi hukum (*fiqh*). Ia membahas apakah mengucapkan *Insha'Allah* saat lupa dapat menghapus dosa yang ditimbulkan oleh janji mutlak sebelumnya. Berdasarkan penggalan ayat 24 (*wa udzkur Rabbaka idza nasiita*), Al-Qurtubi menyimpulkan bahwa jika seseorang berjanji tentang masa depan tanpa *Insha'Allah*, ia wajib mengucapkannya segera setelah ia ingat, bahkan jika itu terjadi beberapa waktu kemudian, untuk memperbaiki kekurangannya di hadapan Allah.
Dalam **Al Kahfi ayat 23**, Allah menggunakan struktur bahasa yang sangat kuat: وَلَا تَقُولَنَّ (*wa laa taquulanna*). Penggunaan huruf *La* (larangan) yang diikuti oleh *Nun Taukid Tsaqilah* (nun penegas yang berat) menunjukkan larangan yang sangat tegas dan wajib dihindari. Ini bukan sekadar anjuran ringan, melainkan perintah yang tidak boleh diabaikan. Larangan ini ditujukan terhadap klaim mutlak atas perbuatan di masa depan ("Sesungguhnya aku akan melakukannya besok").
Melampaui konteks fiqih dan tafsir, **Al Kahfi ayat 23** menawarkan pelajaran spiritual tentang bagaimana menjaga hati dari penyakit-penyakit tersembunyi seperti kesombongan, ketergantungan pada diri sendiri, dan lupa diri.
*Ujub* adalah penyakit hati berupa kekaguman terhadap diri sendiri dan meremehkan karunia Allah. Ketika seseorang berjanji mutlak tentang masa depan tanpa *Insha'Allah*, ia berisiko jatuh ke dalam *ujub*. Seolah-olah, keberhasilan rencana tersebut semata-mata berasal dari keahlian, kekuatan, atau kecerdasannya sendiri. *Insha'Allah* berfungsi sebagai penangkal instan bagi *ujub*, memaksa pelakunya untuk mengakui bahwa kemampuan dan kesempatan untuk bertindak datang dari Dzat Yang Maha Memberi.
Ayat ini tidak berarti kita harus menjadi pasif. Justru sebaliknya, ia memotivasi kita untuk berbuat maksimal (ikhtiar), karena usaha kita pun merupakan bagian dari kehendak Allah. Seorang Muslim yang mengamalkan **Al Kahfi ayat 23** adalah seseorang yang bekerja seolah-olah semuanya bergantung padanya, namun berserah diri seolah-olah tidak ada yang bergantung padanya selain Allah.
Tawakkul sejati yang lahir dari pemahaman ayat ini mengajarkan keseimbangan yang sempurna. Usaha keras adalah ibadah, dan pengakuan akan ketergantungan pada *Mashii'ah* Ilahi adalah puncak dari Tauhid.
Lebih jauh, perintah dalam **Al Kahfi ayat 23** mengajarkan kita pentingnya *tadzkir* (mengingat) dalam keadaan lupa. Kelupaan manusiawi adalah fitrah, tetapi segera kembali mengingat Allah (dengan mengucap *Insha'Allah* saat teringat) adalah tanda dari hati yang senantiasa terhubung dengan Rabbnya. Ini adalah mekanisme perbaikan diri yang diamanahkan dalam Al-Qur'an.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang pentingnya **Al Kahfi ayat 23**, kita perlu mendalami terminologi teologis yang mendasari kalimat *Insha'Allah* (Jika Allah Menghendaki). Dalam teologi Islam, khususnya dalam pembahasan Asy'ariyah dan Maturidiyah, terdapat pembedaan antara dua istilah kunci yang sering disamakan dalam terjemahan umum: *Iradah* (kehendak, niat) dan *Mashii'ah* (kehendak mutlak, izin, atau perwujudan). Walaupun keduanya merujuk pada atribut Allah, konteks penggunaannya dalam filsafat Islam sangat spesifik.
*Iradah* Allah merujuk pada keinginan atau niat-Nya yang luas, mencakup baik hal yang baik maupun buruk (dalam konteks ujian bagi manusia). Sementara itu, *Mashii'ah* adalah kehendak yang menghasilkan perwujudan atau izin tindakan. Ketika kita mengucapkan *Insha'Allah*, kita secara spesifik mengikat rencana kita pada *Mashii'ah*—yaitu izin Allah untuk perwujudan rencana tersebut di alam nyata.
**Al Kahfi ayat 23** secara langsung menggunakan akar kata *Sha'a* (يَشَآءَ - *yashaa'a*), merujuk pada *Mashii'ah*. Ini menegaskan bahwa apa pun yang kita rencanakan, ia hanya akan terwujud jika Allah mengizinkan dan menakdirkan keberadaannya. Tanpa *Mashii'ah* Ilahi, tidak ada niat atau usaha manusia yang dapat menghasilkan hasil yang diinginkan.
Kata kerja *Sha'a* (شَاءَ) berarti "menginginkan" atau "menghendaki". Ketika dinisbatkan kepada Allah, ia membawa makna kekuasaan mutlak yang mengatur jalannya alam semesta. Penggunaan kata ini dalam konteks masa depan menegaskan bahwa waktu dan segala isinya adalah ciptaan Allah. Berjanji untuk melakukan sesuatu besok, tanpa *Insha'Allah*, adalah upaya halus untuk mengambil alih hak Kehendak Mutlak Ilahi. Ayat ini datang untuk mengoreksi pandangan tersebut dan mengembalikan segala urusan kepada pemilik Waktu dan Takdir.
Selain implikasi teologis, para fuqaha (ahli fikih) juga mendiskusikan kedudukan *Insha'Allah* dalam kontrak dan janji. Mazhab Syafi'i, misalnya, membahas bahwa ketika *Insha'Allah* disertakan dalam sumpah atau janji, ia dapat membebaskan penjamin dari kewajiban tertentu jika ia gagal memenuhinya, asalkan kegagalan itu disebabkan oleh Kehendak Allah (misalnya, sakit atau mati). Namun, dalam kontrak bisnis formal, *Insha'Allah* tidak boleh digunakan sebagai klausul yang mengaburkan kepastian hak dan kewajiban, melainkan sebagai niat spiritual yang tidak menghilangkan tanggung jawab hukum duniawi.
Inilah keindahan ajaran **Al Kahfi ayat 23**: ia menuntut ketulusan dalam berjanji (sebagai tanggung jawab duniawi), sambil membangun kesadaran akan keterbatasan dan kekuasaan ilahi (sebagai tanggung jawab spiritual).
Surah Al-Kahfi secara keseluruhan dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal. Para ulama berpendapat bahwa kisah-kisah di dalamnya mengajarkan cara menghadapi empat fitnah utama dunia:
Lalu, di mana posisi pengajaran **Al Kahfi ayat 23**? Ayat ini berfungsi sebagai tali pengikat bagi semua pelajaran di atas. Kesombongan yang menyebabkan keruntuhan pemilik kebun, arogansi yang menghalangi Musa dari kesabaran, atau kelupaan Dzulqarnain saat merasa mampu menyelesaikan proyeknya—semuanya dapat dicegah dengan satu kalimat pengakuan: *Insha'Allah*.
Dalam konteks menghadapi fitnah Dajjal, yang merupakan puncak dari semua fitnah duniawi, **Al Kahfi ayat 23** adalah benteng akidah. Dajjal menjanjikan kekayaan dan kesembuhan secara mutlak. Muslim yang telah menghayati ayat 23 akan sadar bahwa semua kekuasaan Dajjal bersifat temporal dan terbatas, karena kekuasaan mutlak atas waktu dan kejadian hanya milik Allah SWT. Ia tidak akan mudah terpedaya oleh janji-janji absolut makhluk.
Bagian kedua dari ayat 24 (*wa udzkur Rabbaka idza nasiita*) adalah rahmat besar bagi manusia. Ia mengakui sifat lupa yang inheren pada manusia. Dalam konteks kelupaan Nabi Muhammad SAW, penggalan ayat ini memberikan jalan keluar dan perbaikan. Jika kita lupa mengucapkan *Insha'Allah* saat berjanji, kita tidak terlempar ke dalam dosa yang tak termaafkan, tetapi diinstruksikan untuk segera mengingat Allah. Ini menunjukkan fleksibilitas dan kelembutan syariat, yang selalu menyediakan mekanisme tobat dan perbaikan bagi kekurangan manusia.
Konsep Tawhid (keesaan Allah) terbagi menjadi tiga aspek utama: *Tawhid ar-Rububiyyah* (keesaan dalam penciptaan dan kepemilikan), *Tawhid al-Uluhiyyah* (keesaan dalam ibadah), dan *Tawhid al-Asma’ wa as-Sifat* (keesaan dalam nama dan sifat). **Al Kahfi ayat 23** adalah manifestasi sempurna dari *Tawhid ar-Rububiyyah*, yang mencakup pengakuan bahwa Allah adalah Pengatur (Rabb) atas segala sesuatu, termasuk aliran waktu dan peristiwa masa depan.
Ketika kita merencanakan, kita mengaktifkan sifat *Al-Qadir* (Maha Kuasa) dan *Al-Alim* (Maha Mengetahui) milik Allah. Tanpa **Al Kahfi ayat 23**, seseorang seolah-olah mengklaim sebagian kecil dari sifat *Al-Qadir* untuk dirinya sendiri, dengan asumsi bahwa ia mampu mengendalikan masa depan. Ini adalah penyimpangan halus dalam *Tawhid ar-Rububiyyah*.
Allah memiliki nama-nama indah, di antaranya *Al-Muqaddim* (Yang Mendahulukan) dan *Al-Mu’akhkhir* (Yang Mengakhirkan). Realisasi rencana kita, yaitu apakah janji kita terlaksana besok atau ditunda, sepenuhnya adalah fungsi dari kehendak *Al-Muqaddim* dan *Al-Mu’akhkhir*. Seseorang yang memahami ayat 23 akan menyadari bahwa ia tidak dapat mendahului atau mengakhirkan sesuatu dari takdirnya sendiri tanpa izin Ilahi.
Dalam konteks spiritual, rutinitas mengucapkan *Insha'Allah* secara tulus membentuk kebiasaan berpikir yang Islami. Setiap kali lisan mengucapkan *Insha'Allah*, hati diwajibkan untuk mengingat Allah, sehingga menjaga kesadaran ilahi (muraqabah) dalam setiap aktivitas duniawi.
Jika kita meninjau seluruh spektrum kehidupan, tidak ada satu pun aspek yang luput dari implikasi **Al Kahfi ayat 23**. Mulai dari hal-hal remeh seperti "Aku akan meneleponmu nanti, *Insha'Allah*", hingga janji politik yang besar, semua harus diikat pada Kehendak Allah. Kegagalan untuk melakukan hal ini dapat menciptakan kekosongan spiritual, di mana manusia mulai menyembah usahanya sendiri, waktu yang ia yakini dapat ia kontrol, dan logistik yang ia anggap tak terhindarkan—semua adalah bentuk syirik tersembunyi (*syirk khafiy*).
Hikmah dari penundaan wahyu (Asbabun Nuzul) yang sangat lama memberikan penekanan dramatis. Allah tidak hanya memberikan teguran lisan, tetapi Dia membiarkan hamba-Nya yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW, merasakan konsekuensi nyata dari lupa. Periode penundaan itu adalah ujian bagi Rasulullah dan pembelajaran bagi umat. Hal ini mengajarkan bahwa meskipun kita memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Allah, adab ilahi harus tetap dijaga dengan ketat. Jika Rasul saja ditegur karena lupa mengucapkan *Insha'Allah*, bagaimana mungkin umatnya berani mengklaim kontrol atas masa depan?
Oleh karena itu, setiap Muslim yang ingin mencapai puncak *Tawakkul* harus memastikan bahwa lidahnya basah dengan *Insha'Allah* ketika merujuk pada tindakan di masa depan, karena kalimat tersebut adalah jembatan spiritual yang menghubungkan rencana manusiawi dengan Takdir Ilahi yang abadi.
Kesinambungan pengamalan **Al Kahfi ayat 23** adalah jaminan bagi kebersihan akidah. Ia adalah benteng terakhir melawan ilusi kontrol yang ditawarkan oleh dunia material. Hanya dengan mengakui bahwa "Besok" sepenuhnya milik Allah, kita dapat menjalani hari ini dengan ketenangan dan kepasrahan yang sejati.
Ketika kita merenungkan Surah Al-Kahfi secara keseluruhan, kita menemukan bahwa setiap kisah di dalamnya adalah ujian terhadap ilusi kontrol: Ashabul Kahfi tidak mengontrol waktu tidur mereka; Musa tidak mengontrol tindakan Khidhir; dan Dzulqarnain tidak mengontrol umur panjang kerajaannya. Semua bergerak sesuai *Mashii'ah* Ilahi. **Al Kahfi ayat 23** adalah kesimpulan metodologis yang mempersiapkan hati Muslim untuk menerima fakta ini, baik dalam hal yang besar maupun yang sangat kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mengamalkan perintah ini, seorang Muslim tidak hanya menjalankan adab lisan, tetapi juga menunaikan kewajiban teologis tertinggi: pengakuan mutlak atas Kehendak Allah SWT sebagai satu-satunya kekuatan yang mengatur realitas.
Ayat ini juga memberikan petunjuk tambahan untuk selalu meminta petunjuk yang lebih baik (*wa qul 'asaa an yahdiyani Rabbii li'aqraba min haadzaa rasyadan*). Ini adalah doa yang mengandung kerendahan hati: setelah merencanakan dan berserah diri (*Insha'Allah*), kita memohon agar Allah membimbing kita kepada jalan yang lebih benar, menyadari bahwa pengetahuan dan perencanaan kita mungkin tidak sempurna. Hal ini menambahkan lapisan kesadaran diri dan kebutuhan akan bimbingan ilahi pada seluruh proses perencanaan hidup, memastikan bahwa *Insha'Allah* adalah penyerahan diri yang aktif dan terus-menerus, bukan penyerahan diri yang pasif atau malas.
Seluruh ayat 23 dan 24 dari Surah Al-Kahfi, yang diwajibkan untuk dipelajari oleh setiap Muslim, menanamkan prinsip bahwa lisan seorang mukmin harus menjadi cerminan dari keyakinan batinnya. Lisan harus selaras dengan akidah. Jika hati meyakini bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur, maka lisan harus memohon izin-Nya setiap kali berbicara tentang masa depan, yang merupakan dimensi waktu yang sepenuhnya berada di bawah otoritas-Nya. Inilah esensi dari **Al Kahfi ayat 23**—sebuah fondasi Tauhid yang diucapkan dalam setiap kata yang merujuk pada hari esok.
Penerapan ini meluas hingga ke dalam tradisi keilmuan Islam. Hampir setiap ulama yang menulis kitab, di awal karyanya, akan menyatakan niatnya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, diikuti dengan *Insha'Allah*, sebagai penegasan bahwa penyelesaian dan penerimaan karya ilmiah tersebut sepenuhnya bergantung pada izin dan Kehendak Allah SWT. Ini adalah tradisi *taqyiid* (mengikat) janji atau usaha dengan *Mashii'ah* Ilahi, yang berakar kuat dari pengajaran yang keras namun penuh hikmah dari **Al Kahfi ayat 23**.
Kita harus senantiasa mengingat bahwa penundaan wahyu pada Rasulullah adalah episode yang paling menyakitkan bagi beliau, namun menghasilkan aturan emas yang melindungi kita dari kesesatan terbesar: menyamakan diri kita dengan Kehendak Allah. Kalimat *Insha'Allah* adalah penanda yang jelas antara kekuasaan makhluk dan kekuasaan Khaliq (Pencipta).
Dalam setiap tarikan napas dan setiap rencana yang kita susun, baik yang disuarakan atau hanya dalam benak, kita seharusnya merasakan beban spiritual dari **Al Kahfi ayat 23** dan bergegas mengikatnya dengan *Insha'Allah*. Dengan demikian, kita memposisikan diri kita bukan sebagai pembuat takdir, tetapi sebagai pelaksana rencana yang senantiasa mencari ridha dan izin dari Allah SWT.