Surah Al-Kahfi adalah permata dalam Al-Qur'an yang memuat empat kisah inti yang saling terkait, masing-masing membawa pesan mendalam mengenai fitnah (ujian) terbesar yang dihadapi manusia: fitnah agama, fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan. Di tengah kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari kekejaman raja zalim, terdapat satu ayat yang mengandung perhitungan waktu yang sangat spesifik dan sekaligus menjadi poin diskusi utama di kalangan ahli tafsir dan astronomi, yaitu Al Kahfi ayat 25.
Ayat ini bukan sekadar keterangan faktual, melainkan kunci untuk memahami mukjizat Ilahi yang melampaui logika waktu manusia. Pembahasan mengenai durasi tidur mereka—tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun—menghadirkan lapisan pemahaman yang memerlukan penelusuran kontekstual, linguistik, hingga implikasi teologis terhadap perbedaan sistem penanggalan yang dikenal di dunia.
Ayat ini menyajikan fakta luar biasa: para pemuda tersebut tertidur dalam keadaan mati suri selama rentang waktu yang mencakup tiga abad penuh, ditambah sembilan tahun berikutnya. Kehadiran angka yang spesifik, yaitu 300 tahun, dan kemudian penambahan yang seolah-olah merupakan koreksi—sembilan tahun—telah melahirkan interpretasi yang kaya dan memerlukan pemahaman yang cermat terhadap sistem kalender yang berlaku pada masa itu dan juga sistem kalender yang digunakan oleh Allah SWT dalam Firman-Nya.
Ayat 25 ini muncul setelah Allah SWT berfirman dalam ayat 22 yang menyebutkan bahwa manusia akan berbeda pendapat mengenai durasi tidur Ashabul Kahfi, bahkan hingga menyatakan angka yang jauh dari kebenaran. Ayat 25 ini berfungsi sebagai penetapan fakta Ilahi. Allah, melalui wahyu, membersihkan keraguan dan memberikan kepastian angka. Namun, kepastian ini sendiri membawa misteri: Mengapa 300 *ditambah* 9?
Sebagian ulama tafsir awal menyatakan bahwa tambahan sembilan tahun ini adalah keterangan dari Allah yang disisipkan untuk meluruskan asumsi atau pertanyaan yang mungkin timbul dari kaum musyrikin Quraisy atau kaum Ahli Kitab yang diuji pengetahuannya oleh Rasulullah SAW. Keajaiban angka ini terletak pada sinkronisasi antara sistem perhitungan waktu yang berbeda, menunjukkan bahwa perhitungan Allah adalah yang paling akurat dan meliputi semua dimensi waktu yang dikenal manusia.
Mayoritas mufassir sepakat bahwa penambahan sembilan tahun (تِسْعًا / *tis'an*) adalah kunci linguistik dan matematis yang mengaitkan dua sistem penanggalan kuno yang fundamental: Kalender Matahari (Syamsi) dan Kalender Bulan (Qamari). Perhitungan waktu Islam, dan umumnya perhitungan waktu dalam Al-Qur'an, didasarkan pada siklus bulan (Qamariyyah), seperti halnya penentuan awal Ramadan dan musim Haji.
Kalender Syamsi, seperti kalender Masehi yang kita kenal sekarang, didasarkan pada pergerakan bumi mengelilingi matahari, menghasilkan tahun dengan durasi sekitar 365,25 hari. Sementara itu, Kalender Qamari didasarkan pada siklus bulan, menghasilkan tahun dengan durasi sekitar 354 hari. Selisihnya adalah sekitar 11 hingga 12 hari per tahun.
Ketika rentang waktu dihitung selama tiga abad penuh (300 tahun), akumulasi selisih harian ini menjadi signifikan. Mari kita telaah perhitungan ini secara matematis yang diterima luas oleh para ahli tafsir:
Perhitungan Konversi:
Jika kita mengambil 300 tahun Syamsi, dan membandingkannya dengan berapa banyak tahun Qamari yang setara, kita akan menemukan bahwa 300 tahun Syamsi menghasilkan periode waktu yang setara dengan 309 tahun Qamari. Ini terjadi karena, dalam setiap seratus tahun, Kalender Qamari akan mendahului Kalender Syamsi sebanyak kurang lebih 3 tahun. Dengan kata lain, Kalender Syamsi 100 tahun sama dengan Kalender Qamari 103 tahun.
Maka, 300 tahun Syamsi adalah sama dengan: 300 + (3 x 3) = 309 tahun Qamari.
Ketika Allah berfirman, "mereka tinggal... tiga ratus tahun," (ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ) kemungkinan besar ini merujuk pada perhitungan yang umum digunakan oleh kaum Ahli Kitab atau penduduk setempat pada masa itu, yaitu menggunakan perhitungan matahari (Syamsi). Namun, Al-Qur'an, yang menggunakan perhitungan Ilahiah dan qamari, menambahkan "dan ditambah sembilan tahun" (وَ ازْدَادُوا تِسْعًا) untuk mengkonversi total durasi tersebut ke dalam sistem tahun Qamari yang merupakan sistem dasar dalam penetapan hukum dan waktu ibadah dalam Islam.
Imam Ibnu Katsir, salah satu mufassir agung, menegaskan bahwa penambahan ini datang untuk menghilangkan kontradiksi yang mungkin timbul antara pengetahuan Allah dan perhitungan manusia. Jika dahulu orang-orang, termasuk Ahli Kitab, berdebat tentang waktu tidur mereka, Allah memberikan jawaban yang presisi sekaligus mengandung pelajaran mengenai sistem waktu.
Penambahan sembilan tahun ini menunjukkan ketelitian mutlak dalam Al-Qur'an, yang tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memaparkan suatu realitas matematis-astronomis yang mungkin belum dipahami secara luas pada masa wahyu diturunkan. Ini adalah bukti akan sifat Ilahiah sumber wahyu tersebut.
Durasi 309 tahun bukanlah angka biasa dalam konteks kisah ini; ia adalah bagian integral dari mukjizat. Allah tidak sekadar menidurkan mereka, tetapi juga melestarikan tubuh mereka dalam kondisi yang melampaui kemampuan alamiah selama periode waktu yang sangat panjang. Pemuda Ashabul Kahfi terbangun seolah-olah hanya tertidur sesaat, padahal peradaban di luar gua telah berubah secara drastis selama lebih dari tiga abad.
Mukjizat tidur selama 309 tahun ini mengajarkan pelajaran paling mendasar dalam tauhid: Kekuasaan Allah atas waktu dan kehidupan. Jika Allah mampu menidurkan sekelompok pemuda dan menjaga mereka selama tiga abad tanpa makanan atau kerusakan, maka menghidupkan kembali manusia dari kematian di Hari Kiamat adalah perkara yang jauh lebih mudah bagi-Nya. Kisah ini berfungsi sebagai bukti nyata (demonstrasi) akan konsep kebangkitan (Ba'ats) yang sering ditolak oleh kaum musyrikin.
Waktu 309 tahun adalah penanda bahwa Allah mampu membekukan waktu bagi seseorang atau sekelompok orang sementara waktu terus berjalan bagi yang lain. Ini adalah manifestasi dari relativitas waktu yang dikendalikan penuh oleh Pencipta. Bagi para pemuda, mungkin waktu hanya terasa seperti "setengah hari atau sehari" (seperti yang mereka katakan dalam ayat 19), namun bagi alam semesta, 309 tahun telah berlalu.
Ketika para pemuda ini terbangun dan salah satu dari mereka pergi ke kota, perbedaan waktu yang ekstrem ini segera terungkap. Uang logam yang mereka bawa sudah tidak berlaku lagi. Inilah ujian bagi umat yang menemukan mereka: bagaimana mereka akan bereaksi terhadap tanda-tanda kebesaran Allah yang tampak begitu jelas? Apakah mereka akan beriman, atau malah menjadikan peristiwa ini sebagai bahan perdebatan tanpa mengambil pelajaran tauhidnya?
Durasi yang panjang ini memastikan bahwa ketika mereka bangun, semua orang yang hidup di masa mereka sudah tiada, dan peradaban yang menindas mereka telah runtuh atau berubah total. Kebangkitan mereka menandai periode baru, menggarisbawahi kebenaran janji Allah.
Untuk benar-benar menghayati keakuratan Al Kahfi ayat 25, kita harus menyelam lebih dalam ke dalam ilmu hisab (perhitungan kalender). Perhitungan ini adalah fondasi bagi penafsiran yang menjelaskan mengapa Allah tidak hanya menyebutkan 309 tahun, tetapi memisahnya menjadi 300 *ditambah* 9. Pemisahan ini merupakan petunjuk yang ditujukan kepada manusia yang memiliki pengetahuan tentang kedua sistem kalender tersebut.
Satu tahun Syamsi adalah waktu yang dibutuhkan Bumi untuk menyelesaikan satu orbit mengelilingi Matahari. Durasi yang paling presisi adalah sekitar 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 45 detik. Sementara itu, satu tahun Qamari (Hijriah) didasarkan pada 12 siklus sinodik bulan, di mana setiap siklus berlangsung sekitar 29,5 hari. Total hari dalam setahun Qamari adalah sekitar 354 hari, 8 jam, dan 48 menit.
Selisih harian antara kedua sistem ini adalah sekitar 10 hari dan 21 jam per tahun. Akumulasi dari selisih ini selama periode waktu yang panjang menghasilkan penambahan signifikan. Inilah yang menjadi fokus utama dalam memahami Al Kahfi ayat 25.
Selisih 10.875 hari per tahun (sekitar 11 hari) akan terakumulasi menjadi satu tahun penuh Qamari (354 hari) setiap kurang lebih 33 tahun Syamsi. Secara matematis, kita dapat menghitung:
300 tahun Syamsi x 11 hari selisih/tahun = 3300 hari total selisih.
Jika 1 tahun Qamari adalah 354 hari, maka:
3300 hari / 354 hari/tahun ≈ 9.32 tahun.
Angka 9.32 tahun sangat dekat dengan angka sembilan tahun yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Kebulatan angka menjadi 9 tahun menunjukkan bahwa perhitungan dalam Al-Qur'an menggunakan dasar matematika yang tepat, membulatkan selisih total ke tahun Qamari terdekat. Ini adalah bukti bahwa Al-Qur'an memberikan informasi yang sangat spesifik dan akurat, yang hanya dapat diungkap melalui pengetahuan astronomi yang mendalam.
Penggunaan angka 300 (Syamsi) mungkin ditujukan untuk mengakomodasi pengetahuan orang-orang yang bertanya—yaitu kaum musyrikin yang mendapat informasi dari Ahli Kitab yang umumnya menggunakan penanggalan Syamsi. Kemudian, Allah memberikan penambahan 9 tahun, mengubah total perhitungan menjadi 309 tahun Qamari, menegaskan bahwa perhitungan waktu yang digunakan dalam wahyu (Al-Qur'an) adalah berdasarkan sistem Qamari. Ini bukan kontradiksi, melainkan translasi waktu dari satu sistem ke sistem lain, sebuah petunjuk keilmuan yang luar biasa.
Pemisahan ini juga mengajarkan umat Islam untuk selalu merujuk pada perhitungan Qamari (Hijriah) dalam urusan keagamaan mereka, sekaligus menunjukkan bahwa Allah menguasai dan memahami semua sistem waktu yang ada di alam semesta.
Struktur kalimat dalam ayat 25 Surah Al-Kahfi juga menarik perhatian linguis Arab. Penggunaan kata kerja 'وَ لَبِثُوا' (*wa labitsu*) yang berarti 'dan mereka tinggal' mendahului keterangan waktu, menunjukkan penegasan pada durasi istirahat atau penantian mereka di dalam gua.
Yang paling signifikan adalah frasa 'وَ ازْدَادُوا تِسْعًا' (*wa izdaaduu tis'an*), 'dan mereka ditambah sembilan tahun'. Penggunaan kata 'izdaaduu' (bertambah) memperkuat gagasan bahwa 300 tahun adalah jumlah dasar yang sudah ditetapkan, dan sembilan tahun adalah tambahan atau pelengkap yang memiliki fungsi korektif.
Huruf 'و' (Wau) di sini berfungsi sebagai penghubung (*‘athf*). Namun, dalam konteks ini, ia tidak hanya sekadar menghubungkan 300 dan 9, tetapi memberikan penekanan bahwa penambahan ini adalah bagian integral dari total durasi, yang menunjukkan adanya dua cara pandang terhadap periode waktu yang sama. Jika Allah hanya ingin menyatakan total 309 tahun Qamari, Dia bisa saja berfirman dengan langsung menyebutkan angka tersebut. Pilihan untuk memisahkan angka tersebut adalah pilihan retoris yang memiliki tujuan didaktis yang jelas.
Ayat ini mengajak kita merenungkan substansi waktu itu sendiri. Waktu, bagi manusia, adalah fenomena linear yang diukur dengan gerakan benda langit. Namun, bagi Allah, waktu adalah ciptaan yang bisa dipercepat, diperlambat, atau dihentikan. Ashabul Kahfi adalah bukti nyata bahwa waktu hanyalah dimensi relatif dalam Kerajaan Ilahi.
Ketika para pemuda ini bangun, mereka merasakan relativitas ini secara langsung. Hanya satu malam, namun peradaban di luar gua telah menyaksikan pergantian rezim, perubahan budaya, dan kepunahan. Ini adalah salah satu bukti terbesar yang disajikan Al-Qur'an mengenai kekuasaan Allah atas dimensi yang paling fundamental dalam eksistensi alam semesta.
Kisah Ashabul Kahfi secara keseluruhan sarat dengan pelajaran tentang waktu dan pengetahuan yang terbatas. Ayat 25 bukan akhir dari pembahasan waktu dalam kisah ini. Segera setelah menetapkan durasi 300 + 9 tahun, Al-Qur'an memberikan penekanan yang mutlak pada ayat 26:
Pernyataan penutup ini berfungsi sebagai batas bagi pengetahuan manusia. Meskipun Allah telah memberikan angka yang sangat presisi (300 + 9), Dia segera mengingatkan bahwa pengetahuan sejati tentang detail waktu—apakah itu hari, jam, atau selisih yang sangat kecil—sepenuhnya berada di tangan-Nya. Ini adalah pelajaran penting dalam adab menuntut ilmu (adabul thalib): manusia boleh menggali dan menafsirkan, tetapi kepastian mutlak hanya milik Allah.
Frasa 'غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ' (ghaibussamawati wal ardh) mencakup semua yang tersembunyi dan tidak dapat dijangkau oleh panca indra atau akal manusia, termasuk detail perhitungan waktu yang sangat panjang seperti 309 tahun. Bagi manusia, durasi tidur tersebut adalah mukjizat, suatu peristiwa gaib. Oleh karena itu, hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak untuk menetapkan berapa lama sesungguhnya mereka tertidur. Angka 300 dan 9 yang diberikan adalah rahmat untuk manusia agar mereka bisa memahami dimensi mukjizat tersebut melalui perhitungan yang dikenal, namun pada akhirnya, kekuasaan ilmu ada pada Allah semata.
Ayat 26 menyeimbangkan antara pernyataan keilmuan (Ayat 25) dan pernyataan keimanan. Ilmu adalah alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak boleh menggantikan keimanan bahwa masih ada pengetahuan yang tidak akan pernah bisa dicapai oleh makhluk.
Merenungkan 309 tahun tidur juga membawa kita pada pertanyaan tentang bagaimana tubuh mereka dapat bertahan. Walaupun Al-Qur'an tidak memberikan detail ilmiah modern, terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa pemeliharaan tubuh mereka adalah bagian dari intervensi Ilahi yang terorganisir.
Ayat-ayat sebelumnya memberikan petunjuk tentang bagaimana Allah menjaga mereka:
Durasi 309 tahun menuntut perlindungan yang sempurna terhadap lingkungan gua, termasuk kelembaban, suhu, dan pasokan oksigen yang stabil. Semua faktor ini berada di bawah kendali Allah, memungkinkan keajaiban 309 tahun terjadi tanpa kerusakan pada tubuh para pemuda. Ini memperkuat pesan utama: Allah adalah Penjaga terbaik, dan tidak ada durasi waktu yang terlalu panjang bagi Kekuasaan-Nya.
Meskipun Al Kahfi ayat 25 memberikan angka yang spesifik, kisah tentang ‘tidur panjang’ atau ‘hidup kembali setelah durasi yang sangat lama’ juga ditemukan dalam tradisi lain, baik dalam Al-Qur'an maupun di luar. Namun, Al-Kahfi memberikan detail waktu yang paling matematis.
Dalam Surah Al-Baqarah, terdapat kisah tentang seorang hamba Allah (yang diyakini sebagai Nabi Uzair oleh beberapa ulama) yang melihat reruntuhan sebuah kota. Allah membuatnya mati selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Ketika ditanya, ia menyangka hanya tertidur sehari atau setengah hari (QS. Al-Baqarah: 259).
Perbedaan antara Uzair dan Ashabul Kahfi terletak pada durasi dan kesadaran. Uzair mati total dan dibangkitkan. Ashabul Kahfi tertidur (mati suri) dan dijaga. Namun, keduanya menunjukkan tema sentral: relativitas waktu di mata Allah. Bagi manusia, 100 tahun atau 309 tahun adalah rentang waktu yang menghancurkan semua ingatan masa lalu; bagi Allah, itu adalah sekejap mata.
Angka 300 tahun juga terkadang muncul sebagai periode signifikan dalam sejarah kenabian dan umat terdahulu, seringkali menandai perubahan besar atau akhir dari suatu periode. Dalam konteks Ashabul Kahfi, 309 tahun merupakan durasi yang memastikan bahwa masa penindasan telah berakhir, dan agama tauhid telah kembali dominan ketika mereka bangun. Ini adalah periode waktu yang dibutuhkan untuk memungkinkan perubahan sosial dan politik secara menyeluruh tanpa campur tangan mereka.
Durasi ini memiliki fungsi teologis sebagai pemisah yang jelas antara dua era, menegaskan bahwa kebangkitan Ashabul Kahfi adalah tanda kebesaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun di masa mereka terbangun. Mereka datang dari masa lalu yang sangat jauh untuk mengesahkan kebenaran yang berlaku di masa kini.
Al Kahfi ayat 25, dengan pernyataan yang tampak sederhana tentang durasi waktu, sesungguhnya adalah simfoni teologis, matematis, dan linguistik. Ia merangkum keajaiban Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang tak terbatas.
Angka 300 tahun dan tambahan 9 tahun mengajarkan kita:
Dengan demikian, Al Kahfi ayat 25 bukan hanya detail kronologis, tetapi merupakan pintu gerbang untuk memahami kedalaman pengetahuan Allah SWT. Ia adalah undangan bagi kita untuk merenungkan bahwa dalam setiap hitungan dan setiap lafazh Al-Qur'an, terdapat hikmah dan ilmu yang melampaui batas pemahaman kita, yang puncaknya harus selalu dikembalikan kepada pemilik pengetahuan mutlak, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 26, “Allah lebih mengetahui.” Umat yang mengkaji Al-Kahfi diajak untuk selalu rendah hati di hadapan pengetahuan yang maha luas, menyadari bahwa apa pun yang kita ketahui hanyalah setetes air di lautan ilmu-Nya.
Refleksi mendalam terhadap ayat ini akan selalu membawa kita pada pengakuan tulus bahwa tiada daya dan upaya kecuali atas izin Allah, Dzat yang menguasai waktu, ruang, dan segala yang ada di dalamnya. Hikmah dari 309 tahun ini akan terus menjadi inspirasi bagi umat manusia sepanjang zaman.