Al Kahfi Ayat 35: Pelajaran Abadi Tentang Kesombongan Harta dan Kezaliman Diri

Pendahuluan: Di Balik Tirai Surah Al Kahfi

Surah Al Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah pelindung dari fitnah Dajjal, dan ia menyajikan empat kisah utama yang merupakan representasi dari empat bentuk fitnah terbesar yang mengancam kehidupan manusia: Fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Pemilik Kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidhir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain).

Di antara kisah-kisah agung tersebut, kisah dua pemilik kebun, yang terhampar antara ayat 32 hingga 44, menawarkan potret dramatis tentang bagaimana harta kekayaan, jika tidak diiringi dengan kesadaran akan hakikat kekuasaan Ilahi, dapat menjadi sumber kezaliman terbesar, terutama kezaliman terhadap diri sendiri. Inti dari kezaliman ini terangkum secara tajam dalam ayat ke-35.

Kisah ini bukan sekadar dongeng masa lalu; ia adalah cermin bagi setiap generasi yang hidup di bawah bayang-bayang kapitalisme, materialisme, dan persaingan duniawi. Ayat 35 menceritakan puncak dari keangkuhan seorang manusia yang mabuk harta, sebuah peringatan universal yang relevan hingga akhir zaman. Kekayaan, kemewahan, dan stabilitas materi seringkali membutakan mata hati dari kebenaran yang paling mendasar: bahwa segala sesuatu adalah pinjaman dan fana.

Fokus Utama: Surah Al Kahfi Ayat 35

وَدَخَلَ جَنَّتَهُۥ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ قَالَ مَآ أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِۦٓ أَبَدًا
"Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya'."

Ayat ini adalah titik balik naratif. Setelah Allah menggambarkan kemegahan kebunnya yang dikelilingi pohon kurma, dialiri sungai, dan ditanami anggur (ayat 32-34), sang pemilik kebun memasuki propertinya. Namun, memasuki kebun bukan hanya sekadar tindakan fisik; ia memasuki kebun dengan kondisi hati yang penuh kesombongan dan kezaliman.

Analisis Lafaz Kunci dalam Ayat 35

Untuk memahami kedalaman pesan ayat ini, kita harus membedah tiga frasa penting:

  1. وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ (wa huwa dzalimun li nafsihi): Zalim terhadap dirinya sendiri.
  2. Ini adalah poin krusial. Kezaliman (dzulm) di sini tidak diarahkan kepada orang lain, melainkan kepada diri sendiri. Kezaliman terbesar yang dilakukan seseorang terhadap dirinya adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, dalam hal ini, menempatkan harta (yang fana) pada kedudukan yang seharusnya hanya dimiliki oleh Sang Pencipta (yang Abadi). Ketika ia mengingkari kebenaran (tauhid, hari kebangkitan) karena kekayaan, ia telah menghancurkan potensi kebahagiaan abadi dirinya di akhirat. Ia menukar surga abadi dengan kepuasan sementara. Inilah bentuk kezaliman diri yang paling fatal.

  3. مَآ أَظُنُّ (mā adzunnū): Aku kira/Aku tidak yakin.
  4. Ini menunjukkan keraguan yang berubah menjadi penolakan. Keraguan ini bukan didasarkan pada bukti ilmiah atau logis, melainkan didorong oleh rasa aman yang palsu yang diberikan oleh hartanya. Harta telah menggantikan keyakinan kepada takdir dan hari kebangkitan. Keyakinan tersebut mencerminkan pandangan bahwa status quo kekayaan akan terus bertahan, sebuah ilusi yang sering menjangkiti orang-orang kaya yang lupa daratan.

  5. أَن تَبِيدَ هَٰذِهِۦٓ أَبَدًا (an tabīda hādzihī abadan): Ini akan binasa selama-lamanya.
  6. Frasa ini mencerminkan puncak dari kepastian diri yang berlebihan (hubris). Sang pemilik kebun tidak hanya yakin bahwa kebunnya akan bertahan lama, tetapi ia yakin bahwa ia tidak akan pernah binasa, sebuah klaim yang merampas sifat keabadian (al-abadiyyah) yang hanya dimiliki oleh Allah SWT. Ia memproyeksikan sifat abadi kepada materi, yang secara inheren adalah sesuatu yang rentan dan sementara. Kekeliruan fundamental inilah yang menjadi akar bencana yang menimpanya.

Konteks Naratif: Perbandingan Kontras Dua Jiwa

Ayat 35 tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat kontras yang diciptakan Allah SWT dalam kisah ini. Kisah ini menghadirkan dua figur utama:

1. Pria Kaya: Manifestasi Kesombongan dan Penolakan

Pria kaya ini dianugerahi dua kebun anggur yang subur, dikelilingi pohon kurma, dan dialiri sungai. Ia memiliki hasil panen melimpah, pekerja, dan rasa aman finansial yang absolut. Namun, kekayaan ini mengubahnya. Rasa syukur terlepas dari hatinya, digantikan oleh rasa kepemilikan yang mutlak dan kebanggaan diri. Ia mulai berbicara kepada sahabatnya dengan nada superioritas:

“Hartaku lebih banyak darimu dan pengikutku lebih kuat.” (Al-Kahfi: 34)

Ketika ia mengucapkan Ayat 35, ia tidak hanya merayakan kebunnya, tetapi ia secara tersirat menolak hari kebangkitan (al-ba'ts). Logikanya sederhana: Jika harta di dunia ini adalah segalanya dan tidak akan pernah hilang, mengapa harus repot memikirkan kehidupan lain? Kekayaan material menjadi tuhan sementaranya, memberinya ilusi kekuasaan yang tak terbatas.

2. Pria Miskin: Manifestasi Tauhid dan Kebenaran

Sahabatnya, pria miskin namun beriman, mewakili suara kebenaran. Ia mencoba menasihati dengan logika yang benar (ayat 37-38). Nasihatnya berfokus pada dua pilar:

  1. Pengakuan Asal Usul: Mengingatkan bahwa ia diciptakan dari tanah, lalu dari setetes mani, sebuah proses yang menunjukkan kelemahan dan ketergantungan manusia.
  2. Pernyataan Tauhid: Mengucapkan: "Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun."

Kontras ini menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah masalah, tetapi sikap hati terhadap kekayaanlah yang menentukan nasib seseorang. Pria kaya melihat kebunnya sebagai bukti keunggulannya dan keabadian dunianya. Pria miskin melihat segalanya sebagai anugerah fana dari Tuhan yang Abadi.

Ilustrasi Kebun Subur Penuh Kesombongan "Tidak Akan Binasa Selama-lamanya"

Gambar: Kebun yang subur yang diklaim oleh pemiliknya tidak akan pernah binasa.

Tafsir dan Analisis Filosofis Tentang Kezaliman Diri

Ayat 35 mengajarkan bahwa kezaliman memiliki hierarki, dan yang paling parah adalah kezaliman yang dilakukan seseorang kepada jiwanya sendiri. Para ulama tafsir, seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam Ibnu Katsir, memberikan penekanan luar biasa pada frasa dzalimun li nafsihi (zalim terhadap dirinya sendiri).

1. Kezaliman Melalui Pengingkaran Hari Kiamat

Tindakan zalim pria kaya itu diungkapkan dalam dua aspek yang saling terkait:

Kezaliman diri di sini berarti menukar keselamatan spiritual yang abadi dengan kepuasan material yang terbatas. Jiwanya haus akan kebenaran, tetapi ia memberinya makanan berupa fatamorgana kekayaan. Ini adalah bentuk penyiksaan terhadap diri yang berdampak abadi.

2. Hakikat Harta dan Ujian Syukur

Dalam pandangan Islam, harta adalah amanah dan ujian. Ia diberikan bukan sebagai bukti cinta atau keunggulan absolut, melainkan sebagai alat untuk meraih rida Ilahi. Ayat 35 mengajarkan bahwa ketika amanah (harta) diperlakukan sebagai hak mutlak dan sumber kekuasaan abadi, maka ujian tersebut telah gagal total.

Ghazali, dalam ajaran tasawufnya, menjelaskan bahwa harta cenderung menumbuhkan sifat ghurur (tipuan diri atau ilusi). Pria kaya ini tertipu oleh keindahan kebunnya. Tipuan ini menjauhkan hati dari mengingat Allah dan menciptakan dinding psikologis yang tebal terhadap nasihat. Ketika seseorang merasa bahwa kekayaan adalah hasil murni dari kecerdasannya sendiri, ia telah menutup pintu syukur dan membuka gerbang kesombongan.

3. Kekuatan Kata "Abadan" (Selama-lamanya)

Penggunaan kata "abadan" sangat penting. Ini adalah klaim yang melampaui batas kewajaran manusia. Manusia diberikan waktu, bukan keabadian. Hanya Allah yang memiliki sifat Abadi (Al-Baqi'). Ketika makhluk fana mengklaim keabadian untuk dirinya atau harta miliknya, itu adalah tindakan syirik (menyekutukan Allah) dalam bentuk spiritual. Ini adalah bentuk kekafiran yang halus, lahir dari rasa aman yang berlebihan terhadap materi.

Pria ini lupa bahwa bencana (ad-da'irah), penyakit, atau bahkan satu malam badai sudah cukup untuk meratakan kebun yang ia anggap abadi. Keabadian adalah domain mutlak Sang Pencipta. Mengklaimnya untuk diri sendiri adalah inti dari kezaliman terhadap diri yang diabadikan dalam ayat 35.

Konsekuensi dan Pesan Keadilan Ilahi

Kisah ini mencapai klimaksnya dengan kehancuran total kebun tersebut (Ayat 42), yang menjadi penegasan atas ketidakbenaran klaim "tidak akan binasa selama-lamanya." Kehancuran tersebut berfungsi sebagai pelajaran multidimensi:

1. Realisasi Keterbatasan Manusia

Setelah kebunnya hancur, pria kaya itu baru menyadari kesalahannya. Ia membalikkan kedua telapak tangannya (tanda penyesalan yang mendalam) atas harta yang telah dihabiskannya. Ia berkata:

"Aduhai, kiranya aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." (Al-Kahfi: 42)

Penyesalan ini datang terlambat. Realisasi bahwa ia telah mempersekutukan Allah (syirik) muncul hanya setelah harta yang menjadi tuhan sementaranya lenyap. Ini menunjukkan bahwa kezaliman spiritual seringkali baru terasa dampaknya setelah kehancuran material terjadi. Kehancuran fisik kebun adalah manifestasi eksternal dari kehancuran spiritual internal yang telah lama ia biarkan terjadi.

2. Pengingat akan Kekuatan "Maa Syaa Allah"

Sahabatnya yang miskin telah menasihatinya sebelumnya (Ayat 39) untuk mengucapkan:

"Mengapa engkau tidak mengucapkan tatkala engkau memasuki kebunmu, 'Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billah' (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'?"

Nasihat ini adalah penawar (antidote) terhadap kesombongan. Mengucapkan kalimat ini saat melihat kenikmatan adalah deklarasi tauhid; pengakuan bahwa kenikmatan itu bukan berasal dari kekuatan diri semata, tetapi merupakan karunia yang mutlak dari Allah. Pria kaya menolak mengucapkan kalimat ini, memilih untuk mengandalkan keyakinan palsu pada keabadian kebunnya, dan inilah yang menyempurnakan kezaliman dirinya.

Pelajaran Abadi di Era Modern: Kesombongan Digital dan Finansial

Meskipun kisah ini terjadi di zaman dahulu dengan latar belakang kebun anggur dan kurma, pesan Al Kahfi Ayat 35 bersifat transenden dan sangat relevan di Abad ke-21. Kebun masa kini adalah portfolio investasi, saham, real estate, atau bahkan dominasi di media sosial.

1. Fitnah Harta dalam Bentuk Baru

Kini, kezaliman diri muncul ketika seseorang membangun identitasnya sepenuhnya di atas aset digital atau materi. Fenomena "flexing" (pamer kekayaan) yang meluas adalah manifestasi modern dari sikap pria kaya tersebut. Seseorang mungkin berkata dalam hatinya (atau unggahannya), "Aku kira platformku ini tidak akan binasa selamanya," atau "Perusahaanku akan selalu menjadi raksasa yang tak tergoyahkan."

Padahal, resesi global, krisis teknologi, atau sekadar perubahan algoritma media sosial bisa menjadi "badai" yang menghancurkan kebun digital dalam semalam. Kegagalan untuk mengucapkan 'Maa syaa Allah' saat menikmati kesuksesan finansial modern adalah bentuk kezaliman diri yang sama seperti yang digambarkan dalam ayat 35.

2. Kezaliman Melalui Denominasi Diri

Pria kaya dalam kisah ini melakukan kezaliman diri dengan meyakini bahwa ia "lebih kuat" (a'azzu nafarā) dan "lebih banyak hartanya" (aktsaru mālā) daripada sahabatnya. Di dunia kontemporer, ini adalah kezaliman yang lahir dari perbandingan sosial yang toksik. Menilai nilai diri (self-worth) berdasarkan aset eksternal (gelar, jabatan, kekayaan bersih) adalah kezaliman karena ia menafikan nilai intrinsik manusia sebagai hamba Allah. Ketika nilai diri diikat pada hal-hal fana, maka kehancuran hal fana tersebut akan menghasilkan kehancuran psikologis dan spiritual diri.

3. Bahaya Sikap Absolutisme Material

Ayat ini adalah kritik keras terhadap pandangan hidup absolutisme materialistik, di mana satu-satunya realitas yang diakui adalah yang dapat diukur, dilihat, dan dimiliki. Pandangan ini menolak yang gaib (akhirat, takdir, kekuasaan mutlak Tuhan). Kezaliman muncul karena menolak untuk melihat bahwa di balik setiap kekayaan, terdapat Kekuatan yang jauh lebih besar yang dapat mencabutnya kapan saja. Ketidakmampuan untuk menerima ketidakpastian (uncertainty) dalam hidup adalah kezaliman terhadap akal dan hati.

Ilustrasi Kebun yang Hancur dan Penyesalan "Aduhai, kiranya aku tidak mempersekutukan..." Hancur Total

Gambar: Sisa-sisa kebun yang telah hancur total, menyisakan penyesalan mendalam bagi pemiliknya.

Pelajaran Mendalam tentang Tauhid dan Keseimbangan Hidup

Ayat 35 dan rangkaian kisah dua kebun ini berfungsi sebagai matriks pembelajaran tentang bagaimana seorang mukmin harus menavigasi dunia materi. Lima pilar pelajaran utama dapat ditarik dari narasi kezaliman ini, memperluas pemahaman kita hingga memenuhi tuntutan refleksi yang mendalam.

1. Konsep I’tibar (Pengambilan Pelajaran)

Al-Qur'an menyajikan kisah ini bukan untuk membuat kita takut pada kekayaan, tetapi untuk mengajarkan kita i’tibar—pengambilan pelajaran dari nasib orang lain. Kebinasaan kebun itu adalah takdir, tetapi kezaliman diri yang mendahuluinya adalah pilihan. Pelajaran utamanya adalah bahwa kesuksesan duniawi harus selalu diikatkan pada kesadaran akan fana’ (kefanaan) dan baqa’ (keabadian). Seseorang yang kaya harus selalu bertanya: "Apakah kekayaan ini mendekatkanku pada tujuan abadiku atau malah menjauhkanku?"

Pria kaya tersebut gagal mengambil pelajaran. Ia melihat kebunnya dan hanya melihat kekuatannya, bukan kelemahan takdir yang bisa menimpanya. Mukmin sejati, sebaliknya, melihat kemakmuran sebagai tanggung jawab dan potensi ujian, yang menuntut kerendahan hati dan kewaspadaan konstan. Ini adalah kesadaran bahwa "keabadian" adalah janji untuk akhirat, bukan janji untuk aset duniawi.

2. Peran Rasa Aman (Security) dan Ilusi Stabilitas

Salah satu godaan terbesar harta adalah ilusi keamanan absolut. Pria kaya merasa terlindungi sepenuhnya oleh tembok kebun dan aliran airnya. Perasaan ini (yang tercermin dalam "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya") adalah bentuk syirik tersembunyi. Keimanan yang benar menuntut bahwa rasa aman (al-amān) hanya bersumber dari Allah, Dzat yang Maha Pelindung (Al-Muhaymin).

Ketika manusia menggantungkan rasa aman spiritual dan psikologisnya pada fluktuasi pasar, stabilitas politik, atau kesehatan fisiknya sendiri, ia sedang meletakkan dasar bagi kehancuran diri. Ilusi stabilitas yang diberikan oleh harta adalah perangkap yang memicu kezaliman. Ketidakmampuan untuk menerima bahwa Allah adalah satu-satunya sumber keamanan adalah kezaliman fundamental yang menyerang jantung tauhid.

3. Pentingnya Perspektif Sahabat yang Beriman

Kisah ini menekankan nilai dari nasihat yang ikhlas. Sahabat yang miskin berulang kali memberikan nasihat, mulai dari pengingat akan asal muasal penciptaan (dari tanah), hingga pentingnya ucapan Maa Syaa Allah Laa Quwwata Illaa Billah. Nasihat ini adalah rahmat. Pria kaya menolak rahmat ini, yang menunjukkan kezaliman dirinya tidak hanya terhadap Tuhannya tetapi juga terhadap hubungan sosial yang sehat.

Di masa kini, siapa pun yang berada dalam posisi kekuasaan atau kemakmuran harus memiliki "sahabat" yang berani berbicara kebenaran. Menolak nasihat karena merasa superior secara materi atau intelektual adalah langkah pertama menuju kezaliman diri yang fatal. Al-Qur'an mengajarkan bahwa kesombongan akan menolak nasihat, dan penolakan nasihat adalah penolakan terhadap pemurnian diri.

4. Hukum Sebab-Akibat Spiritual (Kesyukuran vs. Kepongahan)

Kisah ini menjelaskan hukum spiritual yang tak terhindarkan. Kekayaan adalah sebab, tetapi kepongahan adalah tindakan (action), dan kehancuran adalah akibat (reaction). Allah tidak menghancurkan kebunnya tanpa alasan; kehancuran itu adalah respons terhadap kondisi hati pria tersebut. Hukuman di sini datang sebagai teguran keras untuk mengembalikan fokus pada realitas.

Hukum ini mengingatkan kita pada janji Allah yang lebih luas: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7). Pria kaya telah memilih jalan ingkar (kufur nikmat) dan azabnya datang dalam bentuk kehancuran harta yang ia cintai seolah ia abadi.

5. Transendensi Ujian Kekayaan

Surah Al Kahfi Ayat 35 mengajarkan bahwa kekayaan yang besar, tanpa iman yang kuat, adalah bencana yang tertunda. Harta bukanlah sekadar aset; ia adalah medan perang spiritual. Pertarungan di sini adalah antara mempertahankan kesadaran tauhid di tengah kemakmuran, atau membiarkan kemakmuran itu menjadi tabir yang menghalangi pandangan menuju Yang Maha Kekal.

Ujian kekayaan memerlukan latihan spiritual yang intensif: keikhlasan dalam sedekah, kerendahan hati dalam berinteraksi, dan pengakuan konstan bahwa semua kekuatan dan hasil berasal dari Allah. Tanpa latihan ini, kekayaan akan selalu menuntun pada ghurur, yang pada akhirnya adalah kezaliman diri yang tak termaafkan.

Kontemplasi Mendalam Mengenai Konsep Dzulm (Kezaliman)

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dibutuhkan, kita harus memperluas wawasan mengenai makna dzulm (kezaliman) yang melekat pada pria kaya tersebut. Kezaliman bukan hanya tindakan kriminal atau penindasan fisik, tetapi juga penyimpangan dari fitrah dan kebenaran.

1. Dzulm dalam Dimensi Teologis (Dzulm kepada Allah)

Kezaliman teologis terjadi ketika manusia menempatkan ciptaan (harta) pada posisi yang setara atau lebih tinggi dari Pencipta. Ketika pria kaya itu menyatakan, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya," ia secara de facto memberikan sifat keabadian (al-baqā’) – yang hanya milik Allah – kepada kebunnya. Ini adalah syirik akbar tersembunyi. Dengan demikian, kezaliman diri yang dilakukan pria itu adalah kezaliman melalui pendangkalan tauhid.

Imam At-Tabari menafsirkan bahwa kezaliman pria ini adalah penolakannya terhadap hari kebangkitan dan pengakuan bahwa kekayaan itu adalah hasil dari kemampuan dirinya sendiri tanpa campur tangan Allah. Penolakan ini merusak kontrak spiritual antara hamba dan Rabbnya, sehingga merusak jiwa itu sendiri.

2. Dzulm dalam Dimensi Eksistensial (Dzulm kepada Waktu)

Klaim pria itu juga mencerminkan kezaliman terhadap waktu dan eksistensi. Ia mencoba menghentikan roda waktu dan hukum perubahan. Realitas dunia adalah taghayyur (perubahan) dan zawal (lenyap). Setiap momen adalah transisi. Kezaliman terjadi ketika seseorang hidup seolah-olah waktu tidak akan pernah habis, menunda tobat, dan menolak pertanggungjawaban di masa depan (akhirat).

Hidup dalam ilusi keabadian harta adalah membuang potensi waktu untuk beramal saleh. Ini adalah kezaliman karena ia menyia-nyiakan anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu kesempatan untuk menggunakan waktu fana demi mencapai kebahagiaan abadi.

3. Dzulm dalam Dimensi Psikologis (Dzulm kepada Akal dan Fitrah)

Secara psikologis, kezaliman diri terjadi ketika seseorang menolak fakta yang jelas. Akal dan fitrah manusia secara naluriah tahu bahwa semua materi akan musnah. Namun, pria kaya ini membiarkan hawa nafsu dan kesenangan materi membutakan akalnya. Ia menolak nasihat yang logis dan spiritual. Ini adalah kezaliman terhadap akal, yang seharusnya menjadi pemandu menuju kebenaran.

Dalam konteks modern, ini adalah analogi dengan orang yang tahu bahwa perilakunya merusak (misalnya, korupsi atau konsumsi yang berlebihan) tetapi terus melakukannya karena ilusi kekuasaan yang diberikan oleh harta. Ia secara sadar memilih jalur yang merusak jiwanya, itulah puncak kezaliman diri.

Rekapitulasi Dzulm Diri Pria Kaya

Kezaliman pria tersebut terhadap dirinya sendiri adalah komposit dari:

  • Syirik terselubung: Mengklaim keabadian untuk harta (menyangkal sifat Al-Baqi' Allah).
  • Kufur Nikmat: Menganggap hasil itu murni miliknya tanpa menyebut 'Maa Syaa Allah'.
  • Pengingkaran Akhirat: Menolak kemungkinan pertanggungjawaban dan hari kebangkitan.

Strategi Menangkal Kezaliman Diri Ala Al Kahfi 35

Lantas, bagaimana seorang mukmin kontemporer dapat menghindari kezaliman diri yang begitu fatal ini? Al-Qur'an dan Sunnah, melalui kisah ini, menawarkan strategi spiritual yang jelas.

1. Pembiasaan Dzikir (Ingatan Konstan)

Strategi utamanya adalah pembiasaan lisan dan hati dengan kalimat tauhid, khususnya "Maa Syaa Allah, Laa Quwwata Illaa Billah." Kalimat ini berfungsi sebagai rem spiritual yang secara otomatis mengalihkan pujian dari diri sendiri kepada Allah. Ia memastikan bahwa kemakmuran yang dilihat adalah manifestasi kehendak Ilahi, bukan hasil tunggal dari kecerdasan atau kekuatan pribadi. Pembiasaan dzikir ini adalah pengakuan terus-menerus terhadap ketidakberdayaan manusia tanpa rahmat-Nya.

2. Menginternalisasi Falsafah Kefanaan (Zawal)

Seorang mukmin harus selalu menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini tunduk pada hukum zawal (lenyap). Kekayaan, kesehatan, masa muda, dan kekuasaan akan berlalu. Dengan menginternalisasi kefanaan, hati akan terlindungi dari cengkeraman obsesi terhadap materi. Ini adalah latihan spiritual yang mencegah seseorang mengikatkan harapannya pada hal-hal yang tidak mampu memberikan apa-apa di hadapan takdir. Ketika kita sadar akan kefanaan, kita akan menggunakan harta untuk bekal yang abadi (sedekah, wakaf) alih-alih hanya untuk kepuasan sementara.

3. Mempertahankan Lingkaran Nasihat (Tawāṣaw bil-Haqq)

Seperti pria miskin yang setia memberi nasihat, setiap mukmin perlu berada dalam lingkaran orang-orang yang jujur dan berani menegakkan kebenaran. Pria kaya itu gagal karena ia mengisolasi dirinya dalam kesombongan, menganggap nasihat sebagai serangan terhadap statusnya. Dalam konteks modern, ini berarti secara aktif mencari komunitas yang menuntut pertanggungjawaban spiritual, bukan sekadar memuja kesuksesan material. Nasihat yang benar adalah cermin yang membersihkan debu ghurur dari hati.

4. Pengalihan Harta Menjadi Investasi Akhirat

Kezaliman muncul ketika harta dipertahankan sebagai tujuan akhir. Strategi menangkalnya adalah menjadikan harta sebagai sarana. Setiap keuntungan materi harus dilihat sebagai peluang untuk investasi yang abadi. Sedekah, zakat, dan wakaf adalah mekanisme untuk "mensucikan" harta dari sifat fana dan mengubahnya menjadi simpanan yang abadi. Dengan demikian, harta tidak lagi menjadi sumber kesombongan, melainkan alat ibadah, menjaga hati tetap terikat pada Allah.

Surah Al Kahfi Ayat 35 pada dasarnya adalah peringatan keras bahwa kezaliman terbesar adalah menipu diri sendiri dengan meyakini keabadian sesuatu yang telah ditakdirkan untuk fana. Kesombongan adalah tirai tebal yang mencegah cahaya kebenaran menembus hati, dan hanya dengan kerendahan hati yang berbasis tauhid, kita dapat memastikan bahwa kebun (harta) kita, baik yang nyata maupun metaforis, tidak menjadi sumber kezaliman bagi jiwa kita sendiri.

Kesimpulan dan Refleksi Akhir

Surah Al Kahfi Ayat 35 adalah puncak naratif dari keangkuhan manusia. Ayat ini bukan sekadar mengisahkan sebuah musibah ekonomi, melainkan menegaskan bahwa sebelum musibah fisik terjadi, telah ada musibah spiritual yang jauh lebih parah, yaitu kezaliman terhadap diri sendiri.

Klaim "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya" adalah deklarasi perang terhadap realitas takdir dan keagungan Allah. Itu adalah pernyataan yang menempatkan manusia sebagai entitas yang mandiri dari Sang Pencipta. Konsekuensi dari kezaliman ini, kehancuran total yang digambarkan dalam ayat-ayat berikutnya, adalah pelajaran yang menghantam kesadaran manusia sepanjang masa.

Kisah dua pemilik kebun, yang intisarinya terangkum dalam Ayat 35, adalah ujian abadi bagi setiap jiwa yang dianugerahi kenikmatan duniawi. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukanlah pada akumulasi aset, tetapi pada kesadaran tauhid yang tak tergoyahkan. Keabadian adalah milik Allah. Harta adalah fana. Menempatkan nilai fana pada kedudukan abadi adalah kezaliman terbesar yang harus kita hindari demi keselamatan jiwa kita sendiri.

Refleksi atas ayat ini seharusnya memicu introspeksi mendalam bagi setiap individu yang mengejar kesuksesan dunia: apakah kemakmuran kita membuat kita semakin rendah hati, bersyukur, dan ingat akan Hari Perhitungan, ataukah ia memicu ilusi keabadian yang pada akhirnya hanya akan membawa penyesalan yang terlambat?

Hanya dengan menyadari bahwa "tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah," kita dapat melewati ujian kekayaan ini tanpa melakukan kezaliman terhadap diri sendiri, sehingga kita dapat menjaga integritas spiritual kita, terlepas dari seberapa besar atau kecilnya 'kebun' yang telah Allah amanahkan kepada kita.

🏠 Homepage