AL-KAHFI AYAT 36: BAHAYA KESOMBONGAN MATERI DAN PENOLAKAN AKHIRAT

Refleksi mendalam terhadap pesan peringatan dalam kisah Dua Kebun.

1. Pengantar ke Surah Al-Kahfi dan Kisah Dua Kebun

Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah pelindung dari fitnah (ujian). Secara tematik, surah ini berpusat pada empat jenis fitnah utama yang mengancam keimanan manusia: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain).

Ayat 36 dari Surah Al-Kahfi berada di tengah-tengah narasi Kisah Dua Kebun (Sahib al-Jannatain), yang merupakan percontohan paling eksplisit mengenai bahaya fitnah harta benda dan materialisme. Kisah ini menggambarkan dialog tajam antara dua orang sahabat yang memiliki nasib sangat berbeda: satu kaya raya dengan kebun yang subur tak terperi, dan satu lagi fakir namun teguh dalam keimanannya.

Pusat konflik dalam kisah ini bukanlah perbedaan kekayaan, melainkan sikap hati terhadap kekayaan tersebut. Ayat 36 adalah puncak dari kesombongan si pemilik kebun, di mana ia tidak hanya menyombongkan harta bendanya di dunia, tetapi juga menyangkut-pautkannya dengan keyakinan metafisik tentang kehidupan setelah kematian.

2. Teks Arab dan Terjemahan Al-Kahfi Ayat 36

Ayat ini merupakan kelanjutan dari klaim arogansi si pemilik kebun yang sebelumnya telah menyatakan kebunnya tidak akan pernah binasa (Ayat 35). Dalam Ayat 36, ia melangkah lebih jauh dengan menyangkutkan keraguannya pada Hari Kebangkitan:

وَمَآ أَظُنُّ ٱلسَّاعَةَ قَآئِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّى لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنْقَلَبًا
“Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan sekiranya pun aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun itu.” (QS. Al-Kahfi: 36)

2.1. Analisis Ringkas Frasa Kunci

Ayat ini mengandung dua kesalahan fundamental yang dilakukan oleh pemilik kebun, yang menjadi inti dari teguran keras dalam Al-Qur'an:

  1. Penolakan Hari Kiamat (السَّاعَةَ قَآئِمَةً - As-Sa'ata Qaa'imatan): Ini adalah kesalahan teologis yang paling fatal. Ia menolak kepastian janji Allah tentang kebangkitan dan pertanggungjawaban.
  2. Kesombongan dan Klaim Keutamaan Abadi: Bahkan jika Hari Kiamat itu ada, ia mengklaim bahwa karena Allah telah memberinya kebaikan di dunia (kebun yang indah), maka otomatis Allah juga akan memberinya yang lebih baik di akhirat. Ini adalah anggapan yang keliru, menyamakan nikmat duniawi sebagai bukti ridha ilahi abadi.

3. Kedalaman Tafsir Ayat 36: Kesalahan Teologis dan Logika Materi

Untuk memahami pesan peringatan dalam ayat ini, kita harus menyelami interpretasi para ulama tafsir mengenai pemikiran yang sesat dari pemilik kebun tersebut. Ayat ini bukan sekadar tentang kekayaan, melainkan tentang bagaimana kekayaan dapat merusak akal sehat dan keimanan seseorang hingga ia berani menantang janji-janji ilahi.

3.1. Tafsir Mengenai Penolakan Qiyamah (Hari Kiamat)

Ketika pemilik kebun berkata, “Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang,” ia mencerminkan pandangan materialis murni. Karena ia tidak pernah melihat kehancuran atau kebangkitan, ia menyimpulkan berdasarkan pengalaman indrawi semata. Pikirannya terikat pada hukum sebab-akibat duniawi (kebunnya subur, maka ia akan selalu subur), dan ia gagal memahami kekuasaan Allah yang melampaui hukum alam yang ia pahami. Kegagalannya mengakui Pencipta sebagai Pengatur tunggal dan Maha Kuasa adalah inti dari kekafirannya.

Menurut Tafsir Al-Qurtubi, penolakan terhadap Hari Kiamat muncul dari rasa aman yang berlebihan (al-amn min makrillah). Ia merasa bahwa karena usahanya telah membuahkan hasil luar biasa di dunia, maka tidak ada kekuatan yang bisa merampasnya, bahkan di akhirat. Pandangan ini adalah bentuk ateisme praktis, di mana seseorang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi menolak kekuasaan-Nya untuk menghukum atau meminta pertanggungjawaban atas tindakan di dunia.

3.2. Kesalahan Logika: Mengukur Akhirat dengan Standar Dunia

Bagian kedua dari ayat, “...sekiranya pun aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun itu,” mengungkapkan arogansi yang lebih parah. Ini adalah keyakinan bahwa kesuksesan duniawi adalah prasyarat atau garansi kesuksesan ukhrawi.

Pemilik kebun berlogika: Jika Allah memberiku kenikmatan sebesar ini (kebun yang tak terbayangkan indahnya) tanpa aku minta atau tanpa berbuat kebaikan spesifik di mata-Nya, maka jika memang ada kehidupan setelah mati, mustahil Allah akan membalasku dengan keburukan. Ia menganggap dirinya sebagai "anak emas" Tuhan di kedua alam, semata-mata karena ia berlimpah harta di dunia.

Tafsir Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah pandangan orang-orang yang tertipu daya (Al-Ghurur). Mereka lupa bahwa nikmat dunia adalah ujian, bukan hadiah akhir. Seseorang bisa diberikan kekayaan sebagai Istidraj—yaitu peninggian secara bertahap menuju jurang kehancuran. Allah memberi mereka kelapangan agar mereka semakin jauh dalam dosa, sehingga hukuman mereka di akhirat menjadi lebih berat.

3.3. Perbandingan Bahasa (Lughawi): Makna "Munqalaban"

Kata مُنْقَلَبًا (Munqalaban) berarti tempat kembali atau tempat berpulang. Dengan memilih kata ini, pemilik kebun secara tidak langsung mengakui bahwa dia mungkin akan kembali kepada Tuhannya, tetapi ia memastikan, berdasarkan 'rekam jejak' nikmat di dunia, bahwa tempat kembalinya itu akan lebih baik daripada kebunnya. Klaim ini meniadakan konsep hisab (pertanggungjawaban), amal shaleh, dan kasih sayang (rahmat) yang harus diupayakan.

Seolah-olah, pemilik kebun itu berkata: "Jika keberadaan akhirat itu benar, maka keadilan Tuhan akan mengharuskan Dia memberiku lebih banyak, karena lihatlah betapa suksesnya aku di dunia ini!" Ini adalah kesimpulan yang diambil tanpa mengindahkan keimanan, syukur, dan pengakuan akan hak-hak Allah.

4. Kontras Iman Melawan Kekafiran dalam Dialog

Ayat 36 sangat kontras dengan respons yang diberikan oleh sahabatnya yang beriman, yang diceritakan dalam ayat berikutnya (Ayat 37-40). Sahabat beriman tersebut tidak berbicara tentang kekayaan atau kemiskinan, melainkan tentang prinsip fundamental tauhid (keesaan Allah) dan pengakuan asal usul penciptaan.

4.1. Respon Teologis Sahabat Beriman

Sahabat beriman memulai jawabannya dengan menegaskan kembali asal usul manusia dari tanah (Ayat 37), yang berfungsi sebagai pengingat akan kefanaan dan keterbatasan diri. Kemudian, ia menyajikan pengakuan fundamental yang hilang dari pemilik kebun (Ayat 38):

“Tetapi aku (percaya bahwa Dialah) Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”

Perbedaan mendasar antara kedua tokoh ini adalah pada Istisyrak (perserikatan). Pemilik kebun secara praktis telah memperserikatkan harta bendanya dengan Allah, menganggap harta tersebut sebagai sumber kekuatan abadi yang independen dari kehendak Ilahi. Sementara itu, sahabat beriman teguh pada tauhid murni, mengakui bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah.

4.2. Pentingnya Pengakuan "Ma Sha Allah La Quwwata Illa Billah"

Puncak nasihat dari sahabat beriman adalah anjuran untuk mengucapkan, "Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu, engkau tidak mengucapkan, مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ (Ma Sha Allah La Quwwata Illa Billah)? – Apa yang dikehendaki Allah, maka itulah yang terjadi. Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." (Ayat 39).

Pengucapan kalimat ini adalah antidot langsung terhadap kesombongan yang terkandung dalam Ayat 36. Ia berfungsi sebagai pengakuan bahwa:

Dengan menolak mengucapkan kalimat ini, pemilik kebun menegaskan pandangannya yang terungkap dalam Ayat 36: bahwa kebun itu adalah hasil kekuatannya sendiri, dan kekuatan itu adalah jaminan masa depannya, baik di dunia maupun di akhirat.

5. Pelajaran Abadi dari Kesalahan Pemilik Kebun

Kisah ini dan khususnya arogansi yang terungkap dalam Ayat 36, memberikan pelajaran yang melintasi zaman. Dalam masyarakat modern yang didominasi oleh pengukuran kesuksesan melalui materi dan kekayaan, pesan ini menjadi semakin relevan.

5.1. Bahaya Mengabsolutkan Nikmat Dunia

Pelajaran terpenting adalah larangan mengabsolutkan nikmat dunia. Kebun itu nyata, subur, dan indah, tetapi tidak abadi. Pemilik kebun melakukan kesalahan fatal dengan memproyeksikan keabadian kebunnya (Ayat 35) dan menganggapnya sebagai tiket ke surga (Ayat 36).

Dalam konteks modern, hal ini berlaku bagi mereka yang menganggap posisi tinggi, portofolio investasi yang besar, atau reputasi sosial yang kokoh sebagai sesuatu yang tidak bisa disentuh oleh kehancuran. Kekuatan ekonomi, kesehatan fisik, dan stabilitas sosial adalah fenomena fana. Al-Kahfi 36 mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah langit harus diakui sebagai pinjaman sementara dari Allah, yang dapat ditarik kembali sewaktu-waktu.

Ilustrasi Harta yang Fana HARTA

SVG: Simbol kebun atau harta yang subur, namun dalam bingkai yang dapat diambil.

5.2. Hubungan Terbalik Antara Dunia dan Akhirat

Pemilik kebun melihat hubungan yang searah: sukses dunia berarti sukses akhirat. Padahal, Al-Qur'an sering mengajarkan bahwa hubungan tersebut seringkali terbalik. Kesuksesan duniawi seringkali disertai dengan ujian dan tanggung jawab yang jauh lebih besar.

Keberlimpahan harta dapat menjadi cobaan yang melalaikan (fitnatul mal). Bagi mereka yang lupa bahwa harta itu titipan dan mulai berbuat zalim, harta tersebut menjadi alat penghancur spiritual. Ayat 36 mengajarkan bahwa janji kekayaan dunia adalah janji kosong yang tidak memiliki validitas di hadapan perhitungan akhirat, kecuali jika ia digunakan di jalan yang diridhai Allah.

5.3. Penolakan terhadap Hari Kiamat sebagai Pemicu Kezaliman Sosial

Mengapa penolakan Hari Kiamat dalam Ayat 36 begitu ditekankan? Karena tidak adanya keyakinan pada pertanggungjawaban abadi menghilangkan etika dan moralitas dalam interaksi sosial. Jika seseorang percaya bahwa tidak ada hisab (perhitungan) setelah mati, maka ia tidak memiliki insentif untuk berlaku adil, bersyukur, atau peduli terhadap orang lain.

Pemilik kebun menunjukkan kezaliman sosialnya melalui dialog ini: ia merendahkan sahabatnya yang fakir dan berani menantang janji Allah. Sikap ini berakar dari keyakinannya bahwa ia tidak akan pernah mempertanggungjawabkan arogansi dan kezalimannya tersebut.

6. Analisis Mendalam: Konsep Istidraj dan Ujian Harta

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai pesan di balik Al-Kahfi 36, kita perlu membahas dua konsep penting yang saling terkait: Istidraj dan sifat ujian dari harta.

6.1. Istidraj: Kehancuran yang Diberikan Secara Bertahap

Istidraj adalah pemberian nikmat yang berkelanjutan oleh Allah kepada hamba-Nya yang durhaka, yang bertujuan untuk menambah dosa dan memperberat azabnya di akhirat. Pemilik kebun adalah contoh sempurna dari Istidraj.

Ketika ia berbuat zalim, sombong, dan menolak kebenaran (seperti yang terekam dalam Ayat 36), kebunnya bukannya langsung kering. Sebaliknya, kebun itu terus berlimpah, memberinya keyakinan palsu bahwa ia berada di jalan yang benar. Istidraj ini membuatnya semakin yakin bahwa klaimnya tentang keunggulan akhirat adalah valid.

Kehancuran kebun yang datang kemudian (Ayat 42) adalah akhir dari Istidraj. Hukuman itu datang sebagai kejutan, persis pada saat ia merasa paling aman. Ini adalah peringatan bagi kita: jangan pernah mengukur ridha Allah hanya dari kelancaran urusan dunia. Kadang-kadang, kelancaran itu adalah jebakan.

6.2. Harta Sebagai Amanah dan Ujian Keimanan

Harta dalam Islam selalu dipandang sebagai Amanah. Ujian harta bukanlah semata-mata diuji dengan kemiskinan (fitnah fakir), tetapi juga diuji dengan kekayaan (fitnah ghina). Ayat 36 menunjukkan bagaimana fitnah ghina dapat menyebabkan penyakit hati yang lebih parah, yaitu kufur dan syirik secara praktik.

Kufur yang diperlihatkan pemilik kebun adalah kufur nikmat, yang berujung pada kufur akbar (penolakan Hari Kiamat). Ia tidak bersyukur atas nikmat yang ada, melainkan menggunakan nikmat tersebut sebagai alat untuk meremehkan Kekuasaan Allah. Hal ini menegaskan bahwa nilai harta di hadapan Allah ditentukan oleh sejauh mana ia digunakan sebagai jembatan menuju akhirat, bukan sebagai tujuan akhir.

7. Konsekuensi Ayat 36: Kehancuran yang Tak Terhindarkan

Kisah ini mencapai klimaksnya dengan pembalasan yang setimpal atas kesombongan yang diucapkan dalam Ayat 36. Pemilik kebun telah menantang janji Allah tentang kehancuran dan kebangkitan; maka kehancuran itu datang kepadanya di dunia sebagai pelajaran yang menyakitkan.

7.1. Musibah yang Menghancurkan Total

Ayat-ayat berikutnya (40-42) menceritakan bahwa Allah mengirimkan bencana dari langit (dinding kebunnya runtuh, kebunnya musnah) yang menghancurkan seluruh hasil panen dan modalnya. Ia harus menyesali hartanya yang habis. Ia membolak-balikkan kedua telapak tangannya karena menyesali apa yang telah ia belanjakan, sementara tanaman-tanaman itu roboh bersama dengan penyangganya.

Penting untuk dicatat bahwa kehancuran itu total. Tidak ada yang tersisa. Ini adalah manifestasi dari Kekuasaan Allah yang ditolak oleh pemilik kebun ketika ia berkata, "Aku tidak mengira kebun ini akan binasa selama-lamanya." Kenyataannya, kebun itu binasa dalam sekejap mata, menegaskan bahwa kehendak Allah berlaku mutlak, melampaui perhitungan manusia.

7.2. Penyesalan yang Terlambat

Penyesalan pemilik kebun saat ia melihat kebunnya rata dengan tanah adalah penyesalan yang terlambat. Penyesalan itu diabadikan dalam ayat 42:

"...Ia berkata, 'Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.'"

Penyesalan ini menunjukkan bahwa pada saat musibah terjadi, ia menyadari kesalahan teologisnya yang utama: ia telah menjadikan hartanya sebagai sekutu atau tandingan bagi Kekuasaan Allah (syirik khafi/tersembunyi). Ia telah memberikan loyalitas dan kepercayaan abadi kepada harta, bukan kepada Yang Maha Pencipta harta.

Inilah yang diingatkan oleh sahabat beriman melalui seruan Ma Sha Allah La Quwwata Illa Billah. Jika saja pemilik kebun mengucapkan itu, ia akan menanamkan Tauhid di hatinya dan menjadikannya pelindung. Tanpa pengakuan itu, kebunnya menjadi berhala, dan hukuman atas penyembahan berhala adalah kehancuran.

8. Menyelami Spiritualitas Al-Kahfi 36: Tiga Pilar Penanggulangan Fitnah Materi

Sebagai panduan praktis untuk menjauhi kesesatan yang ditunjukkan dalam Ayat 36, umat Muslim diajarkan untuk memperkuat tiga pilar spiritualitas:

8.1. Pilar Pertama: Penguatan Keyakinan terhadap Akhirat (Al-Yaumul Akhir)

Karena pemilik kebun gagal karena menolak Hari Kiamat, maka obatnya adalah mengokohkan keyakinan terhadapnya. Keyakinan pada Akhirat tidak hanya berarti percaya adanya surga dan neraka, tetapi juga percaya pada hisab (perhitungan), mizan (timbangan), dan qadar (ketentuan). Keyakinan ini adalah penjaga moral tertinggi. Seseorang yang yakin bahwa setiap perkataan sombong (seperti dalam Ayat 36) akan diperhitungkan, akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya.

Mengokohkan keyakinan ini membuat harta benda menjadi alat, bukan tujuan. Harta akan dilihat sebagai bekal yang harus digunakan untuk membangun istana di surga, bukan sebagai istana permanen di dunia fana.

Ilustrasi Kepastian Hari Kiamat SA'AH

SVG: Simbol jam atau waktu, melambangkan kepastian datangnya Hari Kiamat (As-Sa'ah).

8.2. Pilar Kedua: Mempraktikkan Tauhid dalam Kepemilikan

Pengakuan secara lisan dan hati bahwa segala sesuatu datang dari Allah adalah kunci untuk menghindari kesesatan pemilik kebun. Hal ini diwujudkan melalui dzikir Ma Sha Allah La Quwwata Illa Billah.

Sikap ini harus diinternalisasi, tidak hanya diucapkan ketika melihat kebun atau aset, tetapi juga ketika merasakan kesuksesan pribadi, kenaikan pangkat, atau pujian dari orang lain. Setiap pencapaian harus segera dinisbatkan kepada kekuatan Allah, sehingga ego tidak sempat menjerat hati dalam arogansi seperti yang terjadi pada Ayat 36.

8.3. Pilar Ketiga: Kesadaran akan Kefanaan dan Sunnatullah

Sunnatullah (ketetapan Allah) mencakup perubahan, kehancuran, dan perputaran nasib. Ayat 36 mencerminkan kegagalan pemilik kebun memahami Sunnatullah; ia mengira kebunnya akan kekal. Padahal, Allah menjelaskan dalam Al-Qur'an bahwa Dia membolak-balikkan hari-hari antara manusia (Ali Imran: 140).

Kesadaran akan kefanaan mendorong seseorang untuk berinvestasi pada hal-hal yang abadi: ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan anak yang saleh. Ini adalah cara untuk mengalihkan fokus dari munqalaban (tempat kembali) yang fana (kebun dunia) menuju munqalaban yang hakiki (akhirat).

9. Relevansi Historis dan Kontemporer Kisah Dua Kebun

Kisah ini diturunkan pada masa-masa awal Islam, di mana kaum Muslimin menghadapi tekanan ekonomi dan sosial dari kaum Quraisy yang kaya raya. Ayat 36 berfungsi sebagai penghiburan bagi kaum fakir yang beriman, sekaligus peringatan keras bagi kaum sombong.

9.1. Peringatan Bagi Para Penguasa Ekonomi

Dalam konteks modern, Ayat 36 adalah peringatan bagi mereka yang memegang kendali atas aset-aset besar, baik itu perusahaan multinasional, sumber daya alam, atau kekayaan negara. Kesombongan yang diungkapkan dalam ayat ini sering kali menjelma menjadi kebijakan ekonomi yang eksploitatif, penolakan terhadap keadilan sosial, dan keyakinan bahwa kekuatan pasar adalah entitas yang tak terkalahkan.

Ketika para pemegang kekuasaan ekonomi menyatakan (secara implisit atau eksplisit) bahwa sistem yang mereka bangun akan kekal dan tidak akan runtuh (mirip klaim kebun yang abadi), mereka mengulangi kesalahan fatal pemilik kebun. Krisis global, kehancuran korporasi raksasa, dan fluktuasi ekonomi menunjukkan betapa rapuhnya klaim abadi yang didasarkan pada materi.

9.2. Melawan Budaya Konsumsi dan Arogansi Digital

Era digital menciptakan bentuk arogansi baru. Orang-orang mengukur nilai diri mereka berdasarkan aset digital, jumlah pengikut, dan capaian visual yang dipertontonkan. Arogansi 'online' di mana seseorang merasa superior dan berhak menghina orang lain karena status materi atau ketenaran, adalah cerminan modern dari dialog dalam Ayat 36.

Ketika seseorang merasa capaiannya di media sosial (kebun digitalnya) adalah bukti keutamaan dan keunggulan abadi, ia sedang mengulang kesalahan yang sama: mengabaikan asal-usulnya, menolak pertanggungjawaban, dan mengklaim bahwa sukses dunia adalah jaminan Akhirat. Pengingat tentang kefanaan, sebagaimana ditekankan dalam kisah ini, adalah panggilan untuk otentisitas dan kerendahan hati.

10. Mengambil Hikmah Secara Komprehensif

Surah Al-Kahfi Ayat 36 adalah simpul kritis dalam kisah Dua Kebun. Ia bukan sekadar catatan dialog, melainkan diagnosis atas penyakit hati yang paling berbahaya: perpaduan antara materialisme ekstrem dan penolakan teologis.

Ayat ini mengajarkan bahwa fitnah harta tidak hanya membuat seseorang lupa beribadah, tetapi ia mampu mengubah akidah seseorang, membuatnya menolak prinsip dasar iman, yaitu keyakinan pada Hari Kebangkitan. Karena itu, perlawanan terhadap fitnah materi harus dilakukan dengan benteng spiritual yang kuat, yang ditegaskan melalui Tauhid dan dzikir.

Setiap Muslim diajak untuk selalu berhati-hati terhadap kebunnya sendiri—aset, karir, keluarga, atau kemampuan pribadi—agar tidak jatuh pada klaim arogansi. Kita harus selalu mengingat bahwa janji Allah tentang kehancuran dunia adalah benar, dan janji-Nya tentang pertanggungjawaban di Akhirat adalah pasti. Keselamatan sejati terletak pada kerendahan hati dan penyerahan total kepada kehendak Allah, mengakui bahwa لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ (La Quwwata Illa Billah) adalah satu-satunya kekuatan yang sejati dan abadi.

Dengan merenungkan kehancuran yang menimpa pemilik kebun setelah ia mengucapkan kalimat sombong dalam Ayat 36, kita diperingatkan bahwa kekuasaan dunia tidak pernah setara dengan Kekuasaan Ilahi. Kekayaan adalah ilusi, dan kekekalan adalah milik Allah semata.

Kisah ini adalah panggilan untuk introspeksi mendalam: Apakah kita mengukur nilai diri kita berdasarkan kebun (harta) kita, atau berdasarkan ketakwaan kita? Apakah kita telah memastikan bahwa tempat kembali (munqalaban) kita di akhirat telah terjamin melalui amal saleh, atau kita masih mengandalkan kesuksesan fana yang kita dapatkan di dunia?

Hanya dengan menolak kesombongan materi dan mengikrarkan kebergantungan total kepada Allah, seorang mukmin dapat berharap terhindar dari nasib tragis pemilik kebun dalam Al-Kahfi 36, dan mencapai tempat kembali yang mulia di sisi Tuhan Semesta Alam.

---

***Artikel ini merupakan kajian mendalam yang mengumpulkan berbagai pandangan tafsir dan hikmah spiritual seputar Surah Al-Kahfi ayat 36 dan konteks ceritanya.***

🏠 Homepage