Surah Al-Kahfi, yang terletak pada juz ke-15 Al-Qur'an, seringkali disebut sebagai benteng spiritual bagi umat Islam, khususnya dalam menghadapi empat fitnah utama kehidupan: fitnah agama (Kisah Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu (Kisah Nabi Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain). Di antara fitnah-fitnah tersebut, kisah tentang pemilik dua kebun menawarkan pelajaran paling nyata mengenai kesombongan, kekayaan, dan pentingnya pengakuan terhadap kekuasaan Ilahi yang mutlak.
Inti dari kisah ini berpuncak pada sebuah teguran agung yang termaktub dalam ayat ke-39, sebuah formula zikir yang seharusnya diucapkan oleh setiap individu yang dianugerahi kenikmatan duniawi, sebagai penangkal utama terhadap penyakit hati yang bernama ujub dan takabur. Ayat ini bukan sekadar nasehat, melainkan sebuah pernyataan teologis mendalam tentang hakikat kepemilikan dan sumber segala kekuatan.
Kisah dua orang sahabat, yang salah satunya dikaruniai Allah dua kebun anggur yang subur dengan irigasi sempurna dan dikelilingi pohon kurma, merupakan latar belakang penting bagi pemahaman ayat 39. Kekayaan yang melimpah ruah ini memicu timbulnya rasa sombong dan ingkar pada diri sang pemilik kebun. Ia lupa bahwa sumber kemakmuran itu berasal dari kehendak Yang Maha Kuasa. Ketika ia berdialog dengan sahabatnya yang fakir namun kuat imannya, ia mengucapkan kalimat-kalimat kekufuran dan keangkuhan, yang puncaknya adalah keyakinannya bahwa kebun tersebut tidak akan pernah musnah.
Sahabatnya yang beriman, melihat gelombang kesombongan yang menguasai hati temannya, tidak tinggal diam. Ia melontarkan teguran yang penuh hikmah, sebuah kalimat yang menggabungkan pengakuan total terhadap kehendak Allah (Masya Allah) dan penafian kekuatan diri sendiri (Lā Quwwata Illā Billāh). Teguran inilah yang kemudian diabadikan dalam firman-Nya:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ
Terjemahannya: "Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, 'Masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah (Lā Quwwata Illā Billāh)'?"
Ayat ini adalah intisari dari pelajaran yang hendak disampaikan oleh kisah tersebut. Ia mengajarkan umat manusia, dari masa ke masa, bahwa setiap nikmat, setiap kekayaan, setiap kesehatan, dan setiap kekuasaan yang dimiliki, harus selalu dinisbahkan kembali kepada Sang Pemberi. Kegagalan untuk mengucapkan frasa ini adalah indikasi nyata dari penyakit hati yang sangat berbahaya, yaitu 'ujub (kekaguman terhadap diri sendiri) dan penarikan kepemilikan mutlak kepada entitas selain Allah SWT.
Untuk memahami kedalaman spiritual ayat ini, kita harus memecah dan mengkaji dua komponen utamanya yang menjadi fondasi teologis:
Frasa Masya Allah secara harfiah berarti "Apa yang dikehendaki Allah (maka terjadilah)". Ini adalah pengakuan fundamental bahwa segala sesuatu yang wujud, yang tampak indah, yang membawa manfaat, baik itu kebun, bisnis, anak, atau jabatan, adalah hasil dari kehendak dan izin Allah semata. Mengucapkan Masya Allah saat melihat sesuatu yang mengagumkan, baik milik sendiri maupun milik orang lain, berfungsi sebagai benteng perlindungan:
Jika pemilik kebun yang sombong itu mengucapkan Masya Allah, ia akan menyadari bahwa keberlangsungan panennya, aliran airnya, dan keindahan tanamannya adalah bersandar pada kehendak Ilahi, bukan pada prediksi atau jaminan dirinya sendiri. Keingkarannya justru terletak pada keyakinan bahwa kebun itu mā azhunnu an tabīda hādzihī abadan (aku tidak yakin kebun ini akan binasa selama-lamanya) — sebuah pernyataan yang menempatkan kehendak dirinya di atas kehendak Tuhan.
Ini berarti "Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." Frasa ini adalah penegasan murni tentang Tauhid Rububiyah, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuatan mutlak atas segala sesuatu. Semua kekuatan fisik, mental, finansial, dan logistik yang kita miliki hanyalah pinjaman dan bergantung pada dukungan-Nya.
Ketika digabungkan dengan Masya Allah, ia membentuk ikrar sempurna: Nikmat ini terjadi karena kehendak-Mu (Masya Allah), dan keberlangsungan serta pemeliharaannya hanya mungkin karena kekuatan-Mu semata (Lā Quwwata Illā Billāh). Ini adalah resep pencegahan terhadap ilusi independensi.
Dalam hadis, Rasulullah SAW menyebut Lā Hawla walā Quwwata Illā Billāh (yang memiliki makna serupa) sebagai salah satu perbendaharaan Surga. Penambahan frasa ini dalam ayat 39 menuntut kita untuk selalu merasa lemah dan fakir di hadapan kekayaan dan kekuasaan Ilahi. Kekuatan untuk mengelola kebun, untuk memanen hasilnya, bahkan untuk tetap hidup menikmati kebun tersebut, seluruhnya bersumber dari Allah.
Kisah ini merupakan peringatan keras terhadap tiga penyakit hati yang merusak amal dan nikmat:
Sang pemilik kebun memandang rendah sahabatnya yang miskin dan memposisikan dirinya lebih tinggi karena kekayaan materi. Kesombongan adalah penolakan kebenaran dan perendahan terhadap orang lain. Ayat 39 mengajarkan bahwa jika semua kekuatan datang dari Allah, maka tidak ada dasar bagi manusia untuk merasa lebih unggul dari ciptaan lain.
'Ujub adalah perasaan puas yang berlebihan terhadap amal atau nikmat yang dimiliki, yang membuat seseorang melupakan Sang Pemberi. Teguran dalam ayat 39 bertujuan langsung untuk memutus akar 'ujub. Dengan mengatakan Lā Quwwata Illā Billāh, seseorang mengakui bahwa faktor-faktor keberhasilan—ketekunan, modal, bahkan kecerdasan—adalah modal yang diberikan Allah, bukan diciptakan secara independen oleh dirinya.
Kesombongan sang pemilik kebun tidak hanya sebatas harta, tetapi meluas hingga keyakinan teologisnya. Ia meragukan adanya Hari Kiamat. Kekayaan membuatnya merasa abadi di dunia. Pelajaran dari ayat 39 adalah bahwa orang yang beriman sejati tidak akan pernah terbuai oleh kefanaan duniawi, karena ia tahu bahwa segala yang ada akan kembali kepada pemiliknya yang hakiki, dan pertanggungjawaban di akhirat pasti terjadi.
Meskipun kisah ini terjadi di masa lampau dengan konteks kebun anggur, relevansinya tetap abadi dan sangat kuat dalam dunia modern yang didominasi oleh kekayaan digital, properti real estat, dan konglomerasi perusahaan raksasa. Kebun-kebun hari ini berbentuk portofolio investasi, perusahaan start-up yang bernilai miliaran, atau kepemilikan media sosial dengan jutaan pengikut.
Seorang pengusaha yang berhasil membangun kerajaan bisnis besar seringkali tergoda untuk meyakini bahwa kesuksesannya adalah hasil murni dari kejeniusan strategi, keahlian manajemen risiko, dan kerja keras tanpa henti. Jika ia tidak menyematkan Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh pada pencapaiannya, ia rentan jatuh pada kekufuran seperti pemilik kebun. Ia akan lupa bahwa kesehatan untuk bekerja, kesempatan pasar yang terbuka, bahkan sistem hukum yang memungkinkan bisnisnya berjalan, semuanya adalah karunia dari Allah.
Ketika kekayaan modern ini mencapai puncaknya, frasa Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh menjadi sebuah mekanisme pengingat (dzikr) yang mencegah keruntuhan moral dan spiritual. Ini adalah cara menjaga hati agar kekayaan tetap menjadi sarana ibadah, bukan tujuan akhir yang memisahkan hamba dari Tuhannya.
Kisah ini tidak berakhir pada teguran. Ia berlanjut pada konsekuensi nyata yang dialami oleh pemilik kebun yang angkuh. Allah menghancurkan kebunnya, menghapus segala jejak kemakmuran, dan membiarkannya tinggal puing-puing penyesalan. Keruntuhan ini terjadi secara tiba-tiba (wa uhītha bi thamarīhi - dan harta bendanya dibinasakan). Ini menunjukkan hukum kausalitas spiritual: kesombongan dan pengabaian tauhid dapat menghancurkan nikmat materi secara instan.
Penyesalan sang pemilik kebun datang terlambat. Ia mulai menampar tangannya karena menyesali biaya yang ia keluarkan untuk kebun yang kini hancur. Ini adalah gambaran tragis dari jiwa yang terikat pada materi, yang baru menyadari kelemahan dirinya setelah bencana menimpanya. Seandainya ia mengucapkan frasa agung itu di awal, ia mungkin akan mendapatkan barakah (keberkahan) yang menjamin kelanggengan nikmat tersebut, atau paling tidak, ia akan mendapatkan kekuatan spiritual untuk menghadapi kehilangan dengan sabar.
Bencana ini adalah pengajaran universal: kenikmatan adalah ujian. Jika lulus ujian, nikmat itu akan berkekalan dan mendatangkan pahala. Jika gagal, nikmat itu bisa menjadi sumber azab di dunia sebelum azab di akhirat.
Mengucapkan Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh adalah cara untuk "mencantumkan label kepemilikan Allah" pada nikmat kita. Ketika kita mengakui bahwa semua berasal dari-Nya, kita secara efektif mengundang barakah (keberkahan) untuk menetap. Barakah adalah bertambahnya kebaikan, meski secara kuantitas tampak sedikit, namun manfaatnya melimpah ruah dan bertahan lama.
Sebaliknya, 'ujub dan sombong adalah penghapus barakah. Kekayaan yang diperoleh melalui kesombongan mungkin melimpah, tetapi ia cepat musnah, tidak memberikan ketenangan, dan pada akhirnya menjadi bencana. Pemilik kebun kehilangan kebunnya secara fisik; dalam konteks modern, hilangnya barakah dapat berupa kebangkrutan yang tak terduga, penyakit yang menghabiskan harta, atau ketidaknyamanan batin yang tak terhindarkan meskipun dikelilingi kemewahan.
Ayat 39 mengajarkan sebuah terapi zikir yang sangat efektif untuk mengelola emosi yang terkait dengan kepemilikan. Setiap kali seseorang merasa bangga atau puas terhadap pencapaian materi, ia harus segera mengingat dan mengucapkan zikir ini. Zikir ini harus menjadi refleksi spontan, bukan hanya formalitas lisan.
Dzikir ini bertindak sebagai rem spiritual yang menghentikan laju hati menuju jurang kekafiran. Mengapa? Karena kekayaan cenderung membius jiwa, menciptakan ilusi kekuasaan, dan membuat manusia lupa akan kefanaan dirinya. Seringnya pengulangan zikir ini memastikan bahwa kesadaran tauhid tetap berada di garis depan, bahkan saat manusia berada di puncak kesuksesan finansial.
Dari sudut pandang pendidikan Islam, ayat ini menjadi prinsip dasar dalam mendidik generasi muda yang kaya raya atau yang dibesarkan dalam lingkungan serba berkecukupan. Orang tua harus mengajarkan anak-anak mereka untuk menisbahkan kesuksesan akademik, bakat olahraga, atau aset keluarga kepada Allah, bukan kepada upaya semata.
Jika seorang pelajar mendapatkan nilai sempurna, ia tidak boleh hanya mengatakan, "Ini karena aku belajar keras." Ia harus menambahkan: "Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh," menyadari bahwa kemampuan otak untuk menyerap ilmu, waktu luang untuk belajar, dan kesehatan yang menunjang semuanya adalah kekuatan yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Surah Al-Kahfi secara keseluruhan merupakan persiapan menghadapi Dajjal, yang ujian terbesarnya adalah ujian materi dan janji-janji kekayaan palsu. Dajjal akan menawarkan kemakmuran duniawi yang luar biasa. Jika umat Islam tidak membentengi dirinya dengan ajaran Tauhid yang kental, seperti yang diajarkan dalam ayat 39, mereka akan dengan mudah tertipu oleh ilusi kekayaan abadi yang ditawarkan Dajjal.
Frasa Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh adalah antitesis dari ideologi Dajjal, yang akan mempromosikan kekuatan material sebagai kekuatan tertinggi. Ketika seorang mukmin membiasakan diri mengakui bahwa segala kekuatan berasal dari Allah, ia tidak akan terkejut atau tergiur oleh kekayaan fantastis, karena ia tahu bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada emas atau panen, melainkan pada kehendak Ilahi.
Ayat ini membawa kita pada refleksi filosofis yang lebih dalam mengenai hubungan antara kehendak manusia (kehendak parsial) dan kehendak Allah (kehendak mutlak). Manusia diberikan kebebasan memilih (ikhtiar) dan keharusan berusaha (kasb), tetapi hasil akhirnya (Qudra) berada di tangan Allah.
Ketika kita bekerja keras membangun kebun atau perusahaan, kita sedang menggunakan ikhtiar kita. Namun, ketika kita mengakui Masya Allah, kita sedang mengakui bahwa faktor-faktor tak terlihat (seperti cuaca yang mendukung, pasar yang stabil, atau kesehatan yang memungkinkan) berada di luar kendali kita dan merupakan bagian dari kehendak Allah. Pengakuan ini membebaskan kita dari stres dan kecemasan yang berlebihan terhadap hasil, karena kita telah menyerahkan urusan akhir kepada Sang Maha Kuasa.
Pemilik kebun gagal dalam pelajaran filosofis ini. Ia terlalu bergantung pada sebab-sebab fisik (irigasi yang baik, tanah yang subur) dan melupakan Musabab utama. Ketika ujian datang, ia tidak memiliki benteng spiritual, sehingga kehancuran materinya diikuti dengan kehancuran mental dan spiritual.
Inti dari Lā Quwwata Illā Billāh adalah Tawakkal. Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha; melainkan berusaha maksimal dan kemudian menyerahkan hasil kepada Allah, disertai keyakinan penuh bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik. Ketika kita mengucapkan frasa ini saat melihat nikmat, kita sedang melakukan Tawakkal secara proaktif, sebelum musibah menimpa.
Tawakkal yang murni menghilangkan keterikatan yang merusak hati. Pemilik kebun sangat terikat pada kebunnya hingga ia tidak bisa membayangkan kehancurannya. Keterikatan ini adalah bentuk perbudakan terhadap harta. Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh memutus belenggu tersebut, memungkinkan kita menikmati harta tanpa menjadi budaknya.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, ayat 39 memiliki relevansi signifikan bagi mereka yang memegang amanah kekuasaan, baik sebagai pemimpin negara, pemimpin perusahaan, maupun pemimpin keluarga.
Seorang pemimpin yang dianugerahi kekuasaan untuk memimpin ‘kebun’ negara atau organisasi harus senantiasa mengingat frasa ini. Jika seorang pemimpin mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat, ia harus menyandarkan kesuksesan tersebut pada pertolongan Ilahi. Jika ia mengklaim semua keberhasilan sebagai murni hasil kebijaksanaannya, ia telah meniru kesombongan pemilik kebun.
Kekuatan dan kekuasaan adalah ujian terbesar. Sejarah penuh dengan kisah para penguasa yang sombong yang akhirnya runtuh ketika mereka lupa bahwa kekuatan sejati adalah milik Allah. Ayat 39 adalah cetak biru bagi kepemimpinan yang rendah hati, yang memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk melayani, bukan untuk memamerkan diri.
Kepemimpinan yang dijiwai oleh Tauhid akan menghasilkan keadilan dan distribusi nikmat yang merata, karena pemimpin tersebut menyadari bahwa ia hanyalah pengelola, bukan pemilik mutlak sumber daya tersebut.
Kisah Al-Kahfi ayat 39, dengan segala kedalaman tafsir dan aplikasi praktisnya, menawarkan sebuah pedoman hidup yang esensial. Ia adalah filter yang membersihkan hati dari kotoran kesombongan dan 'ujub, serta berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan manusia kembali kepada sumber segala nikmat.
Mengucapkan Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh bukan hanya sebuah sunnah lisan, tetapi sebuah praktik hati yang berkelanjutan. Ia adalah pengakuan bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang hanya bisa berdiri dan bertahan karena kekuatan yang tak terbatas dari Allah SWT. Ini adalah zikir para pemilik nikmat yang berakal, yang memilih kerendahan hati dan Tawakkal di atas keangkuhan dan ilusi kekuasaan mandiri.
Dengan menerapkan ajaran ini dalam setiap aspek kehidupan—melihat rumah yang indah, kesuksesan anak, keuntungan bisnis, atau bahkan hanya melihat kesehatan diri sendiri—kita membangun benteng spiritual yang kekal, memastikan bahwa nikmat duniawi yang fana tidak menghalangi kita dari kebahagiaan abadi di sisi-Nya. Pengulangan terus-menerus terhadap pengakuan ini adalah kunci untuk menjaga hati tetap utuh di tengah badai fitnah harta, dan merupakan persiapan terbaik menuju Hari Pembalasan.
Kesempurnaan dalam pengakuan tauhid ini adalah warisan spiritual yang ditinggalkan oleh Surah Al-Kahfi. Ia mengingatkan kita bahwa keindahan kebun hanyalah sementara, tetapi janji Allah bagi mereka yang bersyukur dan tawakkal adalah abadi. Marilah kita jadikan frasa agung ini sebagai napas spiritual dalam setiap detik keberlimpahan, sehingga kita terhindar dari nasib tragis pemilik dua kebun yang sombong.
Sesungguhnya, tidak ada perlindungan dari musibah, kecuali dengan pengakuan akan kekuatan yang Maha Kuasa. Dan tidak ada kekuatan sejati, melainkan hanya pertolongan dari Allah semata. Mengapa kita tidak mengucapkan kalimat ini? Ia adalah kunci keberkahan dan penolak bala, sebuah permata zikir yang seharusnya menghiasi setiap puncak kesuksesan yang kita raih. Kesadaran ini harus meresap hingga ke sanubari, mengubah cara pandang kita terhadap segala bentuk kemakmuran duniawi. Karena pada akhirnya, semua adalah milik-Nya, dan kepada-Nya lah semua akan kembali.
Jika kita mampu menginternalisasi pesan dari Al-Kahfi 39, kita akan menjalani kehidupan dengan ketenangan, tidak terobsesi dengan kehilangan, dan tidak menjadi sombong saat mendapatkan. Kekuatan yang kita miliki untuk bernapas, berpikir, dan bertindak hari ini, adalah manifestasi dari izin-Nya, dan tanpa izin tersebut, kita tidaklah memiliki apa-apa. Pengakuan ini adalah esensi dari keimanan yang sejati, pondasi kokoh yang membedakan mukmin dari mereka yang ingkar. Mari kita jaga lisan dan hati kita dengan keagungan Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh.
Demikianlah, kisah dua kebun menjadi cermin bagi kita semua, sebuah refleksi abadi tentang kerapuhan manusia di hadapan kehendak Ilahi. Pesan ayat 39 harus diukir dalam benak setiap muslim yang mendambakan keberkahan sejati dalam harta dan kehidupan. Bukan kekayaan yang dilarang, melainkan cara memandang dan mengelolanya yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip Tauhid. Kekayaan yang dihiasi dengan kerendahan hati dan tawakkal adalah sebaik-baiknya bekal. Sebaliknya, kekayaan yang diselimuti kesombongan akan menjadi bara api yang membakar pemiliknya sendiri.
Kisah ini berulang dalam sejarah peradaban, dari zaman ke zaman. Setiap generasi memiliki ‘kebun’ modernnya sendiri—mulai dari dominasi teknologi, penguasaan sumber daya alam, hingga kepopularitasan media sosial. Semuanya adalah fana. Semuanya bergantung pada satu kehendak mutlak. Oleh karena itu, nasehat sahabat yang beriman kepada temannya adalah nasehat universal yang tidak lekang oleh waktu dan teknologi: mengapa kamu tidak mengucapkan, Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh?
Ini adalah seruan kembali kepada fitrah, kepada pengakuan bahwa manusia hanyalah hamba, dan bahwa kekuasaan serta kekuatan mutlak adalah milik Allah Yang Maha Esa. Dengan pengakuan ini, kita menemukan kedamaian, dan dengan kedamaian ini, kita melindungi diri kita dari fitnah terbesar dunia.
Dan teruslah kita renungkan, betapa besar kasih sayang Allah, yang bahkan melalui kehancuran materi, Dia tetap memberikan pelajaran spiritual yang tak ternilai harganya bagi hamba-Nya yang beriman, agar mereka mengambil ibrah dan tidak jatuh ke dalam lubang kesombongan yang sama. Jadikanlah Masya Allah, Lā Quwwata Illā Billāh sebagai mantra keberkahan dan tameng spiritual kita.