Representasi visual dari Tauhid (Keesaan Allah) sebagai cahaya yang memancar dari Kitab Suci, kontras dengan kegelapan syirik.
Surah Al-Kahfi memiliki posisi yang istimewa dalam tradisi Islam, sering dibaca pada hari Jumat sebagai penjaga dari fitnah, khususnya fitnah Dajjal. Surah ini memuat empat kisah besar yang berfungsi sebagai pelajaran fundamental mengenai godaan iman, harta, ilmu, dan kekuasaan. Namun, di antara kisah-kisah tersebut, terdapat ayat-ayat yang menegaskan kembali pondasi utama ajaran Islam: Tauhid (Keesaan Allah).
Ayat yang sangat sentral dan tegas dalam konteks ini adalah **Al-Kahfi ayat 4**. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai transisi antar-bagian surah, tetapi merupakan pernyataan teologis yang paling mendasar, memberikan peringatan keras dan langsung mengenai bahaya paling besar yang dapat dihadapi seorang mukmin: Syirik.
Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus merenungkan redaksi aslinya. Ayat 4 Surah Al-Kahfi berbunyi:
Ayat ini merupakan kelanjutan langsung dari ayat 3, yang memuji Allah atas wahyu yang lurus. Ayat 1, 2, dan 3 berbicara tentang Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Ayat 4 ini secara spesifik mengidentifikasi subjek utama dari peringatan tersebut: Mereka yang mengklaim bahwa Allah memiliki ‘anak’ (*waladan*).
Surah Al-Kahfi dimulai dengan memuji Allah (Alhamdulillah) yang menurunkan Kitab tanpa kebengkokan (Qayyim). Tujuannya adalah untuk memberikan *indzar* (peringatan) dan *tabsyir* (kabar gembira). Ayat 4 ini secara tegas menjelaskan kepada siapa peringatan keras itu diarahkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun Surah Al-Kahfi berisi kisah-kisah fantastis tentang masa lalu dan masa depan, isu teologis fundamental—yaitu penolakan terhadap konsep Tuhan beranak—tetap menjadi prioritas utama yang harus disampaikan kepada umat manusia.
Kedalaman sebuah ayat seringkali terletak pada pilihan kata-kata Arabnya yang spesifik. Dalam Al-Kahfi ayat 4, terdapat dua kata kunci yang menuntut analisis mendalam: *Yundhira* (memperingatkan) dan *Waladan* (anak/keturunan).
Kata *Yundhira* berasal dari akar kata *Nadzara*, yang berarti memperingatkan, memberi kabar buruk, atau memberi tahu tentang bahaya yang akan datang. Ini berbeda dengan *Tabsyir* (memberi kabar gembira). Penggunaan *Yundhira* di sini menunjukkan tingkat ancaman yang sangat serius.
Peringatan ini menjadi lebih kuat karena Al-Qur'an secara keseluruhan berulang kali menggunakan kata ini untuk menekankan konsekuensi dari penyimpangan akidah. Al-Qur'an ingin memastikan bahwa tidak ada keraguan sedikit pun mengenai status keyakinan yang mengaitkan keturunan kepada Allah—ia adalah penyimpangan yang paling fatal.
Kata *Waladan* (anak) secara umum merujuk pada keturunan, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam konteks teologis, klaim bahwa Allah mengambil anak (*ittakhadhallāhu waladan*) memiliki implikasi yang sangat luas, menyentuh inti dari sifat Tuhan.
Oleh karena itu, penolakan dalam Al-Kahfi ayat 4 ini bukan hanya penolakan terhadap satu keyakinan tertentu, melainkan penolakan terhadap seluruh kerangka berpikir yang mengurangi keagungan dan kesempurnaan Allah SWT menjadi sifat-sifat makhluk yang terbatas dan fana.
Ayat 4 adalah penegasan kembali doktrin Tauhid yang tidak dapat ditawar. Tauhid adalah poros ajaran Islam, yang membedakannya secara tajam dari keyakinan-keyakinan lain. Klaim bahwa Allah mengambil anak adalah bentuk Syirik terbesar, yang secara langsung menyerang keunikan dan keesaan-Nya.
Mayoritas ahli tafsir klasik, termasuk Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, sepakat bahwa peringatan dalam ayat 4 ini terutama ditujukan kepada dua kelompok besar pada masa penurunan Al-Qur'an:
Mereka yang meyakini bahwa Isa Al-Masih adalah Anak Allah (dalam pengertian ilahiyah). Ini adalah bentuk Syirik yang paling eksplisit yang ditolak oleh ayat ini.
Meskipun penolakan mereka terhadap kenabian Isa, sebagian dari mereka, khususnya yang mengklaim Uzair sebagai anak Allah, juga termasuk dalam kategori yang diperingatkan. Klaim bahwa Uzair adalah putra Allah, meskipun tidak seuniversal klaim Nasrani, tetap merupakan pengingkaran terhadap Tauhid yang sama seriusnya.
Namun, Ibnu Taimiyyah dan ulama lainnya menekankan bahwa cakupan ayat ini bersifat universal. Ayat ini memperingatkan *siapa pun* (الَّذِينَ قَالُوا) yang, pada waktu kapan pun dan di tempat mana pun, mengklaim hubungan kekerabatan antara Allah dan makhluk-Nya, termasuk klaim dewa-dewi beranak pinak dalam tradisi paganisme dan politeisme lainnya.
Perluasan makna ini sangat penting. Prinsipnya tetap sama: Allah tidak bergantung, tidak memiliki pasangan, dan tidak memiliki keturunan. Klaim apapun yang menyiratkan hal tersebut adalah kekufuran yang nyata, karena ia merusak konsep ketidakmampuan dan ketidakperluan Allah terhadap segala sesuatu (Ghaniy Mutlaq).
Ayat berikutnya (Ayat 5) Al-Kahfi segera melanjutkan dengan penolakan yang lebih tajam dan eksplisit, yang semakin memperkuat peringatan di Ayat 4. Ayat 5 menyatakan bahwa mereka yang membuat klaim tersebut "tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun, begitu pula nenek moyang mereka." (مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ)
Ini menunjukkan bahwa keyakinan Syirik semacam ini berakar pada:
Al-Qur'an menempatkan klaim bahwa Allah beranak sebagai keyakinan yang paling tidak berdasar secara ilmiah maupun spiritual, keyakinan yang hanya didukung oleh asumsi kosong dan kebiasaan turun-temurun, yang secara total dipertentangkan dengan ilmu (wahyu) yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Surah Al-Kahfi adalah surah Makkiyyah, yang diturunkan pada periode awal Islam ketika komunitas Muslim menghadapi penganiayaan dan godaan yang intens. Surah ini diturunkan sebagian sebagai jawaban atas pertanyaan kaum Quraisy yang ingin menguji kenabian Muhammad melalui saran kaum Yahudi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berpusat pada kisah Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, dan Musa bersama Khidr.
Lalu, mengapa penegasan tauhid tentang penolakan anak Tuhan diletakkan di bagian awal, sebelum kisah-kisah utama dimulai?
Surah Al-Kahfi berbicara tentang empat fitnah utama: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu (Musa dan Khidr), dan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain). Sebelum membahas bagaimana menghadapi ujian-ujian ini, Al-Qur'an harus terlebih dahulu memastikan bahwa fondasi akidah (tauhid) telah kokoh.
Jika seorang mukmin sudah menyimpang pada poin Tauhid—yakni meyakini Allah beranak—maka tidak ada ujian lain yang penting, karena ia sudah gagal dalam ujian terbesar. Ayat 4 bertindak sebagai "filter" atau "benteng" teologis; jika benteng ini runtuh, maka benteng-benteng lainnya (menghadapi harta, ilmu, atau kekuasaan) tidak akan mampu bertahan lama.
Kisah Ashabul Kahfi (Para Pemuda Gua) yang mengikuti Ayat 4 memiliki kaitan tematik yang kuat. Para pemuda tersebut meninggalkan masyarakat dan peradaban mereka yang politeistik untuk menyelamatkan iman mereka, yang intinya adalah Tauhid murni. Mereka menolak segala bentuk pengkultusan, termasuk pengkultusan penguasa atau dewa-dewi yang dianggap memiliki hubungan kekerabatan dengan Tuhan.
Ayat 4 mempersiapkan pembaca untuk memahami apa yang dipertaruhkan oleh Ashabul Kahfi. Mereka memilih tidur panjang dan pengasingan daripada hidup dalam masyarakat yang telah mencemari akidah mereka dengan klaim-klaim Syirik, termasuk klaim bahwa Tuhan memiliki anak atau sekutu.
Para mufassir (ahli tafsir) besar telah mengalokasikan ruang yang sangat luas untuk membahas implikasi teologis dari Ayat 4, terutama menyoroti keagungan Allah yang tidak terbatasi oleh konsep keturunan.
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini menolak klaim yang paling buruk dan paling keji. Dia mengutip ayat-ayat lain, seperti Surah Maryam ayat 88-91, yang menggambarkan betapa dahsyatnya klaim bahwa Allah mengambil anak:
“Hampir-hampir langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu), karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (Q.S. Maryam: 90-91)
Ibn Katsir menjelaskan bahwa klaim ini adalah penghinaan yang sedemikian rupa sehingga seandainya langit dan bumi memiliki kesadaran, mereka akan hancur karena mendengar kata-kata tersebut. Ini menunjukkan bahwa penolakan dalam Al-Kahfi ayat 4 bukanlah masalah kecil, melainkan pelanggaran terhadap tatanan kosmik yang dibuat oleh Allah.
Penekanan pada *ittakhadhallāhu waladan* (Allah mengambil seorang anak) juga penting. Kata *ittakhadha* (mengambil/mengangkat) menunjukkan pilihan atau keputusan, bukan proses alami. Ini menunjukkan bahwa klaim tersebut adalah hasil dari kesalahan intelektual dan spiritual manusia, bukan realitas yang inheren pada sifat ketuhanan.
Imam Al-Qurtubi menambahkan dimensi hukum dan teologis, menjelaskan bahwa Syirik dalam bentuk ini adalah kekafiran yang mutlak. Beliau juga membahas perbedaan antara klaim kekerabatan yang berbeda (seperti anak, pasangan, atau sekutu). Meskipun semua bentuk Syirik adalah fatal, klaim anak sering dianggap sebagai bentuk Syirik yang paling merusak karena ia menyerang sifat independensi dan keabadian Allah secara frontal.
Al-Qurtubi juga menyentuh aspek niat dan kesengajaan. Klaim ini tidak bisa dianggap ringan sebagai kesalahan penafsiran. Al-Qur'an menyebut mereka yang mengatakannya (*qālū*), menunjukkan bahwa klaim ini diucapkan dan diyakini dengan sengaja, meskipun didorong oleh ketidaktahuan yang diwariskan.
Peringatan dalam Al-Kahfi ayat 4 hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui dua nama agung Allah yang dijelaskan dalam Surah Al-Ikhlas: *Al-Ahad* (Yang Maha Esa) dan *Ash-Shamad* (Yang Maha Dibutuhkan dan Tidak Membutuhkan Apa Pun).
Jika Allah memiliki anak, maka Dia tidak lagi *Ahad* (Esa) dalam esensi dan sifat-Nya. Konsep keturunan selalu menyiratkan dua entitas (orang tua dan anak) yang berbagi sifat dasar. Tauhid menuntut keesaan yang mutlak, yang tidak dapat dibagi atau dikaitkan dengan entitas lain melalui ikatan keluarga atau keturunan.
Dalam Islam, hubungan antara Pencipta dan ciptaan adalah hubungan Khaliq dan Makhluq, bukan hubungan ayah dan anak. Hubungan ini didasarkan pada ibadah dan kepatuhan, bukan hubungan darah atau substansi. Al-Kahfi ayat 4 secara efektif membersihkan wilayah teologi dari segala jenis nepotisme ilahi.
Allah *Ash-Shamad* adalah Zat yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu, sementara Dia sendiri tidak bergantung pada siapa pun dan apa pun, termasuk anak. Jika seseorang memiliki anak, secara fitrah ia bergantung pada anaknya untuk masa depan, warisan, dan dukungan. Menghubungkan kebutuhan ini kepada Allah adalah penghinaan yang melampaui batas.
Konsep *waladan* pada dasarnya memasukkan keterbatasan ke dalam sifat ilahiah, seolah-olah Allah terikat oleh hukum pewarisan, siklus hidup, atau kelanjutan entitas yang berlaku bagi makhluk. Peringatan di Al-Kahfi ayat 4 adalah seruan untuk membebaskan pemahaman tentang Tuhan dari segala bentuk keterbatasan makhluk.
Meskipun Al-Kahfi ayat 4 ditujukan pada klaim historis, pesannya relevan secara abadi dalam menghadapi berbagai godaan akidah di era kontemporer. Prinsip penolakan *waladan* meluas pada penolakan segala bentuk pengkultusan makhluk yang mengurangi keesaan Allah.
Peringatan keras terhadap Syirik eksplisit dalam ayat 4 harus menjadi dasar kehati-hatian terhadap Syirik yang lebih tersembunyi (*syirkul khafi*). Jika klaim seorang anak Tuhan sangat dilarang, maka betapa lebih terlarangnya segala bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah dalam urusan rezeki, kekuasaan, atau keberuntungan.
Klaim bahwa "Allah mengambil seorang anak" adalah metafora untuk semua penyimpangan teologis yang menempatkan perantara, sekutu, atau pihak ketiga di posisi yang hampir sama dengan Allah dalam hal penciptaan, pengaturan, atau pertolongan. Ayat 4 mengajarkan kita untuk menjaga *fokus* Tauhid agar tetap tajam dan tidak ternoda.
Al-Kahfi ayat 4 juga berfungsi sebagai penjaga terhadap distorsi Wahyu. Al-Qur'an diturunkan sebagai Kitab yang lurus (*Qayyim*, Al-Kahfi: 2), yang salah satu fungsi utamanya adalah meluruskan akidah yang telah dibengkokkan oleh tradisi-tradisi sebelumnya, termasuk penyimpangan mengenai sifat Tuhan. Ayat 4 adalah pengumuman bahwa kebenaran telah datang, dan ia menuntut penolakan terhadap semua klaim yang bertentangan dengan kesucian dan keesaan Allah.
Tauhid bukan hanya konsep teologis yang abstrak; ia memiliki implikasi etis dan moral yang mendalam. Penolakan terhadap konsep Tuhan beranak akan membentuk cara seorang mukmin berinteraksi dengan dunia dan sesama manusia.
Ketika semua makhluk adalah ciptaan Allah dan tidak ada yang memiliki hubungan darah khusus dengan Sang Pencipta, maka semua manusia berdiri setara di hadapan-Nya, hanya dibedakan oleh ketakwaan (*taqwa*). Klaim keturunan ilahi seringkali digunakan untuk melegitimasi hierarki spiritual atau kasta tertentu. Dengan menolak *waladan*, Islam mempromosikan kesetaraan absolut di hadapan Tuhan.
Jika Allah tidak memiliki anak atau sekutu, maka ibadah harus diarahkan sepenuhnya kepada-Nya, tanpa perantara. Peringatan di Al-Kahfi ayat 4 mengarahkan umat Islam pada ibadah yang murni (*Ikhlas*), yang bebas dari unsur pengkultusan individu atau penyucian yang berlebihan terhadap makhluk. Setiap ritual, doa, atau pengabdian harus ditujukan kepada Zat Yang Maha Esa saja.
Ayat 4 Al-Kahfi, meskipun singkat, memuat perpaduan antara kekuatan retorika dan kedalaman hikmah. Kekuatan terlihat dari penggunaan kata *yundhira* (peringatan keras), sementara hikmahnya terletak pada penempatan ayat ini sebagai fondasi akidah sebelum membahas fitnah dunia.
Perlu dicatat bahwa penolakan terhadap konsep Tuhan memiliki anak diulang di banyak tempat dalam Al-Qur'an (misalnya Q.S. Yunus: 68, Q.S. Maryam: 35). Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penekanan strategis terhadap bahaya yang paling mengancam integritas iman. Dalam Surah Al-Kahfi, penekanannya berada di awal, memastikan pembaca memasuki kisah-kisah surah dengan pemahaman Tauhid yang benar.
Ayat 4 memperkuat peran Al-Qur'an sebagai *Furqan* (Pembeda antara benar dan salah). Ia tidak menawarkan kompromi atau ambiguitas dalam hal Tauhid. Ia secara langsung menunjuk pada keyakinan yang salah dan memperingatkan konsekuensinya, menegaskan bahwa wahyu inilah satu-satunya sumber otoritas yang valid dalam mendefinisikan sifat-sifat Tuhan.
Oleh karena itu, ketika seorang mukmin membaca Al-Kahfi ayat 4, ia diingatkan bahwa inti dari keberadaannya, tujuan dari segala amal perbuatannya, dan kunci keselamatannya terletak pada pemahaman dan pengakuan yang tidak berbelit-belit: bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Peringatan ini adalah kasih sayang terbesar dari Allah, yang menjaga hamba-Nya dari kesesatan abadi.
Kesimpulan dari penafsiran mendalam ini adalah bahwa Al-Kahfi ayat 4 adalah sebuah tonggak teologis. Ia memurnikan hati dari keraguan dan membersihkan akidah dari kotoran syirik, memastikan bahwa perjalanan spiritual yang akan dijalani oleh pembaca Surah Al-Kahfi (melalui fitnah-fitnah dunia) didasarkan pada fondasi yang paling kuat: Tauhid yang murni dan absolut.
Ayat 4 tidak berdiri sendiri; ia erat kaitannya dengan ayat 1, 2, dan 3 yang berbicara tentang penurunan Al-Qur'an. Ini menunjukkan hubungan kausalitas yang jelas: Al-Qur'an diturunkan sebagai *Qayyim* (lurus) justru untuk memperbaiki penyimpangan, dan peringatan kepada mereka yang mengklaim Allah beranak adalah fungsi primer dari kelurusan Kitab suci ini.
Ayat 2 Surah Al-Kahfi menyatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an yang lurus (*Qayyim*) dan tidak ada kebengkokan di dalamnya. Kebengkokan akidah yang paling parah, yang paling melenceng dari kebenaran, adalah klaim adanya keturunan ilahi. Dengan demikian, tugas pertama dan terpenting dari Kitab yang lurus adalah meluruskan kebengkokan teologis ini, memberikan batas yang jelas antara kebenaran mutlak dan kesesatan yang merusak.
Dalam konteks tafsir, para ulama menekankan bahwa makna 'lurus' tidak hanya merujuk pada struktur tata bahasa atau hukum syariat, tetapi terutama pada kejelasan dan kemurnian akidah. Al-Qur'an hadir untuk memutus rantai keyakinan yang diwariskan secara salah oleh nenek moyang (seperti yang disebutkan di ayat 5), yang merupakan hasil dari interpretasi manusia yang bengkok tentang Zat Yang Maha Tinggi.
Meskipun menggunakan kata yang keras (*yundhira*), peringatan ini pada dasarnya adalah manifestasi dari kasih sayang (rahmat) Allah. Tanpa peringatan yang jelas dan tegas ini, manusia akan tersesat dalam kegelapan syirik tanpa menyadari bahaya abadi yang mengintai. Peringatan ini adalah undangan terakhir bagi mereka yang masih memiliki sedikit cahaya fitrah dalam hati mereka untuk kembali kepada Tauhid sebelum terlambat.
Ayat 4 dengan demikian adalah pengumuman publik mengenai garis merah teologis. Ia menetapkan bahwa tidak ada kerancuan, tidak ada kesalahpahaman yang diperbolehkan dalam isu Tauhid. Ini adalah dasar yang darinya semua ibadah, moral, dan hukum Islam muncul.
Klaim bahwa Allah mengambil anak adalah serangan langsung terhadap *Tauhid Rububiyyah*, yakni keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemelihara alam semesta. Konsep anak biasanya diperlukan dalam kerangka kerajaan duniawi untuk suksesi kekuasaan. Mengaplikasikan konsep suksesi ini pada Allah menunjukkan kegagalan memahami kedaulatan-Nya yang absolut dan abadi.
Allah adalah Al-Awwal (Yang Pertama) dan Al-Akhir (Yang Terakhir). Kedaulatan-Nya tidak pernah dimulai dan tidak akan pernah berakhir. Dia tidak membutuhkan seorang anak untuk melanjutkan kerajaan-Nya, karena kerajaan-Nya tidak tunduk pada siklus kehidupan dan kematian. Jika Dia memiliki anak, ini akan menyiratkan adanya transfer kekuasaan atau perlunya penerus, yang bertentangan dengan kekekalan (Baqa') dan kedaulatan (Mulkiyyah) Allah.
Dalam berbagai mitologi, dewa-dewi yang beranak seringkali berbagi kekuasaan dalam mengatur kosmos. Al-Kahfi ayat 4 menolak setiap bentuk kemitraan dalam Rububiyyah. Penciptaan, pengaturan, dan pengawasan atas segala sesuatu adalah milik Allah sepenuhnya. Tidak ada makhluk, betapapun mulianya (bahkan Isa Al-Masih, yang kelahirannya adalah mukjizat), yang berbagi fungsi Rububiyyah ini.
Peringatan ini adalah perlindungan terhadap akal. Ia membebaskan pikiran dari kerumitan panteon dan hierarki ilahi, mengembalikannya ke kesederhanaan monoteisme murni: Hanya ada satu Kekuatan yang mengatur segalanya, dan Kekuatan itu tidak terbatas, tidak membutuhkan, dan tidak memiliki keturunan.
Dalam sejarah awal Islam, ketika umat Islam berinteraksi dengan berbagai kelompok keyakinan (Yahudi, Nasrani, dan Pagan), Al-Kahfi ayat 4 berfungsi sebagai penentu identitas. Ayat ini mendefinisikan dengan jelas batas-batas yang tidak boleh dilintasi dalam dialog antaragama.
Islam menghargai dialog dan interaksi dengan pemeluk agama lain, tetapi Tauhid adalah titik non-negosiasi. Ayat 4 menunjukkan bahwa meskipun terdapat persamaan dalam masalah moral atau sosial, perbedaan dalam hal dasar-dasar akidah (khususnya sifat Tuhan) adalah perbedaan yang fundamental. Peringatan ini memberikan keberanian kepada Muslim awal untuk mempertahankan keunikan teologis mereka meskipun ditekan oleh lingkungan yang didominasi Syirik.
Mengetahui bahwa keyakinan yang dianut (Tauhid) adalah "lurus" (*Qayyim*) dan keyakinan lain tentang *waladan* adalah "kebengkokan" yang disengaja (tanpa ilmu), memberikan umat Muslim rasa percaya diri (*Izzah*) teologis. Mereka tahu bahwa meskipun mereka minoritas, mereka memegang kebenaran absolut yang bersumber langsung dari Pencipta alam semesta.
Oleh karena itu, ketika membaca ayat 4, seorang Muslim diingatkan bukan hanya tentang bahaya Syirik, tetapi juga tentang tanggung jawabnya untuk menjadi saksi kebenaran Tauhid yang murni di tengah segala bentuk penyimpangan.
Pilihan kata kerja *ittakhadha* (اتَّخَذَ) dalam frasa *ittakhadhallāhu waladan* (Allah mengambil seorang anak) sangat signifikan secara teologis, dan ini memerlukan pembahasan yang lebih panjang.
*Ittakhadha* memiliki konotasi 'mengambil', 'mengangkat', atau 'membuat pilihan'. Ini berbeda dari proses alami seperti *walada* (melahirkan). Jika Al-Qur'an hanya ingin menolak proses melahirkan secara biologis, kata kerja yang berbeda mungkin akan digunakan. Penggunaan *ittakhadha* menekankan bahwa klaim anak Tuhan ini adalah hasil dari:
Ini secara efektif menolak interpretasi bahwa Isa adalah ‘anak’ Tuhan dalam arti spiritual atau adopsi ilahi yang memberikan status ketuhanan, sama seperti menolak proses kelahiran fisik. Allah tidak membutuhkan adopsi, dan status-Nya sebagai Pencipta tidak memungkinkan adanya hubungan 'pengangkatan' yang mengubah esensi makhluk menjadi setara dengan Dzat yang Maha Mulia.
Dalam bahasa Arab, *ittakhadha* juga dapat menyiratkan bahwa sesuatu diambil karena suatu kekurangan atau kebutuhan. Seseorang 'mengambil' istri (*ittakhadha zaujan*) karena ia membutuhkan pasangan, atau 'mengambil' seorang pelayan karena ia membutuhkan bantuan. Peringatan di Al-Kahfi ayat 4 ini menantang ide bahwa Allah, Yang Maha Sempurna, akan 'mengambil' sesuatu (dalam hal ini, seorang anak) karena suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Ini adalah bantahan langsung terhadap anggapan bahwa eksistensi Allah tergantung atau dilengkapi oleh entitas lain.
Dalam konteks teologis yang lebih luas, *ittakhadha* menegaskan bahwa klaim ini adalah ciptaan manusia yang mencoba memproyeksikan kekurangan dan kebutuhan mereka sendiri ke dalam sifat-sifat Tuhan.
Di era modern dan pasca-modern, ancaman terhadap Tauhid tidak selalu berbentuk klaim anak Tuhan secara harfiah, melainkan dalam bentuk relativisme teologis dan pluralisme yang ekstrem, yang mengklaim bahwa semua keyakinan adalah sama-sama benar.
Al-Kahfi ayat 4 adalah teks yang sangat tidak relatif. Ia menetapkan sebuah kebenaran mutlak (Tauhid) dan memperingatkan terhadap kebohongan mutlak (Syirik). Dalam dunia yang cenderung mengaburkan batas-batas kebenaran, ayat ini berfungsi sebagai jangkar, mengingatkan bahwa dalam urusan sifat Ilahi, tidak ada ruang untuk abu-abu atau kompromi. Klaim bahwa Allah beranak adalah kebohongan yang sangat keji, tidak peduli seberapa tulus penganutnya.
Ketika banyak filsafat modern mencoba menempatkan akal dan pengalaman manusia di atas otoritas wahyu, Al-Kahfi ayat 4 menegaskan kembali supremasi wahyu. Kita tidak mengetahui sifat Allah kecuali melalui apa yang Dia wahyukan kepada kita. Karena wahyu mengatakan klaim "Allah mengambil anak" adalah salah dan berbahaya, maka akal seorang mukmin harus tunduk pada kebenaran ini. Peringatan ini adalah pengukuhan bahwa Al-Qur'an adalah pemandu utama, bahkan ketika berhadapan dengan dogma-dogma yang sangat dihormati oleh tradisi-tradisi lain.
Pada akhirnya, Al-Kahfi ayat 4 adalah sebuah pernyataan yang menuntut refleksi mendalam. Ayat ini terletak di antara pengantar tentang kesempurnaan Al-Qur'an (Ayat 1-3) dan peringatan eksplisit tentang konsekuensi Syirik (Ayat 5), dan kemudian diikuti oleh kisah-kisah utama surah.
Penempatannya yang strategis menunjukkan bahwa kemurnian akidah adalah prasyarat mutlak untuk menghadapi fitnah dunia. Jika seseorang gagal dalam Tauhid (seperti yang diperingatkan di Ayat 4), maka tidak ada bekal lain yang dapat menyelamatkannya dari godaan harta, ilmu, atau kekuasaan.
Peringatan dari Allah ini, keras dan tegas, adalah penjaga bagi umat manusia dari penyimpangan spiritual terbesar. Memahami dan mengamalkan pesan Al-Kahfi ayat 4 adalah langkah pertama dan terpenting dalam perjalanan menjadi seorang hamba yang sejati, yang mengakui keesaan Tuhannya tanpa sedikitpun cela atau keraguan.
Marilah kita senantiasa menjaga hati dan lisan kita dari segala bentuk klaim yang merendahkan keagungan-Nya, dan memurnikan ibadah kita hanya kepada Allah, Yang Maha Esa, Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan.
Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Katsir, Al-Qur'an dalam Surah Maryam menegaskan bahwa klaim bahwa Allah mengambil anak menyebabkan hampir-hampir langit pecah dan bumi terbelah. Penting untuk merenungkan mengapa klaim akidah yang diangkat dalam Al-Kahfi ayat 4 ini memicu reaksi kosmik yang begitu dahsyat. Hal ini bukan hanya sekadar metafora retoris, melainkan indikasi dari gravitasi dosa Syirik itu sendiri.
Alam semesta diciptakan dan diatur berdasarkan prinsip *Tauhid Rububiyyah*. Semua ciptaan, dari atom terkecil hingga galaksi terbesar, tunduk pada kehendak satu Pencipta. Ketika manusia mengklaim bahwa Pencipta ini memiliki seorang anak atau sekutu, ia secara fundamental menentang hukum dasar eksistensi. Klaim tersebut menciptakan dissonansi spiritual yang begitu kuat sehingga mengancam untuk merobek tatanan kosmik. Allah menetapkan bahwa hanya Dialah *Al-Khaliq* (Pencipta) dan segala sesuatu selain Dia adalah *makhluq* (ciptaan). Klaim anak Tuhan berusaha mengaburkan garis batas ini, memasukkan elemen *makhluq* ke dalam esensi *Khaliq*.
Setiap ciptaan, menurut ajaran Islam, lahir dalam keadaan fitrah, yaitu mengakui keesaan Allah. Langit dan bumi, meskipun tidak memiliki akal seperti manusia, secara fitrah tunduk pada keesaan Allah. Ucapan yang diangkat dalam Al-Kahfi ayat 4 merupakan penghinaan terhadap fitrah ini. Hal ini menjelaskan mengapa materi yang mati pun—gunung, langit, dan bumi—digambarkan "hampir-hampir runtuh." Mereka, dalam bahasa kiasan, bereaksi terhadap Syirik karena ia adalah penolakan terhadap kebenaran paling mendasar yang mereka junjung tinggi.
Al-Kahfi ayat 4 mengajak pembaca untuk melihat Syirik bukan hanya sebagai kesalahan teologis pribadi, melainkan sebagai kejahatan yang meluas, yang dampaknya dirasakan hingga ke batas-batas alam semesta. Inilah mengapa peringatan (*yundhira*) harus dikeluarkan, karena bahayanya melampaui konsekuensi individu.
Struktur gramatikal dan pilihan huruf dalam Al-Kahfi ayat 4 memperkuat pesan peringatan. Ayat ini dimulai dengan huruf waw (*wa*, وَ), yang berarti 'dan'.
Kata *wa yundhira* menghubungkan peringatan ini langsung dengan fungsi Al-Qur'an yang disebutkan di ayat sebelumnya, terutama fungsi *li-yundhira ba'san shadidan* (untuk memperingatkan dengan siksaan yang keras). Ini berarti peringatan yang ditujukan kepada mereka yang mengklaim Allah memiliki anak adalah bagian integral dan inti dari siksaan keras yang diperingatkan oleh Kitab Suci.
Ini bukan peringatan sampingan, melainkan fokus utama dari pesan menakutkan yang dibawa oleh Al-Qur'an. Ini menegaskan bahwa tidak ada dosa yang lebih pantas menerima siksaan keras selain Syirik, khususnya Syirik yang berkaitan dengan esensi Rububiyyah.
Penggunaan kata kerja lampau *qālū* (mereka berkata) menunjukkan bahwa klaim ini adalah klaim yang sudah mapan dan diucapkan secara publik oleh sekelompok orang, bukan hanya pemikiran internal. Ini menuntut respons yang sama publik dan tegasnya dari Wahyu. Ini bukan tentang menghadapi bisikan keraguan, melainkan menghadapi dogma yang diyakini secara kolektif oleh komunitas besar.
Respon dari Al-Qur'an, melalui *yundhira*, adalah penolakan resmi dari otoritas ilahi terhadap dogma yang telah mengakar tersebut. Ini adalah pertarungan antara kebenaran wahyu dan dogma yang dibangun di atas tradisi manusia.
Meskipun konteks awal Al-Kahfi ayat 4 adalah interaksi dengan Yahudi dan Nasrani di Semenanjung Arab, peringatan ini tidak pernah usang. Ia adalah prinsip abadi yang berlaku dalam setiap zaman.
Dalam konteks modern, klaim bahwa Allah mengambil anak dapat diinterpretasikan secara luas sebagai pengkultusan terhadap makhluk, menempatkan mereka pada posisi yang hampir ilahiah. Sekularisme ekstrem, yang menempatkan kehendak, ilmu, dan hukum manusia sebagai otoritas tertinggi, dapat dilihat sebagai bentuk Syirik halus, di mana manusia secara kolektif mengambil peran yang hanya milik Tuhan (dalam menetapkan hukum mutlak tanpa referensi pada wahyu).
Peringatan dalam Ayat 4 mengingatkan bahwa kedaulatan absolut, legislasi mutlak, dan kesempurnaan hakiki hanya milik Allah. Mengkultuskan para pemimpin, ideologi, atau bahkan kemampuan ilmiah manusia hingga ke taraf absolut adalah penyimpangan dari Tauhid yang diperingatkan oleh surah ini.
Ayat ini juga berfungsi sebagai pencegah terhadap *ghuluw* (berlebihan dalam agama), terutama dalam menghormati para Nabi dan orang saleh. Umat Islam diperintahkan untuk mencintai dan menghormati Nabi Muhammad SAW dan para Nabi lainnya, namun batas antara penghormatan dan pengkultusan harus dijaga ketat. Al-Kahfi ayat 4, dengan penolakan kerasnya terhadap klaim anak Tuhan, menetapkan preseden bahwa bahkan sosok suci seperti Isa Al-Masih, yang lahir dari mukjizat, harus tetap dilihat sebagai hamba Allah. Ini menjadi benteng bagi umat Islam agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan mengkultuskan Nabi Muhammad atau wali tertentu hingga batas ketuhanan.
Setiap kali seorang Muslim membaca Al-Kahfi ayat 4, ia tidak hanya mengingat sejarah teologis, tetapi ia memperbarui komitmen pribadinya untuk menjaga kemurnian pandangan dunianya, memastikan bahwa hanya Allah SWT yang menjadi fokus utama kekaguman, ketaatan, dan ketundukan.