Pelajaran tentang Pengetahuan, Kesabaran, dan Kasih Sayang Ilahi
Surat Al Kahfi, sebuah permata dalam Al-Qur’an, sering dibaca sebagai penawar fitnah akhir zaman. Di dalamnya tersemat kisah-kisah abadi yang mengajarkan prinsip-prinsip spiritual dan tauhid, termasuk kisah Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, dan yang paling relevan dengan pembahasan ini, perjalanan agung Nabi Musa AS bersama seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu khusus, yang secara umum dikenal sebagai Khidir.
Perjalanan mencari ilmu ini, sebagaimana yang diriwayatkan dengan detail dalam Al-Qur’an, bukanlah sekadar narasi petualangan, melainkan sebuah kurikulum ketuhanan yang mengajarkan bahwa pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan seorang Nabi sekalipun, hanyalah setetes air di lautan Ilmu Allah SWT. Nabi Musa, seorang rasul yang memiliki kedudukan tinggi dan menerima Taurat, dituntun untuk belajar dari dimensi pengetahuan yang melampaui logika dan syariat lahiriah, yaitu ilmu ladunni.
Di antara tiga peristiwa yang diuji dalam perjalanan tersebut—merusak perahu, membunuh anak muda, dan memperbaiki dinding—peristiwa terakhir, yang diabadikan dalam Al Kahfi Ayat 77, menawarkan lapisan hikmah yang luar biasa kompleks. Ayat ini menyoroti kontras antara kekikiran masyarakat dan kemurahan hati Khidir, serta menjelaskan bahwa di balik setiap tindakan yang tampak aneh, terdapat kebaikan universal yang direncanakan oleh Dzat Yang Maha Bijaksana.
فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, keduanya meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu." (QS. Al Kahfi: 77)
Ayat 77 ini merupakan klimaks dari ujian kesabaran Nabi Musa. Dalam dua peristiwa sebelumnya, Nabi Musa telah menunjukkan kesulitan besar dalam menahan diri untuk tidak mempertanyakan tindakan Khidir. Khidir telah memperingatkan Musa bahwa jika ia bertanya lagi, itulah saat perpisahan mereka. Maka, ketika mereka tiba di sebuah kota, kondisi yang mereka hadapi sangat kontras dengan kemuliaan ajaran Islam mengenai keramahan.
Frasa فَانْطَلَقَا (fanthalaqa - maka keduanya berjalan) menunjukkan kesinambungan perjalanan mereka setelah insiden pembunuhan anak. Mereka terus berjalan, mengembara, mungkin dalam kondisi yang sangat lelah dan lapar, mencari tempat istirahat dan bekal.
Mereka tiba di أَهْلَ قَرْيَةٍ (ahla qaryatin - penduduk suatu negeri/kota). Para mufasir berpendapat bahwa ini adalah indikasi tempat yang berpenghuni. Kemudian, tindakan mereka adalah اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا (istaṭ'amā ahlahā - keduanya meminta makanan/dijamu oleh penduduknya). Kata اسْتَطْعَمَا mengandung makna permintaan jamuan, yang merupakan hak musafir dalam tradisi banyak bangsa, terutama di Timur Tengah. Permintaan ini adalah sesuatu yang mendasar, menunjukkan kebutuhan mendesak mereka sebagai pengembara.
Namun, respons penduduk kota itu sangat mengejutkan dan melanggar etika sosial universal: فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا (fa'abaw an yuḍayyifūhumā - tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka). Mereka menolak mentah-mentah untuk memberikan keramahtamahan, bahkan sekadar makanan. Penolakan ini menunjukkan tingkat kekikiran, keegoisan, atau mungkin permusuhan yang mendalam dari penduduk kota tersebut. Mereka melihat dua musafir asing yang membutuhkan, tetapi memilih untuk menutup pintu dan hati.
Situasi ini menciptakan ketidakadilan yang terasa pedih. Musa, seorang Nabi agung, dan Khidir, hamba Allah yang saleh, ditolak jamuan dasar. Ini menjadi latar belakang penting untuk memahami tindakan Khidir berikutnya. Masyarakat yang menolak memberikan bantuan minimal kepada musafir yang kelaparan, kemudian justru menerima bantuan tak terduga dari musafir tersebut.
Banyak ulama tafsir, seperti Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menekankan aspek moral dari penolakan penduduk kota. Dalam Islam, menjamu tamu (terutama musafir) adalah bagian dari iman. Penolakan mereka bukan sekadar kekurangan sumber daya, melainkan kekurangan spiritual dan moral. Kondisi ini memperkuat persepsi Nabi Musa tentang ketidaklayakan mereka untuk menerima kebaikan.
Setelah penolakan yang menyakitkan, Nabi Musa dan Khidir tidak berdiam diri menuntut hak. Mereka melanjutkan perjalanan, dan di tengah kota yang tidak ramah itu, mereka menemukan sebuah kondisi yang memerlukan intervensi.
Ayat ini melanjutkan: فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ (Kemudian keduanya mendapatkan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu).
1. **جِدَارًا (Jidar):** Artinya dinding. Ini adalah dinding yang menjadi batas atau penyangga suatu bangunan. Dalam konteks ayat 82, kita tahu dinding ini menyembunyikan harta karun.
2. **يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ (Yurīdu an yanqaḍḍa):** Kalimat ini sangat puitis dan sering menjadi fokus analisis linguistik. Terjemahan harfiahnya adalah "yang ingin/berkeinginan untuk runtuh." Tentu saja, dinding tidak memiliki keinginan (iradah) dalam arti biologis atau psikologis. Penggunaan personifikasi ini (majaz aqli) dalam bahasa Arab adalah cara untuk menggambarkan bahwa dinding itu berada dalam kondisi kerusakan yang sangat parah dan segera akan jatuh, seolah-olah ia "memohon" untuk runtuh karena kelemahannya yang ekstrem.
3. **فَأَقَامَهُ (Fa'aqāmahu):** Maka Khidir menegakkannya/memperbaikinya. Tindakan Khidir adalah restorasi total. Ia menggunakan ilmunya, dan mungkin kekuatan khusus yang diberikan Allah, untuk memperbaiki struktur dinding tersebut, mengembalikannya ke kondisi kokoh, memastikan ia tidak jatuh.
Peristiwa ini menampilkan kontradiksi moral yang sangat tajam bagi Musa. Mereka lapar, ditolak jamuan, dan seharusnya secara etis mereka tidak berutang apa pun kepada penduduk kota tersebut. Logika Musa menyatakan bahwa jika mereka harus bekerja, ini adalah kesempatan sempurna untuk mendapatkan upah (sewa) agar mereka bisa membeli makanan dan melanjutkan perjalanan.
Dalam tafsir Al-Baghawi, dijelaskan bahwa Khidir tidak hanya sekadar menyentuh dinding, tetapi ia bekerja keras, mungkin membutuhkan waktu dan usaha yang signifikan, untuk memastikan dinding itu berdiri tegak kembali. Seluruh usaha ini dilakukan Khidir tanpa meminta imbalan apa pun, bertentangan dengan praktik umum di mana pekerjaan fisik pasti membutuhkan upah, terutama di tengah kemiskinan dan kelaparan yang mereka rasakan.
Melihat tindakan Khidir, yang bekerja gratis untuk masyarakat yang baru saja menolak hak dasar mereka sebagai musafir, Nabi Musa tidak dapat menahan diri lagi. Ini adalah titik pertanyaan terakhir yang telah diperingatkan oleh Khidir sebelumnya.
Ucapan Musa, قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu"), mencerminkan logika yang sangat rasional, etis, dan syar’i. Logika Musa didasarkan pada:
Bagi Musa, tindakan Khidir memperbaiki dinding secara sukarela, tanpa upah, untuk orang-orang yang tidak menunjukkan keramahtamahan sedikit pun, adalah puncak dari ketidakrasionalan yang telah ia saksikan. Musa tidak mempertanyakan niat Khidir, tetapi ia mempertanyakan kelayakan objek perbuatan itu (penduduk kota) untuk menerima kebaikan tanpa biaya.
Pertanyaan Musa ini, walaupun logis dan manusiawi, melanggar perjanjian yang telah dibuat. Ini adalah kali ketiga ia gagal menahan diri, menunjukkan betapa sulitnya bagi manusia, bahkan seorang Nabi, untuk menerima realitas yang berada di luar kerangka pengetahuan yang dimilikinya. Khidir, setelah mendengar pertanyaan ini, mengumumkan perpisahan mereka, yang kemudian mengarah pada pengungkapan hikmah universal.
Tingginya kadar detail dan kompleksitas tafsir yang muncul dari Ayat 77 ini mendorong kita untuk memahami bahwa interaksi sosial, ekonomi, dan spiritual pada saat itu adalah cerminan abadi dari tantangan iman dan logika. Kita melihat betapa mudahnya kita menghakimi suatu perbuatan hanya berdasarkan data yang terlihat, padahal realitas ilahi bekerja melalui dimensi yang tersembunyi.
SVG 1: Dinding yang Hampir Runtuh dan Intervensi Ilahi.
Setelah Musa bertanya, Khidir menjelaskan alasan di balik perbuatannya, yang terdapat pada Ayat 82. Ayat 77 dan 82 harus dipahami sebagai satu kesatuan narasi yang tak terpisahkan.
Khidir menjelaskan bahwa dinding yang diperbaiki itu adalah milik dua anak yatim piatu di kota tersebut, dan di bawah dinding itu tersimpan harta karun mereka. Ayah mereka adalah seorang yang saleh. Ini adalah inti dari semua tindakan Khidir:
1. **Melindungi Harta Anak Yatim:** Jika dinding itu roboh, harta karun (yang berupa emas, perak, atau dokumen penting) akan terungkap. Mengingat kekikiran dan moralitas yang rendah dari penduduk kota yang menolak memberi makan musafir, kemungkinan besar mereka akan merampas harta anak yatim tersebut. Khidir diperintahkan Allah untuk melindungi hak anak yatim hingga mereka dewasa dan mampu mengambil harta itu sendiri.
2. **Syafaat Kesalehan Ayah:** Khidir menegaskan bahwa pekerjaan itu dilakukan karena kesalehan sang ayah. Ini mengajarkan konsep syafaat amal saleh. Kesalehan seorang ayah (atau kakek) dapat meluas memberikan perlindungan dan manfaat kepada keturunannya. Allah menjaga keturunan orang-orang yang taat.
3. **Rahmat dari Tuhanmu:** Khidir menutup penjelasannya dengan menyatakan bahwa semua tindakan itu adalah رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ (rahmatan min Rabbika - sebagai rahmat dari Tuhanmu), bukan atas kehendaknya sendiri. Khidir hanyalah alat pelaksanaan kehendak Ilahi.
Peristiwa dinding ini memunculkan beberapa diskusi penting dalam fiqh (hukum Islam) dan etika sosial:
Untuk memahami sepenuhnya keberatan Musa, kita harus kembali pada sifat kota itu. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa kota itu adalah Antiokia (walaupun ini spekulatif). Intinya, kekikiran mereka sangat ekstrim. Di dunia kuno, menolak jamuan kepada musafir bukan hanya tidak sopan, tetapi hampir merupakan tindakan permusuhan, melanggar norma-norma kemanusiaan. Dalam situasi seperti itu, melakukan kerja bakti bagi masyarakat tersebut menjadi sangat kontroversial di mata Musa.
Musa melihat bahwa dengan memperbaiki dinding gratis, Khidir seolah memberi penghargaan pada kekikiran mereka. Khidir justru membalas kejahatan mereka dengan kebaikan, tetapi kebaikan ini ditujukan kepada anak yatim, bukan kepada komunitas yang kikir itu sendiri. Tindakan Khidir adalah pelajaran bahwa penilaian terhadap suatu perbuatan harus melampaui perasaan pribadi (amarah karena ditolak jamuan) dan berfokus pada tujuan akhir yang diperintahkan Allah.
Peristiwa Ayat 77 dan penjelasannya (Ayat 82) adalah manifestasi paling jelas dari perbedaan antara ilmu syariat (yang dibawa Musa) dan ilmu hakikat atau ilmu ladunni (ilmu dari sisi Kami) yang dimiliki Khidir.
Nabi Musa bertindak berdasarkan Ilmu Zahir. Dalam ilmu zahir:
Khidir bertindak berdasarkan Ilmu Batin (Ladunni). Dalam ilmu ladunni:
Ayat 77 mengajarkan Musa bahwa penilaian terhadap suatu perbuatan tidak boleh berhenti pada hasil atau proses yang terlihat (Musa melihat Khidir bekerja gratis dan lapar), tetapi harus berlanjut kepada tujuan akhir dan konsekuensi yang tersembunyi (melindungi harta anak yatim).
Seluruh kisah ini, termasuk insiden dinding, adalah metafora tentang takdir. Banyak hal di dunia yang tampak buruk, tidak adil, atau tidak masuk akal (seperti ditolak jamuan, atau dinding yang mau runtuh di tengah kota yang pelit). Kita cenderung merespons berdasarkan emosi dan logika terbatas kita (seperti keinginan Musa untuk meminta upah).
Khidir mengajarkan bahwa di balik kekacauan atau ketidaknyamanan yang tampak, ada tatanan Ilahi yang sempurna dan adil. Dinding yang diperbaiki secara gratis bukan untuk menghormati orang-orang kikir, tetapi untuk mewujudkan janji Allah kepada orang saleh dan anak yatim yang tak berdaya. Hal ini menuntut tingkat kesabaran yang melampaui batas wajar manusia.
Ayat 82 memberikan penekanan luar biasa pada frasa وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (Padahal ayah kedua anak yatim itu adalah orang yang saleh). Keutamaan ini adalah kunci untuk memahami mengapa Allah menggerakkan Khidir untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak logis secara sosial dan ekonomi di mata Musa.
Ayat ini menjadi dalil yang kuat bagi konsep bahwa amal saleh seseorang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga meluas hingga melindungi keturunannya setelah ia wafat. Harta karun itu bukan dilindungi karena kekayaan anak-anak yatim itu, tetapi karena kesalehan ayahnya.
Para ulama seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Ibnu Katsir mendiskusikan sejauh mana kesalehan ini memberikan perlindungan. Mereka menyimpulkan bahwa jika seseorang benar-benar menjaga hubungannya dengan Allah, maka Allah akan menjaga kepentingan keturunannya di dunia ini, baik melalui perlindungan fisik, penjagaan rezeki, maupun bimbingan spiritual.
Perbaikan dinding, yang merupakan pekerjaan fisik, menjadi perwujudan konkret dari janji perlindungan spiritual. Jika Khidir dan Musa tidak ada di sana, atau jika Khidir memilih untuk tidak bertindak karena alasan logistik yang diajukan Musa, maka kekayaan anak-anak yatim itu akan hilang, merugikan mereka secara material dan memperburuk keadaan mereka sebagai yatim piatu yang rentan.
Ayat 77 dan 82 menunjukkan bahwa Rahmat Allah bekerja secara non-linear. Khidir, seorang hamba yang memiliki koneksi langsung dengan Ilmu Ilahi, ditugaskan untuk menjalankan pekerjaan yang menguntungkan pihak yang tidak terlihat (anak yatim) dan dilakukan di lingkungan yang tidak mendukung (kota yang kikir). Ini adalah pelajaran bahwa Rahmat Allah seringkali datang melalui jalan yang tidak kita duga, di tempat yang paling tidak logis, dan melalui perantara yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya.
Khidir tidak hanya memperbaiki dinding; ia sedang membangun benteng spiritual yang akan melindungi masa depan keturunan orang saleh. Inilah puncak kebijaksanaan yang harus dipelajari Musa, yaitu memandang setiap kejadian dari perspektif Ilahi yang melampaui hukum sebab-akibat yang kasat mata.
Jika kita mempertimbangkan kembali kelaparan yang diderita Musa dan Khidir (yang merupakan konteks Ayat 77), kita menyadari bahwa mereka mengorbankan kenyamanan fisik pribadi mereka demi mewujudkan keadilan dan rahmat Ilahi bagi orang lain. Musa dan Khidir kelaparan dan kehausan di kota yang menolak memberi makan, namun Khidir tetap melakukan pekerjaan mulia itu. Ini adalah standar pengorbanan yang sangat tinggi dalam menjalankan tugas ketuhanan.
Narasi Ayat 77 membuka pintu diskusi filosofis tentang konsep keadilan dalam Islam. Apakah adil bagi Musa dan Khidir untuk bekerja tanpa upah bagi orang yang kikir? Keadilan Musa (keadilan sosial kontraktual) berkata tidak. Keadilan Khidir (keadilan Ilahi) berkata ya, karena keadilan tertinggi adalah melindungi hak yang lemah dan memenuhi janji kepada yang saleh.
Penduduk kota jelas telah gagal dalam kewajiban mereka (menjamu musafir). Khidir (atas perintah Allah) tidak menuntut haknya, melainkan menjalankan kewajiban yang lebih tinggi, yaitu menjaga amanah Allah (harta anak yatim). Ini mengajarkan prinsip prioritas spiritual di atas hak material.
Seorang mukmin diajarkan untuk melepaskan haknya demi memenuhi kewajiban yang lebih besar, terutama jika hal itu berkaitan dengan kepentingan akhirat atau perlindungan kaum yang lemah. Musa, sebagai seorang pemimpin umat, perlu memahami bahwa ada saat-saat di mana logika ekonomi harus tunduk pada kemurahan hati ilahiah.
Khidir dalam kisah ini berfungsi sebagai jembatan antara kehendak Allah dan implementasi di dunia. Tindakannya di Ayat 77 adalah bukti bahwa hukum Allah tidak hanya terbatas pada yang tertulis (syariat), tetapi juga mencakup tindakan langsung intervensi ilahi yang bertujuan untuk mengoreksi kezaliman dan memelihara keadilan batin.
Jika kita menilik kembali ketiga peristiwa (perahu, anak, dinding), semuanya melibatkan perlindungan terhadap pihak yang lemah atau rentan: orang miskin, orang tua yang beriman, dan anak yatim. Dalam insiden dinding, kerentanan anak yatim diperburuk oleh kekejaman sosial dari tetangga mereka sendiri (penduduk kota yang kikir).
Khidir harus bertindak cepat sebelum dinding itu runtuh. Momen krisis (dinding yang يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ) menuntut tindakan segera, bahkan jika tindakan itu bertentangan dengan semua logika sosial yang ada. Tidak ada waktu untuk bernegosiasi upah atau mencari makanan. Tindakan Khidir adalah respons darurat terhadap kehendak Allah.
Meskipun kisah Nabi Musa dan Khidir sering dianggap sebagai narasi luar biasa yang hanya terjadi pada Nabi dan wali Allah, esensi pelajarannya sangat relevan bagi kita yang hidup di era modern, termasuk pesan dari Al Kahfi Ayat 77.
Seringkali dalam hidup kita menghadapi "dinding yang runtuh" atau kejadian yang tampaknya tidak adil (seperti kerugian finansial, kegagalan proyek, atau penolakan). Secara logika Musa, kita akan menuntut penjelasan atau mencari kompensasi (upah). Namun, Ayat 77 mengajarkan bahwa banyak peristiwa yang kita anggap merugikan atau tidak adil mungkin sebenarnya sedang melindungi harta karun kita di masa depan, atau sedang mewujudkan rahmat bagi orang-orang yang kita sayangi.
Kita harus melatih diri untuk memiliki kesabaran (seperti yang dituntut Khidir dari Musa), yaitu kesabaran yang didasarkan pada keyakinan teguh bahwa Allah SWT Maha Adil dan Maha Mengetahui, dan bahwa hasil akhir dari setiap peristiwa—bahkan yang paling membingungkan sekalipun—pasti mengandung kebaikan yang dirancang-Nya.
Khidir mengabaikan kelaparan pribadinya dan kelaparan Nabi Musa untuk memenuhi kebutuhan anak yatim yang tidak ia kenal. Ini adalah pelajaran tentang pengorbanan altruistik. Ayat 77 menyerukan agar kita tidak membiarkan kekecewaan atau kerugian pribadi menghentikan kita dari melakukan kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat, terutama bagi yang lemah dan rentan.
Kisah ini menekankan bahwa investasi terbaik yang bisa dilakukan seseorang bukanlah dalam bentuk harta benda yang mudah runtuh atau hilang, melainkan dalam kesalehan (صَالِحًا). Kesalehan ayah itulah yang menjadi polis asuransi ilahiah bagi anak-anaknya. Ini memotivasi setiap individu untuk memikirkan dampak abadi dari amal saleh mereka terhadap generasi mendatang.
Kota yang menolak menjamu musafir adalah simbol dari masyarakat yang kikir, individualistis, dan tidak berperasaan. Al-Qur’an secara halus mengutuk sifat ini. Walaupun kebaikan Khidir tetap dilakukan di sana, kisah ini menjadi peringatan keras bahwa kekikiran sosial dapat menghalangi berkat dan rahmat, bahkan jika mereka secara tidak sengaja menerima manfaat dari rahmat tersebut.
Secara spiritual, peristiwa dinding adalah titik balik dalam pemahaman Musa. Ia menyaksikan bahwa aturan syariat (bekerja harus dibayar) kadang-kadang harus dikesampingkan demi memenuhi panggilan ilahi yang lebih tinggi (keadilan tersembunyi). Musa telah gagal dalam ujian kesabaran ini, tetapi kegagalannya menjadi sumber pengetahuan abadi bagi seluruh umat manusia.
Mempertimbangkan dimensi sosial yang melekat pada Ayat 77, kita diingatkan bahwa kemiskinan dan kerentanan anak yatim seringkali dieksploitasi oleh masyarakat yang tidak bermoral. Tindakan Khidir adalah koreksi ilahiah terhadap ketidakadilan sosial ini. Allah selalu memiliki mekanisme untuk melindungi yang lemah, bahkan jika mekanisme itu tampak aneh atau tidak beralasan di mata kita yang terbatas.
Al Kahfi Ayat 77, meskipun hanya satu ayat pendek dalam narasi yang lebih panjang, adalah inti dari pelajaran tentang keterbatasan akal dan kedalaman rahasia Ilahi. Ayat ini mencakup tema-tema universal seperti keadilan, amal saleh, kekikiran, dan hak anak yatim. Ia memaksa kita untuk merenungkan, seberapa sering kita menghakimi suatu kejadian atau perbuatan berdasarkan logika superfisial, padahal di baliknya terdapat perencanaan sempurna dari Allah SWT.
Pelajaran yang paling berharga dari dinding yang diperbaiki oleh Khidir tanpa upah adalah bahwa tindakan yang paling mulia sering kali dilakukan tanpa pamrih, melampaui perhitungan untung rugi manusia, dan diarahkan semata-mata untuk mewujudkan kehendak Tuhan. Nabi Musa akhirnya memahami bahwa Ilmu Ladunni yang dimiliki Khidir adalah lensa yang memungkinkan seseorang melihat tidak hanya apa yang terjadi hari ini, tetapi juga konsekuensi jangka panjang di masa depan. Ilmu tersebut adalah anugerah Rahmat yang mutlak dari sisi Allah SWT, yang senantiasa menjaga janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh.
Dengan merenungi kisah ini, umat Islam diajak untuk menumbuhkan kesabaran yang aktif—kesabaran untuk bertindak sesuai perintah Ilahi meskipun logika menolaknya—dan kesabaran pasif—kesabaran untuk menerima hasil yang tidak terduga, meyakini bahwa di balik setiap kesulitan, Allah sedang menanamkan kebaikan yang akan dipanen di masa yang akan datang, sebagaimana harta karun yang aman di bawah dinding yang telah diperbaiki.
Kesalehan ayah, dinding yang kokoh, anak yatim yang terlindungi, dan kerelaan bekerja tanpa upah di kota yang menolak jamuan—semua elemen Ayat 77 ini bersatu menjadi satu paket pelajaran tentang iman sejati yang melampaui batas pandangan mata.
***
Dinding (جِدَارًا) dalam konteks ini dapat dilihat sebagai metafora untuk sistem perlindungan dan batasan dalam kehidupan. Secara fisik, dinding melindungi harta karun. Secara spiritual, ia melambangkan benteng keimanan yang harus dijaga agar "harta karun" spiritual (iman, ketakwaan, amal saleh) tidak roboh dan dicuri oleh pengaruh negatif dunia luar (kekejaman masyarakat kikir). Dinding yang hampir runtuh menunjukkan betapa rentannya benteng ini jika tidak dijaga dan diperbaiki.
Khidir tidak hanya memperbaiki batu bata; ia memperbaiki iman. Tindakannya adalah intervensi spiritual yang material. Dalam tasawuf, kisah ini sering digunakan untuk menjelaskan perlunya seorang murid (Musa) untuk tunduk sepenuhnya kepada guru (Khidir) atau kepada takdir Ilahi, karena akal manusia tidak mampu menembus selubung hikmah. Keraguan Musa adalah representasi dari ego yang ingin memahami sebelum menerima, sementara tindakan Khidir adalah representasi dari kepasrahan total kepada perintah Tuhan.
Frasa يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ ("yang ingin runtuh") telah memicu diskusi panjang di kalangan ahli bahasa dan teolog. Sebagian teolog Mu’tazilah mungkin menafsirkan ini secara kiasan murni, sementara teolog Asy’ariyah cenderung menerima bahwa meskipun dinding tidak memiliki akal, kehendak (Iradah) di sini adalah kehendak Allah yang termanifestasi pada objek mati, menunjukkan bahwa Allah menciptakan kondisi pada dinding tersebut yang membuatnya *siap* untuk runtuh.
Namun, penafsiran yang paling diterima adalah bahwa ini adalah *majaz aqli* (metafora akal) yang menunjukkan bahwa dinding telah mencapai batas kemampuan fisiknya dan siap jatuh kapan saja. Penggunaan personifikasi ini memperkuat urgensi tindakan Khidir. Khidir harus bertindak secepatnya; setiap detik penundaan berarti risiko harta karun anak yatim itu terkuak dan dirampas oleh penduduk kota yang tidak bermoral.
Penting untuk menempatkan Ayat 77 dalam rangkaian tiga ujian:
Setiap insiden mengajarkan bahwa kerugian yang dialami Musa dan Khidir selalu diimbangi dengan kebaikan yang lebih besar bagi pihak ketiga yang rentan, yang pada akhirnya adalah manifestasi dari keadilan Allah yang absolut.
Dalam teori etika, Musa cenderung menggunakan logika utilitarian: tindakan harus menghasilkan manfaat terbesar bagi pelaku (mereka lapar, mereka harus mendapatkan upah). Khidir, bagaimanapun, beroperasi di luar kerangka ini. Tindakannya adalah deontologis, didorong oleh tugas ilahiah untuk melindungi janji Allah. Hasilnya, tindakan Khidir—yang secara lokal (di mata Musa) tampak merugikan mereka—secara kosmik menghasilkan kebaikan yang sempurna.
Ini adalah pengajaran fundamental: nilai dari perbuatan baik tidak diukur dari keuntungan yang diperoleh pelakunya, melainkan dari sejauh mana ia merealisasikan kehendak Tuhan dan menegakkan keadilan Ilahi, terutama bagi mereka yang tidak mampu membela diri.
Para mufasir menghabiskan banyak waktu mendiskusikan sifat dari قَرْيَةٍ (kota) ini. Sifat mereka yang menolak menjamu tamu adalah gambaran dari kegersangan moral. Mereka memiliki sumber daya (karena mereka memiliki dinding dan rumah), tetapi mereka tidak memiliki kemanusiaan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa tamu memiliki hak atas jamuan selama tiga hari. Penolakan total dari penduduk kota ini menunjukkan tingkat kebobrokan sosial yang sangat tinggi, yang secara ironis, harus diperbaiki oleh dua musafir yang mereka tolak bantuannya.
Kisah ini berfungsi sebagai cermin bagi setiap komunitas: Apakah kita adalah masyarakat yang menjamu musafir dan memuliakan anak yatim? Atau apakah kita adalah أَهْلَ قَرْيَةٍ yang kikir, yang hanya peduli pada keuntungan pribadi, dan yang kekejamannya bahkan membuat Allah harus turun tangan untuk melindungi mereka yang lemah di tengah-tengah mereka?
Jika Khidir menuruti usulan Musa untuk mengambil upah, konsekuensinya bisa jadi lebih rumit:
Peristiwa dinding (Ayat 77) adalah studi kasus tentang perencanaan Ilahi (Takdir). Khidir tidak hanya melihat apa yang harus dilakukan, tetapi ia melihat seluruh rangkaian peristiwa yang akan terjadi jika dinding itu runtuh saat itu juga. Visi ini, yang melampaui waktu dan ruang, adalah inti dari Ilmu Ladunni.
Beberapa ulama tafsir berpendapat bahwa harta karun yang tersembunyi itu mungkin bukan emas atau perak, melainkan papan-papan yang berisi hikmah atau catatan sejarah tentang kesalehan sang ayah, yang tujuannya adalah menjadi panduan moral bagi anak-anaknya ketika mereka dewasa. Jika ini benar, maka perbaikan dinding bukan hanya melindungi aset material, tetapi juga warisan spiritual, memastikan bahwa anak-anak yatim itu akan tumbuh dengan pemahaman tentang nilai-nilai yang diwariskan ayahnya yang saleh.
Interpretasi ini memberikan dimensi lain pada Ayat 77: Khidir bekerja gratis untuk menyelamatkan ajaran, nilai, dan tuntunan moral bagi dua anak yang membutuhkan bimbingan. Ini menunjukkan betapa berharganya upaya untuk menjaga dan memelihara warisan spiritual yang ditinggalkan oleh generasi yang saleh.
Intinya, Al Kahfi Ayat 77 adalah sebuah miniatur kosmos tentang bagaimana kekuatan kesalehan (amal ayah), kelemahan manusia (kekikiran kota), dan kemahatahuan Tuhan (perintah kepada Khidir) berinteraksi di dalam takdir. Bagi Nabi Musa, ini adalah pelajaran yang menyakitkan namun esensial, mengajarkannya bahwa hukum dan etika duniawi harus selalu didasarkan pada visi yang lebih besar tentang keadilan Ilahi yang tidak terbatas.
Kita, sebagai pembaca kisah ini, berulang kali diingatkan untuk menghentikan pertanyaan kita yang tergesa-gesa (seperti Musa) dan berusaha mencari hikmah yang lebih dalam (seperti penjelasan Khidir). Peristiwa dinding yang diperbaiki itu adalah monumen kebisuan yang mengajarkan kesabaran, kepercayaan, dan kepasrahan total kepada Allah SWT, bahkan ketika kita sedang lapar dan frustrasi di tengah kekejaman duniawi.