Pagar Besi Dzulqarnain: Analisis Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 94
Menyingkap Rahasia Perjalanan Agung Dzulqarnain
Surah Al-Kahfi, yang dikenal sebagai salah satu surah yang dianjurkan dibaca pada hari Jumat, menyimpan kisah-kisah luar biasa yang sarat akan pelajaran filosofis, eskatologis, dan kepemimpinan. Di antara kisah-kisah tersebut, narasi tentang Dzulqarnain—pemimpin bijaksana yang melakukan perjalanan ke Timur dan Barat—menawarkan perspektif mendalam mengenai kekuasaan, keadilan, dan pertolongan Ilahi. Inti dari kisah Dzulqarnain, yang sangat memengaruhi pemahaman umat, terangkum dalam pertemuannya dengan suatu kaum yang terancam oleh kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya’juj dan Ma’juj.
Ayat 94 Surah Al-Kahfi menjadi titik puncak dari solusi yang diberikan Dzulqarnain atas penderitaan kaum tersebut. Ayat ini bukan sekadar deskripsi teknis pembangunan sebuah pagar atau tembok, melainkan sebuah manifestasi konkret dari kebijaksanaan kepemimpinan yang menggabungkan kemampuan material dengan kerendahan hati spiritual. Untuk memahami kedalaman makna dari ayat ini, kita perlu menyelami konteks historis, interpretasi linguistik, dan implikasi eskatologis yang melekat pada pembangunan benteng pertahanan raksasa ini.
Pembahasan mendalam mengenai ‘Al Kahfi Ayat 94’ menuntut kita untuk menganalisis setiap elemen: permintaan tolong kaum yang teraniaya, penolakan Dzulqarnain terhadap upah materi, spesifikasi bahan baku (besi dan tembaga), metode konstruksi yang revolusioner pada masanya, hingga penegasan bahwa semua kekuatan tersebut berasal dari Rahmat Tuhan, bukan dari keahlian manusia semata. Analisis ini bertujuan untuk membongkar lapisan-lapisan pemahaman, dari tafsir klasik hingga spekulasi modern, mengenai benteng yang akan berdiri tegak hingga masa akhir zaman.
Mereka berkata: "Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka apakah kami akan memberikan bayaran kepadamu, agar kamu membuat dinding (pemisah) antara kami dan mereka?" (Al-Kahfi: 94)
I. Permintaan Kaum Tertindas: Definisi Kerusakan dan Persembahan Harta
A. Identitas Kaum yang Meminta Pertolongan
Ketika Dzulqarnain tiba di lokasi di antara dua gunung, ia menemukan suatu kaum yang bahasanya hampir tidak dapat ia pahami. Namun, melalui komunikasi yang mungkin bersifat isyarat atau penerjemahan, mereka menyampaikan keluh kesah utama mereka: Ya’juj dan Ma’juj (Gog dan Magog) adalah perusak di muka bumi. Kaum ini digambarkan sebagai kaum yang lemah, terpinggirkan, dan tidak memiliki kekuatan untuk membela diri dari serangan periodik Ya’juj dan Ma’juj yang datang dari celah pegunungan.
Kondisi geografis yang ekstrem—berada di antara dua gunung tinggi—menunjukkan bahwa mereka secara fisik terisolasi dan rentan terhadap ancaman yang datang dari jalur sempit yang menjadi pintu masuk para perusak tersebut. Keberadaan mereka di tempat terpencil ini memperkuat gambaran bahwa perlindungan yang mereka butuhkan adalah perlindungan fisik yang masif, bukan sekadar strategi militer konvensional. Mereka telah mencapai titik keputusasaan yang membuat mereka bersedia menyerahkan harta benda mereka demi kedamaian dan keamanan.
B. Pengertian Ya’juj dan Ma’juj sebagai ‘Mufsidūn fī al-Ardh’
Kaum tersebut mendefinisikan Ya’juj dan Ma’juj sebagai ‘mufsidūn fī al-ardh’, artinya mereka yang membuat kerusakan di muka bumi. Kerusakan ini tidak hanya bersifat penjarahan atau pembunuhan sesaat, tetapi kerusakan menyeluruh yang mengganggu tatanan kehidupan, pertanian, dan keamanan sosial. Para ahli tafsir menekankan bahwa sifat merusak Ya’juj dan Ma’juj adalah fitrah mereka, sebuah dorongan destruktif yang masif dan sulit dikendalikan.
Deskripsi ini menyiapkan panggung untuk memahami betapa dahsyatnya ancaman yang dihadapi kaum tersebut. Jika kerusakan yang ditimbulkan hanya bersifat kecil, mungkin benteng biasa sudah cukup. Namun, karena kerusakan yang ditimbulkan bersifat fundamental dan berulang, diperlukan solusi yang permanen, mutlak, dan tidak dapat ditembus oleh kekuatan manapun selain kehendak Ilahi.
Dalam konteks tafsir, Ya’juj dan Ma’juj sering dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan yang tidak beradab, brutal, dan datang dalam jumlah yang sangat besar, melambangkan kekacauan yang akan melanda dunia sebelum Hari Kiamat. Oleh karena itu, pembangunan tembok ini merupakan tindakan preventif yang secara eskatologis sangat signifikan.
C. Tawaran ‘Kharjan’ (Bayaran/Upah) dan Implikasi Kepemimpinan
Kaum tersebut menawarkan ‘kharjan’, yang berarti upah, biaya, atau pajak, sebagai imbalan atas pembangunan benteng. Tawaran ini menunjukkan pengakuan mereka terhadap kapasitas dan kekuasaan Dzulqarnain. Mereka percaya bahwa Dzulqarnain memiliki sumber daya, teknologi, dan kewenangan untuk melaksanakan proyek monumental tersebut, suatu hal yang melampaui kemampuan mereka sendiri.
Tawaran upah ini menjadi krusial karena ia menguji motivasi Dzulqarnain sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang didorong oleh kerakusan atau ambisi materi pasti akan menerima tawaran tersebut. Namun, respons Dzulqarnain, sebagaimana tercantum dalam ayat berikutnya (Ayat 95), menunjukkan kualitas kepemimpinan yang langka: kekuasaan yang ia miliki adalah amanah, dan pertolongannya murni didasarkan pada kewajiban Ilahi.
II. Respon Dzulqarnain dan Metode Konstruksi yang Revolusioner
Setelah mendengar permohonan tersebut, Dzulqarnain segera menolak tawaran harta benda, menyatakan bahwa kekuasaan dan rezeki yang Allah berikan kepadanya jauh lebih baik daripada harta duniawi mereka. Ini adalah manifestasi ketulusan dan pengabdian sejati kepada tugas kenabian atau kepemimpinan yang ia emban. Ia kemudian menawarkan bantuan dengan syarat kaum tersebut memberikan bantuan tenaga kerja dan bahan baku yang ia butuhkan.
A. Prinsip Kepemimpinan dan Keikhlasan
Penolakan Dzulqarnain terhadap ‘kharjan’ mengajarkan prinsip fundamental kepemimpinan: menggunakan kekuasaan untuk melayani, bukan untuk memperkaya diri. Ia berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik (daripada harta yang kamu tawarkan)." Ini menandaskan bahwa sumber dayanya berasal dari Allah, dan karena itu, tindakannya harus didasarkan pada keridhaan Allah, bukan imbalan manusia.
B. Syarat Teknis: Permintaan Besi dan Tembaga
Ayat selanjutnya (96) merinci instruksi Dzulqarnain:
“Berilah aku potongan-potongan besi.” (Ātūnī zumra al-hadīd)
Permintaan potongan besi (zumra) menunjukkan bahwa benteng tersebut dibangun dari blok-blok atau lempengan-lempengan besi yang ditumpuk. Bentuknya bukanlah batu bata, melainkan material logam yang memiliki ketahanan superior. Proses penumpukan ini dilakukan hingga ketinggian celah di antara kedua gunung tertutup sempurna.
Ayat 96 melanjutkan dengan instruksi teknis yang sangat spesifik, sebuah proses metalurgi yang canggih:
“Hingga setelah (potongan-potongan besi itu) sama rata dengan kedua lereng gunung itu, dia berkata: 'Tiuplah (api itu).' Hingga ketika besi itu telah menjadi merah menyala, dia berkata: 'Berilah aku tembaga (cair) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.'”
1. Proses Pemanasan dan Penumpukan
Langkah pertama melibatkan penumpukan potongan besi di celah sempit antara dua gunung. Setelah tumpukan besi mencapai ketinggian yang diinginkan (sejajar dengan puncak gunung di sekitarnya), Dzulqarnain memerintahkan agar api besar dinyalakan di sekitar tumpukan tersebut. Penggunaan kata “tiuplah” (berarti menggunakan alat tiup atau ubub/bellows) mengindikasikan bahwa suhu yang dibutuhkan sangat tinggi, jauh melampaui api biasa, untuk mencapai titik lebur parsial atau setidaknya titik di mana besi menjadi merah menyala (fase pemanasan intensif).
Pemanasan besi hingga merah menyala (sekitar 700–1000°C) adalah kunci. Meskipun suhu ini belum cukup untuk melebur besi secara total (besi melebur di atas 1500°C), suhu ini membuat besi menjadi sangat lunak dan siap untuk proses selanjutnya, yaitu pengecoran lapisan pelindung.
2. Pengecoran Tembaga Cair (Qithr)
Tahap paling inovatif adalah penggunaan ‘qithr’ (tembaga cair, atau bisa juga diterjemahkan sebagai campuran tembaga dan timah/pitch). Tembaga memiliki titik leleh yang jauh lebih rendah daripada besi (sekitar 1085°C). Setelah besi dipanaskan hingga membara, tembaga cair dituangkan ke atas celah-celah dan rongga-rongga di antara potongan besi yang ditumpuk.
Fungsi tembaga cair ini sangat penting:
- Pengikat (Bonding Agent): Tembaga cair mengisi semua celah mikroskopis dan makroskopis di antara blok-blok besi yang panas, bertindak sebagai semen logam yang sangat kuat. Ketika mendingin, tembaga ini mengeraskan seluruh struktur menjadi monolit tunggal yang padat.
- Pelindung Korosi: Lapisan tembaga yang melapisi besi memberikan perlindungan luar biasa terhadap korosi (karat) yang disebabkan oleh kelembaban atau air hujan. Ketahanan korosi ini sangat penting agar benteng dapat bertahan ribuan tahun.
- Penghalang Panjat: Permukaan yang dilapisi tembaga licin dan tidak memiliki pegangan, membuat mustahil bagi Ya’juj dan Ma’juj untuk memanjat benteng tersebut.
Teknik metalurgi ini, yang menggabungkan struktur dasar besi dengan pengikat tembaga cair, menunjukkan kemajuan teknologi yang luar biasa, mungkin merupakan teknologi terdepan pada zamannya. Benteng ini dirancang tidak hanya untuk menahan pukulan, tetapi juga untuk bertahan dari pengujian waktu dan cuaca.
III. Signifikansi Spiritual dan Kekuatan Rahmat Ilahi
Setelah benteng tersebut selesai, Dzulqarnain tidak mengambil pujian atas kecerdasannya atau kekuatan fisiknya. Sebaliknya, ia mengucapkan kalimat agung yang menjadi inti spiritual dari seluruh peristiwa:
“Hādhā raḥmatun min Rabbī (Ini adalah rahmat dari Tuhanku).” (Al-Kahfi: 98)
A. Konsep Kekuatan sebagai Rahmat
Pernyataan ini menunjukkan kesadaran diri dan kerendahan hati yang luar biasa. Dzulqarnain, meskipun memiliki kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kekuatan militer yang memungkinkan ia membangun benteng tersebut, mengakui bahwa semua itu hanyalah fasilitas, alat, atau ‘rahmat’ yang diberikan oleh Tuhannya. Pengakuan ini membedakannya dari Fir’aun atau penguasa zalim lainnya yang mengklaim kekuasaan mereka sebagai hasil dari kemampuan mereka sendiri.
Hikmahnya bagi umat adalah bahwa kekuasaan atau teknologi sejati tidak terletak pada materi itu sendiri, melainkan pada izin dan bantuan dari Sang Pencipta. Tanpa Rahmat Allah, besi dan tembaga hanyalah elemen mentah; Dzulqarnain tidak akan memiliki ilmu untuk memadukannya, atau kekuatan untuk memerintahkannya.
B. Kelemahan Manusia dan Ketahanan Abadi
Dalam ayat 97, Allah SWT menjelaskan akibat dari pembangunan benteng tersebut:
Maka mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya, dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya.
Benteng tersebut digambarkan memiliki dua karakteristik ketahanan mutlak:
- Tidak Dapat Didaki (Lā yastaṭī‘ūna lahū naqban): Ketinggian dan kelicinan permukaan tembaga mencegah mereka memanjat atau melewati bagian atasnya.
- Tidak Dapat Dilubangi (Lā yastaṭī‘ūna lahū naqban): Kepadatan material (campuran besi dan tembaga) membuat mustahil bagi Ya’juj dan Ma’juj untuk menghancurkannya menggunakan alat atau kekuatan fisik mereka.
Namun, Dzulqarnain menambahkan penegasan eskatologis dalam ayat 98:
“Maka apabila telah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh. Dan janji Tuhanku adalah benar.”
Ini menyiratkan bahwa kekuatan benteng tersebut, meskipun luar biasa, bukanlah kekuatan absolut atau abadi. Kekuatan sejati ada pada Janji Tuhan. Benteng ini akan berdiri tegak hingga waktu yang telah ditetapkan, yaitu menjelang Hari Kiamat. Penghancurannya akan menjadi tanda besar kiamat, bukan disebabkan oleh upaya Ya’juj dan Ma’juj, melainkan karena kehendak Ilahi yang menjadikan benteng itu ‘dakkā’ (rata dengan tanah/hancur luluh).
IV. Ya’juj dan Ma’juj: Perspektif Eskatologi Mendalam
Pemahaman mengenai ayat 94 tidak lengkap tanpa menyelami identitas dan peran Ya’juj dan Ma’juj dalam narasi akhir zaman. Mereka bukan sekadar perampok biasa, melainkan entitas yang memiliki peran kunci dalam ramalan-ramalan kiamat dalam Islam dan tradisi Abrahamik lainnya.
A. Identitas dan Asal-usul
Dalam tradisi Islam, Ya’juj dan Ma’juj umumnya dianggap keturunan Nabi Nuh, berasal dari garis keturunan Yafet (Yafits), yang merupakan salah satu anak Nuh. Mereka digambarkan sebagai umat yang sangat banyak jumlahnya, kuat secara fisik, tetapi tidak memiliki tatanan moral atau peradaban yang beradab—mereka cenderung barbar dan destruktif.
Para mufassir berbeda pendapat mengenai apakah mereka adalah manusia, ataukah makhluk supernatural. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mereka adalah manusia biasa, namun populasinya masif dan sifat agresinya ekstrem. Mereka terkurung di balik benteng Dzulqarnain, terus-menerus mencoba melubangi atau mendakinya, siang dan malam, selama ribuan tahun.
Kuantitas mereka ditekankan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa dari setiap seribu manusia yang dibangkitkan pada hari kiamat, sembilan ratus sembilan puluh sembilan di antaranya adalah Ya’juj dan Ma’juj. Angka ini secara simbolis menekankan dominasi jumlah mereka dan besarnya kekacauan yang akan mereka timbulkan ketika dilepaskan.
B. Peran Mereka di Akhir Zaman
Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj dari benteng adalah salah satu dari sepuluh tanda besar Hari Kiamat. Peristiwa ini akan terjadi setelah kedatangan Imam Mahdi dan Nabi Isa AS. Ketika benteng itu dihancurkan (seperti yang diisyaratkan oleh janji Tuhan), mereka akan menyerbu dunia, membawa kehancuran dan kekacauan yang tak tertandingi.
Keluarnya mereka digambarkan sebagai banjir besar manusia yang meminum semua air dan menghabiskan semua sumber daya di jalur yang mereka lalui. Mereka begitu banyak sehingga bumi tidak akan mampu menampung kerusakan yang mereka timbulkan. Nabi Isa AS dan orang-orang beriman akan berlindung di bukit Sinai hingga Allah menghancurkan Ya’juj dan Ma’juj dengan mengirimkan sejenis ulat yang menyerang leher mereka, membinasakan mereka dalam satu malam. Kematian mereka yang masif akan memenuhi bumi, yang kemudian dibersihkan oleh hujan lebat yang dikirimkan oleh Allah.
Dengan demikian, pembangunan benteng yang dijelaskan dalam ayat 94 adalah intervensi Ilahi yang menunda bencana eskatologis ini hingga waktu yang telah ditentukan, memberikan waktu bagi peradaban untuk berkembang di bawah perlindungan sementara.
V. Implikasi Geografis dan Spekulasi Lokasi Tembok Besi
Salah satu misteri abadi yang muncul dari analisis Al-Kahfi ayat 94 adalah lokasi geografis benteng besi Dzulqarnain. Meskipun Al-Qur’an dan hadis tidak memberikan koordinat pasti, para sejarawan dan ahli geografi muslim maupun Barat telah mengajukan berbagai teori berdasarkan deskripsi “antara dua gunung” dan arah perjalanan Dzulqarnain.
A. Kriteria Pencarian Lokasi
Lokasi yang dicari harus memenuhi beberapa kriteria yang tersirat dari Al-Qur’an:
- Harus berupa celah atau lorong sempit yang terletak di antara dua gunung tinggi.
- Harus terletak di utara, setelah perjalanan Dzulqarnain dari Barat ke Timur.
- Harus berada di dekat suatu kaum yang bahasanya sulit dipahami (kaum yang terisolasi).
- Harus terdapat bukti atau potensi keberadaan sumber daya besi dan tembaga dalam jumlah besar di sekitar lokasi tersebut.
B. Kandidat Lokasi Populer
1. Gerbang Kaspia (Derbent, Kaukasus)
Lokasi ini, yang terletak di antara Laut Kaspia dan Pegunungan Kaukasus, adalah kandidat yang paling sering disebut. Di daerah Derbent (Rusia modern), terdapat sisa-sisa tembok kuno yang masif, dikenal sebagai Tembok Kaukasus atau Gerbang Aleksander (sering dikaitkan dengan Dzulqarnain, yang diidentifikasi oleh beberapa sejarawan sebagai Aleksander Agung, meskipun banyak ulama menolaknya). Tembok ini dibangun untuk menahan invasi suku-suku nomaden dari utara, seperti Hun dan Alan.
Meskipun tembok Derbent terbuat dari batu dan bata, bukan besi murni, beberapa spekulasi menunjukkan bahwa kisah Al-Qur’an mungkin merujuk pada upaya pembangunan yang melibatkan teknik yang lebih canggih di lokasi yang lebih terpencil di pegunungan Kaukasus, atau bahwa interpretasi sejarah telah menggabungkan beberapa tembok pertahanan menjadi satu kisah tunggal.
2. Tembok Agung Tiongkok (The Great Wall of China)
Beberapa penafsiran awal juga mengaitkan benteng tersebut dengan Tembok Besar Cina. Namun, secara umum teori ini lemah karena Tembok Cina dibangun untuk menahan invasi suku utara (Mongol) dan terbuat dari batu dan tanah, bukan besi dan tembaga, serta tidak memenuhi deskripsi celah sempit antara dua gunung.
3. Celah Pegunungan di Asia Tengah
Beberapa sarjana muslim modern berfokus pada daerah-daerah di Asia Tengah, khususnya di sekitar Samarkand, Uzbekistan, yang merupakan persimpangan jalan bagi suku-suku nomaden. Di sana terdapat beberapa celah gunung yang secara geografis sesuai, seperti Celah Buzgala atau Tamerlane Gate.
C. Kesimpulan Geografis dalam Tafsir
Penting untuk dicatat bahwa para ulama tafsir sepakat bahwa lokasi fisik benteng tersebut tidak wajib diketahui untuk mengambil pelajaran dari ayat tersebut. Fokus utama Al-Qur’an adalah pada hikmah di balik kekuasaan Dzulqarnain, metode pembangunannya, dan peran eskatologis Ya’juj dan Ma’juj. Ketidakjelasan lokasi ini mungkin merupakan bagian dari ujian keimanan dan fokus pada pesan spiritual, bukan geografis.
Meskipun demikian, keberadaan benteng yang terbuat dari besi dan dilapisi tembaga cair (seperti yang diuraikan dalam ayat 94) menunjukkan bahwa ia pastilah sebuah mahakarya arsitektur yang melampaui kemampuan teknologi dunia kuno pada umumnya. Struktur ini harus tetap tersembunyi dan tidak dapat diakses, berfungsi sebagai pengingat akan batas kemampuan manusia dan otoritas penuh Janji Ilahi.
VI. Kedalaman Linguistik dan Makna Kata Kunci dalam Ayat 94
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus meneliti terminologi Arab yang digunakan dalam ayat 94 dan ayat-ayat terkait (95-98), yang masing-masing kata memiliki beban makna yang besar.
A. Analisis Kata Kunci: ‘Saddan’ vs ‘Radman’
Dalam ayat 94, kaum tersebut meminta Dzulqarnain untuk membuat ‘saddan’ (سَدًّا), yang berarti dinding atau penghalang. Namun, ketika Dzulqarnain menjelaskan proyek yang ia bangun, Al-Qur’an menggunakan kata yang lebih spesifik dan kuat, ‘radman’ (رَدْمًا) dalam ayat 96, merujuk pada dinding yang terbuat dari besi yang diperkuat dengan tembaga.
- Sadd: Umumnya berarti penghalang yang dibangun untuk menahan aliran (seperti air atau orang), bisa terbuat dari bahan apa pun (tanah, batu).
- Radm: Merupakan istilah yang jauh lebih intens. Kata ini menyiratkan struktur yang sangat padat, diisi penuh, dan dibangun dengan metode konstruksi yang sangat sulit dan kuat, biasanya terkait dengan penutupan celah yang permanen.
Perbedaan antara permintaan (sadd) dan hasil (radm) menunjukkan bahwa Dzulqarnain tidak hanya memenuhi permintaan minimum kaum tersebut, tetapi ia membangun sesuatu yang jauh lebih kokoh, melampaui harapan mereka, menggunakan ilmu dan hikmah yang diberikan Allah.
B. Eksplorasi Terminologi Metalurgi
Ayat 96 menggunakan tiga istilah metalurgi kunci:
1. Zumra (زُبَرَ الْحَدِيدِ - Potongan Besi)
‘Zumra’ adalah jamak dari ‘zubrah’, yang berarti potongan atau bongkahan besar. Ini mengonfirmasi bahwa konstruksi dimulai dengan menumpuk material padat, bukan hanya menyusun batu. Penggunaan besi sebagai material utama menunjukkan kebutuhan akan kekuatan tarik (tensile strength) dan daya tahan yang tidak dimiliki oleh batu.
2. Nār (نَارًا - Api)
Instruksi ‘tiuplah api itu’ (unfukhū) menunjukkan kebutuhan akan proses pembakaran terkontrol dan intensif, yang hanya dapat dicapai dengan teknologi tiup (bellows) untuk meningkatkan suhu. Ini adalah deskripsi akurat dari teknologi metalurgi purba yang digunakan untuk memurnikan atau melembutkan logam.
3. Qithr (قِطْرًا - Tembaga Cair)
‘Qithr’ secara harfiah berarti cairan panas yang meleleh, sering diinterpretasikan sebagai tembaga atau kuningan cair. Pengecoran logam pada masa itu adalah proses yang memerlukan pengetahuan mendalam mengenai titik lebur dan sifat-sifat material. Penggunaan tembaga di atas besi yang membara menciptakan paduan permukaan yang sangat kuat (lapisan komposit), yang tidak hanya mengikat tetapi juga memberikan ketahanan terhadap pelapukan.
Analisis linguistik ini menguatkan bahwa kisah Dzulqarnain bukan sekadar mitos, melainkan narasi yang mengandung deskripsi teknologi nyata dan canggih yang diterapkan untuk tujuan eskatologis dan pertahanan jangka panjang.
VII. Pelajaran Moral dan Politik dari Ayat 94
Di luar keajaiban tekniknya, kisah dalam Al-Kahfi ayat 94 dan ayat-ayat sekitarnya memberikan pelajaran yang tak lekang oleh waktu mengenai etika kekuasaan dan tanggung jawab sosial seorang pemimpin.
A. Kekuasaan adalah Layanan, Bukan Keuntungan
Penolakan Dzulqarnain terhadap imbalan materi adalah teladan abadi tentang altruisme kepemimpinan. Dalam dunia politik, seringkali kekuasaan digunakan sebagai sarana untuk akumulasi kekayaan. Dzulqarnain membalikkan model ini; ia melihat kekuasaan sebagai aset yang harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang tertindas. Keputusannya memastikan bahwa tindakannya murni karena Allah (Lillahi Ta'ala), menjaga kemurnian niat dalam proyek monumental tersebut.
B. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dan Kolaborasi
Meskipun Dzulqarnain menolak upah, ia meminta ‘bantuan tenaga’ (fa-a'inūnī bi-quwwatin). Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif melibatkan kolaborasi dan pemberdayaan masyarakat lokal. Dzulqarnain tidak melaksanakan proyek ini sendirian atau hanya dengan pasukannya. Ia mengharuskan kaum yang meminta pertolongan itu untuk berpartisipasi aktif dalam proyek pertahanan mereka sendiri.
Pemberdayaan ini penting secara psikologis dan sosial. Kaum tersebut tidak hanya menjadi penerima manfaat pasif, melainkan kontributor aktif, yang menanamkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab atas benteng yang dibangun. Ini adalah model pembangunan yang berkelanjutan, di mana bantuan eksternal (Dzulqarnain) memicu tindakan kolektif internal.
C. Penggunaan Teknologi untuk Pertahanan dan Keamanan
Dzulqarnain menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (dalam hal ini, metalurgi canggih) adalah anugerah Ilahi yang harus dimanfaatkan untuk melindungi kehidupan dan menciptakan kedamaian. Benteng besi tersebut adalah simbol bagaimana kekuatan material harus tunduk pada tujuan moral dan spiritual. Teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai keadilan dan stabilitas.
Pelajaran ini sangat relevan di era modern, di mana inovasi teknologi sering kali menjadi pedang bermata dua. Kisah Dzulqarnain menegaskan bahwa teknologi tertinggi harus digunakan untuk mencegah kerusakan (mufsidūn) dan melindungi yang lemah, sesuai dengan Rahmat Tuhan.
Keputusan Dzulqarnain untuk membangun benteng terkuat yang mungkin di dunia menegaskan bahwa upaya manusia harus maksimal, meskipun hasil akhirnya tetap berada dalam kendali Ilahi. Benteng itu kokoh, namun Dzulqarnain tetap mengingatkan, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, dan apabila datang Janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh." Ini adalah integrasi sempurna antara tawakkal (berserah diri) dan ikhtiar (usaha maksimal).
VIII. Analisis Filosofis tentang Keterbatasan Fisik dan Waktu
Kisah pembangunan benteng ini membawa kita pada perenungan filosofis yang mendalam mengenai batas-batas kekuatan fisik manusia dan hukum waktu (sunnatullah).
A. Kekuatan Relatif: Benteng Tembaga vs Kehendak Tuhan
Sebagaimana dicatat, benteng Dzulqarnain adalah monumen kekuatan manusia yang didukung oleh Rahmat Ilahi. Ia dirancang untuk tidak dapat didaki atau dilubangi oleh Ya’juj dan Ma’juj. Ini berarti, dalam kerangka waktu yang normal (hingga kiamat tiba), benteng tersebut secara fisik dianggap impervious atau tidak tertembus.
Namun, Dzulqarnain secara eksplisit membatasi kekuatannya sendiri dengan menyebutkan ‘Janji Tuhanku’ (wa idzā jā’a wa‘du Rabbī). Ini menunjukkan bahwa setiap entitas fisik, sekokoh apapun ia, tunduk pada hukum kefanaan. Besi dan tembaga, meskipun kuat, tidak abadi. Penghancuran benteng tersebut pada akhirnya akan menjadi tindakan metafisik, sebuah tanda kiamat yang melampaui kemampuan teknologi atau agresi fisik Ya’juj dan Ma’juj.
Pelajaran ini mengajarkan umat manusia bahwa tidak ada teknologi atau pertahanan yang dapat menjamin keamanan abadi. Keamanan sejati hanya dapat ditemukan dalam perlindungan Ilahi. Benteng itu adalah solusi praktis untuk masalah duniawi, namun Janji Tuhan adalah kenyataan tertinggi yang mengatasi semua solusi fisik.
B. Metafora Pembatasan Kerusakan
Benteng tersebut juga dapat dilihat sebagai metafora untuk upaya-upaya yang dilakukan umat manusia sepanjang sejarah untuk membatasi kerusakan (fasad) yang ditimbulkan oleh naluri dan agresi manusia. Setiap peradaban mencoba membangun ‘benteng’ moral, hukum, dan fisik untuk menjaga ketertiban dari kekacauan.
Ya’juj dan Ma’juj, dalam tafsir simbolis, mewakili kekuatan anarkis, nafsu tanpa batas, dan ketidakpedulian terhadap hukum. Benteng besi Dzulqarnain adalah simbol batas yang ditetapkan oleh kebenaran dan keadilan, menahan kekuatan destruktif agar tatanan dunia dapat bertahan. Meskipun batasan ini akan runtuh di akhir zaman, keberadaannya selama periode yang lama adalah bukti keutamaan pencegahan kerusakan dalam Islam.
Perenungan terhadap Surah Al-Kahfi ayat 94 membawa kita jauh melampaui sekadar kisah sejarah. Ia adalah pelajaran mengenai tauhid (keesaan Tuhan) yang dipraktikkan dalam kepemimpinan, sebuah model intervensi sosial yang adil, dan sebuah ramalan eskatologis yang memberikan perspektif tentang nasib akhir dunia. Kejeniusan pembangunan benteng besi dan tembaga hanyalah detail fisik dari sebuah kebenusan rohani dan politik yang jauh lebih besar.
IX. Penyempurnaan Tafsir: Perbandingan Klasik dan Modern
Seiring berjalannya waktu, para mufassir telah menawarkan berbagai lapisan interpretasi terhadap ayat 94, membandingkan pemahaman klasik yang lebih literal dengan pandangan modern yang mungkin mencari makna kontekstual atau simbolis.
A. Tafsir Klasik (Ibn Kathir, Al-Qurtubi, At-Tabari)
Para mufassir klasik cenderung mengambil narasi Al-Qur’an secara literal. Bagi mereka, Dzulqarnain adalah seorang raja yang saleh, dan benteng itu adalah struktur fisik raksasa yang terbuat dari besi dan tembaga, terletak di suatu tempat yang terpencil di bumi. Fokus mereka adalah:
- Keberadaan Fisik: Mereka meyakini benteng itu ada hingga kini dan berfungsi sebagai penjara bagi Ya’juj dan Ma’juj.
- Mukjizat Kepemimpinan: Mereka menyoroti Dzulqarnain sebagai teladan pemimpin yang memiliki ilmu (metaforis maupun teknis) yang luar biasa, diberikan langsung oleh Allah.
- Fakta Eskatologis: Kisah ini adalah bukti tak terbantahkan tentang tanda-tanda Kiamat yang akan datang.
Al-Qurtubi, misalnya, sangat merinci bahan dan prosesnya, menegaskan bahwa penggunaan tembaga cair di atas besi yang membara (seperti ‘pitch’) adalah kunci dari ketahanan abadi benteng tersebut terhadap pelubangan.
B. Tafsir Modern dan Simbolis
Di era modern, beberapa cendekiawan mencoba menafsirkan kisah ini lebih simbolis, atau mencari korelasi historis yang lebih rasionalis:
- Tafsir Simbolis Ya’juj dan Ma’juj: Ada pandangan bahwa Ya’juj dan Ma’juj melambangkan kekuatan-kekuatan destruktif dari peradaban (misalnya, ideologi agresif, militerisme, atau nafsu konsumsi tanpa batas) yang ditahan oleh batas-batas moral dan hukum (benteng Dzulqarnain).
- Rasionalisasi Historis: Beberapa mencoba menghubungkan kisah ini dengan pembangunan tembok pertahanan kuno di Persia atau Asia Tengah, mencoba mencari dasar historis yang dapat diverifikasi secara arkeologis, meskipun mereka harus berjuang menjelaskan perbedaan material (besi dan tembaga).
Namun, pandangan yang paling dominan dan amanah adalah pandangan yang menghargai elemen fisik (benteng itu nyata, besi dan tembaga itu nyata) sambil tetap mengambil pelajaran moral dan eskatologis dari narasi tersebut. Kekuatan utama ayat 94 terletak pada gabungan antara realitas material dan tujuan spiritual.
X. Kedalaman Analisis Terhadap Keterlibatan Material: Besi dan Tembaga
Penggunaan material spesifik—besi (hadīd) dan tembaga (qithr)—bukanlah pilihan acak. Dalam konteks Al-Qur’an, besi adalah material yang memiliki signifikansi teologis yang unik, seperti disebutkan dalam Surah Al-Hadid (Besi), di mana Allah berfirman bahwa besi diturunkan (anzalnā) dengan kekuatan hebat dan manfaat bagi manusia.
A. Signifikansi Besi (Al-Hadīd)
Besi adalah simbol kekuatan, kekerasan, dan potensi pertahanan maupun serangan. Dalam ayat 94, besi digunakan untuk pertahanan, menunjukkan bahwa kekuatan yang diturunkan oleh Allah harus digunakan untuk keadilan dan perlindungan kaum lemah. Besi adalah tulang punggung struktural benteng tersebut, menanggung beban dan benturan dari Ya’juj dan Ma’juj.
B. Peran Tembaga (Al-Qithr) sebagai Pelengkap
Tembaga, yang dituangkan dalam keadaan cair, berperan sebagai ‘kulit’ atau lapisan pelindung benteng. Tembaga memberikan:
- Kekuatan Ikatan: Mengunci potongan-potongan besi menjadi satu, mencegah pelemahan struktural akibat getaran atau upaya pelubangan.
- Ketahanan Kimia: Tembaga cenderung tidak berkarat seperti besi. Lapisan tembaga memastikan benteng tersebut mampu bertahan dari pelapukan selama ribuan tahun di lingkungan terbuka.
- Hambatan Permukaan: Permukaan tembaga yang licin, setelah mendingin, menjadi sangat sulit untuk dipegang atau dipanjat, mengatasi masalah ‘pendakian’ (yastaṭī‘ūna lahū ẓaharan).
Kombinasi antara besi (kekuatan inti) dan tembaga (ketahanan dan perlindungan permukaan) menunjukkan perancangan teknis yang sempurna, memastikan bahwa benteng ini akan bertahan hingga Janji Tuhan tiba.
C. Perbandingan dengan Teknik Konstruksi Lain
Jika Dzulqarnain hanya menggunakan batu, Ya’juj dan Ma’juj mungkin akan mampu memecah atau melubanginya, karena batu memiliki daya tarik yang rendah. Jika ia hanya menggunakan besi, benteng tersebut rentan terhadap karat dan akan membutuhkan pemeliharaan terus-menerus. Dengan memadukan besi yang dipanaskan dengan cairan tembaga, Dzulqarnain menciptakan material komposit purba yang memiliki ketahanan maksimal. Ilmu ini, yang ia yakini berasal dari Rahmat Tuhan, adalah keajaiban dari Al-Kahfi ayat 94.
Setiap detail material dan proses yang dijelaskan dalam ayat 94 dan 96 menegaskan bahwa Surah Al-Kahfi memberikan pelajaran yang sangat kaya, baik dalam konteks spiritual, kepemimpinan, maupun pemanfaatan ilmu pengetahuan yang benar.
XI. Kesimpulan: Warisan Abadi dari Al Kahfi Ayat 94
Analisis mendalam terhadap Al-Kahfi ayat 94 hingga ayat 98 mengungkapkan sebuah narasi yang padat, kaya akan makna, dan multi-dimensional. Kisah Dzulqarnain dan pembangunan benteng besi-tembaga adalah studi kasus sempurna mengenai bagaimana kekuasaan dan teknologi harus digerakkan oleh niat yang tulus dan pengakuan terhadap sumber daya Ilahi.
Ayat 94 berfungsi sebagai titik awal dari solusi terhadap kerusakan global yang diwakili oleh Ya’juj dan Ma’juj. Kaum yang teraniaya mengajukan sebuah masalah eksistensial, dan Dzulqarnain merespons dengan solusi yang melampaui waktu, menolak imbalan duniawi demi pertolongan tulus. Responsnya (penolakan ‘kharjan’) mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati beroperasi di luar kerangka transaksi materi.
Kisah ini merupakan pengingat bahwa meskipun manusia diberi kemampuan untuk membangun benteng yang nyaris sempurna (radman) dengan ilmu metalurgi canggih (besi dan tembaga), keabadian dan kekuatan absolut tetap milik Allah SWT. Benteng itu akan runtuh, tetapi bukan karena kekuatan Ya’juj dan Ma’juj, melainkan karena telah tiba ‘Janji Tuhanku’.
Warisan dari Al-Kahfi ayat 94 adalah integrasi antara usaha manusia yang maksimal (ikhtiar) dan penyerahan diri total kepada Kehendak Ilahi (tawakkal), sebuah pelajaran fundamental yang relevan bagi setiap individu dan setiap peradaban yang berusaha mencari kedamaian dan keadilan di muka bumi.
Setiap kali ayat ini dibaca, ia tidak hanya mengisahkan pembangunan fisik sebuah tembok, tetapi juga pembangunan spiritual dan moral yang harus tegak di dalam diri seorang pemimpin, memastikan bahwa setiap pencapaian, sekokoh apapun itu, hanyalah sebuah Rahmat dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, tembok besi Dzulqarnain berdiri sebagai simbol harapan yang ditunda, keamanan yang bersifat sementara, dan kepastian akan akhir zaman, semua terbungkus dalam keindahan dan ketepatan narasi Al-Qur’an.
Kekuatan narasi ini terletak pada janji bahwa meskipun kerusakan melanda dan ancaman Ya'juj dan Ma'juj bersifat abadi, selalu ada kekuatan yang lebih besar—kekuatan dari Rahmat Tuhan—yang dapat memberikan perlindungan yang luar biasa, bahkan jika perlindungan tersebut hanya bertahan hingga waktu yang telah ditetapkan. Pemahaman terhadap besi, tembaga, api, dan janji Ilahi, semuanya terangkum dalam interpretasi ayat-ayat ini, membentuk landasan pemikiran yang mendalam tentang eksistensi dan tujuan hidup.
Refleksi lebih lanjut menunjukkan bahwa Dzulqarnain tidak hanya membangun dinding untuk memisahkan, tetapi ia membangun simbol keadilan. Kaum yang teraniaya mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan, dan para perusak dihentikan. Ini menegaskan prinsip bahwa pemimpin yang dikaruniai kekuasaan harus menggunakannya untuk menyeimbangkan dunia, menahan kejahatan, dan memfasilitasi kemakmuran bagi yang tidak berdaya. Tanpa interpretasi ini, benteng itu hanyalah tumpukan logam; dengan interpretasi ini, ia menjadi salah satu pelajaran terbesar dalam sejarah kepemimpinan Islam.
Setiap detail teknis, dari proses peniupan api hingga penuangan qithr, harus dipahami sebagai wujud dari ilmu yang dikaruniakan. Ilmu ini memungkinkan Dzulqarnain melakukan hal yang mustahil bagi kaum lain, menekankan bahwa mencari dan memanfaatkan ilmu pengetahuan adalah bagian integral dari menjalankan kekhalifahan di bumi. Tembok ini adalah bukti nyata bahwa iman dan ilmu tidak dapat dipisahkan; keduanya bekerja sama untuk mencapai tujuan Ilahi.
Dan pada akhirnya, yang tersisa dari narasi ini bukanlah lokasi geografis, melainkan pelajaran abadi: kekuasaan adalah ujian, kerendahan hati adalah kunci, dan setiap kekuatan materi akan tunduk pada kehendak Waktu dan Pencipta-Nya. Al Kahfi ayat 94 adalah cetak biru untuk kepemimpinan yang saleh dan konstruksi yang berorientasi pada kebaikan jangka panjang, yang menanti penyelesaian di akhir zaman.
Pengulangan dan penegasan janji Tuhan bahwa benteng itu akan hancur pada waktunya mengingatkan manusia akan kesementaraan segala sesuatu. Kepastian kehancuran ini, yang diucapkan oleh Dzulqarnain sendiri, adalah puncak dari pelajaran tauhid. Kita berusaha keras membangun dan mempertahankan, tetapi kita selalu sadar bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi yang menentukan durasi dan nasib akhir dari semua yang kita bangun. Benteng tersebut adalah pengaman sementara yang diberikan melalui Rahmat Tuhan, sebuah jeda dalam sejarah yang memungkinkan manusia untuk menjalani kehidupan mereka dalam kedamaian hingga saat kiamat tiba. Dan inilah inti dari warisan abadi yang ditawarkan oleh Surah Al-Kahfi ayat 94 kepada setiap pembacanya.
Tafsir mengenai Ya’juj dan Ma’juj sebagai ‘mufsidūn’ (pembuat kerusakan) juga terus bergema, menanyakan kepada kita, benteng moral dan spiritual apa yang sedang kita bangun dalam diri kita dan masyarakat kita untuk menahan berbagai bentuk kerusakan modern. Meskipun kita tidak menghadapi penyerang fisik seperti yang dihadapi kaum di antara dua gunung, kita menghadapi kerusakan yang tak kalah dahsyatnya—korupsi, kehancuran lingkungan, dan ketidakadilan sosial. Dalam konteks modern, Dzulqarnain mengajarkan kita untuk menggunakan sumber daya terbaik kita (ilmu dan teknologi) dengan niat terbaik (keikhlasan) untuk melindungi yang lemah dan memastikan keadilan. Kejeniusan pembangunan benteng besi dan tembaga, dengan segala kerinciannya, adalah seruan untuk menggunakan anugerah Allah secara maksimal demi kemaslahatan umat manusia.
Oleh karena itu, ketika umat membaca Al-Kahfi ayat 94, mereka tidak hanya mengenang sebuah kisah lama, tetapi mereka diperintahkan untuk merenungkan makna kekuasaan dan tanggung jawab, menimbang setiap tindakan kepemimpinan dengan timbangan keikhlasan Dzulqarnain, yang menolak kekayaan dan hanya meminta bantuan tenaga, karena ia menganggap bahwa rezeki Tuhannya jauh lebih mulia. Inilah hakikat dari ayat 94, sebuah ajaran monumental yang melampaui batas-batas materialitas dan menembus inti spiritualitas.