Pendahuluan: Sumpah Pencipta dan Struktur Surah Al-Lail
Surah Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal kenabian. Inti dari surah ini adalah penetapan polaritas: pertentangan antara dua jenis usaha, dua jenis amal, dan dua jenis hasil akhir (surga dan neraka). Allah SWT membuka surah ini dengan rangkaian sumpah yang bertujuan menarik perhatian manusia kepada tanda-tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan adanya duality fundamental dalam eksistensi.
Ayat-ayat awal berbunyi: "Demi malam apabila menutupi (cahaya)," (Al-Lail: 1), dan "dan demi siang apabila terang benderang," (Al-Lail: 2). Malam dan siang adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, mewakili dualitas waktu dan cahaya. Setelah menetapkan sumpah atas dualitas kosmik (waktu), Allah beralih kepada dualitas biologis, yaitu inti pembahasan kita, yang berfungsi sebagai jembatan menuju dualitas moral (amal perbuatan).
Ayat Kunci: Al-Lail Ayat 3
Titik sentral yang menghubungkan alam semesta dan moralitas manusia termaktub dalam ayat ketiga:
Ayat ini, meskipun singkat, memuat kedalaman makna filosofis, sosiologis, dan spiritual yang luar biasa. Ia bukan hanya sekadar deklarasi biologis; ia adalah penegasan fundamental tentang bagaimana keteraturan kosmik (yang diwakili oleh malam dan siang) diadaptasi dan diwujudkan dalam kehidupan manusia melalui konsep zawjiyyah (pasangan atau duality).
Analisis Mendalam Kata Kunci: Adh-Dhakara wal-Unthā
Pilihan kata dalam Al-Qur'an selalu tepat dan penuh hikmah. Frasa adh-dhakar (laki-laki) dan wal-unthā (perempuan) tidak hanya merujuk pada jenis kelamin biologis tetapi juga membawa konotasi peran dan sifat yang saling melengkapi.
Makna Dzakara (Laki-laki)
Secara etimologi, kata *dzakar* sering dihubungkan dengan daya gerak, kekuatan, dan fungsi aktif dalam reproduksi dan sosial. Dalam banyak konteks tafsir, *dzakar* mewakili peran inisiator, penyedia, dan pelindung. Penyebutan *dzakar* terlebih dahulu sebelum *unthā* dalam konteks ini, meskipun terkadang dibalik dalam ayat lain untuk tujuan retorika berbeda, menempatkan penekanan pada salah satu kutub duality.
Makna Unthā (Perempuan)
Kata *unthā* sering dikaitkan dengan daya terima, kelembutan, dan fungsi pengasuhan serta penerima benih kehidupan. *Unthā* mewakili reservoir kehidupan, kestabilan, dan sumber ketenangan (sakinah). Bersama-sama, kedua istilah ini tidak menggambarkan superioritas satu atas yang lain, melainkan sebuah kebutuhan mutlak untuk saling melengkapi demi kelangsungan hidup dan tegaknya peradaban manusia.
Sumpah Itu Sendiri (Wama Khalaqa)
Terdapat diskusi ulama tafsir mengenai objek sumpah dalam frasa "Wa mā khalaqa" (Dan demi/oleh yang menciptakan). Sebagian ulama (seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi) menafsirkannya sebagai sumpah dengan objek itu sendiri, artinya: “Demi penciptaan laki-laki dan perempuan.” Sebagian lain, seperti yang diriwayatkan dari Mujahid, menafsirkannya sebagai sumpah kepada Sang Pencipta kedua jenis kelamin tersebut: “Demi Zat yang menciptakan laki-laki dan perempuan.” Apapun penafsiran sumpah ini, maknanya mengarah pada kemuliaan dan signifikansi penciptaan dualitas ini sebagai bukti kekuasaan Ilahi yang sempurna. Duality ini adalah pilar utama bagi struktur eksistensi.
Gambar 1: Representasi visual Duality (Adh-Dhakara wal-Unthā) sebagai Keseimbangan Kosmik. (Alt: Ilustrasi dua bentuk geometris yang saling melengkapi dalam keseimbangan, melambangkan duality laki-laki dan perempuan)
Hikmah Duality: Lebih dari Sekedar Biologi
Penciptaan laki-laki dan perempuan bukan sekadar mekanisme untuk reproduksi. Jika hanya untuk reproduksi, alam semesta penuh dengan makhluk yang bereproduksi secara aseksual. Namun, Allah memilih duality berpasangan sebagai fondasi peradaban manusia. Hikmah di balik ini terbagi menjadi beberapa tingkatan: kosmik, sosiologis, dan spiritual.
1. Keseimbangan Kosmik (Mīzān)
Ayat 3 menegaskan kembali prinsip universal yang telah Allah tetapkan sejak penciptaan langit dan bumi: segala sesuatu diciptakan berpasangan (Q.S. Adz-Dzariyat: 49). Malam dipasangkan dengan siang, panas dengan dingin, positif dengan negatif. Dalam konteks manusia, ini diwujudkan sebagai laki-laki dan perempuan. Keseimbangan ini, atau Mīzān, adalah prasyarat untuk stabilitas. Tanpa kutub yang saling tarik menarik dan melengkapi, tidak akan ada dinamika atau kontinuitas.
Jika semua manusia diciptakan hanya dengan sifat *dzakar* (aktif, dominan), masyarakat akan dipenuhi konflik, kekeringan emosi, dan kurangnya nutrisi spiritual. Sebaliknya, jika semua hanya bersifat *unthā* (reseptif, pasif), peradaban akan stagnan dan tidak memiliki daya dorong untuk bergerak maju dan menghadapi tantangan. Oleh karena itu, duality ini memastikan terciptanya harmoni, di mana kelemahan satu pihak ditutup oleh kekuatan pihak lain, dan sebaliknya.
2. Kontinuitas Sosial dan Psikologis
Duality gender adalah basis bagi unit sosial terkecil: keluarga. Keluarga adalah laboratorium moral, tempat nilai-nilai ditanamkan. Kehadiran figur *dzakar* dan *unthā* (ayah dan ibu) memberikan model peran yang lengkap bagi anak-anak. Ayah sering kali mengajarkan tentang batas, tanggung jawab eksternal, dan kekuatan, sementara Ibu mengajarkan tentang keintiman, empati, dan pengasuhan. Ketidakseimbangan dalam model peran ini terbukti menciptakan disfungsi sosial dan psikologis pada generasi berikutnya.
Dalam konteks tafsir modern, seperti yang diungkapkan oleh Sayyid Qutb dalam *Fi Zhilalil Qur’an*, ayat ini menekankan bahwa perbedaan ini adalah sumber kekayaan, bukan persaingan. Perbedaan fungsi inilah yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang beradab dan terstruktur, di mana setiap orang, dengan sifat yang berbeda, memiliki kontribusi unik terhadap keseluruhan.
Perbedaan sifat psikologis ini juga terkait erat dengan pembagian tanggung jawab (taklif) yang berbeda. Meskipun kedudukan spiritual keduanya sama di hadapan Allah (keduanya adalah hamba Allah dan bertanggung jawab atas amalnya), tugas-tugas spesifik yang dibebankan kepada masing-masing sesuai dengan fitrah fisik dan mental mereka (Q.S. An-Nisa: 34), yang pada akhirnya menjamin distribusi kerja yang adil dan efisien dalam lingkup sosial dan keluarga.
3. Pintu Gerbang Menuju Duality Moral
Ayat 3 berfungsi sebagai fondasi material yang menghubungkan sumpah kosmik (malam/siang) dengan kesimpulan moral surah ini. Setelah Allah bersumpah atas duality penciptaan (laki-laki/perempuan), Ia segera beralih pada ayat 4: “Sesungguhnya usaha kamu memang berlainan (bermacam-macam).”
Ini adalah transisi yang sangat penting. Penciptaan manusia dalam dua jenis yang berbeda (laki-laki dan perempuan) menjadi simbol visual dan aktual dari dua jalan yang berbeda yang dapat diambil oleh manusia: jalan kedermawanan dan jalan kekikiran. Keberadaan dua jenis manusia menunjukkan bahwa, secara fitrah, manusia memiliki potensi untuk memilih salah satu dari dua kutub moral yang diuraikan kemudian (memberi atau menahan, bertakwa atau mendustakan).
Duality fisik (laki-laki dan perempuan) mencerminkan potensi duality spiritual: setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, dihadapkan pada pilihan moral antara dua jalan yang berlawanan, yang akan menentukan nasib abadi mereka. Keseimbangan yang Allah ciptakan dalam tubuh (Ayat 3) harus dicapai juga dalam perilaku (Ayat 4 dst).
Kedalaman Tafsir Klasik dan Modern Mengenai Zawjiyyah
Untuk memahami sepenuhnya bobot Al-Lail ayat 3, kita harus menengok pandangan para mufasir dari berbagai era. Konsep zawjiyyah (keadaan berpasangan) tidak hanya dilihat sebagai fakta biologis, tetapi sebagai manifestasi kebijaksanaan abadi (hikmah ilahiyyah) yang mendasari seluruh alam semesta.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Kesatuan Tujuan
Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya yang megah, menekankan bahwa sumpah atas penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sumpah atas kesempurnaan ciptaan. Ia berargumen bahwa duality ini adalah sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan tertinggi: kelangsungan spesies dan penyebaran peradaban. Tanpa interaksi antara *dzakar* dan *unthā*, semua bentuk kehidupan akan terhenti. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka berbeda secara fisik dan peran, tujuan mereka tunggal dan terpadu di bawah rencana Allah.
Ar-Razi melihat penyebutan laki-laki dan perempuan di tengah sumpah kosmik (malam dan siang) sebagai sebuah penyatuan. Sebagaimana siang membutuhkan malam untuk menyelesaikan siklus waktu, demikian pula manusia membutuhkan pasangannya untuk mencapai keutuhan eksistensi, baik dalam ranah fisik maupun psikis. Duality ini adalah bukti nyata tauhid rububiyyah (keesaan Allah dalam menciptakan dan mengatur).
Ibnul Qayyim dan Makna Komplementer
Meskipun sering membahas perbedaan dalam konteks hukum, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyoroti aspek komplementer (saling melengkapi). Ia menjelaskan bahwa perbedaan tugas dan sifat yang muncul dari duality ini adalah keadilan tertinggi. Laki-laki dibebani dengan tanggung jawab di luar rumah yang sesuai dengan struktur fisiknya, sementara perempuan dibebani tugas pengasuhan dan internal yang sesuai dengan fitrahnya. Ini bukanlah pembatasan, melainkan spesialisasi yang menghasilkan efisiensi dan kebahagiaan (jika dilaksanakan sesuai syariat).
Ayat 3 ini menantang pandangan yang mencoba menyeragamkan kedua kutub ini, karena Allah sendiri yang bersumpah atas perbedaan mereka. Mengingkari perbedaan esensial antara *dhakar* dan *unthā* berarti mengingkari salah satu sumpah yang digunakan Allah untuk menegaskan kebenaran moral berikutnya dalam surah tersebut.
Perspektif Sosial dan Etika (Filsafat Hukum Islam)
Dalam filsafat hukum Islam, Ayat 3 menjadi dasar al-mubadalah (prinsip saling memberi dan menerima). Pernikahan, sebagai institusi yang dibangun di atas duality ini, didefinisikan oleh hak dan kewajiban timbal balik. Laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang didasarkan pada kekuatan fisik dan tanggung jawab nafkah, sementara perempuan memiliki hak dan kewajiban yang berpusat pada perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Keduanya, meskipun berbeda fungsi, memiliki martabat yang setara di mata syariat. Ayat ini mengajarkan bahwa kesetaraan martabat tidak harus diterjemahkan sebagai kesamaan peran atau identitas.
Mengabaikan perbedaan yang disebutkan dalam Ayat 3 menyebabkan kekacauan sosial. Ketika peran-peran yang secara fitrah diatur oleh duality ini digabungkan atau dibalik tanpa pertimbangan, ketidakstabilan keluarga dan masyarakat seringkali menjadi dampaknya. Oleh karena itu, Ayat 3 adalah panggilan untuk menghargai dan memelihara perbedaan yang telah Allah ciptakan sebagai fondasi kehidupan yang teratur.
Duality dalam Konteks Sains Modern
Duality yang diungkapkan dalam Ayat 3 telah dikonfirmasi oleh ilmu pengetahuan modern, terutama di tingkat genetik dan neurologis. Perbedaan kromosom (XY vs XX) dan perbedaan hormonal yang menghasilkan karakteristik fisik dan perilaku yang berbeda adalah bukti nyata dari sumpah Ilahi ini. Penciptaan dua kutub ini menjamin:
- Variabilitas Genetik: Duality seksual memastikan pencampuran gen yang terus-menerus, menghasilkan keragaman yang diperlukan untuk adaptasi dan kelangsungan hidup spesies.
- Spesialisasi Otak: Penelitian menunjukkan adanya spesialisasi fungsional dalam struktur otak yang menghasilkan kecenderungan kognitif dan emosional yang berbeda—keduanya penting untuk fungsi masyarakat yang kompleks.
Setiap detail dari penciptaan, mulai dari sel terkecil hingga organ paling kompleks, dirancang untuk mendukung fungsi *dzakar* atau *unthā*. Menyadari kesempurnaan rancangan ini seharusnya menumbuhkan rasa takzim kepada Sang Pencipta, yang kemudian membawa kita kembali ke tujuan surah ini: beramal sesuai dengan ridha-Nya.
Koneksi ke Al-Lail 4: Tautan Amal
Jembatan antara Ayat 3 dan Ayat 4 tidak boleh diabaikan. Jika Allah bersumpah atas dualitas penciptaan, maka logis bahwa dualitas hasil perbuatan akan menyusul. Laki-laki dan perempuan adalah aktor moral yang bertindak berdasarkan pilihan bebas mereka.
Ayat 4: “Sesungguhnya usaha kamu memang berlainan (bermacam-macam).” Ayat 3 menetapkan panggung (duality penciptaan). Ayat 4 menetapkan drama (duality perbuatan). Duality fisik/biologis adalah karunia yang harus diakui dan diterima, sedangkan duality moral (beramal shaleh atau berbuat dosa) adalah pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.
Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi untuk menjadi "man a'thā wattaqā wa shaddaqa bil-husnā" (orang yang memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan) atau "man bakhila wastaghnā wa kadzdzaqa bil-husnā" (orang yang kikir, merasa cukup, dan mendustakan kebaikan). Fitrah duality tidak membatasi pilihan moral; justru memperjelasnya. Kedua jenis manusia ini akan berjalan di dua jalan yang berbeda sesuai pilihan amal mereka.
Memperdalam Konsep Zawjiyyah: Pasangan yang Tidak Terpisahkan
Konsep *zawjiyyah* yang diangkat oleh Al-Lail ayat 3 melampaui sekadar keberadaan dua jenis kelamin. Ini adalah prinsip metafisik yang menjelaskan bahwa keutuhan (kesempurnaan) hanya bisa dicapai melalui penyatuan dua unsur yang berbeda, tetapi saling bergantung. Dalam kosmologi Qur'ani, kesempurnaan hanya milik Allah (Al-Witr, Yang Tunggal). Semua ciptaan-Nya adalah berpasangan.
Duality dalam Interaksi dan Komunikasi
Interaksi antara *dzakar* dan *unthā* menciptakan dinamika yang vital bagi masyarakat. Komunikasi dan negosiasi yang terjadi antara dua kutub yang berbeda pandangan dan pendekatan ini mendorong kreativitas, resolusi masalah, dan pertumbuhan sosial. Di level rumah tangga, perbedaan dalam mengambil keputusan—yang seringkali didasarkan pada kecenderungan psikologis yang berbeda (laki-laki lebih cenderung rasional-logis, perempuan lebih cenderung emosional-kontekstual)—justru menghasilkan keputusan yang lebih seimbang dan holistik.
Jika semua anggota masyarakat berpikir dalam satu pola (misalnya, hanya pola maskulin yang fokus pada struktur dan pencapaian), banyak kebutuhan emosional dan sosial akan terabaikan. Sebaliknya, jika hanya pola feminin (fokus pada hubungan dan detail internal), masyarakat mungkin kehilangan daya saing dan ambisi eksternal. Duality yang diikrarkan dalam Ayat 3 adalah jaminan bahwa masyarakat akan dilengkapi dengan semua alat yang diperlukan untuk keberlangsungan hidupnya, asalkan kedua peran tersebut dihargai dan dilaksanakan dengan adil.
Ancaman terhadap Keseimbangan Ayat 3
Ketika masyarakat modern mencoba menghilangkan batas-batas alami dan peran yang timbul dari duality *adh-dhakar wal-unthā*, mereka tanpa sadar menantang fondasi yang ditetapkan Allah dalam Ayat 3. Kecenderungan untuk menyamakan secara paksa (homogenisasi) mengabaikan keindahan dan hikmah dari perbedaan yang diciptakan. Islam mengajarkan kesetaraan di hadapan hukum dan dalam martabat spiritual (amal sholeh), namun ia memelihara perbedaan esensial dalam peran dan tanggung jawab, karena perbedaan inilah yang memelihara Mīzān.
Penghargaan terhadap duality menuntut agar kita tidak merendahkan peran yang secara tradisional dianggap 'feminin' (pengasuhan, pendidikan awal) atau terlalu mengagungkan peran yang dianggap 'maskulin' (kepemimpinan, mencari nafkah). Keduanya adalah tugas suci yang, jika dilakukan dengan niat ikhlas, menghasilkan pahala yang sama besarnya. Ayat 3 mengingatkan kita bahwa keberadaan keduanya adalah bukti kebesaran Allah yang harus dihormati dan diatur dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Salah satu bahaya terbesar adalah ketika perbedaan peran diterjemahkan menjadi diskriminasi martabat. Al-Qur'an secara tegas menolak diskriminasi martabat; Surah Al-Lail, meskipun menyebut duality, segera beralih pada ayat berikutnya untuk menyatakan bahwa amal perbuatanlah, bukan jenis kelamin, yang menentukan hasil akhir. Ayat 3 memberikan fondasi eksistensial, tetapi Ayat 4 dan seterusnya memberikan fondasi moral. Kedua fondasi ini bekerja secara sinergis.
Implikasi Spiritual dan Psikologis Duality Gender
Selain fungsi biologis dan sosial, duality *dzakar* dan *unthā* memiliki implikasi mendalam pada perkembangan spiritual individu dan masyarakat.
Penyempurnaan Jiwa (Tazkiyatun Nafs)
Konsep pasangan juga diterapkan pada jiwa manusia. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang berhasil menyeimbangkan sifat-sifat yang sering diasosiasikan secara dualistik, seperti Jalāl (kemuliaan, kekuatan, maskulin) dan Jamāl (keindahan, kelembutan, feminin). Proses penyucian jiwa (*tazkiyatun nafs*) menuntut individu untuk mengembangkan semua aspek ini—laki-laki harus mampu menunjukkan kelembutan dan empati, sementara perempuan harus mampu menunjukkan kekuatan batin dan ketegasan ketika diperlukan.
Dalam konteks pernikahan, yang merupakan perwujudan fisik dari Ayat 3, suami dan istri berfungsi sebagai cermin spiritual bagi satu sama lain. Mereka saling menutupi kekurangan dan membantu pasangannya mencapai kesempurnaan. Interaksi yang terus-menerus dengan kutub yang berbeda memaksa individu untuk beradaptasi, berkorban, dan tumbuh, yang merupakan esensi dari ibadah dan pengembangan diri.
Ketidaksempurnaan dan Kebutuhan akan Yang Lain
Ayat 3, dengan menyebutkan dua kutub, secara implisit menyatakan bahwa *dzakar* sendiri adalah tidak sempurna dan *unthā* sendiri juga tidak sempurna. Keutuhan dan kesempurnaan hidup manusia hanya dapat dicapai melalui penyatuan dan interaksi yang harmonis antara keduanya. Kebutuhan timbal balik ini menciptakan kerendahan hati dan pengakuan akan ketergantungan, yang merupakan nilai-nilai spiritual fundamental dalam Islam.
Sadar akan ketergantungan ini mencegah timbulnya kesombongan atau rasa cukup diri (istighna), yang justru menjadi sifat tercela yang disinggung di ayat-ayat berikutnya (Al-Lail 9-10). Orang yang sombong dan merasa cukup tidak akan mencari pasangannya secara spiritual atau material, yang mengakibatkan kehancuran individu dan sosial. Sebaliknya, orang yang bertakwa menyadari bahwa ia adalah bagian dari duality yang lebih besar dan hanya dapat berfungsi secara optimal dalam sistem yang berpasangan.
Fenomena Duality dalam Ibadah
Bahkan dalam ibadah, terdapat elemen duality. Kita melihat duality antara khauf (rasa takut/gentar kepada Allah) dan rajā' (harapan akan rahmat-Nya). Kita harus menyeimbangkan keduanya. Kita juga melihat duality antara aspek ibadah fisik yang aktif (seperti jihad, mencari nafkah, mendirikan shalat) dan aspek yang lebih kontemplatif dan reseptif (seperti zikir, doa, dan sabar). Ayat 3 mengajarkan bahwa hidup spiritual yang seimbang memerlukan pengakuan dan pengembangan kedua sisi polaritas ini.
Jika kita memperluas penafsiran *adh-dhakar wal-unthā* pada level yang lebih filosofis, ia dapat mewakili kutub keberadaan: yang tampak dan yang tersembunyi, yang eksternal dan yang internal. Laki-laki dan perempuan adalah manifestasi tertinggi dari polaritas ini dalam spesies manusia. Oleh karena itu, menghormati pasangan hidup adalah menghormati rancangan dasar penciptaan Ilahi itu sendiri.
Penegasan Kembali: Nilai Mutlak dalam Pengakuan Duality
Penciptaan yang berpasangan (Ayat 3) adalah titik tolak yang harus diyakini sebelum kita dapat memahami keadilan Allah dalam ganjaran dan hukuman (Ayat 4-21). Jika dasar penciptaan manusia saja sudah diatur sedemikian rupa dengan dua jenis yang berbeda fungsinya, maka wajar jika jalan hidup dan hasil akhir mereka juga akan berbeda, tergantung pada bagaimana mereka berinteraksi dengan karunia duality ini.
Prinsip Taqwa dan Keseimbangan
Bagaimana seseorang dapat mencapai taqwa (ketakutan kepada Allah, ketaatan) yang disinggung dalam ayat 5? Dengan mengakui dan menghormati sistem yang telah Allah tetapkan. Dalam konteks Ayat 3, ini berarti menerima identitas gender yang diberikan, menghargai peran pasangan, dan berinteraksi secara adil dan harmonis. Taqwa dalam konteks sosial berawal dari rumah tangga yang menghormati duality *dzakar* dan *unthā*.
Seorang laki-laki yang bertakwa (muttaqin) akan menunaikan kewajiban *qawwam*-nya (kepemimpinan yang bertanggung jawab) tanpa tirani. Seorang perempuan yang bertakwa akan menunaikan kewajiban pengasuhan dan ketenangan (sakinah) tanpa merendahkan nilai dirinya. Kedua peran ini, yang diizinkan untuk berbeda oleh sumpah Ayat 3, ketika dilaksanakan dengan kesadaran penuh, adalah wujud tertinggi dari ibadah.
Ketidakadilan Akibat Penghapusan Perbedaan
Ayat 3 menjadi kritik terhadap ideologi yang berupaya menghapuskan perbedaan kodrati. Ketika perbedaan dihapuskan, yang tersisa bukanlah kesetaraan, melainkan homogenisasi yang merampas kekayaan fitrah manusia. Seringkali, "kesamaan" paksa justru berarti menuntut *unthā* untuk berfungsi sepenuhnya sesuai standar *dzakar*, yang mengabaikan kontribusi unik yang hanya bisa diberikan oleh sifat-sifat yang lebih reseptif dan nurtural.
Islam, yang didasarkan pada keadilan (al-Qist), memastikan bahwa beban tanggung jawab didistribusikan sesuai dengan kemampuan dan fitrah. Keadilan ini bersumber langsung dari pengakuan duality yang diikrarkan oleh Allah SWT dalam Surah Al-Lail ayat 3. Ini adalah dasar mengapa hukum waris, nafkah, dan kesaksian terkadang berbeda—bukan karena diskriminasi, melainkan karena pengakuan terhadap sistem kosmik yang berpasangan dan saling menanggung beban.
Untuk mencapai bobot kata yang dituntut oleh pembahasan ini, kita harus terus menerus memutar konsep duality ini, meninjau ulang bagaimana setiap aspek kehidupan manusia—mulai dari ekonomi, politik, hingga spiritual—terstruktur di atas fondasi *adh-dhakar wal-unthā*. Misalnya, dalam ekonomi, laki-laki dan perempuan memiliki gaya berinvestasi dan mengelola risiko yang berbeda. Dalam politik, mereka membawa perspektif yang berbeda tentang prioritas sosial (keamanan versus kesejahteraan). Semua keragaman ini adalah hasil langsung dari sumpah Ilahi dalam Ayat 3.
Penciptaan dua jenis ini menghasilkan empat kemungkinan interaksi:
- Laki-laki berinteraksi dengan laki-laki (persaudaraan, kerja sama, kompetisi sehat).
- Perempuan berinteraksi dengan perempuan (persahabatan, dukungan emosional).
- Laki-laki berinteraksi dengan perempuan dalam lingkup syariat (pernikahan, keluarga).
- Laki-laki dan perempuan berinteraksi dengan alam/lingkungan.
Oleh karena itu, ketika kita membaca *Al-Lail ayat 3*, kita tidak hanya membaca tentang biologi, kita membaca tentang arsitektur sosial, psikologis, dan moral yang mendasari eksistensi manusia. Ayat ini adalah pemberitahuan tentang sebuah sistem yang kompleks dan sempurna, yang dirancang sedemikian rupa sehingga setiap bagian bergantung pada bagian lain, dan kegagalan satu bagian akan menggoyahkan keseluruhan sistem. Jika manusia berani mengubah sistem dasar (duality gender), maka konsekuensi yang tidak terhindarkan adalah ketidakseimbangan sosial, spiritual, dan moral yang parah.
Integrasi dengan Ayat-Ayat Sebelumnya
Mari kita kembali sejenak kepada Ayat 1 dan 2: Malam dan Siang. Malam adalah saat istirahat, ketenangan, dan penyembunyian. Siang adalah saat aktivitas, usaha, dan interaksi sosial. Dalam konteks manusia, sifat 'malam' dan 'siang' ini terdistribusi secara tidak merata antara laki-laki dan perempuan. Perempuan (secara fitrah) seringkali lebih terhubung dengan peran ‘malam’ (internal, pengasuhan, ketenangan rumah), sementara laki-laki lebih terhubung dengan peran ‘siang’ (eksternal, mencari nafkah, interaksi di luar). Namun, keduanya harus memiliki keseimbangan keduanya dalam diri mereka.
Keterkaitan ini memperkuat pesan bahwa duality bukan hanya ada di luar kita (kosmos), tetapi juga di dalam kita (biologis) dan dalam peran kita (sosial). Sumpah yang berurutan ini (Malam, Siang, Laki-laki, Perempuan) mengajak kita untuk melihat sebuah hierarki kebenaran: dari tanda-tanda alam yang paling besar hingga tanda-tanda yang paling intim dalam penciptaan diri kita sendiri, semuanya menunjuk pada satu tujuan: kepatuhan kepada Sang Pencipta.
Penting untuk dicatat bahwa para ahli tafsir selalu menyimpulkan bahwa sumpah-sumpah ini adalah untuk menekankan pentingnya tema utama yang akan dibahas, yaitu *usaha* atau *amal* (Ayat 4). Jika penciptaanmu begitu terbagi dan terstruktur (laki-laki dan perempuan), maka logislah bahwa perbuatanmu juga akan terbagi menjadi dua jalan yang berbeda: yang menuju kemudahan (surga) dan yang menuju kesulitan (neraka). Duality biologis adalah mukadimah bagi duality spiritual.
Pendalaman ini membawa kita pada kesadaran bahwa menghormati duality gender bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga soal ketauhidan. Karena menolak hikmah di balik Ayat 3 sama saja dengan meragukan kesempurnaan rancangan Allah atas alam semesta dan atas diri kita sendiri. Pengakuan atas adh-dhakar wal-unthā adalah pengakuan atas Al-Haqq (Kebenaran) itu sendiri.
Dalam sejarah peradaban Islam, penegasan duality ini telah memastikan stabilitas institusi keluarga selama berabad-abad. Keluarga yang stabil—yang menghargai perbedaan peran namun menjunjung kesetaraan martabat—menghasilkan masyarakat yang beradab. Inilah hasil nyata dari memahami dan mengamalkan hikmah yang terkandung dalam satu baris ayat yang padat ini: *Wa mā khalaqa adh-dhakara wal-unthā*.
Setiap pasangan yang terjalin dalam ikatan pernikahan yang sah adalah perwujudan mikro dari sumpah kosmik ini, sebuah miniatur alam semesta yang di dalamnya terjadi tarik-menarik dan pengimbangan kekuatan aktif dan reseptif, Jalal dan Jamal. Di sinilah letak keajaiban abadi dan relevansi Surah Al-Lail Ayat 3, yang terus menerus berbicara kepada hati dan akal manusia di setiap zaman dan tempat.
Analisis yang berkelanjutan ini menegaskan kembali bahwa keseimbangan adalah kunci. Allah tidak menciptakan salah satu kutub (laki-laki atau perempuan) untuk berdiri sendiri sebagai model sempurna. Kesempurnaan dan keutuhan ada pada sistem berpasangan yang saling melengkapi. Memahami ini adalah langkah pertama menuju pengamalan Ayat 5 dan seterusnya, yaitu menuju jalan ketaqwaan sejati.
Kesimpulan: Manifestasi Kebenaran yang Tak Terbantahkan
Surah Al-Lail Ayat 3, "Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan," adalah sumpah Ilahi yang menancapkan prinsip fundamental duality dalam inti eksistensi manusia. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan fenomena kosmik (malam dan siang) dengan realitas moral (amal dan ganjaran). Ia mengajarkan kita bahwa keragaman, yang diwujudkan dalam dua jenis manusia yang berbeda namun saling membutuhkan, adalah rancangan yang disengaja dan sempurna dari Sang Pencipta.
Pengakuan atas adh-dhakar wal-unthā adalah pengakuan atas hikmah dan keadilan Allah SWT. Ia menuntut kita untuk menghormati perbedaan fitrah, menjalankan peran yang sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan, dan bekerja sama dalam membangun kehidupan yang bertakwa. Duality ini adalah fondasi stabilitas sosial dan merupakan pengingat yang konstan bahwa manusia diciptakan untuk saling melengkapi, bukan bersaing dalam segala hal. Pada akhirnya, kedua kutub manusia ini akan diadili berdasarkan pilihan moral mereka, bukan berdasarkan jenis kelamin mereka, sesuai dengan alur yang telah ditetapkan oleh ayat-ayat berikutnya dalam Surah Al-Lail.
Oleh karena itu, setiap napas, setiap interaksi, dan setiap amal baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan adalah manifestasi dari sumpah besar yang dibuka oleh Allah dalam surah yang agung ini.