Surat Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah salah satu permata Al-Qur’an yang tergolong dalam kelompok surat Makkiyah, diturunkan di tengah perjuangan awal dakwah Rasulullah ﷺ di Mekah. Surat ini dikenal karena penegasannya yang luar biasa tentang dualitas kehidupan, sifat manusia, dan kepastian balasan dari setiap amal yang dilakukan. Pertanyaan mendasar yang sering muncul bagi mereka yang ingin mempelajari surat yang indah ini adalah, seberapa panjang Surat Al-Lail? Berapa ayatkah yang terkandung di dalamnya?
Surat Al-Lail, dalam urutan mushaf Al-Qur’an berada pada urutan ke-92, terdiri dari **21 ayat** yang pendek namun padat makna. Jumlah ayat ini disepakati oleh mayoritas ulama tafsir dan qiraat, menjadikannya salah satu surat Al-Mufassal (surat-surat pendek bagian akhir Al-Qur'an) yang sering dibaca dalam salat.
Meskipun hanya berjumlah 21 ayat, kandungan filosofis dan teologis Surat Al-Lail sangatlah kaya. Ia berfungsi sebagai jembatan antara Surat Asy-Syams (yang menekankan pembersihan jiwa) dan Surat Ad-Dhuha (yang membahas pertolongan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ), dengan fokus utama pada pemisahan yang jelas antara jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Surat Al-Lail diturunkan di Mekah, pada periode awal kenabian, di mana Rasulullah ﷺ menghadapi penolakan dan penganiayaan. Fokus surat-surat Makkiyah adalah penanaman aqidah (keimanan), tauhid (keesaan Allah), dan kepastian Hari Pembalasan. Surat ini secara spesifik menangani isu mendasar mengenai motivasi amal:
Sebagian besar ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir, menyebutkan bahwa beberapa ayat kunci dalam surat ini terkait dengan dua jenis manusia yang hidup pada masa itu, yang merefleksikan kontras antara kedermawanan luar biasa dan kekikiran yang ekstrem.
Salah satu riwayat menyebutkan bahwa ayat-ayat awal surat ini terkait dengan figur Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terkenal karena kedermawanannya, membebaskan budak-budak Muslim yang disiksa (seperti Bilal bin Rabah) semata-mata mengharapkan wajah Allah. Kontrasnya, ayat-ayat yang membahas kekikiran ditujukan kepada orang-orang Quraisy yang menimbun harta dan menolak kebenaran.
Untuk memahami kedalaman pesan Al-Lail, kita harus mengupas setiap ayat, dimulai dari sumpah kosmik yang kuat hingga ancaman api neraka yang menyala dan janji surga yang menenangkan. Pembahasan 21 ayat ini memerlukan analisis mendalam terhadap bahasa, konteks, dan implikasi spiritual.
Surat Al-Lail dibuka dengan tiga sumpah (qasam) yang agung, sebuah pola umum dalam surat-surat Makkiyah, yang tujuannya adalah menarik perhatian dan menggarisbawahi pentingnya pernyataan berikutnya.
Tafsir Ayat 1: Malam (al-lail) adalah simbol ketenangan, misteri, dan terutama, perlindungan bagi manusia dari kesibukan siang. Sumpah ini menekankan keagungan ciptaan Allah dalam kontras antara kegelapan yang menutupi segala sesuatu.
Tafsir Ayat 2: Siang (an-nahar) melambangkan aktivitas, pencarian rezeki, dan kejelasan. Kontras antara malam yang menutup dan siang yang membuka adalah dasar dari sistem alam semesta yang teratur, sekaligus fondasi bagi dualitas moral yang akan dibahas.
Tafsir Ayat 3: Sumpah ini mengacu pada dualitas fundamental dalam kehidupan biologis dan sosial. Semua makhluk hidup diciptakan berpasangan. Sumpah ini menegaskan bahwa seperti halnya malam dan siang, atau pria dan wanita, semua ciptaan tunduk pada hukum dualitas yang sempurna.
Tafsir Ayat 4: Inilah jawaban (jawab al-qasam) dari semua sumpah di atas. Karena alam semesta diatur oleh dualitas dan keseimbangan yang sempurna, maka usaha (sa'yakum) manusia juga terbagi dan berbeda-beda. Ada yang berusaha menuju kebaikan dan ada yang menuju keburukan. Ayat ini adalah titik sentral yang menghubungkan keteraturan kosmos dengan kebebasan memilih manusia.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia itu beraneka ragam, Allah SWT kemudian membagi manusia ke dalam dua kategori besar, menjelaskan ciri-ciri, dan janji balasan untuk masing-masing kelompok.
Tafsir Ayat 5: Ini adalah kelompok orang yang memiliki dua sifat utama: A'tha (memberi, dermawan) dan Ittaqā (bertakwa, menjauhi larangan Allah). Kedermawanan di sini bukan sekadar memberi, tetapi memberi dengan motivasi ketakwaan, membersihkan diri dari keterikatan duniawi.
Tafsir Ayat 6: Al-Husnā diartikan oleh mayoritas mufassir sebagai "kalimat tauhid" (Laa ilaaha illallah) atau janji terbaik dari Allah, yaitu Surga. Membenarkan Al-Husnā berarti memiliki keyakinan kokoh bahwa amal baik akan dibalas dengan balasan terbaik (Surga) dan bahwa Allah adalah satu.
Tafsir Ayat 7: Ini adalah janji utama. Al-Yusrā (kemudahan) adalah jalan menuju amal shaleh dan kebahagiaan. Allah menjamin bahwa bagi orang yang dermawan, bertakwa, dan beriman, Allah akan mempermudah jalannya menuju kebaikan, dan segala kesulitan di dunia akan terasa ringan, serta kemudahan menuju Surga di Akhirat.
Tafsir Ayat 8: Kelompok kedua dicirikan oleh Bakhila (kikir, menahan harta) dan Istaghnā (merasa cukup atau kaya, yang mengarah pada kesombongan). Kekikiran di sini bukan hanya menahan zakat atau sedekah, tetapi menahan diri dari kebaikan secara umum, karena merasa tidak membutuhkan pertolongan atau rahmat Allah.
Tafsir Ayat 9: Kebalikan dari kelompok pertama. Mereka mendustakan janji Allah (Surga) atau bahkan inti ajaran tauhid. Ketidakpercayaan ini yang mendasari kekikiran mereka; mengapa harus memberi jika tidak ada balasan pasti?
Tafsir Ayat 10: Balasan yang kontras. Al-'Usrā (kesukaran) adalah jalan menuju keburukan, kesulitan, dan siksa neraka. Allah tidak memaksa mereka, tetapi karena pilihan mereka sendiri (kekikiran dan pengingkaran), Allah membiarkan dan mempermudah mereka dalam melakukan dosa dan kesalahan, sehingga jalan menuju kebinasaan menjadi mudah bagi mereka.
Tafsir Ayat 11: Ayat ini menohok kesombongan orang kikir. Hartanya, yang selama ini dibanggakan dan ditahan, sama sekali tidak dapat menolongnya ketika ia binasa atau terperosok (taraddā) ke dalam jurang neraka. Semua kekayaan dunia menjadi tidak bernilai.
Ilustrasi Keseimbangan Amal dalam Surat Al-Lail.
Bagian terakhir dari surat ini mengalihkan fokus dari perilaku manusia ke kekuasaan mutlak Allah dalam memberi petunjuk dan menentukan akhirat. Ini adalah penegasan kembali tauhid dan Hari Akhir.
Tafsir Ayat 12: Allah menegaskan bahwa petunjuk (al-Hudā) adalah hak mutlak-Nya. Melalui Al-Qur’an dan para Nabi, Allah telah menjelaskan kedua jalan (kebaikan dan keburukan). Ayat ini menafikan dalih bahwa manusia tidak tahu mana jalan yang benar. Petunjuk sudah jelas.
Tafsir Ayat 13: Ayat ini menegaskan kekuasaan total Allah atas waktu dan ruang; dunia (al-Ūlā) dan akhirat (al-Ākhirah). Ini adalah ancaman halus bagi orang yang hanya fokus pada kekayaan duniawi (seperti yang disinggung di Ayat 11), mengingatkan bahwa kekuasaan sejati ada di tangan Tuhan semesta alam.
Tafsir Ayat 14: Sebuah peringatan keras. Neraka (Nāran Talaẓẓā) digambarkan sebagai api yang berkobar-kobar dan menjilat. Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang memilih jalan kesukaran (Al-'Usrā).
Tafsir Ayat 15: Hanya orang yang paling celaka (al-Asyqā) yang akan masuk Neraka. Siapakah al-Asyqā? Surat ini mendefinisikannya dalam ayat-ayat berikutnya: yaitu mereka yang mendustakan dan berpaling dari kebenaran.
Tafsir Ayat 16: Ayat ini menjelaskan ciri khas al-Asyqā (yang paling celaka): mereka yang menolak tauhid dan ajaran Nabi (każżaba) dan berpaling dari amal shaleh serta peringatan (tawallā).
Tafsir Ayat 17: Kontras dengan al-Asyqā. Orang yang paling bertakwa (al-Atqā) dijamin akan dijauhkan dari api tersebut. Ayat ini menunjuk pada kelompok pertama yang disebutkan di awal surat (memberi dan bertakwa).
Tafsir Ayat 18: Definisi konkrit dari al-Atqā. Mereka adalah yang membelanjakan hartanya (yūti mālahu) dengan tujuan membersihkan jiwa (yatazakkā). Ini menunjukkan bahwa ibadah harta memiliki dimensi spiritual yang dalam, bukan hanya kewajiban sosial, melainkan sarana pemurnian hati.
Tafsir Ayat 19: Ayat ini menonjolkan keikhlasan yang sempurna. Orang bertakwa memberi bukan karena ia berutang budi (ni‘matin tujzā) kepada penerima, melainkan murni karena Allah. Ini membedakan kedermawanan karena motif duniawi (politik, sosial, atau balas budi) dengan kedermawanan Ilahi (murni karena Allah).
Tafsir Ayat 20: Ini adalah inti dari Ikhlas. Satu-satunya motivasi adalah mencari keridaan Allah (ibtighā’a wajhi Rabbihil A‘lā). Jika amal dilakukan dengan keikhlasan ini, ia akan mencapai derajat takwa tertinggi.
Tafsir Ayat 21: Penutup yang indah dan penuh janji. Kata Lasaūfa memberikan penekanan yang kuat dan kepastian bahwa orang tersebut (al-Atqā) akan mendapatkan keridaan Allah (yarḍā). Keridaan Allah adalah balasan tertinggi, melebihi kenikmatan Surga sekalipun.
Meskipun jumlah ayat Surat Al-Lail hanya 21, kedalaman pesannya telah menjadi pijakan bagi banyak ajaran moral dan spiritual dalam Islam. Tema utamanya berkisar pada dua aspek fundamental.
Pesan sentral surat ini bukan hanya menyatakan bahwa ada dua jalan, tetapi bahwa jalan itu sendiri akan dimudahkan bagi mereka yang memilihnya. Ini adalah janji sekaligus peringatan yang mendalam:
1. Kemudahan Menuju Kebaikan (Yusrā): Ketika seseorang memulai hidupnya dengan kedermawanan, ketakwaan, dan pembenaran tauhid, Allah akan membuka pintu-pintu kebaikan baginya. Hati menjadi tenang, amal terasa ringan, dan kesulitan diatasi dengan sabar. Kemudahan ini bersifat psikologis, spiritual, dan terkadang fisik (pertolongan tak terduga).
2. Kemudahan Menuju Kesulitan ('Usrā): Sebaliknya, bagi orang yang kikir dan ingkar, Allah akan memudahkannya menuju kesulitan. Ini bukan berarti Allah memaksa, tetapi karena hatinya telah tertutup oleh kekikiran dan kesombongan, ia akan merasa bahwa dosa itu mudah, dan setiap langkah menuju kebaikan terasa berat dan sulit, seolah-olah hatinya terikat.
Ulama tafsir menekankan bahwa 'kemudahan' yang dijanjikan bagi orang bertakwa juga mencakup kemudahan dalam menghadapi sakaratul maut dan hisab (perhitungan amal) di hari kiamat.
Ayat 18 hingga 20 secara spesifik mendefinisikan standar tertinggi dalam beramal, yang melampaui sekadar melakukan kewajiban. Syarat utama menjadi al-Atqā (yang paling bertakwa) adalah:
Keikhlasan ini memastikan bahwa amal yang dilakukan, meskipun kecil, memiliki bobot yang jauh lebih besar di sisi Allah, karena motivasi di baliknya murni dari cinta dan ketakutan kepada-Nya.
Surat Al-Lail secara eksplisit menghubungkan Takwa (Ittaqā) dengan Kedermawanan (A'ṭā). Kedua sifat ini tidak dapat dipisahkan dalam mencapai derajat al-Atqā.
Pemahaman yang mendalam terhadap 21 ayat Surat Al-Lail memberikan petunjuk praktis bagi peningkatan spiritual seorang Muslim, terutama dalam mengelola harta dan niat.
Surat Al-Lail menempatkan harta (māl) sebagai alat ukur utama keimanan di periode Makkiyah. Bagi yang memilih jalan al-Yusrā, harta menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah (Ayat 18). Sebaliknya, bagi yang memilih al-'Usrā, harta menjadi tirai yang menutupi kebenaran dan akhirnya tidak berguna (Ayat 11).
Pelajaran penting di sini adalah bahwa kepemilikan harta bukanlah masalah; masalahnya adalah apa yang dilakukan seseorang dengan harta tersebut, dan apakah ia membiarkan harta mengendalikan niatnya.
Seluruh struktur surat ini menegaskan doktrin pilihan bebas (ikhtiyār). Allah bersumpah atas dualitas alam (malam/siang, pria/wanita) untuk menunjukkan bahwa manusia juga harus memilih salah satu dari dua jalan moral. Allah hanya mempermudah jalan yang dipilih oleh hamba-Nya. Jika hamba memilih ketakwaan, Allah mempermudah amal shaleh; jika hamba memilih kekikiran, Allah membiarkan ia tenggelam dalam kesukaran dosa. Ini menunjukkan keadilan sempurna Allah yang membalas setiap usaha (sa'yakum).
Surat ini memberikan peta jalan untuk mencapai derajat spiritual tertinggi (al-Atqā). Derajat ini hanya dapat diraih melalui kombinasi dari:
Siapapun yang memenuhi tiga syarat ini, terlepas dari latar belakang sosial atau kekayaan aslinya, dijamin akan dijauhkan dari api neraka yang menyala dan mendapatkan keridaan Allah yang abadi (Ayat 21).
Simbol Malam dan Siang (Al-Lail dan An-Nahar).
Untuk mencapai bobot spiritual yang luar biasa dalam 21 ayat ini, Surat Al-Lail menggunakan teknik linguistik (balaghah) yang sangat tinggi. Perhatikan bagaimana kontras dan paralelisme digunakan:
Seluruh surat dibangun di atas struktur kontras yang sempurna (Muqābalah), yang memperkuat argumen tentang dualitas balasan:
Penggunaan kontras ini memastikan pesan surat tersampaikan dengan sangat jelas: tidak ada area abu-abu; manusia harus memilih salah satu dari dua jalur yang telah ditetapkan.
Surat Al-Lail menggunakan rima akhir (fawāṣil) yang diakhiri dengan huruf alif maqṣūrah (bunyi "ā" panjang), seperti يَغْشٰى, تَجَلّٰى, الْاُنْثٰى, شَتّٰى, الْعُسْرٰى, تَلَظّٰى, dan الْاَعْلٰى. Irama yang konsisten dan lembut ini menciptakan kesan mendalam dan harmonis, meskipun pesannya sangat kuat tentang Hari Pembalasan. Irama ini sangat khas pada surat-surat pendek yang ditujukan untuk penanaman keyakinan di hati pendengar Mekah.
Penggunaan kata penegas (inna) di awal beberapa ayat, seperti Inna sa‘yakum lasyattā (Ayat 4), Inna 'alainā lalhudā (Ayat 12), dan Wa inna lanā lal ākhirata wal-ūlā (Ayat 13), menunjukkan kepastian yang tak terbantahkan. Hal ini menghilangkan keraguan sedikit pun mengenai janji balasan, karena kepastian tersebut diletakkan di bawah sumpah kosmik Allah SWT.
Meskipun penafsiran 21 ayat ini sudah sangat kaya, penting juga untuk mengetahui posisi surat ini dalam praktik ibadah dan keutamaannya.
Surat Al-Lail sering kali dibaca bersamaan dengan surat-surat pendek lainnya dalam salat wajib maupun sunnah, terutama oleh Rasulullah ﷺ dalam salat Isya. Kekuatan peringatan dan janji dalam surat ini mendorong kekhusyukan dan refleksi diri saat salat, mengingatkan seorang hamba tentang prioritasnya dalam mencari wajah Allah.
Membaca dan merenungkan Al-Lail secara teratur menjadi pengingat yang kuat terhadap godaan kekikiran, yang merupakan penyakit hati yang dapat merusak amal. Ayat-ayat ini menanamkan kesadaran bahwa harta adalah ujian, dan cara terbaik untuk membersihkan jiwa adalah dengan melepaskannya demi keridaan Sang Pencipta. Hal ini sangat relevan dalam kehidupan modern yang seringkali didominasi oleh materialisme.
Secara keseluruhan, Surat Al-Lail berjumlah 21 ayat yang berfungsi sebagai manifesto ilahi tentang konsekuensi dari pilihan moral manusia. Ia menjanjikan kemudahan abadi bagi mereka yang menyucikan diri melalui kedermawanan dan ketakwaan, sekaligus memperingatkan tentang kesulitan tak berujung bagi mereka yang memilih kekikiran dan kesombongan. Seluruh pesannya menegaskan bahwa balasan akhirat akan sepenuhnya sesuai dengan usaha (sa‘y) yang telah kita lakukan di dunia ini.