Kontras Kosmis dalam Surah Al-Lail
Surah Al-Lail, yang berarti ‘Malam’, adalah surah ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an. Termasuk dalam golongan surah Makkiyah, ia diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Surah ini terdiri dari 21 ayat dan menempati urutan yang sangat strategis dalam kelompok surah-surah pendek yang padat makna, sering disebut sebagai Al-Mufassal. Inti dari Surah Al-Lail adalah penegasan bahwa amal dan usaha manusia di dunia ini terbagi menjadi dua jalur yang jelas berbeda, dan setiap jalur memiliki hasil akhir yang mutlak berbeda pula.
Surah ini berfungsi sebagai peringatan keras sekaligus motivasi spiritual, menegaskan hukum kausalitas ilahi: barang siapa yang berderma dan bertakwa, Allah akan mudahkan jalannya menuju kemudahan (surga); dan barang siapa yang kikir dan mendustakan, Allah akan persulit jalannya menuju kesulitan (neraka).
Surah Al-Lail diturunkan berdekatan dengan Surah Ad-Dhuha dan Surah Al-Fajr, semuanya menggunakan sumpah kosmis sebagai pembuka. Penggunaan sumpah ini bukan sekadar gaya bahasa, melainkan penekanan akan keagungan ciptaan Allah yang mencakup waktu, energi, dan kontras. Kontras ini yang kemudian digunakan untuk membedakan perbuatan manusia.
Sebagian besar ulama tafsir merujuk pada dua kisah utama yang menjadi latar belakang turunnya surah ini, khususnya ayat 5 hingga 10, yang membedakan antara orang dermawan dan orang kikir. Kisah-kisah tersebut memberikan gambaran konkret mengenai dua tipe manusia yang dimaksudkan oleh surah ini:
Kontras yang ditawarkan oleh kisah-kisah ini menegaskan bahwa kekayaan bukanlah tolok ukur kebahagiaan sejati. Tolok ukur yang sesungguhnya adalah bagaimana kekayaan itu diolah dan digunakan untuk meraih ketakwaan.
Surah Al-Lail dibuka dengan tiga sumpah agung yang menggarisbawahi pentingnya dualitas dalam kehidupan dan penciptaan.
Allah bersumpah dengan malam (*al-lail*), khususnya pada saat ia mulai menyelimuti dan menutupi alam semesta, membawa ketenangan, kegelapan, dan misteri. Dalam tafsir, *yaghsha* (menutupi) menunjukkan penutup yang sempurna, yang menandakan berakhirnya aktivitas dunia dan dimulainya waktu kontemplasi dan ibadah khusus (seperti shalat malam).
Sumpah kedua adalah dengan siang (*an-nahar*), pada saat ia menampakkan diri (*tajalla*). Siang adalah waktu bagi kehidupan, mencari rezeki, dan aktivitas duniawi. Kontras antara malam dan siang ini bukan hanya fenomena alam, tetapi juga metafora bagi kondisi spiritual manusia: kebodohan dan kegelapan (malam) versus ilmu dan petunjuk (siang).
Sumpah ketiga merujuk pada dualitas dalam penciptaan makhluk hidup: laki-laki (*dzakar*) dan perempuan (*unsa*). Ini adalah hukum pasangan (*azwaj*) yang berlaku di seluruh alam semesta, menunjukkan keseimbangan sempurna dalam kekuasaan Ilahi. Sumpah ini membawa topik dari lingkup kosmis (waktu) ke lingkup manusia (penciptaan), mempersiapkan pendengar untuk menerima inti pesan yang akan datang.
Ini adalah jawaban dari sumpah-sumpah sebelumnya. Segala dualitas yang disaksikan (malam-siang, laki-laki-perempuan) menjadi bukti bahwa usaha (*sa’yakum*) yang dilakukan manusia di dunia ini terbagi menjadi berbagai jenis (*syatta*), yang pada akhirnya mengerucut menjadi dua jalan utama: jalan takwa dan jalan kesesatan.
Ayat keempat ini adalah pondasi teologis Surah Al-Lail. Ini menafikan pandangan bahwa semua jalan akan membawa ke Roma. Sebaliknya, Al-Qur'an menyatakan bahwa usaha manusia tidak sama, arahnya berbeda, tujuannya berbeda, dan karena itu, hasilnya pun pasti berbeda. Perbedaan ini bergantung pada motivasi dan amal perbuatan seseorang, yang diklasifikasikan dalam ayat-ayat berikutnya.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia berbeda-beda, surah ini mulai merinci secara spesifik dua kelompok manusia dan balasan yang sesuai untuk mereka.
Ciri pertama dari kelompok yang beruntung adalah *A’tha* (memberikan/berderma). Ini tidak hanya berarti mengeluarkan zakat wajib, tetapi juga kedermawanan sukarela (infak dan sedekah). Tindakan ini disandingkan dengan *Ittaqā* (bertakwa). Takwa adalah landasan spiritual; berderma adalah manifestasi nyata dari takwa tersebut. Harta adalah ujian terbesar, dan meluluskan ujian ini menunjukkan tingginya tingkat ketakwaan.
Kelompok ini juga *Saddaqa bil-husna* (membenarkan yang terbaik). *Al-Husna* secara umum ditafsirkan sebagai balasan terbaik dari Allah, yaitu Surga, atau kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah. Membenarkan Surga berarti yakin bahwa semua pengorbanan di dunia akan diganti dengan balasan yang jauh lebih mulia di Akhirat. Kepercayaan ini adalah pendorong utama kedermawanan mereka.
Balasannya adalah Allah akan memudahkan jalannya menuju *Al-Yusra* (kemudahan). Kemudahan di sini mencakup kemudahan dalam beramal saleh di dunia, kemudahan saat sakaratul maut, kemudahan perhitungan di Hari Kiamat, dan puncaknya, kemudahan memasuki Surga. Ini adalah janji bahwa amal saleh akan membuka jalan kebaikan lainnya, menciptakan siklus keberkahan.
Kelompok yang celaka ini memiliki tiga ciri kontras. Pertama, mereka *Bakhila* (kikir/pelit), menahan harta dari kewajiban dan sunnah. Kedua, mereka *Istaghna* (merasa cukup atau tidak butuh) terhadap pertolongan atau petunjuk Allah. Mereka sombong dengan kekayaan atau kekuatan mereka sendiri, merasa bahwa mereka tidak memerlukan pahala atau balasan dari Allah karena mereka sudah merasa kaya di dunia.
Kekikiran dan kesombongan ini berakar dari *Kadzdzaba bil-husna* (mendustakan yang terbaik/surga). Karena mereka tidak yakin akan adanya kehidupan setelah mati yang lebih baik, mereka fokus pada akumulasi harta di dunia, dan tidak melihat nilai investasi abadi melalui infak.
Balasan bagi kelompok ini adalah Allah akan memudahkan jalannya menuju *Al-Usra* (kesulitan). Kesulitan di sini berarti kesulitan dalam berbuat baik, hati yang keras, sulit menerima petunjuk, kesulitan dalam menghadapi sakaratul maut, dan akhirnya, jalan menuju Neraka. Ayat ini menekankan bahwa kesulitan itu adalah hasil dari pilihan mereka sendiri; Allah hanya memfasilitasi jalan yang telah mereka pilih.
Ayat penutup segmen ini memberikan penegasan tajam. Harta yang mereka kumpulkan dengan kekikiran dan kebanggaan tidak akan berguna sedikitpun ketika mereka binasa atau jatuh ke dalam jurang kehancuran di Akhirat. Kekayaan dunia adalah fana, dan hanya amal saleh yang kekal.
Perbandingan antara Ayat 5-7 dan 8-10 adalah contoh sempurna dari teknik *muwazanah* (paralelisme) dalam Al-Qur'an, yang membuat pesan menjadi sangat kuat dan mudah dipahami: *memberi* kontras dengan *kikir*, *takwa* kontras dengan *merasa cukup*, *membenarkan* kontras dengan *mendustakan*, dan *kemudahan* kontras dengan *kesulitan*.
Setelah memaparkan dua jalan, surah ini berlanjut dengan menjelaskan peran Allah sebagai Pemilik mutlak petunjuk dan balasan.
Ayat ini menunjukkan bahwa petunjuk (*Al-Huda*) sejati berasal dari Allah. Allah telah menjelaskan jalan yang benar dan jalan yang salah (seperti yang dilakukan surah ini). Meskipun Allah telah menunjukkan jalan, manusia tetap memiliki kehendak bebas untuk memilih, namun pemahaman dan sumber pengetahuan yang benar tetap berada di tangan Allah.
Allah menegaskan kepemilikan mutlak-Nya atas dunia (*Al-Ula*) dan Akhirat (*Al-Akhirah*). Implikasi dari ayat ini sangat besar: karena Allah memiliki segalanya, maka hanya kepada-Nya manusia harus meminta dan hanya aturan-Nya yang harus diikuti. Jika harta tidak dapat menyelamatkan manusia di Akhirat (Ayat 11), maka hanya keridaan Pemilik Akhiratlah yang dapat menyelamatkan.
Berdasarkan kepemilikan dan hak-Nya untuk memberi petunjuk, Allah memberikan peringatan keras, yaitu Neraka (*Nāran Talazzā* - api yang berkobar hebat). Peringatan ini ditujukan kepada semua orang, tetapi khususnya kepada kelompok kikir yang mendustakan.
Bagian terakhir surah merinci siapa saja yang akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka) dan siapa yang akan diselamatkan oleh kedermawanan dan ketakwaannya.
Neraka hanya dimasuki oleh *Al-Asyqā* (orang yang paling celaka/sengsara). Istilah ini menunjukkan tingkat kesesatan yang ekstrem. Mereka yang dimasukkan ke Neraka adalah mereka yang telah memilih jalan *Al-Usra* (kesulitan) secara sadar.
Ciri-ciri *Al-Asyqā* adalah: (1) *Kadzdzaba* (mendustakan) ajaran dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ, dan (2) *Tawallā* (berpaling) dari amal kebaikan yang diperintahkan. Mereka bukan hanya menolak dengan lisan, tetapi juga menolak dengan tindakan (kikir).
Kontras yang tajam: *Al-Asyqā* (paling celaka) masuk Neraka, sementara *Al-Atqā* (yang paling bertakwa) dijauhkan darinya. Tafsir klasik sepakat bahwa Al-Atqā merujuk kepada prototipe kebaikan, yaitu Abu Bakar As-Siddiq R.A., meskipun maknanya berlaku umum bagi setiap muslim yang mencapai derajat takwa tertinggi.
Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang memberikan harta (*Yū’tī Mālahu*) dengan tujuan utama *Yatazakkā* (membersihkan diri). Mereka berinfak bukan untuk riya (pamer), bukan karena paksaan, dan bukan untuk mendapatkan pujian, melainkan untuk menyucikan jiwa, mengikis sifat kikir, dan meningkatkan kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta. Ini adalah inti ajaran Surah Al-Lail: infak adalah alat pensucian diri.
Ayat ini menekankan aspek keikhlasan. Orang yang bertakwa itu berderma tanpa mengharapkan balasan jasa atau ucapan terima kasih dari orang yang dibantunya, bahkan tidak dalam rangka membalas kebaikan masa lalu. Amal ini murni dilakukan karena Allah semata, menjadikannya amal yang paling berat timbangannya di Akhirat.
Ini adalah kunci motivasi orang bertakwa: *Ibtighā’a Wajhi Rabbihil A’lā* (semata-mata mencari Wajah/keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi). Keikhlasan ini memisahkan amal saleh yang diterima dari amal yang ditolak.
Janji penutup surah adalah *Yarḍā* (ia akan puas). Kepuasan ini melampaui kebahagiaan duniawi. Itu adalah kepuasan abadi di Surga, di mana Allah meridai hamba-Nya dan hamba-Nya meridai Allah.
Surah Al-Lail adalah mahakarya retorika yang menggunakan konsep keseimbangan dan kontras (*muqabalah*) untuk menyampaikan pesan teologis yang mendalam. Analisis lebih jauh menunjukkan bagaimana setiap ayat dalam Surah Al-Lail diposisikan sebagai cermin dari ayat pasangannya.
Sumpah dengan Malam dan Siang (Ayat 1 & 2) mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah pergerakan konstan antara dua kutub. Malam bukan sekadar kegelapan fisik, tetapi juga ruang bagi perenungan, pengorbanan tersembunyi, dan ibadah sunnah yang jauh dari pandangan manusia. Siang adalah waktu bagi *jihad* (perjuangan) mencari rezeki dan memenuhi kewajiban. Orang yang bertakwa memanfaatkan kedua waktu ini secara seimbang, tidak larut dalam kesibukan siang hingga melupakan malam, dan tidak pula melarikan diri dari tanggung jawab duniawi.
Kedermawanan yang dipuji dalam surah ini memiliki dimensi yang kompleks. Ini bukan sekadar transfer uang, tetapi adalah proses pembebasan spiritual. Ayat 18, “Yang memberikan hartanya untuk membersihkan dirinya (*Yatazakkā*),” menunjukkan bahwa orang yang berderma sejatinya adalah penerima manfaat utama dari tindakannya sendiri. Dengan memberi, ia menyucikan jiwanya dari penyakit hati paling parah: *syuhh* (kekikiran akut).
Berbeda dengan kedermawanan yang didorong oleh riya' (pamer) atau mencari reputasi, infak yang dimaksud Al-Lail harus memenuhi dua syarat utama yang ditegaskan pada Ayat 19 dan 20: Tidak untuk membalas jasa, dan hanya untuk mencari Wajah Allah. Kriteria ini memastikan bahwa amal itu murni dan kekal.
Kontras utama dari ketakwaan adalah *Istaghna* (merasa cukup). Ini bukan berarti kaya raya, tetapi memiliki perasaan sombong bahwa seseorang tidak membutuhkan petunjuk Allah, tidak butuh rahmat-Nya, atau tidak perlu bersedekah karena merasa kekayaannya sudah mutlak miliknya. Dalam konteks Mekah, perasaan ini dimiliki oleh para elit Quraisy yang menolak Islam karena khawatir ajaran baru akan merusak status sosial dan ekonomi mereka.
Perasaan cukup ini melahirkan kekikiran, dan kekikiran melahirkan pendustaan terhadap Akhirat, menciptakan lingkaran setan yang secara otomatis "memudahkan" jalannya menuju kesulitan (*Al-Usra*).
Tafsir mengenai Ayat 7 (*Yusra*) dan Ayat 10 (*Usra*) sangat penting. Allah tidak memaksa siapapun menjadi sulit atau mudah. Ayat-ayat ini menggunakan kata *fasānuyassiruhu* (Maka Kami akan memudahkannya), yang berarti Allah akan menyediakan sarana, kesempatan, dan kecenderungan yang selaras dengan pilihan awal hamba tersebut. Jika hati cenderung pada kebaikan, Allah akan memudahkannya melihat dan melakukan kebaikan lagi. Jika hati cenderung pada kekikiran dan kesombongan, Allah akan membiarkannya terperosok lebih dalam, hingga jalan menuju keburukan terasa mudah baginya.
Ini adalah konsep sunnatullah yang menegaskan tanggung jawab penuh manusia atas pilihan spiritual dan moralnya. Kemudahan menuju Surga adalah hasil dari serangkaian keputusan sadar untuk memberi, bertakwa, dan membenarkan kebenaran.
Surah Al-Lail menawarkan peta jalan yang sangat relevan bagi umat Islam di setiap zaman, terutama dalam masyarakat yang sangat materialistis.
Pelajaran terpenting adalah menempatkan infak sebagai manifestasi takwa, bukan sekadar kewajiban sosial. Surah ini mengajarkan bahwa infak yang diterima Allah adalah infak yang dilakukan tanpa motif tersembunyi dan tanpa mengharapkan imbalan duniawi. Setiap muslim didorong untuk secara rutin mengalokasikan hartanya, sekecil apa pun, sebagai investasi Akhirat yang membersihkan jiwanya.
Kekikiran diibaratkan sebagai api penyucian yang membakar pahala. Surah Al-Lail secara eksplisit menjadikan kekikiran sebagai ciri utama *Al-Asyqā* (orang paling celaka). Kekikiran tidak hanya terbatas pada harta, tetapi juga kekikiran dalam ilmu, waktu, dan tenaga. Mengatasi kekikiran adalah sebuah jihad internal yang membuka pintu *Al-Yusra*.
Semua amal saleh berakar pada keyakinan yang kuat terhadap *Al-Husna* (balasan terbaik/Surga). Jika seseorang merasa harta dunia lebih penting daripada janji Allah di Akhirat, ia akan cenderung kikir. Sebaliknya, orang yang yakin bahwa Surga adalah tujuan tertinggi akan melihat dunia sebagai ladang amal yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Sumpah kosmis pada awal surah mengingatkan umat Islam untuk menghargai waktu. Malam adalah kesempatan untuk evaluasi diri (*muhasabah*), ibadah tersembunyi, dan doa, yang mengisi kembali energi spiritual. Siang adalah kesempatan untuk berbuat baik dan mencari rezeki secara halal. Keseimbangan antara kegiatan malam dan siang adalah cerminan dari keseimbangan antara urusan dunia dan Akhirat.
Surah Al-Lail menutup dengan janji yang menenangkan bagi hamba yang ikhlas: *walasawfa yarḍā* (dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan). Kepuasan ini adalah hasil akhir dari perjalanan takwa dan kedermawanan yang dilakukan hanya karena mencari Wajah Allah Yang Mahatinggi.
Secara keseluruhan, Surah Al-Lail adalah seruan abadi kepada manusia untuk memilih dengan bijak. Setiap detik kehidupan adalah investasi; setiap pengeluaran harta adalah keputusan yang menentukan jalur mana yang akan dimudahkan oleh Allah, apakah menuju kemudahan abadi atau kesulitan yang kekal. Pesannya jelas dan tak terbantahkan: sukses di dunia bukan diukur dari apa yang dikumpulkan, melainkan dari apa yang diberikan, dengan niat suci, demi meraih keridaan Tuhan Yang Maha Esa.
Keagungan surah ini terletak pada kemampuan menyampaikan hukum pembalasan universal dengan bahasa yang ringkas namun mendalam, menggunakan fenomena alam yang paling mendasar—malam dan siang—untuk menjelaskan dualitas takdir manusia.
Penting untuk direnungkan bahwa meskipun surah ini diturunkan di tengah masyarakat pagan Mekah yang materialistis, relevansinya tetap utuh bagi kita hari ini. Di mana pun harta dan status dijadikan standar kebahagiaan, pesan Al-Lail akan selalu menjadi penawar spiritual yang kuat, mengingatkan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa yang rela berkorban demi Sang Pencipta.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan Surah Al-Lail sebagai panduan untuk senantiasa mengevaluasi diri: apakah kita termasuk orang yang memberi dan bertakwa, atau orang yang kikir dan merasa cukup? Pilihan ada di tangan kita, dan Allah telah menjamin akan memudahkan jalan yang kita pilih.
Surah Al-Lail sering kali dipelajari bersama surah-surah Makkiyah lainnya dalam kelompok *Al-Mufassal* karena memiliki tema sentral yang saling melengkapi, yaitu penegasan tauhid, Hari Pembalasan, dan perbandingan antara orang saleh dan durhaka. Tiga surah yang paling relevan untuk dibandingkan adalah:
Surah Ash-Shams (Surah ke-91), yang turun tepat sebelum Al-Lail, juga dibuka dengan serangkaian sumpah kosmis yang mendalam (Matahari, Bulan, Siang, Malam, Langit, Bumi, dan Jiwa). Ash-Shams menyimpulkan bahwa kunci kesuksesan adalah membersihkan jiwa (*Qad aflaḥa man zakkāhā*), dan kunci kegagalan adalah mengotorinya (*wa qad khāba man dassāhā*).
Al-Lail memberikan petunjuk praktis tentang bagaimana pensucian jiwa itu dilakukan: yaitu melalui *infak* (memberi) yang ikhlas dan *takwa*. Jadi, jika Ash-Shams menetapkan tujuan (pensucian jiwa), Al-Lail menetapkan metode (kedermawanan ikhlas sebagai manifestasi takwa).
Surah Ad-Dhuha (Surah ke-93), yang turun setelah Al-Lail, berfokus pada penghiburan Nabi Muhammad ﷺ dan penegasan bahwa kehidupan akhirat lebih baik daripada dunia. Surah ini berakhir dengan perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, serta mengumumkan nikmat Allah (*Fa ammā al-yatīma falā taqhar, wa ammā as-sā’ila falā tanhar, wa ammā bi ni'mati Rabbika fa ḥaddith*).
Surah Al-Lail memberikan landasan spiritual mengapa perintah Ad-Dhuha itu penting. Memberi kepada fakir miskin (yang diperintahkan di Ad-Dhuha) adalah tindakan yang menentukan jalur kemudahan (*Al-Yusra*) yang dijelaskan di Al-Lail.
Surah Al-Fajr (Surah ke-89) mengecam keras mereka yang mencintai harta secara berlebihan dan tidak memuliakan anak yatim atau mendorong pemberian makanan kepada orang miskin. Al-Fajr menyatakan, "Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur adukkan (yang halal dan haram), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan."
Ini adalah kecaman terhadap sifat kikir yang dijelaskan di Al-Lail (Ayat 8: *Bakhila wa istaghna*). Al-Lail memberikan solusi, sementara Al-Fajr memberikan diagnosis penyakit sosial dan spiritual.
Kata *Al-Lail* (Malam) sendiri mengandung makna yang sangat dalam dalam terminologi spiritual Islam, melampaui sekadar rentang waktu gelap. Malam adalah waktu di mana tirai duniawi diangkat, dan fokus manusia diarahkan kepada Allah.
Dalam banyak ayat Al-Qur'an, malam dikaitkan dengan ibadah rahasia (*tahajjud*), permohonan ampun (*istighfar*), dan kontemplasi. Ini adalah waktu pengorbanan ekstra bagi orang yang bertakwa. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa amal di waktu sunyi, jauh dari pandangan manusia, memiliki nilai yang lebih tinggi dalam timbangan Allah karena menegaskan keikhlasan sejati (Ayat 20, *Ibtighā’a Wajhi Rabbihil A’lā*).
Konteks Surah Al-Lail, yang dibuka dengan sumpah malam, menyiratkan bahwa amal baik yang dilakukan oleh *Al-Atqā* seringkali adalah amal yang tersembunyi, yang tidak diketahui orang lain, seperti tindakan Abu Bakar membebaskan budak tanpa mengharapkan balasan. Kualitas amal, bukan kuantitasnya di mata publik, yang menentukan jalur kemudahan.
Tujuan dari kedermawanan adalah *tazkiyatun nafs* (Ayat 18). Ini adalah konsep sentral dalam Islam. Harta sering kali menjadi penghalang terbesar antara manusia dan ketakwaan. Mengeluarkan harta, apalagi tanpa imbalan yang harus dibalas (Ayat 19), adalah tindakan penyucian yang memotong akar-akar keterikatan duniawi dan membersihkan jiwa dari karat keserakahan. Ini adalah investasi yang hasilnya tidak fana, tetapi menghasilkan kebahagiaan abadi (*walasawfa yarḍā*, Ayat 21).
Kesulitan (*Al-Usra*) yang dijanjikan bagi orang kikir (Ayat 10) tidak hanya terbatas pada siksaan di Neraka. Dalam kehidupan dunia, kesulitan ini bermanifestasi sebagai kesulitan finansial meskipun kaya, hati yang keras, kurangnya ketenangan, kekhawatiran yang berlebihan terhadap hilangnya harta, dan ketidakmampuan untuk menikmati nikmat Allah secara spiritual. Orang yang kikir hidup dalam penjara harta yang ia kumpulkan, dan kesulitan ini akan berlanjut ke Akhirat.
Sebaliknya, *Al-Yusra* (Kemudahan) bagi orang bertakwa bukan berarti terbebas dari masalah dunia. Kemudahan berarti Allah memberikan kemudahan dalam menghadapi masalah tersebut, kemudahan dalam bersabar, kemudahan untuk senantiasa beramal saleh, dan kemudahan dalam menerima musibah sebagai ujian yang mendekatkan diri kepada-Nya. Ini adalah kemudahan internal dan spiritual, yang jauh lebih berharga daripada kekayaan materi.
Walaupun ayat-ayat Al-Qur'an bersifat umum dan berlaku bagi semua umat manusia, pemahaman Surah Al-Lail sering kali diperkuat dengan melihat latar belakang turunnya yang terkait dengan sahabat mulia Abu Bakar As-Siddiq R.A.
Ayat 19, “Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,” secara khusus merangkum tindakan Abu Bakar. Beliau membeli dan memerdekakan budak-budak seperti Bilal, Amir bin Fuhairah, dan lainnya, yang disiksa oleh majikan Quraisy karena keimanan mereka.
Tindakan ini tidak didasari oleh utang budi atau kepentingan politik. Budak-budak tersebut tidak memiliki status sosial yang bisa membalas kebaikan Abu Bakar. Motif beliau murni, seperti yang ditegaskan di Ayat 20: mencari Wajah Allah Yang Mahatinggi. Riwayat ini menanamkan standar keikhlasan tertinggi dalam berinfak. Infak sejati adalah memberi kepada mereka yang tidak memiliki daya untuk membalas kebaikan kita.
Kisah Abu Bakar kontras dengan tindakan infak yang dilakukan oleh para pemimpin Quraisy yang mungkin memberikan sedikit harta, tetapi hanya untuk mempertahankan status sosial atau mendapatkan pujian dari kabilahnya. Al-Lail mengajarkan bahwa volume infak tidak sepenting motivasinya. Sedikit infak dengan *Ibtighā’a Wajhi Rabbihil A’lā* jauh lebih berat timbangannya daripada infak besar yang diselimuti riya' dan mencari pujian.
Pada akhirnya, Surah Al-Lail menyajikan ringkasan sempurna dari kosmologi moral Islam. Dunia adalah tempat ujian yang memisahkan manusia menjadi dua kategori yang jalannya tidak akan pernah bertemu. Segala sesuatu—mulai dari putaran malam dan siang, hingga penciptaan pasangan manusia—adalah bukti adanya dualitas dan tanggung jawab. Tugas kita adalah memilih jalan *Al-Yusra* dengan senantiasa menyucikan harta dan jiwa melalui kedermawanan yang murni, meyakini bahwa janji Allah tentang kepuasan abadi adalah balasan tertinggi dan termulia.
Keseluruhan pesan Al-Lail merupakan panggilan untuk berani berkorban di saat yang paling sulit (malam kegelapan hati), agar kita dapat meraih janji terbaik (*Al-Husna*) dari Tuhan semesta alam.