Ilustrasi dualitas malam dan siang yang digunakan sebagai sumpah ilahi dalam Surat Al-Lail.
Surat Al-Lail, yang secara harfiah berarti "Malam", merupakan salah satu permata dalam mushaf Al-Qur'an yang menduduki urutan ke-92. Tergolong dalam kelompok surat-surat Makkiyah, surat ini diwahyukan pada fase awal dakwah Rasulullah ﷺ di Makkah, sebuah periode yang ditandai dengan penekanan kuat pada masalah akidah, hari pembalasan, dan penanaman nilai-nilai moral fundamental.
Inti dari Surat Al-Lail adalah penegasan terhadap hukum sebab-akibat dalam kehidupan spiritual dan moral. Allah ﷻ bersumpah dengan dualitas alam semesta (malam dan siang, laki-laki dan perempuan) untuk menegaskan bahwa amal perbuatan manusia juga bersifat dualistik, dan setiap jalur yang ditempuh akan mengarah pada balasan yang mutlak berbeda: kemudahan menuju surga bagi yang dermawan dan bertakwa, serta kesulitan menuju neraka bagi yang kikir dan merasa diri cukup.
Kajian mendalam terhadap Surat Al-Lail memerlukan pemahaman tidak hanya pada terjemahan harfiahnya, tetapi juga pada konteks sosiologis Makkah saat itu, di mana kesenjangan ekonomi sangat menonjol, dan sikap kikir serta kesombongan adalah penyakit masyarakat yang harus diberantas dengan konsep Tawakal dan sedekah ikhlas.
Nama Al-Lail diambil dari sumpah pembuka ayat pertama: Wal-laili idzâ yaghsyâ (Demi malam apabila menutupi). Penamaan ini mencerminkan betapa pentingnya waktu malam sebagai simbol misteri, ketenangan, dan waktu untuk berkontemplasi sebelum datangnya kesibukan siang.
Secara kronologis, Al-Lail adalah surat ke-92, diletakkan setelah Surat Asy-Syams (Matahari) dan sebelum Surat Adh-Dhuha (Waktu Dhuha). Penempatan ini sangat signifikan karena ketiga surat ini, bersama dengan surat-surat Makkiyah lainnya dalam Juz ‘Amma, membentuk satu kesatuan tematik mengenai sumpah-sumpah kosmik yang menegaskan dualitas dan kontras yang ada di alam semesta, yang kemudian diaplikasikan pada dualitas moral manusia.
Meskipun Surat Al-Lail berbicara secara umum tentang prinsip sedekah dan kekikiran, banyak ulama tafsir merujuk pada dua riwayat utama yang terkait dengan ayat 5-10, yang mengontraskan orang yang memberi (dermawan) dan orang yang menahan (kikir).
Salah satu riwayat yang paling masyhur, yang dicatat oleh para Mufassir seperti Ibnu Katsir dan At-Tirmidzi, menyebutkan bahwa ayat-ayat ini turun terkait dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan, sering membebaskan budak-budak Muslim yang disiksa oleh majikan-majikan musyrik di Makkah, seperti Bilal bin Rabah. Tujuannya bukan untuk mendapatkan balasan dari manusia, melainkan semata-mata mencari keridaan Allah.
Ayat-ayat mengenai orang kikir (8-10) dipercaya turun sebagai kontras terhadap sikap dermawan Abu Bakar, merujuk pada individu tertentu di Makkah (seperti Umayyah bin Khalaf atau beberapa pemimpin Quraisy) yang tidak hanya menahan harta tetapi juga menghalangi orang lain untuk berbuat baik, merasa diri mereka cukup kaya tanpa memerlukan karunia Tuhan.
Surat Al-Lail terdiri dari 21 ayat yang terbagi menjadi tiga bagian utama: Sumpah Kosmik (1-4), Kelompok Orang Bertakwa (5-7), dan Kelompok Orang Kikir (8-11), serta Penegasan Balasan (12-21).
Terjemah: "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), (1) dan siang apabila terang benderang, (2) dan penciptaan laki-laki dan perempuan, (3) sungguh, usaha kamu memang beraneka ragam." (4)
Allah ﷻ memulai surat ini dengan tiga sumpah kosmik yang menegaskan prinsip dualitas di alam semesta:
Menurut para mufassir, sumpah-sumpah ini bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan penetapan pondasi bahwa setiap hal di alam semesta ini memiliki pasangan yang berlawanan, menciptakan harmoni dan ketertiban. Kontras ini adalah latar belakang untuk memahami kontras moral manusia.
Jawaban (atau objek) dari sumpah-sumpah tersebut adalah: "Inna sa’yakum lashattâ" (Sungguh, usaha kamu memang beraneka ragam). Kata "sa’yakum" berarti usaha atau amal, sementara "lashattâ" (dari kata *syatta*) berarti tercerai-berai, berbeda, atau beraneka ragam.
Ini adalah kesimpulan filosofis yang agung: Sebagaimana alam semesta terbagi menjadi malam dan siang, hidup dan mati, maka amal manusia pun terbagi menjadi dua kategori utama: amal yang membawa kepada kebaikan (Surga) dan amal yang membawa kepada keburukan (Neraka). Tidak ada jalan tengah yang sesungguhnya.
Terjemah: "Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, (5) dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Al-Hûsnâ), (6) maka Kami akan melapangkan baginya jalan kemudahan (Al-Yusrâ)." (7)
Ayat ini mendeskripsikan tiga ciri utama dari golongan pertama, yaitu golongan yang menempuh jalan kemudahan (Al-Yusrâ):
Balasan bagi mereka adalah kemudahan (Al-Yusrâ). Kemudahan ini tidak hanya berarti kemudahan dalam menjalani hidup duniawi, tetapi yang paling utama adalah kemudahan dalam beramal saleh (diberi taufik), kemudahan saat sakaratul maut, kemudahan dalam hisab (perhitungan amal), dan akhirnya, kemudahan memasuki Surga.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Al-Yusrâ adalah jalan menuju kebahagiaan abadi. Allah akan mempermudah setiap langkahnya menuju kebaikan, dan kesulitan-kesulitan hidupnya akan dipermudah karena hatinya telah memilih jalur yang benar.
Terjemah: "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), (8) serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik, (9) maka Kami akan melapangkan baginya jalan kesukaran (Al-’Usrâ). (10) Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa." (11)
Ayat-ayat ini mendeskripsikan golongan kedua, yaitu mereka yang menempuh jalan kesukaran (Al-’Usrâ).
Balasan bagi mereka adalah kesukaran (Al-’Usrâ). Ini berarti segala urusan mereka dipermudah menuju keburukan. Allah membiarkan mereka dalam kesesatan mereka, mempersulit hati mereka untuk menerima hidayah, dan menjadikan amal buruk terasa mudah bagi mereka. Di akhirat, kesukaran ini mencapai puncaknya di Neraka.
Ayat 11 memberikan penegasan yang tajam: "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa (taráddâ)." Kata taráddâ bisa berarti jatuh (ke dalam lubang kubur atau neraka) atau binasa. Pada saat kematian atau di akhirat, harta yang mati-matian dipertahankan dengan kekikiran sama sekali tidak memiliki nilai tebusan atau pertolongan.
Terjemah Ringkas: Allah menegaskan bahwa hanya Dia yang berhak memberi petunjuk (12), dan milik-Nya lah kehidupan Akhirat dan Dunia (13). Kemudian, Dia memperingatkan manusia tentang api yang menyala-nyala (14), yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang celaka (15), yaitu yang mendustakan dan berpaling (16). Sebaliknya, orang yang paling bertakwa (17), yang memberikan hartanya untuk menyucikan diri (18), tanpa mengharap balasan dunia dari siapapun (19), kecuali mencari keridaan Tuhan Yang Mahatinggi (20), niscaya kelak akan mendapat kepuasan (21).
Ayat 12 dan 13 berfungsi sebagai penutup argumen dualitas: "Inna ‘alainâ lal-hudâ" (Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk). Hanya Allah yang memiliki otoritas untuk menetapkan jalan yang lurus (hidayah) dan jalan kesesatan.
Kemudian ditegaskan, "Wa inna lanâ lal-ākhirata wal-ūlâ" (Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia). Ini menepis kesombongan orang yang kikir yang mengira dia bisa mengendalikan nasibnya hanya dengan hartanya di dunia. Allah adalah Pemilik mutlak dari kedua alam tersebut, dan oleh karena itu, janji dan ancaman-Nya adalah pasti.
Peringatan terhadap Neraka Taladzdzâ (menyala-nyala atau memakan habis) ditujukan hanya kepada Al-Asyqâ (orang yang paling celaka). Kata superlatif ini (paling celaka) merujuk pada mereka yang memenuhi dua kriteria buruk:
Ini adalah definisi yang kontras dengan ciri-ciri orang yang menuju Surga: tidak hanya kikir, tetapi juga menolak kebenaran secara total.
Kontras utama ditekankan pada Al-Atqâ (orang yang paling bertakwa). Mereka adalah yang diselamatkan dari api neraka. Kriteria utama Al-Atqâ adalah:
Penutup yang indah adalah janji mutlak: "Wa lasaufa yardhâ" (Dan kelak dia pasti akan puas). Kepuasan ini adalah balasan abadi di Surga, di mana segala keinginannya dipenuhi dan keridaan Allah meliputinya.
Ilustrasi timbangan amal (Mizan) yang miring ke sisi kebaikan, menggambarkan janji kemudahan bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat 19 dan 20 adalah inti dari teologi amal dalam Islam. Perbedaan mendasar antara amal yang diterima dan yang ditolak bukanlah pada besar kecilnya harta yang diberikan, melainkan pada motivasinya. Surat Al-Lail mengajarkan bahwa pemberian yang paling tinggi adalah yang dilakukan tanpa ada motif "balas budi" atau "ni’matin tujzâ".
Dalam masyarakat yang didominasi oleh sistem pertukaran (resiprositas), sedekah seringkali menjadi alat politik atau sosial. Al-Lail menegaskan bahwa seorang mukmin harus melampaui logika duniawi ini, melakukan amal baik semata-mata karena ingin melihat wajah Allah (wajhi Rabbihil-A’lâ).
Ini secara langsung menunjuk pada riwayat Abu Bakar yang membebaskan budak tanpa mengharapkan imbalan dari mereka, padahal budak-budak tersebut secara sosial tidak mampu membalas jasanya. Tindakan ini disorot sebagai model keikhlasan yang sesungguhnya. Seorang yang ikhlas memandang hartanya sebagai sarana untuk mencapai rida Ilahi, bukan sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan atau pujian manusia.
Penggunaan kata Yusrâ (kemudahan) dan ‘Usrâ (kesukaran) merupakan teknik retorika Quran yang kuat. Ini bukan sekadar deskripsi hasil, tetapi juga deskripsi proses. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, jalan menuju kesukaran adalah jalan yang dilapangkan (sanuyassiruhu) oleh Allah bagi mereka yang memilih kesombongan.
Ini adalah konsep yang dikenal sebagai Takhliyah dan Tahliyah (pemurnian dan pengisian). Orang yang kikir memilih untuk mengisi hatinya dengan cinta dunia (wastaghnâ), sehingga Allah membiarkan mereka, dan bahkan mempermudah jalan mereka menuju kesengsaraan karena hati mereka sudah tertutup hidayah.
Sebaliknya, orang yang dermawan (a’thâ) melakukan proses Takhliyah (mengosongkan hati dari cinta harta), sehingga Allah mempermudah (sanuyassiruhu) jalan kebaikan baginya. Mereka diberi kekuatan untuk bangun malam, berpuasa sunah, dan terus beramal saleh, yang semua itu terasa berat bagi orang yang hatinya dipenuhi kekikiran.
Salah satu dosa terbesar yang disoroti dalam Al-Lail adalah Istighnâ (merasa cukup, tidak butuh). Istighnâ adalah kebalikan dari tawakal dan bergantung kepada Allah (iftiqâr).
Ketika seseorang mencapai titik Istighnâ, ia menempatkan dirinya sejajar dengan Tuhan dalam hal kekuasaan atas rezeki. Ia lupa bahwa kekayaannya adalah pinjaman, dan ini melahirkan kekikiran (bakhila) karena ia merasa rugi jika harus melepaskan sebagian dari "miliknya". Istighnâ adalah penolakan implisit terhadap keesaan Allah dalam hal kekuasaan (Tauhid Rububiyah), yang kemudian mengarah pada pendustaan terhadap janji dan ancaman Allah (kadzdzaba bil-Husnâ).
Surat Al-Lail tidak berdiri sendiri. Ia berada dalam rangkaian surat-surat Makkiyah yang memiliki benang merah yang sangat kuat, terutama dengan Surat Asy-Syams (91) dan Adh-Dhuha (93).
Surat Asy-Syams dibuka dengan serangkaian sumpah tentang dualitas alam (Matahari dan sinarnya, bulan, siang, malam, langit, bumi), yang kemudian disimpulkan dengan dualitas pada jiwa manusia (ilham kejahatan dan ketakwaan): "fá-alhamahā fujūrahā wataqwāhā" (maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya).
Surat Al-Lail mengambil dualitas ini dan mengaplikasikannya pada level aksi: Bagaimana jiwa yang telah diilhami ketakwaan (Asy-Syams) kemudian mewujudkannya dalam bentuk tindakan memberi (Al-Lail), dan bagaimana jiwa yang cenderung fasik mewujudkannya dalam kekikiran.
Surat Adh-Dhuha, yang datang setelah Al-Lail, berfokus pada penghiburan kepada Nabi Muhammad ﷺ, mengingatkan beliau bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Adh-Dhuha kemudian menyimpulkan dengan perintah praktis: jangan menindas anak yatim, jangan menghardik peminta-minta, dan sampaikanlah nikmat Tuhanmu.
Jika Al-Lail berfokus pada bahaya kekikiran (bakhila), Adh-Dhuha memberikan solusi praktis dan kasih sayang (jangan menghardik orang miskin). Keduanya menekankan pentingnya interaksi sosial yang berbasis pada kasih sayang dan kedermawanan, sebagai bukti nyata dari ketakwaan yang diklaim.
Meskipun Al-Lail berfokus pada aspek akidah (niat dan balasan), implikasinya dalam fikih dan etika sangat mendalam, terutama dalam mendefinisikan sedekah yang bernilai tinggi.
Surat Al-Lail menaikkan standar sedekah melampaui batas kewajiban (zakat). Sedekah yang dipuji dalam surat ini adalah sedekah sunah yang dilakukan dengan tiga syarat utama:
Oleh karena itu, sedekah yang dilakukan secara terbuka namun didasari keikhlasan murni lebih disukai daripada sedekah rahasia yang masih menyimpan sedikit riya di hati. Namun, model sedekah yang paling dipuji adalah yang tersembunyi, yang hanya bertujuan mencari Wajah Allah.
Ancaman Al-'Usrâ (jalan kesukaran) ditujukan kepada mereka yang kikir, namun secara implisit juga ditujukan kepada mereka yang beramal tetapi tidak ikhlas. Orang yang kikir (bakhila) menahan harta karena cinta dunia. Sementara orang yang beramal karena riya mengeluarkan harta, tetapi hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi (pujian, status, balasan). Keduanya sama-sama gagal mencapai tujuan Al-Lail, yaitu mencari wajah Allah semata.
Ilustrasi sedekah dan tazkiyah (penyucian diri), menunjukkan tangan yang memberikan harta semata-mata mencari keridaan Allah.
Deskripsi neraka dalam Al-Lail, Nāran Talazhzā, menekankan pada intensitas dan sifat membakar yang luar biasa. Kata Talazhzā memiliki konotasi api yang berkedip-kedip atau menjilat-jilat, mengancam untuk menghanguskan setiap yang mendekat. Ini adalah kontras total dengan Al-Yusrâ, yaitu tempat yang dipenuhi ketenangan, kemudahan, dan kepuasan.
Ibnu Abbas RA menjelaskan bahwa Al-Asyqâ (orang yang paling celaka) yang akan memasukinya adalah mereka yang mencapai tingkat kekafiran dan kekikiran tertinggi. Ayat ini memberikan harapan bagi umat Islam yang mungkin terjatuh dalam dosa tetapi masih memiliki iman, bahwa hukuman abadi ini diperuntukkan bagi mereka yang mendustakan secara total dan berpaling dari fitrah kemanusiaan mereka.
Ayat terakhir memberikan penutup yang penuh pengharapan dan janji mutlak: "Dan kelak dia pasti akan puas." Kepuasan (Ar-Ridhâ) dalam konteks ini adalah tingkat balasan tertinggi setelah mendapatkan Surga. Ini bukan hanya kepuasan material, tetapi kepuasan spiritual karena berhasil mencapai tujuan hidupnya: rida Allah.
Para ulama sufi sering menafsirkan ayat ini sebagai pencapaian makam tertinggi, di mana seorang hamba tidak hanya diberikan apa yang ia inginkan, tetapi diberikan keridaan dan penerimaan mutlak dari Tuhan semesta alam, yang jauh lebih berharga daripada semua nikmat Surga.
Secara keseluruhan, Surat Al-Lail menawarkan tiga pelajaran inti yang harus dipegang teguh oleh setiap mukmin, menekankan bahwa tindakan moral, niat, dan iman adalah tiga pilar yang tidak dapat dipisahkan:
Keberadaan dualitas (Malam-Siang, Laki-laki-Perempuan) adalah bukti bahwa amal manusia juga terbagi dua. Tidak ada amal yang netral; setiap perbuatan kita secara otomatis mengarahkan kita ke salah satu dari dua jalur: kemudahan (Surga) atau kesulitan (Neraka). Ini menuntut kesadaran diri yang tinggi dalam setiap pengambilan keputusan.
Kekikiran dan kesombongan adalah dosa yang saling berkaitan yang menjauhkan seseorang dari Allah. Sebaliknya, kedermawanan (memberi tanpa pamrih) adalah bukti nyata dari keimanan pada Hari Pembalasan dan tawakal yang sempurna. Harta diukur bukan dari seberapa banyak yang dimiliki, tetapi seberapa ikhlas yang dikeluarkan.
Surat ini memberikan standar tertinggi bagi amal: amal yang diterima adalah yang dilakukan semata-mata untuk mencari wajah Allah, bukan untuk mengharapkan balasan dari manusia (min ni’matin tujzâ). Ikhlas adalah filter yang membedakan antara perbuatan yang mengantar kepada Al-Yusrâ dan yang berakhir dalam kehampaan.
Melalui sumpah-sumpah kosmiknya, dan kontras tajam antara dua kelompok manusia—orang yang memberi dengan niat suci dan orang yang kikir dengan kesombongan—Surat Al-Lail (surat ke-92) menyajikan sebuah pelajaran abadi mengenai nilai sejati dari harta dan kehidupan, mengingatkan kita bahwa investasi terbesar kita bukanlah pada kekayaan dunia, melainkan pada keikhlasan yang akan dibalas dengan kepuasan abadi di sisi Allah ﷻ.
Pemahaman mendalam terhadap ayat 6 dan 9, di mana istilah Al-Hûsnâ (Yang Terbaik) muncul, sangat krusial. Para mufassir memiliki tiga pandangan utama mengenai penafsiran istilah ini, yang semuanya saling melengkapi dalam konteks keimanan:
Imam Ibn Katsir cenderung mengikuti riwayat yang menafsirkan Al-Hûsnâ sebagai kalimat tauhid, Lā ilāha illallāh. Menurut tafsir ini, orang yang bertakwa adalah orang yang meyakini dan membenarkan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan kedermawanannya adalah buah dari keyakinan tersebut. Sebaliknya, orang yang kikir mendustakan kalimat tauhid, yang berarti ia mendustakan dasar dari seluruh ajaran Islam.
Imam Al-Qurtubi lebih memfokuskan pada aspek balasan. Al-Hûsnâ adalah balasan termulia yang Allah janjikan, yaitu Surga. Orang yang memberikan hartanya adalah orang yang yakin bahwa Allah akan menepati janji-Nya dengan ganjaran yang lebih baik daripada harta yang ia korbankan. Pendustaan terhadap Al-Hûsnâ (ayat 9) berarti menolak eksistensi Hari Akhir dan balasan Surgawi.
Az-Zamakhsyari, seorang ahli bahasa, melihat Al-Hûsnâ sebagai karakteristik moral yang paling utama, yaitu sifat tawakal dan keyakinan mutlak kepada Allah. Orang yang membenarkan tawakal akan mudah berbagi, karena ia tahu Allah akan mengganti yang hilang. Orang yang mendustakan tawakal akan kikir, karena ia percaya hanya hartanya yang bisa menyelamatkannya.
Kesimpulan dari perbedaan tafsir ini adalah bahwa orang bertakwa dalam Al-Lail adalah integrasi dari iman (tauhid), harapan (Surga), dan karakter mulia (tawakal) yang terwujud dalam amal (sedekah).
Dalam fikih, sedekah seringkali dikategorikan menjadi wajib (zakat) dan sunah (infak). Namun, Surat Al-Lail memandang sedekah dari lensa akidah. Ayat 5, "fā'ammā man a'ṭā wáttaqā," menunjukkan bahwa tindakan memberi di sini bersifat lebih luas daripada hanya zakat wajib. Ini mencakup segala bentuk pengorbanan harta yang didasari oleh ketakwaan.
Sedekah yang dibahas di sini harus menghasilkan Tazkiyah (penyucian). Tazkiyah mencakup penyucian harta dari keraguan dan penyucian jiwa dari penyakit bakhil. Tanpa tazkiyah, amal, bahkan yang terlihat besar, dapat runtuh karena ketiadaan keikhlasan atau riya, seperti yang diisyaratkan oleh kontrasnya dengan orang kikir.
Mengapa Allah bersumpah dengan malam terlebih dahulu, padahal siang lebih jelas? (Ayat 1-2). Wal-laili idzâ yaghsyâ (Demi malam apabila menutupi).
Malam (Al-Lail) seringkali dalam Al-Qur'an disandingkan dengan ujian dan misteri. Malam adalah waktu di mana hawa nafsu dan bisikan syaitan cenderung menguat, dan di sisi lain, ia adalah waktu terbaik untuk ibadah rahasia (Qiyamul Lail). Malam menutup keindahan siang dan kejelasan pandangan, memaksa manusia untuk bergantung pada pandangan batin (iman) daripada penglihatan luar.
Sumpah dengan malam mengisyaratkan bahwa amal kedermawanan sejati seringkali dilakukan "di balik tirai" (rahasia) dan di tengah kebingungan dan kegelapan ujian dunia. Orang yang mampu memberi dan bertakwa dalam kondisi tersembunyi, sebagaimana malam menyelimuti, adalah orang yang paling berhak mendapat kemudahan.
Siang (An-Nahâr) disifati dengan tajallâ (menampakkan). Siang adalah waktu manifestasi dan hasil. Sumpah siang menegaskan bahwa meskipun amal kebaikan dilakukan dalam keheningan dan keikhlasan (malam), hasilnya pasti akan menampakkan diri, baik di dunia (berupa taufik dan keberkahan) maupun di akhirat (berupa Surga).
Dualitas malam dan siang ini mencerminkan dualitas niat (tersembunyi seperti malam) dan amal perbuatan (termanifestasi seperti siang). Keduanya harus selaras dan didasarkan pada keikhlasan yang murni.
Surat Al-Lail adalah contoh luar biasa dari I'jaz Al-Lughawi (keajaiban linguistik) Al-Qur'an, khususnya dalam penggunaan kata ganti dan kata superlatif.
Ayat 15 (lā yaṣlāhā illal-asyqā) dan Ayat 17 (wa sayujannabuhal-atqā) menggunakan bentuk superlatif: *Al-Asyqâ* (yang paling celaka) dan *Al-Atqâ* (yang paling bertakwa).
Penggunaan superlatif ini sangat penting. Neraka Taladzdzâ disediakan bukan hanya untuk orang celaka biasa, tetapi untuk yang "paling celaka" — mereka yang telah menolak tauhid dan kebaikan secara radikal. Sementara itu, yang diselamatkan adalah yang "paling bertakwa," mereka yang telah mencapai puncak keikhlasan dalam memberi. Ini memberikan spektrum motivasi: tidak cukup hanya menjadi baik, kita harus berusaha menjadi yang terbaik dalam ketakwaan, terutama dalam hal ikhlas berderma.
Struktur Surat Al-Lail bersifat paralel dan seimbang (muwâzanah) untuk menekankan kontras: (5-7) A’ṭā wáttaqā, wa ṣaddaqa bil-Hûsnâ -> Balasan: Yusrâ (8-10) Bakhila wástaghnâ, wa kadzdzaba bil-Hûsnâ -> Balasan: ‘Usrâ
Keseimbangan retoris ini menunjukkan keadilan mutlak Allah. Setiap pilihan (amal) memiliki konsekuensi yang setara dan mutlak berbeda. Jika tindakan baik melibatkan tiga unsur (memberi, takwa, keyakinan), maka tindakan buruk juga melibatkan tiga unsur yang berlawanan (kikir, sombong, pendustaan).
Surat Al-Lail menutup perdebatan tentang amal dengan penegasan bahwa setiap manusia telah memilih jalannya sendiri, dan Allah hanya memfasilitasi pilihan itu (fa-sanuyassiruhû).