Surah Al-Lail (Malam): Analisis Komprehensif dan Perspektif Latin

Representasi Dualisme Malam dan Siang Sebuah gambar abstrak yang mewakili dualisme Surah Al-Lail, menampilkan kontras antara gelap (malam) dan terang (siang/usaha).

*Simbolisme dualitas dalam Surah Al-Lail (Malam dan Siang)*

Surah Al-Lail, atau yang berarti ‘Malam’, merupakan surah ke-92 dalam Al-Qur’an dan tergolong sebagai surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad. Surah ini hadir sebagai pengukuhan prinsip-prinsip moral mendasar, terutama mengenai dualitas kehidupan, motivasi amal manusia, dan konsekuensi abadi dari setiap pilihan yang diambil. Tema sentralnya adalah perbedaan mendasar antara mereka yang berinfak (memberi) dan bertakwa, dengan mereka yang kikir (menahan harta) dan merasa cukup.

Kajian mendalam terhadap surah ini tidak hanya terbatas pada interpretasi teologis dalam tradisi Islam, tetapi juga meluas ke ranah filologi dan sejarah penerjemahan. Dalam konteks Barat, khususnya yang dipengaruhi oleh tradisi keilmuan Gereja dan Orientalisme awal, pendekatan terhadap teks Al-Qur’an sering kali melalui studi perbandingan bahasa, di mana transliterasi dan terjemahan ke bahasa Latin memegang peranan penting. Frasa kunci al lail latin merujuk pada upaya akademik masa lalu untuk memahami dan mencatat Surah Malam ini dalam kerangka linguistik klasik Romawi, yang menjadi bahasa utama ilmu pengetahuan Eropa selama berabad-abad.

I. Konteks Surah Al-Lail dan Penempatan Historis

Surah Al-Lail diturunkan di tengah-tengah tekanan dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Muslim yang masih kecil di Mekah. Periode Makkiyah dikenal dengan fokusnya pada akidah (keimanan), tauhid (keesaan Tuhan), Hari Pembalasan, dan perbaikan karakter moral. Al-Lail menyajikan tiga sumpah kosmik yang kuat untuk menegaskan sebuah kebenaran universal: bahwa setiap individu memiliki jalan dan tujuan yang berbeda-beda dalam hidup.

A. Sumpah Kosmik dan Penegasan Dualitas

Surah ini dibuka dengan serangkaian sumpah yang menakjubkan, menggunakan fenomena alam yang paling jelas dan berlawanan—malam dan siang—untuk menyoroti dualitas moral dan spiritual yang ada dalam diri manusia. Allah bersumpah:

  1. Dengan malam apabila menutupi (cahaya) (وَاَلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ).
  2. Dengan siang apabila terang-benderang (وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ).
  3. Dengan Penciptaan laki-laki dan perempuan (وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ).

Ketiga sumpah ini—Malam vs. Siang, Laki-laki vs. Perempuan—secara fundamental menciptakan kerangka perbandingan: Kegelapan vs. Cahaya, Pasif vs. Aktif, dan pada akhirnya, Kebajikan vs. Kejahatan. Penegasan ini mengarah pada kesimpulan tajam di ayat keempat: "Sesungguhnya usaha kalian memang berlainan" (إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ). Konsep *sa'yukum* (usaha kalian) di sini sangat luas, mencakup niat, perbuatan, dan seluruh jalan hidup yang ditempuh.

B. Makna Filologis *Al-Lail* dalam Perspektif Semit

Kata Al-Lail (ٱلَّيْل) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata L-Y-L, yang secara literal berarti 'malam' atau 'kegelapan'. Dalam tradisi Semit, malam seringkali dikaitkan dengan ketenangan, istirahat, namun juga potensi bahaya, misteri, dan penutupan. Dalam konteks Al-Qur’an, sumpah dengan malam mengisyaratkan suatu keagungan dan misteri Penciptaan yang berfungsi sebagai tirai penutup bagi aktivitas duniawi. Kontrasnya, An-Nahar (ٱلنَّهَار) atau siang, menunjukkan keterbukaan, aktivitas, dan pengejaran rezeki. Surah ini menggunakan kontras ini bukan hanya sebagai deskripsi waktu, tetapi sebagai metafora abadi bagi perbuatan manusia yang tersembunyi (amal baik yang dilakukan tanpa pamer) versus perbuatan yang tampak (kesombongan dan kekikiran).


II. Transliterasi, Terjemah, dan Jejak Latin (Al Lail Latin)

Untuk memahami bagaimana Surah Al-Lail dipelajari di dunia Barat, khususnya dalam periode studi Qur’an awal (abad ke-16 hingga ke-18), kita harus mempertimbangkan peran bahasa Latin. Latin adalah bahasa lingua franca akademis. Upaya Orientalis dan para teolog Eropa untuk menerjemahkan atau mentransliterasi Al-Qur’an sering kali menghasilkan versi Latin. Istilah al lail latin merangkum proses transliterasi dari sistem tulisan Semit (Arab) ke sistem tulisan Romawi (Latin), sebuah langkah krusial dalam sejarah perbandingan agama.

A. Teks Arab dan Transliterasi Standar

Berikut adalah beberapa ayat awal Surah Al-Lail dan transliterasinya:

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
وَٱلَّيۡلِ إِذَا يَغۡشَىٰ (١)

Transliterasi: Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm. Wal-laili iżā yagysyā.

وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ (٢)
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ (٣)

Transliterasi: Wan-nahāri iżā tajallā. Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā.

B. Interpretasi Kritis dalam Bahasa Latin

Ketika teks ini diterjemahkan ke dalam Latin—bukan untuk ibadah, tetapi untuk studi komparatif—para akademisi berusaha menemukan padanan yang paling mendekati, namun seringkali dengan beban interpretasi teologis mereka sendiri. Contohnya, terjemahan awal Al-Qur’an ke bahasa Latin oleh Robertus Ketenensis (abad ke-12, meskipun bukan Al-Lail secara spesifik, menetapkan preseden) dan yang lebih berpengaruh, edisi kritis oleh Ludovico Marracci (abad ke-17), sering menyajikan surah ini.

Contoh Padanan Konseptual Latin untuk Al-Lail:

Pilihan kata dalam Latin ini sangat menentukan cara pandang sarjana Barat terhadap konsep amal dan konsekuensi dalam Islam, membandingkannya dengan konsep virtus (kebajikan) dan damnatio (hukuman) dalam teologi Kristen.


III. Dualitas Utama: Pemberi vs. Pengekang (Ayat 5-11)

Inti moral Surah Al-Lail terletak pada penegasan bahwa hasil akhir setiap manusia ditentukan oleh dua jalur yang sangat berbeda, sebuah dikotomi etis yang tajam. Setelah bersumpah, surah ini membagi umat manusia menjadi dua kelompok utama, yang masing-masing dijanjikan kemudahan menuju takdirnya.

A. Kelompok Pertama: Mereka yang Memberi dan Bertakwa (Al-Atqa)

Ayat 5 hingga 7 menggambarkan kelompok yang beruntung, yang memilih jalan kebajikan:

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ (٥)
وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (٦)
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ (٧)

Terjemah: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Al-Husna), maka Kami akan memudahkannya menuju kemudahan (Al-Yusrā).

Tiga kualitas utama ini saling terkait: a'ṭā (memberi), ittaqā (bertakwa), dan ṣaddaqa bil-ḥusnā (membenarkan yang terbaik). Tafsir klasik (seperti At-Tabari dan Ibn Kathir) menekankan bahwa 'memberi' di sini tidak hanya merujuk pada sedekah finansial tetapi juga memberi waktu, energi, dan kebaikan. 'Al-Husna' sering diartikan sebagai janji Surga, janji pahala, atau bahkan kalimat tauhid (La Ilaha Illallah). Janji ilahiahnya adalah fasānuyassiruhu lil-yusrā—Kami akan memudahkannya menuju kemudahan. Ini menyiratkan bahwa kemudahan bukan hanya hasil di akhirat, tetapi juga proses hidup yang dimudahkan jalannya oleh Ilahi, seolah-olah jalannya sudah dilicinkan.

Interpretasi Latin dari konsep 'memberi' (a'ṭā) sering diterjemahkan sebagai dare atau largiri (kemurahan hati), membedakannya dari sekadar membayar utang. Sementara *Al-Yusrā* (kemudahan) dapat disajikan sebagai facilitas atau beatitudo (kebahagiaan/berkah), menyoroti imbalan spiritual dan duniawi.

B. Kelompok Kedua: Mereka yang Kikir dan Merasa Cukup (Al-Istaghnā)

Ayat 8 hingga 10 menampilkan kebalikannya:

وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ (٨)
وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (٩)
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ (١٠)

Terjemah: Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup, dan mendustakan (pahala) yang terbaik, maka Kami akan memudahkannya menuju kesukaran (Al-‘Usrā).

Istilah kunci di sini adalah bakhila (kikir/pelit) dan istaghnā (merasa cukup, tidak butuh Tuhan/orang lain). Sikap istaghnā adalah inti dari kesombongan, sebuah penolakan untuk mengakui ketergantungan pada Pencipta. Karena mereka menolak janji Al-Husna, balasan mereka adalah fasānuyassiruhu lil-‘usrā—Kami akan memudahkannya menuju kesukaran. Ini adalah ironi kosmis yang mendalam: Allah tidak memaksa mereka ke dalam kesukaran, tetapi membiarkan mereka berjalan di jalan yang mereka pilih, yang secara inheren membawa kesulitan dan penderitaan abadi.

Dalam terjemahan Latin, *bakhila* sering diwakili oleh avaritia (ketamakan/kekikiran), sedangkan *Al-‘Usrā* (kesukaran) dapat diartikan sebagai difficultas atau misera (kesengsaraan), merangkum takdir yang pahit dan sulit. Perbandingan antara Al-Yusrā (kemudahan) dan Al-‘Usrā (kesukaran) merupakan contoh sempurna dari struktur balasan yang simetris dalam Al-Qur’an.


IV. Analisis Mendalam Ayat Per Ayat dan Implikasi Linguistik

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, setiap frasa dalam Surah Al-Lail memerlukan pembedahan linguistik yang teliti, mengingat signifikansi teologisnya yang masif. Perbedaan tipis dalam pemilihan kata Arab memiliki dampak besar pada interpretasi hukum dan etika.

A. Pembedahan Sya'ya (Usaha) dan Syattā (Berlainan)

Ayat kunci 4, "Sesungguhnya usaha kalian memang berlainan" (إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ), adalah fondasi surah ini. Kata sa'ya (سَعْيَ) secara harfiah berarti lari, bergegas, atau berusaha. Ini menunjukkan bahwa kehidupan adalah proses yang aktif dan dinamis. Berbeda dengan konsep takdir fatalistik, Al-Qur’an menekankan bahwa manusia harus berusaha.

Kata syattā (شَتَّىٰ) adalah bentuk jamak dari *syattun*, yang berarti berbeda, tercerai-berai, atau terpisah jauh. Ini menegaskan bahwa perbedaan dalam usaha ini tidak hanya sedikit variasi, melainkan perbedaan radikal dalam tujuan dan niat. Upaya seorang dermawan yang mencari keridhaan Allah sangat berbeda (syattā) dari upaya seorang kikir yang hanya menimbun harta karena kesombongan.

Dalam konteks Latin, *sa’ya* dapat diterjemahkan sebagai conatus (upaya keras) atau actus (tindakan), sementara *syattā* adalah distinctorum atau diversorum. Sarjana Eropa sering menyoroti bahwa ayat ini mendahului filosofi eksistensialis modern tentang pilihan bebas dan tanggung jawab individu.

B. Eksplorasi Konsep *Al-Aqtā* (Yang Paling Bertakwa)

Ayat 18 menyebutkan: "dan akan dijauhkan (neraka itu) dari orang yang paling bertakwa" (وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى). Kata Al-Aqtā (الْأَتْقَى) adalah bentuk *ismu tafdhil* (superlatif) dari *taqwā* (ketakwaan), yang berarti 'yang paling bertakwa' atau 'yang paling saleh'. Penggunaan bentuk superlatif ini sangat penting.

Tafsir klasik menghubungkan ayat ini secara khusus dengan sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq, merujuk pada kisah pembebasan Bilal dan budak-budak Muslim lainnya yang disiksa oleh majikan kafir. Abu Bakar menggunakan hartanya untuk membeli kebebasan mereka. Ayat ini memberikan pujian tertinggi, menunjukkan bahwa kemurahan hati yang disertai ketakwaan murni adalah puncak ketaatan.

Analisis *Al-Aqtā* dalam Latin:

Konsep *Al-Aqtā* diterjemahkan dalam bahasa Latin sebagai piissimus (yang paling saleh) atau sanctissimus (yang paling suci), menekankan derajat keutamaan yang mutlak. Analisis perbandingan menemukan paralel dengan konsep summa virtus (kebajikan tertinggi) dalam etika Romawi, namun *taqwa* mencakup dimensi kesadaran dan ketakutan (reverence) terhadap Tuhan yang lebih mendalam.

C. Penolakan Balasan Duniawi

Ayat 19 dan 20 menolak anggapan bahwa amal kebaikan dilakukan dengan tujuan membalas jasa duniawi:

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٍ تُجۡزَىٰٓ (١٩)
إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ (٢٠)

Terjemah: Padahal tiada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalas, kecuali semata-mata mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.

Ayat ini menetapkan prinsip fundamental *ikhlas* (ketulusan). Kebaikan sejati haruslah tanpa pamrih dan tidak didasarkan pada keinginan untuk membalas budi atau mencari pujian manusia. Tujuan tunggalnya adalah *ibtaghā' wajhi Rabbihil-A'lā* (mencari Wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi). Frasa 'Wajah Tuhan' adalah metafora bagi keridhaan dan kehadiran Ilahi.

Kajian filologi Latin sering kesulitan menangkap nuansa 'Wajah Tuhan' (Wajhi Rabbih), yang kadang diterjemahkan sebagai Gratia Dei (Rahmat Tuhan) atau Visus Dei (Pandangan Tuhan), namun selalu menekankan aspek motivasi murni yang tidak tercampur nafsu duniawi.


V. Dimensi Teologis: Janji Surga dan Ancaman Neraka

Surah Al-Lail menyajikan konsekuensi akhir dari dua jalur usaha manusia dengan sangat jelas dan kuat, menggunakan bahasa yang memadukan peringatan dan harapan.

A. Api yang Menyala-nyala (Al-Nar)

Surah ini memperingatkan orang yang kikir dengan Nar al-Talazzā (النَّارَ تَلَظَّىٰ), Api yang Menyala-nyala (Ayat 14). Kata talazzā menunjukkan intensitas dan kobaran api yang hebat. Ancaman ini diberikan kepada mereka yang mendustakan (każżaba) dan berpaling (tawallā).

Simbolisasi Kitab dan Ilmu Sebuah gambar yang mewakili Al-Qur'an dan studi mendalam, menunjukkan dua gulungan kitab dan sebuah cahaya pengetahuan.

*Simbolisasi Kitab Suci dan Ilmu Tafsir*

Ancaman Neraka ini bersifat spesifik, ditujukan kepada mereka yang menolak kebenaran meskipun ia telah dihadapkan kepada mereka. Studi teologis menekankan bahwa konsekuensi ini bersifat langsung dan merupakan balasan yang setara (jaza’an wifāqan) bagi penolakan mereka untuk berbagi dan mengakui kekuasaan Tuhan.

B. Kepuasan Tertinggi (Al-Jannah)

Sebaliknya, Surah ditutup dengan janji bagi Al-Aqtā (yang paling bertakwa): "Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan" (وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ). Kata *yarḍā* (akan puas) menyiratkan kepuasan yang total, melampaui kenikmatan fisik Surga. Ini adalah kepuasan spiritual karena telah mencapai tujuan tertinggi: ridha Ilahi.

Dalam banyak tafsir, kepuasan ini sering dihubungkan dengan melihat Wajah Allah (ru'yah), sebuah kebahagiaan yang melampaui segala bentuk materi. Dengan demikian, Surah Al-Lail, meskipun pendek, memberikan gambaran penuh tentang jalur moralitas dan hasilnya, baik di dunia maupun di akhirat.


VI. Etnologi Filologi dan Studi Perbandingan Surah Al-Lail dalam Konteks Latin dan Eropa

Pengaruh studi al lail latin tidak hanya terbatas pada terjemahan langsung, tetapi juga membentuk pemahaman teolog Eropa mengenai etika ekonomi Islam. Periode Pencerahan dan kolonialisme awal menuntut pengetahuan mendalam mengenai teks-teks utama non-Eropa, dan Al-Lail, dengan fokusnya pada kekayaan dan kemiskinan, menjadi subjek menarik.

A. Al-Lail dan Perdebatan Kekayaan di Abad Pertengahan

Ketika terjemahan Latin Al-Qur’an mulai beredar (walaupun seringkali bias dan tidak akurat), Surah Al-Lail memicu perdebatan mengenai konsep paupertas (kemiskinan) dan divitiae (kekayaan). Dalam teologi Kristen, kekayaan sering dilihat dengan kecurigaan, tetapi Al-Lail tidak mengutuk kekayaan itu sendiri, melainkan kekikiran (bakhila) dan kesombongan yang dihasilkan darinya (istaghnā).

Sarjana Latin sering membandingkan ayat 5–11 dengan ajaran Yesus tentang unta yang sulit melewati lubang jarum dibandingkan orang kaya yang masuk surga. Namun, Surah Al-Lail memberikan solusi praktis: gunakan kekayaan (a'ṭā) sebagai alat ketakwaan (ittaqā), sehingga kekayaan bukan lagi penghalang, melainkan jembatan menuju Al-Yusrā. Perbedaan halus ini adalah subjek studi penting dalam filologi komparatif.

B. Transmisi dan Kesalahan Interpretasi Latin

Dalam banyak manuskrip Latin abad ke-17, transliterasi huruf-huruf Arab yang tidak memiliki padanan dalam Latin (seperti konsonan faringal *‘ayn* dan *ḥā’*) seringkali hilang atau disederhanakan. Ini menyebabkan variasi interpretasi terhadap kata-kata kunci. Misalnya, *Al-Lail* terkadang disederhanakan menjadi *Alleil*, dan *sa'yakum* menjadi *saïcum*.

Kesalahan fonetik ini, ketika digabungkan dengan interpretasi yang didorong oleh apologetika agama, terkadang menghasilkan terjemahan yang gagal menangkap nuansa teologis penuh dari *taqwa* (ketakwaan) atau *ikhlas* (ketulusan). Proyek-proyek Orientalis modern, seperti yang dilakukan oleh Richard Bell atau Arthur Arberry, kemudian berupaya memperbaiki dan menyajikan versi yang lebih akurat, meskipun karya-karya awal Latin tetap menjadi jejak historis penting dalam studi Barat tentang Islam.


VII. Penerapan Etika Al-Lail dalam Kehidupan Kontemporer

Meskipun Surah Al-Lail diturunkan pada abad ke-7 di gurun Mekah, pesannya tentang dualitas moral dan ekonomi tetap relevan di era modern yang kompleks, terutama dalam konteks ketidaksetaraan ekonomi global.

A. Konsep *Al-Yusrā* di Era Kapitalisme

Dalam masyarakat yang didominasi oleh ideologi materialisme dan kapitalisme, di mana nilai diri sering diukur berdasarkan kekayaan (istaghnā), pesan Al-Lail adalah penyeimbang yang radikal. Konsep Al-Yusrā (kemudahan) yang dijanjikan bagi mereka yang memberi (a'ṭā) menantang pandangan bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai melalui penimbunan dan kekikiran (bakhila).

Kemudahan yang dijanjikan dalam surah ini bukan berarti kemudahan materi, melainkan kemudahan hati, ketenangan batin, dan kemampuan untuk menavigasi kesulitan hidup dengan bimbingan Ilahi. Ini adalah etika yang menempatkan niat (ikhlas) di atas hasil duniawi semata.

B. Ketakwaan dan Tanggung Jawab Sosial

Pujian terhadap Al-Aqtā (yang paling bertakwa) yang membelanjakan hartanya tanpa mengharapkan balasan jasa duniawi adalah panggilan untuk tanggung jawab sosial yang mendalam. Dalam konteks modern, ini meluas dari zakat dan sedekah tradisional ke filantropi, investasi etis, dan komitmen terhadap keadilan sosial yang tidak termotivasi oleh insentif pajak atau pengakuan publik.

Pada akhirnya, Surah Al-Lail adalah sebuah studi tentang motivasi. Ia mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki bobot yang masif karena ia merefleksikan pilihan mendasar seseorang untuk mengikuti jalur yang dimudahkan (Al-Yusrā) atau jalur yang dipersulit (Al-‘Usrā).


VIII. Perbandingan Tematik dengan Surah-Surah Pendek Makkiyah Lainnya

Untuk menghargai keunikan Al-Lail, perlu dikaji bagaimana surah ini berinteraksi dengan surah-surah Makkiyah yang memiliki tema serupa, khususnya yang juga menggunakan sumpah kosmik.

A. Al-Lail dan Surah Ash-Shams (Matahari)

Surah Ash-Shams (ke-91) mendahului Al-Lail dalam urutan Mushaf dan memiliki struktur sumpah yang sangat mirip. Ash-Shams bersumpah dengan Matahari, Bulan, Siang, dan Malam, dan puncaknya adalah penegasan moralitas: bahwa Allah telah mengilhamkan jiwa manusia dengan kefasikan (fujūraha) dan ketakwaan (taqwāha).

Sementara Ash-Shams fokus pada pengenalan potensi moral dalam jiwa manusia (nafs), Al-Lail fokus pada hasil dari penggunaan potensi tersebut—yaitu, usaha (sa’ya) yang dilakukan manusia. Ash-Shams menyatakan potensi dualitas; Al-Lail menyatakan konsekuensi dualitas tersebut melalui jalur a’ṭā wa ittaqā (memberi dan bertakwa) vs. bakhila wa istaghnā (kikir dan merasa cukup). Keduanya saling melengkapi, membentuk ajaran etis yang utuh.

B. Al-Lail dan Surah Ad-Dhuha (Waktu Dhuha)

Surah Ad-Dhuha (ke-93) juga menggunakan sumpah waktu (Waktu Dhuha dan Malam) untuk menegaskan perhatian dan janji Allah kepada Nabi Muhammad, menenangkan beliau di masa sulit. Jika Ad-Dhuha adalah surah penghiburan, Al-Lail adalah surah panggilan aksi etis. Keduanya menggunakan Malam sebagai simbol penutup atau penenang, namun Al-Lail menggunakannya sebagai landasan untuk sumpah yang lebih luas mengenai seluruh umat manusia.

Konteks Latin dalam perbandingan ini sering melihat konsistensi dalam penggunaan sumpah kosmik (iuramentum cosmicum) sebagai alat retorika Al-Qur’an untuk membangun otoritas sebelum menyampaikan pesan moral yang paling krusial.


IX. Pendalaman Konsep Etika Ekonomi: Kekikiran dan Kesombongan (Bakhila wa Istaghnā)

Dua sifat yang dikutuk dalam Surah Al-Lail (Ayat 8–10) yaitu kekikiran (bakhila) dan merasa cukup (istaghnā), menawarkan wawasan yang mendalam tentang psikologi penolakan iman dan etika ekonomi yang dianjurkan Islam. Konsep ini memerlukan elaborasi yang sangat luas untuk memahami kedalaman teologisnya.

A. Analisis Akar Kata *Bakhala* (Kekikiran)

Kata kerja bakhala (بَخِلَ) memiliki arti menahan sesuatu yang seharusnya diberikan, terutama harta. Kekikiran bukanlah sekadar sifat pelit, melainkan merupakan penyakit hati yang menghalangi aliran rezeki dan kasih sayang yang seharusnya beredar dalam masyarakat. Dalam tradisi Islam, kekikiran dianggap sebagai salah satu dosa besar karena ia menafikan prinsip dasar ajaran—yaitu bahwa semua harta pada dasarnya adalah titipan Allah.

Tafsir Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa bakhila di sini mencakup penolakan terhadap kewajiban seperti zakat dan menahan diri dari sunnah (sedekah sukarela). Kekikiran menghasilkan stagnasi sosial dan spiritual. Jika individu secara kolektif menahan pemberian, maka kemudahan (Al-Yusrā) akan digantikan oleh kesukaran (Al-‘Usrā) pada skala sosial.

Dalam terminologi Latin, padanan seperti avaritia (ketamakan/keserakahan) sering digunakan, namun avaritia lebih fokus pada hasrat untuk mendapatkan, sementara bakhila lebih fokus pada penolakan untuk melepaskan. Perbedaan ini krusial dalam kajian perbandingan etika.

B. Filosofi *Istaghnā* (Merasa Cukup/Sombong)

Konsep yang lebih subversif adalah istaghnā (ٱسۡتَغۡنَىٰ), yang berasal dari akar kata *ghaniy* (kaya atau berkecukupan). Dalam bentuk *istaf’ala* (meminta/menganggap), istaghnā berarti merasa dirinya tidak membutuhkan (Tuhan atau manusia lain) karena kekayaan atau kekuasaan yang dimilikinya. Ini adalah bentuk sombong (kibr) yang paling berbahaya, karena ia langsung menyerang Tauhid—prinsip bahwa hanya Allah yang Maha Kaya dan Mutlak Berkeperluan (Al-Ghaniyy).

Orang yang istaghnā mendustakan Al-Husna (janji pahala terbaik) karena mereka yakin bahwa hasil dari usaha mereka semata-mata adalah karena kecerdasan atau kekuatan mereka sendiri, bukan karena Rahmat Ilahi. Mereka menganggap diri mereka adalah 'pencipta' kekayaan mereka sendiri, sebuah pandangan yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang menekankan bahwa kekayaan adalah ujian (fitnah).

Keterkaitan antara bakhila dan istaghnā bersifat kausal: Kekikiran lahir dari rasa cukup diri yang palsu. Jika seseorang merasa tidak berutang apa-apa kepada Tuhan, ia tidak akan merasa perlu untuk memberi kepada sesama manusia yang merupakan representasi dari ujian dan Rahmat Tuhan di bumi.

C. Konsekuensi *Al-‘Usrā* (Kesukaran) yang Berlipat Ganda

Konsekuensi dari gabungan *bakhila* dan *istaghnā* adalah dipudahkannya menuju Al-‘Usrā (kesukaran). Penafsiran modern melihat Al-‘Usrā bukan hanya sebagai neraka di akhirat, tetapi juga sebagai kegagalan psikologis dan moral di dunia. Orang yang kikir dan sombong hidup dalam ketakutan terus-menerus akan kehilangan, iri hati, dan tidak pernah merasa puas, meskipun memiliki harta melimpah. Kepuasan spiritual (yarḍā) digantikan oleh penderitaan abadi (Al-‘Usrā), yang menjadi bukti bahwa kekayaan tanpa iman adalah belenggu, bukan pembebasan.

Kajian filologi Latin sering mencatat bahwa konsep Al-‘Usrā melampaui difficulltas (kesulitan) biasa. Ini adalah kesulitan yang diinduksi oleh diri sendiri, sebuah takdir yang dipilih secara bebas oleh jiwa yang menolak kebajikan. Dalam pandangan Latin, ini dapat dihubungkan dengan konsep poena (hukuman) yang adil dan pantas bagi kesombongan material.


X. Sintesis dan Kesimpulan Etika Al-Lail

Surah Al-Lail, yang secara harfiah dinamai 'Malam', memberikan sebuah manifesto moral yang ringkas dan kuat. Melalui sumpah kosmik tentang Malam, Siang, dan penciptaan dualistik, Allah menegaskan bahwa pilihan moral manusia bukanlah masalah abu-abu, melainkan masalah kontras yang jelas: memberi atau menahan, takwa atau kikir, membenarkan atau mendustakan.

Pengaruh studi al lail latin dalam sejarah keilmuan Islam-Barat menunjukkan pentingnya surah ini sebagai teks etika universal. Walaupun bahasa dan konteks penerjemahan Latin menghadapi tantangan dalam menangkap setiap nuansa Arab, inti pesannya berhasil melintasi batas budaya: bahwa tindakan manusia diukur dari niatnya yang tulus, bukan dari besarnya sumbangan materi.

Surah Al-Lail mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dan kepuasan abadi (yarḍā) hanya dapat dicapai melalui jalan tanpa pamrih, yaitu menginfakkan harta semata-mata untuk mencari keridhaan Tuhan. Sebaliknya, sikap kikir dan merasa cukup diri akan menuntun pelakunya menuju kesukaran yang berkelanjutan. Pesan Al-Lail tetap menjadi pedoman abadi bagi umat manusia di segala zaman, mengingatkan bahwa setiap usaha (sa'ya) yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang berlainan (syattā).

Sebagai penutup dari analisis mendalam ini, penting untuk kembali pada janji terakhir Surah Al-Lail: kebahagiaan dan kepuasan absolut menanti mereka yang mempraktikkan kebajikan tertinggi, menunjukkan bahwa investasi terbaik yang bisa dilakukan manusia adalah investasi dalam ketakwaan dan keikhlasan. Analisis filologi, teologi, dan perbandingan lintas budaya terhadap surah ini terus mengungkapkan lapisan-lapisan kebijaksanaan yang tak terbatas.

XI. Studi Komparatif Filosofis: *Al-Husna* vs. *Summum Bonum*

Salah satu aspek teologis yang paling menarik dari Surah Al-Lail adalah frasa "membenarkan (adanya pahala) yang terbaik" (وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ). Kata *Al-Husna* (ٱلۡحُسۡنَىٰ) adalah bentuk superlatif feminin dari *hasan* (baik), yang berarti 'yang terbaik' atau 'yang paling indah'. Dalam konteks ini, ia sering ditafsirkan sebagai Surga, kalimat tauhid, atau janji Allah yang paling agung.

Ketika sarjana Latin berhadapan dengan *Al-Husna*, mereka secara alamiah mencari padanan filosofis Romawi, yaitu *Summum Bonum* (Kebaikan Tertinggi). Namun, perbedaan mendasar muncul. Dalam filsafat Barat klasik, *Summum Bonum* seringkali dicapai melalui akal, kebajikan sipil (virtus), dan kehidupan yang ideal (Aristoteles atau Stoik). *Al-Husna*, dalam konteks Al-Lail, dicapai melalui tindakan yang dilandasi iman (membenarkan janji) dan ketakwaan (ittaqā), yang melampaui sekadar kebajikan rasional.

Tindakan membenarkan (ṣaddaqa) dalam Surah Al-Lail menunjukkan perlunya penerimaan iman sebagai prasyarat untuk kebajikan yang diterima. Seseorang harus percaya pada adanya pahala yang jauh lebih besar daripada kekayaan duniawi sebelum ia rela melepaskan harta yang dimilikinya. Oleh karena itu, *Al-Husna* dalam teologi Al-Qur'an memiliki dimensi transenden dan eskatologis yang lebih kuat dibandingkan kebanyakan interpretasi Summum Bonum dalam tradisi Latin. Ini adalah perbedaan esensial yang harus dicatat oleh studi filologi al lail latin.

XII. Etimologi Mendalam *Yaghsā* dan *Tajallā*

Ayat pertama dan kedua menggunakan sumpah yang menakjubkan: "Dengan malam apabila menutupi (cahaya) (إِذَا يَغۡشَىٰ)" dan "Dengan siang apabila terang-benderang (إِذَا تَجَلَّىٰ)." Pilihan kata kerja di sini sangat kaya makna.

A. *Yaghsā* (يَغۡشَىٰ) – Menutupi

Kata yaghsā berasal dari akar kata G-S-Y, yang berarti menutupi, menaungi, atau menyelubungi. Ini menciptakan citra malam yang secara aktif menyebar dan menelan cahaya siang. Malam bukan hanya ketiadaan cahaya, tetapi kekuatan aktif yang menutupi aktivitas manusia. Metafora ini dapat diperluas ke perilaku manusia: bagaimana dosa atau kekikiran bisa menutupi hati, sebagaimana malam menutupi bumi. Tafsir linguistik menekankan aspek penutupan ini sebagai tanda kekuasaan Allah yang mengendalikan ritme kosmik.

B. *Tajallā* (تَجَلَّىٰ) – Terang Benderang/Menampakkan Diri

Sebaliknya, tajallā berasal dari akar J-L-Y, yang berarti menyingkap, menampakkan diri, atau menjadi terang. Ini adalah kata yang sama yang digunakan ketika Allah menampakkan diri-Nya kepada gunung (Surah Al-A'raf). Siang secara aktif menyingkap, memunculkan segala sesuatu dalam keterbukaan. Ini melambangkan kejelasan, kebenaran, dan keterbukaan perbuatan baik yang harus dilakukan di bawah cahaya ilahi.

Konteks Latin sering menggunakan obumbrat untuk *yaghsā* dan manifestatur untuk *tajallā*. Ketepatan pemilihan kata Latin ini menunjukkan bahwa para penerjemah awal menyadari nuansa aktif dan pasif dari dua kondisi kosmik ini, yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk membenarkan dua jalur moral yang kontras: yang tersembunyi dalam kegelapan (kekikiran) dan yang termanifestasi dalam cahaya (kebaikan).

XIII. Warisan dan Kelanjutan Studi Al-Lail

Kajian terhadap Surah Al-Lail terus berkembang. Di era modern, teolog dan ekonom Muslim telah menggunakan surah ini untuk membangun kerangka etika ekonomi Islam, menekankan bahwa sistem yang didasarkan pada kekikiran dan penimbunan pada akhirnya akan mengarah pada *Al-‘Usrā* (kesukaran) bagi masyarakat luas, bukan hanya bagi individu. Surah ini menjadi argumen teologis melawan akumulasi kekayaan tanpa tanggung jawab sosial.

Studi filologi yang melampaui al lail latin ke bahasa-bahasa Eropa lainnya (seperti Inggris, Jerman, dan Spanyol) terus mengkonfirmasi bahwa dikotomi moral yang disajikan oleh surah ini adalah salah satu pesan Al-Qur’an yang paling mudah dipahami dan paling menantang. Pesan abadi Surah Al-Lail adalah sebuah ultimatum spiritual: jalan yang Anda tempuh hari ini akan menentukan hasil akhir keberadaan Anda, dan tidak ada pilihan netral di antara keduanya.

Analisis yang komprehensif terhadap surah ini, dari sumpah kosmik pembuka hingga janji kepuasan tertinggi penutup, menegaskan kedudukannya sebagai salah satu pilar etika Makkiyah yang mengajarkan bahwa kualitas batiniah (niat dan takwa) adalah penentu mutlak bagi takdir dan kebahagiaan sejati manusia.

🏠 Homepage