Mengurai Hikmah Al-Maidah Ayat 91: Puncak Larangan Khamr dan Perjudian Demi Kekhusyukan Spiritual

Surah Al-Maidah, yang banyak diturunkan pada periode Madinah, sarat akan hukum-hukum fundamental yang membentuk tatanan masyarakat Islam. Di antara ayat-ayat yang memancarkan cahaya petunjuk dan ketegasan hukum, ayat 91 menempati posisi krusial. Ayat ini bukan sekadar sebuah larangan; ia adalah kesimpulan akhir dari proses bertahap (tahrim) yang melarang total segala bentuk minuman keras (khamr) dan perjudian (maysir). Ayat ini secara eksplisit menghubungkan dua dosa besar tersebut dengan campur tangan Syaitan, yang tujuan utamanya adalah memutuskan hubungan suci antara hamba dengan Penciptanya, terutama dalam pelaksanaan shalat.

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menyelaminya dari berbagai dimensi: linguistik, historis (asbabun nuzul), fiqh, dan spiritualitas. Ayat ini mendirikan pilar masyarakat yang sehat, berakal jernih, dan fokus pada tujuan akhir kehidupan. Ia adalah penegasan bahwa ibadah yang paling utama, yakni shalat, tidak mungkin dilakukan secara sempurna jika hati dan akal dikuasai oleh kabut minuman keras atau ketamakan yang ditimbulkan oleh judi.

Simbol Kekhusyukan dan Larangan Khamr serta Perjudian عقل Khamr Judi جتنبوه (Jauhi)

Diagram yang melambangkan pemisahan total antara kekhusyukan spiritual (akal yang jernih) dengan godaan Syaitan melalui khamr dan perjudian, sesuai perintah dalam Al-Maidah 91.

I. Teks dan Terjemahan Al-Maidah Ayat 91

Untuk memulai kajian, kita perlu merujuk pada lafal suci ayat tersebut, yang merupakan landasan dari seluruh pembahasan hukum dan etika ini. Ayat 91 berbunyi:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
"Sesungguhnya Syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka, maukah kamu berhenti?" (QS. Al-Maidah: 91)

Ayat ini menggunakan bahasa yang sangat kuat, fokus, dan retoris. Kata kunci yang membentuk pilar larangan ini adalah:

  1. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ (Innama yuridusy-syaithānu): Sesungguhnya Syaitan itu bermaksud. Penekanan pada kata *innama* menunjukkan pembatasan tujuan; hanya inilah tujuan Syaitan.
  2. الْخَمْرِ (Al-Khamr): Segala sesuatu yang menutupi atau memabukkan akal.
  3. وَالْمَيْسِرِ (Wal-Maysir): Perjudian, segala bentuk permainan yang melibatkan taruhan dan spekulasi harta.
  4. وَيَصُدَّكُمْ (Wa yaṣuddakum): Dan menghalangi kamu. Ini adalah kata kunci spiritual, menunjukkan penghalang aktif.
  5. فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ (Fahal antum muntahūn): Maka maukah kamu berhenti? Ini adalah pertanyaan retoris yang menuntut jawaban mutlak (ya, kami berhenti).

II. Konteks Historis dan Proses Tahrim

Pemahaman mengenai Surah Al-Maidah ayat 91 tidak lengkap tanpa meninjau Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan proses Tahrim (pengharaman) khamr yang dilakukan secara bertahap dalam Islam. Hikmah di balik gradualitas ini sangat mendalam, menunjukkan kebijaksanaan syariat dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang telah mengakar kuat selama berabad-abad.

A. Tahapan Pengharaman Khamr

Khamr, sebelum Islam, adalah bagian integral dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Arab. Oleh karena itu, pengharamannya dilakukan dalam tiga atau empat fase, di mana Al-Maidah 91 adalah puncaknya:

  1. **Fase Peringatan Awal (Nahl 67):** Allah menyebutkan bahwa anggur dapat menghasilkan rezeki yang baik, namun juga minuman yang memabukkan, yang menunjukkan adanya unsur negatif.
  2. **Fase Peringatan Lebih Lanjut (Al-Baqarah 219):** Sahabat bertanya tentang khamr dan maysir. Jawaban Allah adalah: "Padanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Ayat ini mulai menanamkan kesadaran bahwa kerusakan spiritualnya jauh melampaui manfaat duniawi (misalnya keuntungan bisnis atau kesenangan sesaat).
  3. **Fase Larangan Temporer (An-Nisa' 43):** Larangan dideklarasikan pada waktu shalat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan." Ini adalah larangan fungsional, tujuannya agar shalat tidak terganggu, namun masih memungkinkan minum di luar waktu shalat. Namun, larangan ini menutupi sebagian besar hari, karena shalat lima waktu mencakup pagi, siang, dan malam.
  4. **Fase Larangan Mutlak (Al-Maidah 90-91):** Ini adalah penutupan dan penegasan total. Ayat 90 menyatakan khamr dan maysir adalah rijsun min 'amalisy-syaithān (perbuatan keji termasuk perbuatan Syaitan) dan memerintahkan: *fajtanibūhu* (maka jauhilah ia). Ayat 91 kemudian memberikan alasan spiritual dan sosial mengapa ia harus dijauhi, yang berujung pada pertanyaan retoris yang tidak dapat ditolak: *Fahal antum muntahūn* (Maukah kamu berhenti?).

Ketika ayat 91 turun, para sahabat merespons dengan sigap, mengucapkan, "Kami berhenti, ya Tuhan kami! Kami berhenti!" (Intahainā Yā Rabb!). Ini menunjukkan ketegasan perintah tersebut dan kepatuhan yang luar biasa dari komunitas awal. Pengharaman ini bukan karena faktor kesehatan fisik semata, melainkan karena ancaman langsung terhadap inti spiritualitas Islam.

III. Analisis Ancaman Syaitan (Urgensi Spiritual)

Inti dari Al-Maidah 91 adalah pengungkapan niat jahat Syaitan. Allah SWT tidak hanya melarang suatu perbuatan, tetapi juga menjelaskan mengapa perbuatan itu dilarang, yaitu untuk melindungi manusia dari tujuan utama Syaitan. Ada dua dampak utama yang ditimbulkan oleh khamr dan maysir, yang keduanya menjadi senjata utama Syaitan:

A. Menimbulkan Permusuhan dan Kebencian (Al-'Adāwah wal-Baghḍā')

Bagian pertama dari ayat ini menjelaskan kerusakan sosial. Syaitan ingin yūqi'a bainakumul-'adāwata wal-baghḍā' (menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu). Bagaimana khamr dan perjudian melakukan ini?

Dengan menenggelamkan diri dalam khamr dan maysir, umat Islam akan saling membenci dan berselisih. Padahal, persatuan adalah kekuatan utama umat. Oleh karena itu, larangan ini adalah perlindungan sosial dari kehancuran komunitas.

B. Menghalangi dari Mengingat Allah dan Shalat (Yaṣuddakum 'an Dzikrillāhi wa 'aniṣ-Ṣalāh)

Ini adalah dampak yang paling serius dan mendalam. Larangan khamr dan maysir bukanlah sekadar hukum etika sosial, tetapi hukum spiritualitas inti. Jika poin pertama membahas kerusakan horizontal (antar manusia), poin kedua ini membahas kerusakan vertikal (antara manusia dan Allah).

1. **Menghalangi Dzikrullāh (Mengingat Allah):** Dzikir adalah nafas spiritual seorang Muslim. Ketika seseorang berada di bawah pengaruh zat memabukkan atau terobsesi oleh gejolak judi (entah menang atau kalah), pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain. Dalam keadaan mabuk, akal tidak mampu berzikir dengan kesadaran penuh. Dalam keadaan obsesi judi, hati sibuk menghitung untung rugi atau merencanakan taruhan berikutnya. Dzikir memerlukan kehadiran hati, dan khamr/maysir merampas kehadiran hati tersebut. Hilangnya dzikir berarti hilangnya benteng pertahanan spiritual, memudahkan Syaitan masuk.

2. **Menghalangi dari Shalat (Aniş-Ṣalāh):** Shalat adalah tiang agama dan ritual paling utama yang memerlukan kesadaran penuh (khushu'). Ayat ini menekankan bahwa kedua perbuatan tersebut menghalangi seseorang dari shalat.

Khamr dan maysir adalah dua entitas yang, meskipun berbeda dalam bentuknya, memiliki dampak sinergis yang sama: pengalihan total perhatian dari tujuan spiritual. Syaitan tahu bahwa jika ia berhasil mengganggu shalat dan dzikir, seluruh struktur keimanan seseorang akan runtuh.

IV. Fiqh Kontemporer dan Perluasan Definisi

Pemahaman mendalam terhadap Al-Maidah 91 mengharuskan kita untuk menerapkan prinsip-prinsip hukumnya (fiqh) pada realitas kehidupan modern. Para ulama telah mencapai konsensus (ijma') tentang haramnya khamr dan maysir. Namun, definisi dari kedua hal ini meluas melalui Qiyas (analogi).

A. Perluasan Definisi Khamr

Definisi linguistik dari Khamr adalah segala sesuatu yang menutupi atau mengaburkan akal (*khamara*). Hukum fiqh tidak terikat pada bahan dasarnya (anggur, kurma, jelai, dll.) tetapi pada sifatnya (memabukkan/menutupi akal).

1. **Narkotika dan Obat-obatan Terlarang:** Berdasarkan prinsip Qiyas Aula (analogi yang lebih utama), semua jenis narkotika, obat-obatan psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang merusak akal dan kesadaran, hukumnya adalah haram mutlak, bahkan lebih keras daripada khamr tradisional. Dampak merusak narkotika terhadap akal, kesehatan, dan masyarakat jauh lebih parah daripada khamr di masa Nabi. Semua zat ini memiliki fungsi yang sama: menghalangi dzikrullah dan shalat. Mereka secara definitif memenuhi kriteria Syaitan dalam ayat 91.

2. **Zat Minoritas:** Bahkan zat yang hanya memabukkan dalam jumlah besar, tetap haram dalam jumlah sedikit, berdasarkan hadis: "Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka dalam jumlah sedikit pun haram." Hal ini bertujuan untuk menutup semua celah (sadd az-zari’ah) agar umat tidak tergoda untuk mencoba atau berargumen tentang batas minimal. Larangan harus bersifat absolut untuk menjaga kemurnian akal.

B. Perluasan Definisi Maysir (Perjudian)

Maysir adalah segala bentuk permainan yang didasarkan pada spekulasi atau untung-untungan, di mana ada pihak yang kalah (hartanya hilang) dan pihak yang menang (mendapatkan harta tanpa usaha yang sah), serta melibatkan unsur taruhan yang ditentukan sebelumnya.

1. **Judi Modern:** Konsep maysir meluas meliputi lotre, undian berhadiah dengan taruhan, taruhan olahraga (sports betting), kasino online, dan sebagian besar perdagangan spekulatif yang menyerupai taruhan murni tanpa adanya transaksi komoditas riil (terutama yang berpotensi adiksi tinggi dan kehancuran finansial). Semua bentuk ini menciptakan permusuhan, kebencian, dan obsesi yang menghalangi dzikrullah.

2. **Kesamaan Dampak:** Baik judi fisik maupun digital, tujuan Syaitan tetap sama: menciptakan ketamakan yang luar biasa (jika menang) atau keputusasaan yang mendalam (jika kalah). Kedua kondisi emosional ekstrem ini adalah penghalang efektif terhadap kekhusyukan dalam ibadah. Seorang yang baru saja kehilangan harta dalam judi tidak akan dapat merasakan manisnya munajat saat shalat.

V. Implementasi Sosial dan Ekonomi (Jihadul Nafs)

Perintah dalam Al-Maidah 91 bukan hanya kewajiban pribadi, tetapi juga cetak biru untuk menciptakan masyarakat madani yang utuh dan bermoral. Ketaatan terhadap ayat ini memiliki dampak positif yang luas pada sektor sosial, ekonomi, dan kesehatan publik.

A. Perlindungan Harta (Hifzul Māal)

Salah satu dari lima tujuan utama syariat (Maqāṣid al-Sharī’ah) adalah Hifzul Māal (memelihara harta). Khamr dan maysir adalah pemborosan harta secara sia-sia. Harta yang dikonsumsi untuk khamr tidak mendatangkan manfaat selain kerusakan. Harta yang hilang dalam judi berpindah tangan tanpa adanya pertukaran nilai yang adil, merugikan ekonomi riil.

Islam menganjurkan kerja keras, perdagangan yang jujur, dan investasi yang produktif. Maysir secara fundamental bertentangan dengan etos kerja Islam karena mendorong kekayaan instan tanpa usaha. Dengan menjauhi keduanya, umat diarahkan untuk menggunakan sumber daya finansial mereka untuk hal-hal yang bermanfaat, berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang stabil dan berbasis keadilan.

B. Perlindungan Akal (Hifzul 'Aql)

Akal adalah instrumen utama yang membedakan manusia dan menjadi dasar bagi taklif (pembebanan hukum). Tanpa akal, seseorang tidak wajib melaksanakan syariat. Oleh karena itu, menjaga akal adalah kewajiban yang paling mendesak. Khamr adalah musuh nyata akal. Ia menodai kemampuan berpikir jernih, mengambil keputusan yang benar, dan membedakan antara yang baik dan buruk. Masyarakat yang anggotanya menjaga akal adalah masyarakat yang mampu berinovasi, berhukum adil, dan beribadah dengan benar.

Konteks Al-Maidah 91 menunjukkan bahwa akal yang berfungsi penuh adalah prasyarat untuk kekhusyukan dalam shalat. Kekhusyukan adalah saat hati dan akal bersinergi penuh dalam menghadap Allah. Jika akal rusak atau tercemari, khusyuk akan mustahil tercapai.

VI. Perintah Retoris: Fahal Antum Muntahūn

Puncak dari ayat 91 adalah kalimat penutup yang retoris dan menggugah: فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ (Fahal antum muntahūn – Maka, maukah kamu berhenti?).

A. Kekuatan Bahasa dalam Pengharaman

Dalam ilmu balaghah (retorika Al-Qur'an), pertanyaan ini jauh lebih kuat daripada perintah langsung seperti *Intahū!* (Berhentilah!). Pertanyaan ini menuntut jawaban dari hati nurani. Setelah Allah menjelaskan secara rinci:

  1. Tujuan Syaitan (permusuhan dan kebencian).
  2. Dampak spiritual (menghalangi dzikir dan shalat).
Maka, pertanyaan "Maukah kamu berhenti?" menempatkan tanggung jawab moral sepenuhnya di pundak pendengar. Ini adalah seruan untuk menggunakan akal yang baru saja dijelaskan harus dijaga. Jika kamu tahu ini perbuatan Syaitan, dan kamu tahu ia merusak ibadahmu, apakah masih ada alasan bagimu untuk melanjutkannya?

Jawaban historis para sahabat (Kami berhenti, ya Tuhan kami!) menunjukkan bahwa ketika alasan dan tujuan di balik hukum dijelaskan, ketaatan menjadi logis dan tulus, bukan sekadar kepatuhan buta. Ayat ini mengajarkan bahwa hukum Islam bersifat rasional; ia melindungi hal-hal yang paling berharga bagi manusia.

B. Implikasi Kontemporer bagi Muslim

Pertanyaan ini abadi. Bagi seorang Muslim modern yang dihadapkan pada godaan konsumsi alkohol yang dilegalkan, atau industri perjudian global (termasuk pasar spekulatif yang tidak etis), pertanyaan ini adalah pengingat harian: Apakah kamu akan memilih jalan Syaitan atau jalan Allah?

Dalam konteks modern, ‘berhenti’ tidak hanya berarti menghindari khamr dan judi fisik, tetapi juga menghindari lingkungan, media, dan teman yang mendorong ke arah tersebut. Ayat ini menuntut adanya tindakan pencegahan aktif (sadd az-zari’ah). Jika lingkungan kerja menuntut konsumsi alkohol, seorang Muslim didorong untuk mencari alternatif. Jika budaya hiburan didominasi oleh perjudian, ia harus tegas membatasi diri.

VII. Jalan Menuju Kekhusyukan Abadi

Inti dari Al-Maidah 91 adalah kekhusyukan dan fokus spiritual. Jika Syaitan menggunakan khamr dan maysir untuk menghalangi dzikir dan shalat, maka jalan untuk mengalahkannya adalah dengan menguatkan dzikir dan shalat.

A. Peran Dzikir dalam Kehidupan Sehari-hari

Dzikrullah adalah benteng yang tidak bisa ditembus oleh Syaitan. Khamr dan maysir menyerang akal; dzikir menyucikan dan menjaga akal. Muslim yang terbiasa berdzikir (membaca Al-Qur'an, tasbih, tahmid, tahlil) akan mendapati bahwa hatinya secara alami menolak segala sesuatu yang memabukkan atau merusak. Kebiasaan dzikir menciptakan resonansi spiritual yang tidak kompatibel dengan kekacauan yang ditawarkan oleh khamr dan maysir.

Ayat ini berfungsi sebagai pengingat keras: segala kesenangan yang membuat kita lupa akan Allah adalah kesenangan palsu dan berbahaya. Kesenangan yang sejati adalah kesenangan spiritual, yang hanya dapat diakses melalui kesadaran penuh dan hati yang bersih.

B. Kualitas Shalat sebagai Indikator Keimanan

Shalat yang benar-benar berhasil, yang mencegah dari perbuatan keji dan munkar (Al-Ankabut: 45), adalah shalat yang dijalankan dengan khushu'. Khamr dan maysir merampas khusyuk ini. Oleh karena itu, larangan mutlak dalam ayat 91 adalah langkah pembersihan lingkungan spiritual agar shalat dapat dilakukan sebagaimana mestinya.

Kita harus melihat shalat bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai pertemuan harian dengan Sang Pencipta. Pertemuan ini membutuhkan kejernihan total. Ketika seseorang menjauhi khamr dan maysir, ia menunjukkan bahwa ia menghargai shalatnya lebih dari segala kenikmatan duniawi yang fana.

VIII. Dampak Jangka Panjang pada Peradaban

Penerapan hukum dalam Al-Maidah 91 memiliki dampak yang transformatif bukan hanya pada individu, tetapi juga pada skala peradaban. Sejarah mencatat bahwa peradaban yang membiarkan kerusakan moral akibat minuman keras dan perjudian cenderung mengalami kemunduran sosial dan ekonomi yang signifikan.

Ketika umat Islam di masa Nabi SAW mendengar perintah terakhir dalam Al-Maidah 91, mereka segera menumpahkan semua persediaan khamr mereka ke jalan-jalan Madinah. Peristiwa ini dikenal sebagai "Hari Sungai Khamr" dan merupakan momen monumental yang menunjukkan komitmen total terhadap syariat. Perubahan drastis ini menghemat waktu, harta, dan nyawa yang sebelumnya terbuang sia-sia.

Masyarakat yang bebas dari khamr dan maysir adalah masyarakat yang:

Ayat 91 adalah fondasi peradaban yang dibangun di atas akal, keadilan, dan ketaqwaan, yang merupakan antitesis dari kekacauan yang diinginkan Syaitan.

IX. Penutup dan Seruan untuk Introspeksi

Al-Maidah ayat 91 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang berkaitan dengan pembentukan karakter dan tatanan sosial. Ia mengajarkan kita bahwa dosa-dosa besar ini bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi secara strategis digunakan oleh Syaitan untuk memecah belah umat dan menghalangi ibadah kita yang paling vital.

Perintah Fahal antum muntahūn (Maukah kamu berhenti?) masih bergema hingga hari ini, menuntut introspeksi mendalam dari setiap Muslim. Dalam dunia modern yang penuh dengan godaan baru – minuman keras yang semakin mudah diakses, judi online yang tersembunyi, atau adiksi baru yang menutupi akal (seperti kecanduan media sosial atau pornografi) – prinsip ayat ini tetap relevan dan mengikat.

Tugas kita adalah memastikan bahwa akal kita tetap jernih, hati kita tetap fokus, dan shalat kita menjadi tempat perlindungan yang sejati. Dengan menolak khamr dan maysir, serta segala sesuatu yang mengaburkan kesadaran kita, kita memilih untuk menjaga martabat kemanusiaan dan memprioritaskan hubungan vertikal kita dengan Allah SWT. Pilihan untuk berhenti adalah pilihan untuk meraih kemenangan spiritual dan kebahagiaan sejati. Ayat 91 adalah seruan menuju pembebasan akal dan penemuan kembali kekhusyukan yang hakiki.

Kesucian ibadah shalat menuntut kesucian akal. Dan kesucian akal hanya dapat dicapai dengan menjauhi segala bentuk racun spiritual yang didorong oleh Syaitan, sebagaimana diperintahkan secara tegas dan mutlak dalam Surah Al-Maidah.

🏠 Homepage