Simbol Perhatian dan Kepedulian
Surah Al Ma'un, khususnya ayat 1 hingga 7, merupakan salah satu bagian terpenting dalam Al-Qur'an yang mengupas tuntas mengenai sifat-sifat orang yang mendustakan agama. Ayat-ayat ini bukan sekadar narasi, melainkan sebuah cerminan tajam terhadap perilaku sebagian umat manusia yang mengaku beriman namun tindakannya jauh dari nilai-nilai luhur ajaran Islam. Pemahaman mendalam terhadap Al Ma'un 1-7 menjadi krusial bagi setiap Muslim untuk merefleksikan diri dan memastikan bahwa keimanan yang diyakini benar-benar termanifestasi dalam amal perbuatan.
Mari kita bedah satu per satu ayat-ayat yang sarat makna ini:
1. أَرَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ
Terjemahan: "Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang yang mendustakan agama?"
Ayat pembuka ini langsung menohok dengan sebuah pertanyaan retoris. Allah SWT mengajak Rasulullah SAW, dan melalui beliau, seluruh umat manusia, untuk merenungkan dan mengamati secara seksama mengenai sosok yang sesungguhnya menolak atau mendustakan ajaran agama. Kata 'mendustakan agama' di sini tidak selalu berarti penolakan terang-terangan, tetapi bisa juga meliputi sikap meremehkan, mengabaikan, atau tidak menjalankan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
2. فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ
Terjemahan: "Itulah orang yang menghardik anak yatim."
Selanjutnya, Allah SWT menjelaskan salah satu ciri dari pendusta agama, yaitu mereka yang bersikap kasar dan penuh penolakan terhadap anak yatim. Menghardik di sini mencakup perbuatan mengusir, membentak, atau memperlakukan anak yatim dengan buruk. Ini menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menekankan pentingnya kasih sayang, kepedulian, dan perlindungan terhadap kaum yang lemah, terutama anak yatim yang kehilangan figur orang tua.
3. وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
Terjemahan: "Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin."
Ayat ketiga menegaskan sifat pelit dan ketidakpedulian terhadap sesama. Orang yang mendustakan agama tidak memiliki dorongan intrinsik untuk membantu memberi makan fakir miskin. Mereka cenderung enggan mengeluarkan harta untuk menolong orang-orang yang membutuhkan, bahkan tidak menggerakkan hatinya untuk menganjurkan orang lain berbuat demikian. Ini adalah manifestasi egoisme yang bertentangan dengan nilai-nilai altruisme dalam Islam.
4. فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
Terjemahan: "Maka celakalah orang-orang yang shalat,"
Ayat keempat tampaknya kontradiktif, mengapa orang yang shalat justru dicela? Namun, konteksnya sangat penting. "Al-Mussallin" di sini merujuk pada orang-orang yang shalat namun dengan kriteria tertentu yang akan dijelaskan di ayat-ayat berikutnya. Shalat mereka adalah shalat yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak membuahkan hasil positif dalam kehidupan mereka. Ini adalah peringatan keras bagi umat Islam agar shalat mereka bukan sekadar ritual kosong, tetapi memiliki dampak transformatif dalam diri.
5. ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Terjemahan: "yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya."
Kriteria orang yang shalat dan dicela adalah mereka yang sahūn, yaitu lalai. Kelalaian ini bisa bermakna banyak hal: menunda-nunda waktu shalat hingga habis waktunya, tidak khusyuk dalam shalat, tidak memahami bacaan shalat, atau bahkan tidak peduli apakah shalatnya sudah dilaksanakan atau belum. Shalat yang dilakukan tanpa kesadaran, tanpa kekhusyukan, dan tanpa penghayatan adalah shalat yang dianggap lalai dan tidak diterima nilainya oleh Allah SWT.
6. ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
Terjemahan: "orang-orang yang berbuat ria."
Selanjutnya, sifat lain dari pendusta agama adalah mereka yang melakukan ibadah atau perbuatan baik semata-mata untuk pamer (riya). Tujuannya bukan karena Allah, melainkan untuk mendapatkan pujian, pengakuan, atau pandangan baik dari manusia. Riya adalah penyakit hati yang sangat berbahaya dan dapat menggugurkan seluruh pahala amal kebaikan.
7. وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ
Terjemahan: "dan enggan (menolong dengan) barang berguna."
Ayat terakhir ini menegaskan kemusyrikan sifat pendusta agama. Mereka tidak hanya enggan memberikan harta atau makanan, tetapi juga menolak untuk memberikan bantuan dalam bentuk barang-barang bermanfaat (al-mā'ūn) yang sekiranya bisa membantu tetangga atau sesama. Ini bisa berupa pinjaman alat, bantuan tenaga, atau apa pun yang dapat meringankan beban orang lain. Sikap ini mencerminkan kekikiran dan kurangnya empati yang mendalam.
Surah Al Ma'un 1-7 memberikan pelajaran berharga mengenai bagaimana keimanan seharusnya tercermin dalam perilaku nyata. Mengakui Allah sebagai Tuhan Yang Esa dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya adalah langkah awal. Namun, keimanan yang sejati akan teruji ketika seorang Muslim mampu menunjukkan kepedulian terhadap sesama, khususnya anak yatim dan fakir miskin, serta melaksanakan ibadah shalat dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan, bukan sekadar formalitas. Menghindari riya dan bersedia membantu sesama dengan apa pun yang dimiliki adalah bentuk kongkret dari kedalaman iman.
Umat Muslim diajak untuk secara terus-menerus mengoreksi diri. Apakah kita termasuk orang yang kasar terhadap anak yatim? Apakah kita pernah merasa enggan membantu orang miskin? Apakah shalat kita sudah benar-benar khusyuk atau hanya sekadar rutinitas? Apakah ibadah kita dilakukan karena Allah semata atau karena ingin dipuji manusia? Dan yang terakhir, apakah kita termasuk orang yang pelit, enggan berbagi barang berguna dengan tetangga atau sesama?
Dengan merenungi Surah Al Ma'un 1-7, diharapkan setiap individu Muslim dapat memperbaiki kualitas imannya, meningkatkan kepedulian sosialnya, dan menjadikan ajaran agama sebagai panduan hidup yang utuh, bukan hanya sekadar pengakuan lisan.
Memahami Al Ma'un 1-7 berarti memahami inti ajaran Islam tentang keseimbangan antara hubungan vertikal (dengan Allah) dan hubungan horizontal (dengan sesama manusia). Keimanan yang kokoh terwujud dalam tindakan nyata yang mencerminkan kasih sayang, kepedulian, dan kedermawanan.