Simbol Al-Qur'an dan Malam Kemuliaan

Menggali Samudra Makna: Analisis Mendalam
Ayat Pertama Surah Al-Qadr

Surah Al-Qadr, yang secara harfiah berarti Malam Kemuliaan, adalah salah satu surah yang paling agung dalam Al-Qur’an. Surah Makkiyah ini terdiri dari lima ayat yang padat makna, memberikan kedudukan istimewa kepada satu malam dalam setahun yang dikenal sebagai Lailatul Qadr. Namun, seluruh keagungan surah ini bersumber pada ayat pertamanya, yang menjadi kunci pembuka bagi pemahaman kita mengenai interaksi antara langit dan bumi, antara wahyu dan kemanusiaan.

Ayat pertama Surah Al-Qadr adalah:

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Malam Kemuliaan.”

Kalimat ini bukan sekadar pemberitahuan historis; ia adalah deklarasi teologis tentang asal usul, waktu, dan keagungan Al-Qur’an. Memahami ayat ini memerlukan penyelaman mendalam ke dalam aspek linguistik, tafsir, dan implikasi akidah yang terkandung dalam setiap kata. Melalui kajian yang komprehensif ini, kita akan berusaha menangkap esensi spiritual dan hikmah ilahi yang termaktub dalam Al Qadr ayat 1.

I. Mengurai Komponen Ayat: Analisis Linguistik Kata Per Kata

Untuk mencapai kedalaman makna yang hakiki, kita harus membedah setiap elemen dalam frasa “إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ” (Inna anzalnahu fi Laylatil Qadr). Struktur bahasa Arab dalam ayat ini dipilih secara cermat oleh Allah SWT untuk menyampaikan keagungan yang maksimal.

1. Inna (إِنَّآ) – Penekanan dan Penegasan Mutlak

Kata pertama, Inna (sesungguhnya), adalah partikel penegas (harf taukid). Dalam retorika Arab, penggunaan 'Inna' di awal kalimat berfungsi untuk menghilangkan keraguan dan mengokohkan kebenaran informasi yang akan disampaikan. Kehadiran ‘Inna’ menunjukkan bahwa apa yang diucapkan berikutnya adalah fakta yang tidak boleh dipertanyakan, sebuah deklarasi ilahi yang pasti.

Dalam konteks al qadr ayat 1, ini adalah penegasan bahwa peristiwa penurunan Al-Qur’an adalah peristiwa yang benar-benar terjadi, telah ditetapkan oleh kehendak Ilahi, dan memiliki signifikansi yang luar biasa. Allah memulai Surah ini dengan penegasan mutlak untuk menjamin perhatian penuh dari para pendengar dan pembaca.

2. Anzalnahu (أَنزَلۡنَٰهُ) – Penurunan dan Ketinggian Subjek

Kata ini terdiri dari dua bagian: ‘Anzalna’ (Kami telah menurunkan) dan ‘hu’ (kata ganti yang merujuk pada Al-Qur’an).

A. Makna Kata Anzala (أنزل)

Kata kerja ‘Anzala’ berasal dari akar kata ‘Nazala’, yang berarti turun. Dalam gramatika Arab, ‘Anzala’ (bentuk IV/af'ala) berbeda dengan ‘Nazzala’ (bentuk II/fa''ala). Perbedaan ini krusial dalam memahami metode pewahyuan:

Karena ayat ini menggunakan Anzala, para ulama tafsir bersepakat bahwa yang dimaksud adalah penurunan Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzh (Lembaran yang Terpelihara) ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia. Ini adalah tahapan pertama pewahyuan yang terjadi pada Lailatul Qadr. Penggunaan kata ini secara spesifik mengesahkan doktrin dua tahapan penurunan Al-Qur’an.

B. Penggunaan Kata Ganti ‘Nahnu’ (Kami)

Frasa ‘Anzalnā’ menggunakan kata ganti orang pertama jamak, Nahnu (Kami), meskipun Allah adalah Esa (Tunggal). Dalam bahasa Arab, penggunaan kata ganti jamak oleh Raja atau sosok yang Mahakuasa dikenal sebagai ‘sighatul mulk’ atau ‘sighatut ta’dzim’ (bentuk penghormatan dan pengagungan). Ini bukan indikasi pluralitas dalam Ketuhanan (yang bertentangan dengan Tauhid), melainkan penekanan pada:

  1. Keagungan Dzat (Ta’dzim): Menunjukkan kebesaran dan kemuliaan Allah yang tak terhingga.
  2. Banyaknya Tentara/Malaikat: Bahwa penurunan wahyu melibatkan partisipasi banyak malaikat, terutama Jibril AS, namun tetap di bawah perintah mutlak dari Allah.

3. Hu (هُ) – Kata Ganti yang Tersembunyi

Kata ganti ‘hu’ (nya) merujuk kepada ‘Al-Qur’an’. Meskipun kata Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat ini, konteks keseluruhan (seperti disebutkan dalam Surah Ad-Dukhan dan Al-Baqarah) dan konsensus ulama memastikan bahwa ‘hu’ merujuk pada Kitab Suci tersebut. Penghilangan nama Al-Qur’an di sini justru meningkatkan keagungannya. Seolah-olah Kitab Suci ini sudah begitu dikenal dan mulia, sehingga penyebutannya cukup dengan kata ganti. Ini adalah bentuk i’jaz (keajaiban) sastra Al-Qur’an.

4. Fi Laylatil Qadr (فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ) – Waktu dan Tempat yang Diberkati

Frasa ini menetapkan waktu spesifik kejadian agung tersebut.

A. Fi (فِي) – Keterangan Waktu

Kata depan ‘Fi’ (di dalam/pada) menunjukkan interval waktu yang terlingkupi. Penurunan Al-Qur’an terjadi di dalam batas waktu malam yang istimewa ini.

B. Laylah (لَيْلَةِ) – Malam Hari

Malam hari dalam Islam sering kali dikaitkan dengan ketenangan, kontemplasi, dan penerimaan spiritual. Allah memilih malam, bukan siang, untuk permulaan penurunan wahyu. Hal ini menekankan bahwa penerimaan hidayah memerlukan suasana kekhusyukan dan ketenangan batin, yang seringkali sulit dicapai pada hiruk pikuk siang hari.

C. Al-Qadr (ٱلۡقَدۡرِ) – Kemuliaan, Kekuatan, dan Ketetapan

Kata ‘Al-Qadr’ adalah inti dari seluruh surah dan memiliki tiga makna utama yang saling terkait erat, sesuai pandangan para mufasir seperti Imam Ar-Razi dan Ibnu Katsir:

  1. Al-Qadr (Kemuliaan/Kehormatan): Malam tersebut sangat mulia karena menjadi waktu turunnya firman Allah yang paling mulia.
  2. At-Taqdir (Ketetapan/Pengaturan): Pada malam itu, segala takdir dan ketentuan rinci bagi seluruh makhluk untuk satu tahun ke depan (rejeki, hidup, mati, sakit, sehat) ditetapkan dan dikukuhkan dari Lauhul Mahfuzh kepada para malaikat pencatat.
  3. Al-Qudrah (Kekuatan): Malam ini menunjukkan kekuatan tak terbatas Allah SWT dalam mengubah takdir dan memberikan pengampunan masif.

Dengan demikian, frasa fi Laylatil Qadr berarti “pada malam yang memiliki kemuliaan, di mana segala ketetapan (takdir) untuk satu tahun ditentukan.”

II. Tafsir Nuzulul Qur'an: Mengapa Diturunkan Sekaligus?

Ayat al qadr ayat 1 (“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya...”) menetapkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada satu malam spesifik. Namun, sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW menerima wahyu secara bertahap selama 23 tahun. Konflik yang tampak ini melahirkan doktrin dualitas penurunan Al-Qur’an yang disepakati oleh mayoritas ulama (Jumhur Ulama).

1. Fase Pertama (Inzal Jumlatan Wahidah – Penurunan Sekaligus)

Fase inilah yang disinggung secara langsung oleh Al Qadr ayat 1. Al-Qur’an secara utuh, dari Surah Al-Fatihah hingga An-Nas, diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah (Rumah Kemuliaan), sebuah tempat di langit dunia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Abbas RA:

Tujuan penurunan sekaligus ini adalah:

2. Fase Kedua (Tanzil Munajjaman – Penurunan Bertahap)

Setelah berada di Baitul Izzah, Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS, sedikit demi sedikit, sesuai kebutuhan dan peristiwa yang terjadi (Asbabun Nuzul). Proses ini memakan waktu 23 tahun. Proses inilah yang diistilahkan dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kata kerja ‘Nazzala’ (seperti pada Surah Al-Furqan: 32).

Hikmah penurunan bertahap ini sangat banyak:

Dengan demikian, Al Qadr ayat 1 berbicara tentang permulaan total wahyu, menegaskan bahwa seluruh Al-Qur’an telah ada dan siap diwahyukan sejak Lailatul Qadr, memberikan fondasi kemuliaan waktu tersebut.

III. Makna Teologis Laylatil Qadr dalam Ayat Pertama

Pemilihan Lailatul Qadr sebagai waktu penurunan Al-Qur’an bukanlah kebetulan, melainkan manifestasi sempurna dari kebijaksanaan ilahi. Ayat ini menghubungkan secara eksplisit peristiwa teragung (penurunan Al-Qur’an) dengan waktu teragung (Lailatul Qadr). Hubungan ini mengungkap tiga dimensi utama keagungan Malam Kemuliaan.

1. Qadr sebagai Taqdir (Penetapan Takdir Tahunan)

Menurut banyak riwayat dari sahabat dan pandangan dari tabi'in, di malam Lailatul Qadr, Allah menetapkan atau mengukuhkan takdir tahunan (taqdir sanawi). Meskipun takdir utama (Al-Qadr Al-Azali) telah tertulis di Lauhul Mahfuzh sejak penciptaan, pada Lailatul Qadr, salinan operasional takdir tersebut diserahkan kepada para malaikat. Hal ini mencakup:

Sebagaimana firman Allah dalam Surah Ad-Dukhan ayat 4: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” Keterangan ini memperkuat interpretasi bahwa Al Qadr ayat 1 adalah gerbang bagi penetapan takdir tahunan, yang mana Al-Qur’an—sebagai panduan takdir dan hukum—turun bersamanya.

2. Qadr sebagai Syaraf (Kemuliaan yang Tak Tertandingi)

Kemuliaan malam ini tidak hanya berasal dari peristiwa penurunan Al-Qur’an, tetapi juga dari nilai ibadah di dalamnya. Ayat-ayat berikutnya dalam Surah Al-Qadr secara eksplisit menyebutkan bahwa malam itu lebih baik dari seribu bulan. Ini berarti amal kebaikan, zikir, dan qiyamul lail yang dilakukan di malam itu memiliki pahala yang berlipat ganda, melebihi ibadah yang dilakukan selama 83 tahun lebih.

Konteks al qadr ayat 1 menegaskan bahwa kemuliaan ini datang dari sumbernya: firman Allah. Kehadiran Al-Qur’an di langit dunia pada malam itu memberikan nilai dan berkah yang melebihi batas waktu normal. Malam tersebut menjadi jembatan antara dunia fana dan keabadian ilahi.

3. Keterkaitan Laylatul Qadr dengan Bulan Ramadhan

Meskipun Al Qadr ayat 1 hanya menyebutkan “Laylatil Qadr” tanpa menyebut Ramadhan, ayat lain menguatkan bahwa peristiwa ini terjadi di Bulan Puasa. Surah Al-Baqarah ayat 185 menyatakan: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur’an...”

Integrasi kedua ayat ini menyimpulkan: Lailatul Qadr adalah malam istimewa yang berada di dalam Bulan Ramadhan. Ini menjelaskan mengapa Ramadhan menjadi bulan yang diagungkan, karena ia menaungi malam paling mulia, di mana Kitab Suci diturunkan. Kemuliaan waktu (Ramadhan) bertemu dengan kemuliaan malam (Lailatul Qadr) yang membawa kemuliaan wahyu (Al-Qur’an).

IV. Akidah dan Teologi: Deklarasi Keilahian Al-Qur’an

Penggunaan kata ganti jamak ‘Kami’ (Nahnu) dalam ‘Inna Anzalnahu’ adalah salah satu titik sentral dalam kajian akidah. Ini adalah penekanan terhadap Tauhid Rububiyah (Ketuhanan sebagai Pencipta dan Pengatur) dan Tauhid Asma wa Sifat (Kesempurnaan Nama dan Sifat Allah).

1. Al-Qur’an adalah Kalamullah, Bukan Makhluk

Ayat al qadr ayat 1 secara tegas menyatakan bahwa Allah sendiri yang menurunkan Al-Qur’an: ‘Kami telah menurunkannya.’ Ini merupakan bantahan terhadap sekte-sekte yang pernah muncul dalam sejarah Islam yang menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk ciptaan. Klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk akan merusak esensi pesan, karena jika ia diciptakan, ia tidak memiliki sifat kekal dan mutlak dari Sang Pencipta.

Penggunaan ‘Kami’ (Allah) sebagai subjek penurunan menandakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah (Firman Allah) yang bersifat qadim (kekal), meskipun lafal dan susunannya (mushaf) diturunkan pada waktu tertentu (Lailatul Qadr).

2. Signifikansi ‘Kami’ sebagai Kehendak Mutlak

Dalam konteks teologis, ketika Allah menggunakan ‘Kami’, itu seringkali terkait dengan tindakan yang menunjukkan kehendak, kekuatan, dan kekuasaan tertinggi-Nya dalam mengatur alam semesta. Penurunan Al-Qur’an adalah tindakan Rububiyah, yaitu tindakan mengatur dan mengurus alam semesta.

Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Jibril menjadi perantara, dan Nabi Muhammad SAW menjadi penerima, sumber mutlak dan otoritas tunggal di balik wahyu adalah Allah SWT. Tidak ada campur tangan atau perubahan manusia dalam proses ini. Oleh karena itu, ketaatan pada Al-Qur’an adalah ketaatan langsung kepada kehendak Ilahi yang diumumkan pada Lailatul Qadr.

Kajian mendalam para ulama salaf menekankan bahwa memahami ‘Inna Anzalnahu’ harus diposisikan sebagai pengakuan terhadap kekuasaan mutlak Allah dalam memilih waktu, cara, dan isi dari wahyu terakhir-Nya kepada umat manusia.

V. Al-Qadr Ayat 1 dalam Jaringan Al-Qur’an

Tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang berdiri sendiri. Ayat al qadr ayat 1 memiliki hubungan erat dengan ayat-ayat lain yang membahas penurunan wahyu, memperkuat dan melengkapi makna yang terkandung di dalamnya. Studi intertekstual ini sangat penting untuk memahami konteks holistik wahyu.

1. Kaitan dengan Surah Ad-Dukhan (44:3)

Allah berfirman dalam Surah Ad-Dukhan:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.”

Mayoritas mufasir sepakat bahwa ‘malam yang diberkahi’ (Laylatun Mubarakah) yang dimaksud dalam Ad-Dukhan adalah Lailatul Qadr. Perbedaan nama ini justru memperkaya makna:

Kedua surah ini, ketika dibaca bersamaan dengan Al Qadr ayat 1, memberikan gambaran sempurna tentang keagungan malam itu, yang menjadi titik tolak bagi takdir dan berkah umat Islam.

2. Kaitan dengan Surah Al-Baqarah (2:185)

Telah disinggung sebelumnya, Surah Al-Baqarah menetapkan Ramadhan sebagai bulan penurunan Al-Qur’an. Ini menghilangkan ambiguitas waktu Lailatul Qadr dan menetapkan ibadah Ramadhan sebagai konteks spiritual di mana peristiwa monumental ini terjadi. Ramadhan, dengan kewajiban puasa dan qiyamul lail, adalah panggung yang disiapkan untuk menerima berkah dari malam yang ditunjukkan oleh Al Qadr ayat 1.

3. Al-Qur'an dan Hari Penentuan (Yaum Al-Fasl)

Penurunan Al-Qur’an pada Lailatul Qadr (malam penetapan takdir) menggarisbawahi fungsi Al-Qur’an itu sendiri sebagai Al-Furqan (Pembeda). Al-Qur’an adalah tolok ukur yang membedakan kebenaran dari kebatilan, hidayah dari kesesatan. Keputusan ilahi yang diturunkan pada malam itu adalah keputusan yang mengikat seluruh kehidupan manusia, mulai dari aspek moral hingga hukum. Dengan demikian, Lailatul Qadr bukan hanya malam ditetapkannya rezeki, tetapi juga malam ditetapkannya panduan hidup yang akan mengantarkan manusia pada takdir akhir mereka di Akhirat.

VI. Hikmah Spiritual dan Tuntutan Praktis dari Ayat Pertama

Ayat Inna anzalnahu fi laylatil qadr tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah, tetapi juga memberikan implikasi mendalam bagi kehidupan spiritual dan praktis seorang Muslim. Ayat ini menuntut responsifitas dan pengamalan.

1. Menghargai Waktu dan Momentum Ilahi

Jika Allah memilih satu malam di antara ribuan malam sebagai waktu penempatan firman-Nya di langit dunia, ini mengajarkan kita tentang nilai momentum. Muslim dituntut untuk selalu mencari dan memanfaatkan waktu-waktu yang diberkahi. Ayat ini menjadi motivasi utama pencarian Lailatul Qadr di sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Penekanan pada ‘Laylatil Qadr’ dalam al qadr ayat 1 mengajarkan umat Islam untuk bersikap proaktif, menyadari bahwa peluang spiritual yang masif bersifat terbatas dan harus dikejar dengan sungguh-sungguh (ijtihad).

2. Kewajiban Memuliakan Al-Qur’an

Karena Al-Qur’an diturunkan pada malam yang mulia oleh Dzat yang Mahamulia, maka statusnya pun menjadi mutlak mulia. Implikasinya, seorang Muslim memiliki kewajiban untuk:

Keagungan Lailatul Qadr akan sia-sia jika Al-Qur’an yang diturunkan padanya diabaikan. Kehormatan malam itu berfungsi sebagai pengingat abadi akan pentingnya Kitab Suci ini.

3. Hubungan antara Wahyu dan Takdir

Kajian terhadap al qadr ayat 1 menunjukkan kaitan fundamental antara wahyu (Al-Qur’an) dan takdir (Al-Qadr). Jika takdir tahunan ditetapkan pada malam itu, dan Al-Qur’an adalah panduan hidup, maka sesungguhnya Al-Qur’an adalah peta jalan menuju takdir terbaik (husnul khatimah).

Siapa yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah, berarti ia telah memilih takdir yang terbaik, karena ia mengikuti petunjuk langsung dari Dzat yang menetapkan takdir itu sendiri. Ini memberikan ketenangan bagi mukmin, bahwa meskipun takdir telah ditetapkan, Allah telah memberikan panduan (Al-Qur’an) untuk menavigasi takdir tersebut.

VII. Eksplorasi Lebih Lanjut dalam Tafsir Kontemporer

Para mufasir kontemporer juga melihat al qadr ayat 1 sebagai sumber inspirasi untuk pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan, bukan sekadar urusan ritualistik. Penekanan pada kata ‘Anzalnahu’ dan ‘Al-Qadr’ memiliki resonansi modern.

1. Penurunan Pengetahuan (The Descent of Knowledge)

Dalam perspektif yang lebih luas, ‘penurunan’ Al-Qur’an dapat dilihat sebagai model bagi penurunan dan penyebaran segala bentuk pengetahuan yang hakiki (ilmu nafi’). Pada Lailatul Qadr, pengetahuan tertinggi (Kalamullah) ditransfer dari dimensi ilahi ke dimensi alam materi.

Hal ini mendorong umat Islam untuk menganggap pencarian ilmu sebagai sebuah proses yang sakral, yang dimulai dari sumber yang murni dan diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu, seperti wahyu, harus didasarkan pada qadr (penetapan/standar) yang tinggi dan diturunkan dengan keberkahan.

2. Konsep Kekuatan (Qudrah) dalam Era Modern

Jika ‘Al-Qadr’ diartikan sebagai kekuatan atau kemampuan, maka ayat Al Qadr ayat 1 mengindikasikan bahwa penurunan Al-Qur’an adalah demonstrasi kekuasaan Allah yang tiada tanding. Kekuatan ini mencakup kemampuan-Nya untuk mengubah kondisi suatu kaum (sebagaimana firman-Nya: "Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah keadaan diri mereka sendiri").

Kekuatan yang diwariskan kepada umat melalui Al-Qur’an adalah kekuatan untuk melakukan transformasi diri dan masyarakat. Ini adalah panggilan untuk menggunakan potensi (qudrah) yang diberikan Allah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, sebagaimana diajarkan oleh kitab yang diturunkan pada malam kekuatan itu.

Pemahaman ini menekankan bahwa spiritualitas Lailatul Qadr harus diterjemahkan menjadi aksi nyata dan pembangunan peradaban yang berlandaskan wahyu. Tanpa aksi, kemuliaan malam itu hanya akan menjadi kenangan historis semata.

3. Penolakan terhadap Kesia-siaan (Laghw)

Seluruh Surah Al-Qadr, yang dimulai dengan penegasan penurunan wahyu, secara implisit menolak segala bentuk kesia-siaan (laghw) yang menyertai malam-malam lainnya. Jika malam itu begitu mulia (sebanding dengan seribu bulan), maka waktu yang digunakan harus diisi dengan hal-hal yang paling bermanfaat, yaitu interaksi dengan Firman Allah (membaca, merenungkan, menghafal) dan doa yang sungguh-sungguh.

Malam penetapan takdir adalah malam serius; ia menuntut fokus, menjauhkan diri dari segala bentuk hiburan duniawi yang melalaikan, dan kembali kepada substansi keberadaan: ibadah dan ketaatan. Pesan ini merupakan tuntutan praktis yang tak terpisahkan dari makna teologis Inna anzalnahu fi laylatil qadr.

VIII. Kesimpulan dan Panggilan Aksi

Ayat pertama Surah Al-Qadr, “Inna anzalnahu fi laylatil qadr,” adalah deklarasi agung yang menyingkapkan tiga realitas fundamental: keagungan Al-Qur’an, keagungan waktu (Lailatul Qadr), dan keagungan Dzat yang menurunkan (Allah SWT).

Penurunan Al-Qur’an yang dilakukan secara sekaligus pada malam itu menandai titik balik kosmik, di mana hidayah sempurna diposisikan dekat dengan manusia, menunggu waktu yang tepat untuk mengubah sejarah. Penggunaan kata ganti ‘Kami’ menegaskan bahwa proyek hidayah ini adalah proyek Ilahi yang didukung oleh otoritas tertinggi dan kekuatan tak terbatas.

Memahami al qadr ayat 1 menuntut kita tidak hanya merayakan malam itu sebagai festival tahunan, tetapi juga mengintegrasikan ruh dan tujuan Al-Qur’an ke dalam setiap aspek kehidupan kita. Lailatul Qadr adalah malam penetapan takdir, dan Al-Qur’an adalah panduan yang diturunkan pada malam itu untuk memastikan takdir kita adalah takdir yang sukses, di dunia maupun di akhirat.

Keseluruhan Surah Al-Qadr, yang diawali dengan ayat pertama ini, adalah undangan universal kepada seluruh umat manusia untuk kembali kepada sumber petunjuk, mengagungkan wahyu, dan memanfaatkan momentum spiritual yang disediakan oleh Allah SWT. Keberkahan malam itu tidak terletak pada malamnya semata, melainkan pada apa yang terjadi di malam itu: turunnya Cahaya dan Pedoman Abadi.

Semoga kajian mendalam tentang ayat pertama Surah Al-Qadr ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam dan pengamalan yang lebih istiqamah terhadap firman Allah SWT.
🏠 Homepage