Al-Qur'an Utsmani: Fondasi Ortografi dan Keutuhan Kitab Suci

Representasi Kodifikasi Al-Qur'an oleh Utsman Ayat 1 Ayat 2 Ayat 3 Mushaf Al-Imam

Visualisasi proses unifikasi catatan Al-Qur'an yang terpisah menjadi satu Mushaf standar pada masa Khalifah Utsman bin Affan.

Al-Qur'an Utsmani merujuk pada teks Al-Qur'an yang distandardisasi dan disalin pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Inisiatif monumental ini, yang dilaksanakan sekitar tahun 25 hingga 35 Hijriyah, bukan sekadar tugas penyalinan; ia adalah sebuah proyek pemeliharaan ilahiah yang memastikan keutuhan, keaslian, dan kesatuan bacaan (Qira’at) umat Islam di seluruh penjuru wilayah yang semakin meluas. Hasil dari upaya ini dikenal sebagai Mushaf Al-Imam (Mushaf Induk) atau Mushaf Utsmani, yang menjadi rujukan ortografi (Rasm) tunggal dan abadi bagi seluruh dunia Islam.

Signifikansi dari Mushaf Utsmani terletak pada ketetapan ortografinya yang unik, yang dikenal sebagai Rasm Utsmani. Rasm ini berbeda dengan kaidah penulisan Arab biasa (Rasm Imla’i) kontemporer. Perbedaan inilah yang memberikan fleksibilitas pada teks untuk mengakomodasi berbagai dialek dan cara baca yang diturunkan langsung dari Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai Tujuh Ahruf (Tujuh Bentuk). Dengan demikian, kodifikasi Utsmani adalah benteng pertahanan terakhir terhadap potensi perpecahan umat akibat perbedaan dialektika dalam membaca Kitab Suci.

I. Latar Belakang dan Urgensi Kodifikasi

Sebelum Mushaf Utsmani dibukukan, Al-Qur'an telah melalui dua fase utama pelestarian: hafalan (penghafalan di dada para sahabat) dan pencatatan (penulisan pada media seadanya seperti pelepah kurma, tulang belikat, dan batu tipis). Meskipun demikian, Mushaf yang kita kenal hari ini tidak akan terbentuk tanpa adanya tantangan dan ancaman spesifik yang muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW.

A. Kodifikasi Awal di Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq

Tahap pertama kodifikasi terjadi di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dipicu oleh Perang Yamamah (12 H) yang menewaskan banyak penghafal Al-Qur'an. Kekhawatiran Umar bin Khattab terhadap hilangnya ayat-ayat suci mendorongnya mendesak Abu Bakar untuk mengumpulkan semua catatan Al-Qur'an yang tersebar. Tugas ini diemban oleh Zaid bin Tsabit, seorang sahabat muda yang dikenal karena integritas, kecerdasan, dan perannya sebagai juru tulis wahyu Rasulullah SAW.

Mushaf yang dihasilkan pada masa Abu Bakar ini disimpan oleh beliau, kemudian diwarisi oleh Umar, dan setelah wafatnya Umar, Mushaf tersebut berada di tangan Hafshah binti Umar (salah satu istri Nabi SAW). Mushaf ini berfungsi sebagai dokumentasi tunggal yang sangat teliti, namun belum disebarluaskan sebagai standar resmi untuk publik.

B. Ancaman Perpecahan di Era Ekspansi Utsmani

Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, wilayah Islam meluas hingga ke Armenia, Azerbaijan, dan Afrika Utara. Umat Islam yang baru memeluk agama ini, atau yang berasal dari suku-suku Arab yang berbeda, mulai mempelajari Al-Qur'an dari guru-guru lokal. Para guru ini mengajarkan Al-Qur'an berdasarkan dialek dan Qira’at yang mereka kuasai (yang secara valid termasuk dalam Ahruf yang diturunkan).

Namun, dalam interaksi antara penduduk baru dan tentara Muslim, perbedaan dialektika ini sering disalahartikan sebagai kesalahan atau penyimpangan. Puncak dari kekhawatiran ini adalah laporan yang dibawa oleh Hudzaifah bin Al-Yaman, yang menyaksikan perselisihan sengit antara tentara Syam dan tentara Irak mengenai cara membaca Al-Qur'an saat mereka berperang di Armenia. Hudzaifah segera menghadap Utsman dan memperingatkan, "Selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitab mereka, sebagaimana perselisihan yang terjadi antara Yahudi dan Nasrani."

Utsman menyadari bahwa jika perbedaan Qira’at yang valid tidak disalurkan dan diikat dalam satu kerangka ortografi yang kuat, hal itu akan mengancam fondasi keimanan umat. Perbedaan dialek (Ahruf) yang awalnya merupakan rahmat dan kemudahan, kini berpotensi menjadi sumber fitnah dan perpecahan politik-keagamaan.

II. Proses dan Metodologi Pembentukan Mushaf Induk

Menanggapi laporan Hudzaifah, Khalifah Utsman bin Affan segera mengambil tindakan tegas dan sistematis. Keputusannya adalah menyalin ulang Mushaf yang tersimpan di Hafshah dan menjadikannya standar baku (Mushaf Al-Imam) yang dikirim ke seluruh provinsi utama, sekaligus memerintahkan pembakaran mushaf-mushaf pribadi lainnya yang mungkin mengandung perbedaan Rasm yang membingungkan atau catatan tepi pribadi.

A. Pembentukan Panitia Kodifikasi (Lajnah)

Utsman membentuk panitia empat orang yang sangat kredibel, dipimpin oleh Zaid bin Tsabit Al-Anshari (ahli utama kodifikasi pertama), bersama tiga orang Quraisy: Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Pimpinan dari suku Quraisy dipilih untuk memastikan bahwa teks utama ditulis berdasarkan dialek Quraisy, dialek Rasulullah SAW.

Utsman memberikan instruksi yang jelas kepada panitia, sebuah arahan yang mendefinisikan kerangka ortografi Mushaf Utsmani:

"Apabila kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit mengenai sesuatu dari Al-Qur'an, maka tulislah ia dengan dialek Quraisy, karena sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dengan dialek mereka."

Instruksi ini sangat penting. Zaid bin Tsabit, seorang Anshar, mungkin lebih cenderung pada dialek Madinah, sementara panitia Quraisy memastikan bahwa kerangka ortografi dasar mengacu pada dialek Quraisy, yang memiliki otoritas tertinggi dalam transmisi wahyu.

B. Mekanisme Kerja Panitia

Panitia bekerja menggunakan Mushaf Hafshah sebagai teks referensi primer. Selain itu, mereka menerapkan prinsip yang ketat, yakni sebuah ayat hanya boleh dimasukkan jika disepakati oleh seluruh panitia dan diverifikasi oleh dua saksi yang mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Proses ini memastikan bahwa Mushaf Utsmani bukan hanya sekadar salinan, melainkan verifikasi ulang yang sangat cermat.

Hasil dari pekerjaan ini adalah Mushaf standar yang ditulis dalam Rasm (ortografi) tertentu yang memiliki fitur-fitur unik. Setelah disalin, Mushaf induk (Al-Imam) disimpan di Madinah, dan salinan-salinan yang identik (disebut Al-Masahif As-Sittah, atau Enam Mushaf) dikirim ke pusat-pusat Islam utama:

  1. Mekkah
  2. Syam (Damaskus)
  3. Kufah
  4. Bashrah
  5. Yaman (beberapa riwayat menyebut Bahrain atau Mesir)
  6. Madinah (Mushaf Al-Imam)

Bersamaan dengan setiap mushaf, Utsman mengirimkan seorang Qari’ (pembaca/guru) yang terpercaya untuk mengajarkan penduduk setempat bagaimana membaca mushaf tersebut, sehingga bacaan (Qira’at) yang valid dapat terus diajarkan dan diwariskan, namun terikat pada satu bentuk tulisan yang disepakati.

Karakteristik Rasm Utsmani: Hazf, Ziyadah, Badal Al-Hazf (الحذف) الرحمن (Hilang Alif setelah Raa') Az-Ziyadah (الزيادة) أُوْلُوْا (Penambahan Wawu yang tidak dibaca) Al-Badal (البدل) الصلوة (Wawu mengganti Alif)

Tiga kaidah utama Rasm Utsmani: Al-Hazf (Penghilangan), Az-Ziyadah (Penambahan), dan Al-Badal (Penggantian huruf).

III. Karakteristik Mendalam Rasm Utsmani

Rasm Utsmani, atau ortografi Utsmani, adalah bentuk penulisan Al-Qur'an yang sangat spesifik dan tetap. Ia merupakan sebuah konvensi ilahiah yang tidak boleh diubah, meskipun secara tata bahasa (Imla’i) ia tampak tidak konsisten. Inilah yang membedakan penulisan Mushaf dengan penulisan bahasa Arab pada umumnya. Rasm Utsmani adalah basis yang memungkinkan semua Qira’at Mu'tabarah (bacaan yang diakui) dapat dibaca dari satu teks yang sama.

Para ulama Rasm, seperti Abu Amr Ad-Dani dan Syatibi, mengklasifikasikan perbedaan Rasm Utsmani dari Rasm Imla’i (Rasm standar/modern) ke dalam lima kaidah besar. Pemahaman mendalam tentang kaidah ini sangat krusial untuk menghargai fleksibilitas Mushaf Utsmani.

A. Kaidah Al-Hazf (الحذف) - Penghilangan

Al-Hazf adalah penghilangan salah satu huruf hijaiyah dari penulisan Rasm, padahal huruf tersebut tetap diucapkan dalam bacaan (Qira’at). Penghilangan ini sering terjadi pada huruf vokal panjang (Alif, Wawu, Ya').

1. Hazf Alif

Ini adalah jenis Hazf yang paling sering ditemui, di mana huruf Alif yang berfungsi sebagai mad (pemanjang) dihilangkan. Contoh paling terkenal adalah kata الرّحْمٰنِ (Ar-Rahman), yang secara Imla’i seharusnya ditulis الرَّحْمَانِ. Hazf Alif juga terjadi pada:

2. Hazf Ya'

Penghilangan huruf Ya’ terjadi pada beberapa tempat. Paling umum terjadi pada Ya’ yang berfungsi sebagai *ya’ munada* atau *ya’ mutakallim* (kepemilikan), misalnya pada kata ربى (Rabbī) yang ditulis tanpa Ya’ di akhir, menunjukkan kesamaan antara penulisan dalam kondisi *washal* (bersambung) dan *waqaf* (berhenti).

3. Hazf Wawu

Penghilangan Wawu terjadi pada beberapa kata yang di dalamnya terdapat dua huruf Wawu yang berdekatan. Contoh klasik adalah يَدْعُو (yad'ū), di mana Wawu yang merupakan huruf mad dihilangkan di beberapa mushaf, meskipun dalam edisi modern, Wawu kecil sering ditambahkan kembali untuk memudahkan pembacaan.

B. Kaidah Az-Ziyadah (الزيادة) - Penambahan

Az-Ziyadah adalah penambahan huruf yang tidak diucapkan ketika membaca (huruf mati), tetapi ditulis dalam Rasm. Penambahan ini juga terjadi pada Alif, Wawu, dan Ya'.

1. Ziyadah Alif

Alif ditambahkan di akhir kata setelah Wawu jamak (Wawu yang menunjukkan banyak), contoh: قَالُوْا (qālū). Alif ini disebut Alif Farq (Alif Pembeda), yang berfungsi membedakan Wawu jamak dengan Wawu asli (misalnya Wawu pada kata kerja *yad'ū*).

2. Ziyadah Wawu

Wawu ditambahkan pada beberapa kata tertentu, terutama kata-kata yang mengandung Hamzah yang didahului oleh Wawu atau Alif, seperti أُولَئِكَ (ulāika) dan أُولِيْ (ulī). Wawu yang ditambahkan ini tidak diucapkan. Dalam *أُوْلُوْا*, Wawu yang ditambahkan berfungsi sebagai penopang grafis dan merupakan salah satu ciri khas Rasm Utsmani yang paling menonjol.

Hikmah Penambahan Wawu: Penambahan Wawu sering dihubungkan dengan penghormatan dan pengagungan (*ta’zhim*) terhadap kata tersebut. Contohnya, pada kata *ulā’ika*, penambahan Wawu yang tidak dibaca dipandang sebagai penekanan makna yang terkandung. Ulama lain berpendapat, penambahan Wawu ini adalah indikasi bahwa dalam Rasm asli (sebelum penambahan titik dan harakat), kata tersebut dapat dibaca secara berbeda, sehingga Rasm Utsmani menjaga kemungkinan bacaan tersebut.

C. Kaidah Al-Badal (البدل) - Penggantian

Al-Badal adalah penggantian satu huruf dengan huruf lain secara grafis, meskipun pengucapannya tetap mengikuti huruf asalnya.

1. Penggantian Alif Layyinah

Alif yang berada di akhir kata dan dibaca panjang (Alif layyinah) diganti dengan Ya' tanpa titik. Contohnya, موسى (Mūsa) dan هدى (Hudā). Dalam penulisan Imla’i modern, hal ini masih diterapkan untuk sebagian besar kata benda asing, namun dalam Rasm Utsmani diterapkan secara sistematis.

2. Penggantian Ta’ Marbutah dengan Ta’ Maftuhah

Ta’ Marbutah (ة) pada kata benda tertentu diganti dengan Ta’ Maftuhah/Panjang (ت) meskipun kata tersebut dibaca *ha* ketika waqaf (berhenti). Contohnya, رحمة (rahmah) ditulis رحمت. Hal ini hanya terjadi di 13 tempat dalam Al-Qur'an, dan ini sangat penting. Penggantian ini memungkinkan adanya variasi Qira’at, di mana sebagian qari membacanya dengan Ta’ pada saat waqaf, dan sebagian lain membacanya dengan Ha’.

3. Penggantian Nun Tanwin dengan Alif

Tanwin yang dibaca dengan Nun mati, sering diganti penulisannya dengan Alif pada waqaf, seperti pada كتاباً (kitāban) yang ditulis كتابا.

D. Kaidah Al-Fashl wa Al-Washl (الفصل والوصل) - Pemisahan dan Penyambungan

Kaidah ini merujuk pada ketentuan apakah dua kata harus ditulis terpisah (fashl) atau disambung (washl), meskipun secara umum kaidah tata bahasa Arab modern menuliskannya secara berbeda.

Contoh pemisahan: Beberapa kata yang dalam Imla’i modern disambung (misalnya *ann lā* – bahwa tidak) ditulis terpisah dalam Rasm Utsmani, أَنْ لَا. Sebaliknya, kata-kata yang secara Imla’i harus terpisah, ditulis bersambung dalam Rasm Utsmani, contoh: *bi'sa mā* (seburuk-buruknya apa) ditulis bersambung بِئْسَمَا.

Hikmah Fashl dan Washl: Aturan ini memungkinkan interpretasi sintaksis yang berbeda. Ketika dua kata ditulis terpisah, itu menunjukkan bahwa setiap kata memiliki fungsi gramatikal independen. Ketika disambung, itu menunjukkan bahwa kedua kata tersebut sudah terpadu menjadi satu kesatuan makna. Fleksibilitas ini sangat penting bagi para ulama tafsir dan Qira’at.

E. Kaidah Al-Qira’ataini (ما فيه قراءتان) - Penulisan Dua Bacaan

Ini adalah kaidah yang paling menunjukkan kecerdasan Rasm Utsmani. Kadang-kadang, teks ditulis sedemikian rupa sehingga ia dapat dibaca dengan dua cara yang berbeda, yang mana keduanya adalah Qira’at valid yang diturunkan dari Nabi SAW. Artinya, Rasm Utsmani secara sengaja membiarkan teks ambigu (sebelum penambahan titik) agar dapat menampung Ahruf yang berbeda.

Contoh klasik adalah perbedaan antara Qira’at Malik dan Maalik pada surat Al-Fatihah. Rasm Utsmani menulis ملك. Jika huruf *mim* diberi Alif kecil (Maa), ia dibaca Mālik. Jika tidak, ia dibaca Malik. Penulisan Rasm induk tanpa harakat dan titik memungkinkan kedua cara baca ini diakui secara sah dari teks yang sama.

Kesimpulan dari kaidah-kaidah ini adalah: Rasm Utsmani bukanlah kesalahan tata bahasa. Ia adalah sistem ortografi yang diturunkan (tauqifi), yang bertujuan menjaga bacaan (Qira’at) yang beragam dalam kerangka tulisan yang tunggal. Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa haram hukumnya mengubah Rasm Utsmani menjadi Rasm Imla’i modern.

Kedalaman setiap kaidah ini, ketika dijelaskan secara terperinci dengan contoh-contoh spesifik dari seluruh Al-Qur'an (misalnya, daftar lengkap 13 tempat Ta’ Maftuhah dan puluhan contoh Hazf Alif), menunjukkan betapa kompleks dan sistematisnya pekerjaan panitia Utsman. Ini bukanlah pekerjaan yang dilakukan dengan tergesa-gesa, melainkan sebuah hasil dari konsultasi mendalam dengan para Sahabat yang paling terpercaya dalam hal hafalan dan tulisan.

Sebagai contoh tambahan dari Az-Ziyadah Wawu, pertimbangkan kata سَأُوْرِيْكُم. Penambahan Wawu di sini adalah salah satu ciri khas yang tidak memiliki fungsi fonetik dalam Qira’at yang umum, namun, ia menjadi penanda visual yang membedakan teks mushaf dari teks profan lainnya, menegaskan statusnya sebagai teks ilahiah yang memiliki kekhususan dalam penulisannya. Kehadiran Ziyadah ini adalah manifestasi dari keyakinan bahwa penulisan Mushaf bukanlah kreasi manusia semata, melestarikannya adalah bagian dari pelestarian wahyu itu sendiri.

IV. Rasm Utsmani dan Tujuh Ahruf (Tujuh Bentuk Bacaan)

Untuk memahami sepenuhnya keberhasilan Mushaf Utsmani, kita harus menempatkannya dalam konteks penurunan Al-Qur'an dalam Tujuh Ahruf (Ahruf Sab’ah). Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh cara (Ahruf), yang merupakan rahmat bagi umat karena mengakomodasi perbedaan dialek Arab pada masa itu.

A. Hubungan Rasm dengan Ahruf

Setelah kodifikasi Utsman, pertanyaan muncul: Apakah Mushaf Utsmani menghapus Tujuh Ahruf? Mayoritas ulama berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak menghapus Ahruf, melainkan membatasi dan menyalurkan Ahruf tersebut. Mushaf Utsmani menyisakan Qira’at yang valid (yang termasuk dalam Ahruf) yang dapat dibaca dari ortografi tunggal yang standar, sementara memusnahkan bentuk-bentuk Qira’at lain yang tidak mutawatir atau yang diturunkan melalui jalur sanad yang lemah, serta membatasi perbedaan yang di luar kerangka dialek Quraisy.

Teks Standar dan Varian Bacaan: Rasm Utsmani berfungsi sebagai bingkai grafis yang kaku, tetapi cerdas. Ia ditulis tanpa titik (I’jam) dan tanpa harakat (Syakl). Kondisi ‘telanjang’ ini memungkinkan satu kata dapat dibaca dalam beberapa cara yang valid. Contoh:

Ketika harakat (dammah, fathah, kasrah) dan titik (diakritik) ditambahkan pada abad-abad berikutnya, Mushaf Utsmani diformat menjadi apa yang kita kenal sebagai Qira’at Asyrah (Sepuluh Qira’at) yang Mu’tabarah (diakui), di mana setiap Qira’at (seperti Qira’at Hafs ‘an Ashim, Warsh ‘an Nafi’, atau Qalun) menggunakan Rasm Utsmani yang sama, tetapi dengan penerapan harakat dan titik yang berbeda untuk mencerminkan tradisi bacaan yang valid.

B. Kedudukan Tujuh Qira’at

Setelah kodifikasi, ulama Qira’at, seperti Ibnu Mujahid, melakukan kanonisasi Qira’at. Beliau menyeleksi Qira’at yang paling mutawatir (diriwayatkan oleh jalur yang banyak dan terpercaya) dan menjadikannya Tujuh Qari’ (yang kemudian berkembang menjadi Sepuluh). Ketujuh Qira’at ini memiliki tiga syarat utama:

  1. Harus sesuai dengan Rasm Utsmani (setidaknya secara potensial).
  2. Harus sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab yang shahih.
  3. Harus memiliki sanad (rantai periwayat) yang sahih sampai kepada Nabi SAW.

Inilah warisan terbesar Utsman: ia menciptakan sebuah teks yang cukup inklusif untuk mempertahankan keragaman bacaan yang diturunkan ilahiah, tetapi cukup eksklusif untuk menghilangkan bacaan yang tidak didukung oleh sanad kuat atau yang mengancam keutuhan teks.

V. Evolusi Grafis Mushaf Setelah Utsman

Meskipun Rasm (kerangka tulisan) ditetapkan secara final oleh Utsman, Mushaf Al-Imam pada saat itu masih sangat primitif secara visual: tidak memiliki titik dan harakat. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi non-Arab (Ajam) yang baru masuk Islam. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan grafis untuk membantu pembacaan tanpa mengubah Rasm Utsmani.

A. Penambahan Harakat (Tanda Baca)

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terjadi kesalahan baca yang meluas. Khalifah Ziyad bin Abihi (atau sebagian riwayat menyebut Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi) menugaskan Abu Al-Aswad Ad-Du’ali (w. 69 H) untuk menciptakan tanda baca. Ad-Du’ali menciptakan sistem titik berwarna untuk menandai harakat:

Sistem ini berfungsi sebagai tanda baca, tetapi tidak mengganggu Rasm asli yang tetap polos.

B. Penambahan Titik (I'jam)

Karena huruf-huruf Arab pada Rasm Utsmani seringkali memiliki bentuk dasar yang sama (misalnya, ba, ta, tsa), Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur (murid Ad-Du’ali) pada akhir abad pertama Hijriyah menambahkan titik-titik hitam (I’jam) yang kita kenal hari ini (misalnya, dua titik untuk Ta, tiga untuk Tsa). Titik ini sangat penting karena membedakan huruf dan memungkinkan penentuan kata yang dibaca.

Pemisahan Fungsi: Penting untuk dicatat bahwa Rasm Utsmani adalah kerangka tulisan, sementara titik dan harakat adalah aksesoris bacaan (*dhabth*) yang berfungsi memandu pembacaan Qira’at tertentu. Harakat Ad-Du’ali kemudian digantikan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (abad ke-2 H) dengan bentuk harakat standar yang dikenal saat ini (garis miring untuk Fathah, Wawu kecil untuk Dammah, dan Ya’ kecil untuk Kasrah).

Sejak saat itu, setiap Mushaf yang dicetak dan diajarkan kepada publik telah menggabungkan Rasm Utsmani (garis huruf dasar) dengan Dhabth (harakat dan titik) berdasarkan Qira’at tertentu, biasanya Qira’at Hafs 'an Ashim yang dominan di sebagian besar dunia Islam saat ini.

VI. Signifikansi Abadi Mushaf Utsmani

Tindakan kodifikasi Utsmani dipuji oleh para Sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, yang mengatakan: “Demi Allah, Utsman tidak melakukan hal itu melainkan atas persetujuan kami semua.” Signifikansi Mushaf Utsmani melampaui sekadar penyatuan politik; ia adalah bukti pemeliharaan ilahiah terhadap teks Al-Qur'an.

A. Pelestarian Otentisitas dan Keutuhan Teks

Rasm Utsmani memastikan bahwa setiap kata Al-Qur'an, sebagaimana ditulis oleh panitia Utsman, terjaga keasliannya hingga hari ini. Tidak ada satu pun komunitas Muslim yang menyangsikan kebenaran ortografi Rasm Utsmani. Hal ini membedakan Al-Qur'an dari kitab suci agama lain yang teksnya mengalami perubahan Rasm atau interpretasi mendasar seiring waktu.

Keputusan Utsman untuk membakar salinan-salinan pribadi lainnya adalah tindakan preventif yang radikal, tetapi perlu, untuk mencegah pemujaan terhadap teks-teks pribadi yang mungkin mengandung catatan tepi atau varian non-mutawatir. Dengan demikian, Utsman mengikat seluruh umat pada satu otoritas Rasm tunggal.

B. Fondasi Qira’at dan Ilmu Rasm

Rasm Utsmani melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang wajib dipelajari oleh para ulama Qira’at, yaitu *Ilmu Rasm Al-Qur'an*. Ilmu ini mempelajari dan membenarkan setiap penyimpangan Rasm Utsmani dari Rasm Imla’i biasa, memastikan bahwa setiap huruf, baik yang dihilangkan (*hazf*) maupun yang ditambahkan (*ziyādah*), memiliki justifikasi tauqifi (ketetapan) dan dijaga keasliannya.

Sebagai contoh, kaidah Al-Hazf dan Az-Ziyadah yang telah dijelaskan secara rinci di atas, ketika dipahami secara mendalam, mengungkapkan bahwa panitia kodifikasi Utsman bukan sekadar menyalin apa yang tertulis di Mushaf Hafshah. Mereka juga menyeleksi dan memverifikasi setiap penulisan untuk memastikan ia kompatibel dengan Tujuh Ahruf dan dialek Quraisy.

Konsensus ulama menetapkan bahwa penulisan Al-Qur'an harus selalu mengikuti Rasm Utsmani, bahkan jika teknologi penulisan atau kaidah bahasa Arab modern telah berubah. Misalnya, dalam penulisan bahasa Arab modern, kata إِبْرَاهِيم (Ibrāhīm) ditulis dengan Alif setelah *bā’*. Namun, dalam Mushaf Utsmani, ia ditulis tanpa Alif setelah *bā’* (إبرهيم). Ketetapan ini adalah bagian dari menjaga warisan Rasm yang unik.

C. Pelestarian Kontemporer: Mushaf Madinah

Di era modern, Mushaf Utsmani tetap menjadi standar global. Edisi Mushaf Madinah (yang dicetak oleh Kompleks Percetakan Raja Fahd di Arab Saudi) merupakan contoh utama yang digunakan miliaran Muslim. Mushaf ini menggunakan Rasm Utsmani yang diverifikasi secara ketat dan disajikan dalam Qira’at Hafs ‘an Ashim, memastikan keseragaman teks di seluruh dunia, dari Timur hingga Barat. Proses digitalisasi Mushaf ini pun harus mengikuti kaidah Rasm Utsmani secara ketat, menolak otomatisasi yang mungkin mengubah kaidah *Hazf* atau *Ziyadah*.

Karya cetak ini adalah manifestasi modern dari upaya Utsman: menyatukan ortografi dan memfasilitasi pembacaan. Bahkan ketika umat Islam menggunakan Mushaf dengan varian Qira’at lain (seperti Mushaf Warsh yang populer di Afrika Utara), mereka tetap menggunakan Rasm Utsmani yang sama, hanya saja titik dan harakatnya yang disesuaikan dengan tradisi Qira’at tersebut.

Keunikan Rasm Utsmani, dengan semua kaidah *Hazf* dan *Ziyadah*-nya, tidak hanya merupakan kekhasan grafis tetapi juga sebuah isyarat teologis. Beberapa ulama tafsir bahkan mengaitkan variasi Rasm ini dengan kedalaman makna. Misalnya, ketika suatu kata dihilangkan hurufnya (*Hazf*), ini diinterpretasikan sebagai isyarat singkatnya, ringkasnya, atau berlalunya makna tersebut. Sebaliknya, penambahan huruf (*Ziyādah*) dihubungkan dengan pengagungan, penekanan, atau keabadian makna yang dikandung oleh kata tersebut.

Misalnya, penambahan Alif pada kata مائة (Mi'ah - seratus) yang dibaca pendek, dipandang sebagai penekanan numerik. Demikian pula, penulisan *Al-Samāwāt* (langit) di sebagian besar tempat dengan Rasm lengkap, sementara pada beberapa tempat dihilangkan Alifnya, menunjukkan adanya penekanan atau kekhususan kontekstual pada ayat-ayat tersebut. Para ahli Rasm dan Qira'at menghabiskan hidup mereka untuk meneliti korelasi antara kaidah ortografi yang unik ini dan implikasi semantik yang mungkin timbul, menambah dimensi spiritual pada penulisan yang kelihatannya hanya berupa konvensi grafis.

Konsensus untuk mempertahankan Rasm Utsmani adalah salah satu keajaiban pelestarian teks yang paling menakjubkan dalam sejarah peradaban. Ia menuntut agar umat tidak memperlakukan Al-Qur'an seperti buku biasa, yang mana kaidah penulisannya bisa disesuaikan dengan perkembangan bahasa. Sebaliknya, Al-Qur'an menuntut keketatan dan kepatuhan pada bentuk yang diwariskan dari para Sahabat, yang menyaksikan sendiri proses penyusunannya.

Warisan ini mencerminkan sebuah keseimbangan yang sangat halus antara fleksibilitas dan ketetapan. Fleksibilitas dalam mengakomodasi berbagai Qira’at ilahiah (Ahruf) yang sah, dan ketetapan dalam menjaga bentuk tulisan (Rasm) agar tidak ada penyimpangan sedikit pun dari apa yang telah disepakati oleh Panitia Empat dan Khalifah Utsman di hadapan seluruh Sahabat yang masih hidup. Hal ini menjadikan Mushaf Utsmani sebagai monumen keutuhan teologis dan ortografis yang tidak tertandingi.

Simbol Kesatuan Umat Berlandaskan Al-Qur'an Utsmani Rasm Utsmani Afrika Utara Asia Timur Eropa Arabia

Mushaf Utsmani sebagai poros tunggal yang menyatukan umat Islam di berbagai wilayah dengan tradisi Qira’at yang beragam.

VII. Penutup: Penjagaan Teks Suci

Al-Qur'an Utsmani adalah lebih dari sekadar dokumen sejarah; ia adalah kontrak abadi antara umat dan wahyu yang diturunkan. Keputusan Khalifah Utsman bin Affan untuk menstandarisasi Rasm pada abad pertama Islam merupakan tindakan providential yang menggaransi bahwa perbedaan dialek dan Qira’at tidak akan pernah meruntuhkan kesatuan teks suci.

Melalui kaidah Rasm Utsmani yang unik—termasuk *hazf* yang penuh hikmah, *ziyādah* yang mulia, dan *badal* yang fleksibel—teks Al-Qur'an mampu menampung keragaman bacaan yang valid sekaligus menolak segala bentuk pemalsuan. Keseluruhan proses ini, dari pengumpulan di masa Abu Bakar hingga standarisasi Rasm di masa Utsman, membuktikan betapa seriusnya para Sahabat dalam menjalankan amanah ilahi untuk memelihara Al-Qur'an.

Hingga hari ini, setiap kali seorang Muslim membaca Mushaf, ia sedang berinteraksi langsung dengan warisan Rasm Utsmani. Keutuhan Rasm ini memastikan bahwa, meskipun dunia terus berubah dan bahasa Arab modern berevolusi, Kitab Suci umat Islam tetap berpegang teguh pada ortografi aslinya, yang dirancang secara khusus untuk keabadian dan kesatuan, sebuah perlindungan yang tak lekang oleh waktu.

Dengan demikian, kewajiban umat Islam adalah menjaga tradisi ini, menghormati Rasm Utsmani, dan memastikan bahwa penyalinan, pencetakan, dan digitalisasi Al-Qur'an senantiasa terikat pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan ribuan tahun silam. Inilah jalan untuk memastikan bahwa Mushaf Al-Imam, yang merupakan buah dari ijma’ (konsensus) Sahabat, akan terus menjadi cahaya penuntun bagi generasi mendatang.

Melestarikan Rasm Utsmani adalah tindakan ibadah dan pengakuan terhadap otoritas ilahiah yang melekat pada setiap garis dan bentuk huruf dalam Mushaf. Keunikan Rasm ini adalah keunikan Al-Qur'an itu sendiri. Setiap variasi ortografi, setiap huruf yang ditambahkan atau dihilangkan, adalah bagian integral dari struktur yang memungkinkan umat untuk membaca teks suci dengan cara yang bervariasi namun tetap otentik, di bawah payung standar tulisan yang tak tergoyahkan.

Kesinambungan ini bukan hanya terjadi pada penulisan Rasm induk, tetapi juga pada penjagaan sanad Qira’at yang menyertai Mushaf tersebut. Para Qari’ dan guru yang ditugaskan Utsman untuk menyertai Mushaf ke berbagai wilayah adalah rantai pertama dari sistem periwayatan (sanad) yang ketat, yang masih berfungsi hingga kini. Keterikatan Rasm pada Sanad inilah yang membuat Al-Qur'an mustahil dipalsukan, karena tidak ada Qira’at yang sah tanpa sanad yang mutawatir, dan tidak ada Qira’at yang mutawatir boleh menyimpang dari Rasm Utsmani yang telah disepakati.

Dalam konteks modern, tantangan pelestarian meliputi penerjemahan dan tafsir yang tidak boleh menggeser kedudukan teks asli. Rasm Utsmani selalu harus menjadi rujukan tertinggi. Para ulama kontemporer terus menekankan bahwa meskipun terjemahan atau tafsir memudahkan pemahaman, keajaiban (*i'jaz*) dan keotentikan Al-Qur'an reside di dalam teks Arab yang ditulis sesuai Rasm Utsmani. Oleh karena itu, pengajaran Rasm Utsmani sebagai disiplin ilmu harus terus dihidupkan, agar generasi baru memahami bukan hanya apa yang tertulis, tetapi *mengapa* ia ditulis seperti itu.

Proyek kodifikasi Utsmani adalah puncak kebijaksanaan manajemen teks dalam sejarah Islam awal, sebuah keputusan yang didorong oleh kebutuhan mendesak dan dilaksanakan dengan metodologi yang sangat teliti, menghasilkan teks yang abadi. Hasilnya adalah jaminan ketenangan bagi umat: bahwa Kitabullah mereka akan tetap murni, bersatu, dan dapat diakses dengan berbagai cara bacaan yang sah, semuanya terangkum dalam bingkai Rasm yang tunggal dan suci: Al-Qur'an Utsmani.

Warisan ini akan terus berfungsi sebagai pembeda utama Al-Qur'an dari teks-teks lain, sebuah penanda keaslian yang berdiri tegak melawan upaya untuk meremehkan atau memalsukannya. Setiap detail dalam Rasm Utsmani adalah sebuah keputusan kolektif para Sahabat yang diilhami, memastikan bahwa teks yang mereka wariskan adalah benar-benar Firman Allah, dilindungi dalam hafalan dan diabadikan dalam tulisan yang khas.

Maka, kita melihat bahwa Al-Qur'an Utsmani, dengan segala keunikan Rasm-nya, adalah simfoni ortografi yang memungkinkan harmoni Qira’at. Ia adalah manifestasi nyata dari janji Ilahi: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." Pemeliharaan tersebut terwujud melalui para Sahabat, terutama Khalifah Utsman bin Affan, yang menjembatani masa wahyu dengan masa kini melalui sebuah teks yang tidak dapat digoyahkan.

Teks yang dihasilkan pada masa Utsman ini merupakan titik akhir dari transmisi vertikal wahyu dan titik awal dari transmisi horizontal Qira’at ke seluruh dunia. Tidak ada teks lain yang memiliki sejarah verifikasi dan pelestarian yang sedemikian ketat dan mendalam, baik dari segi hafalan (*hifz*) maupun tulisan (*rasm*). Ketetapan Rasm Utsmani menjamin bahwa perbedaan bacaan (Qira’at) yang kita dengar hanyalah variasi penyampaian, bukan variasi substansi, dari satu Kitab Suci yang sama.

Memahami dan menghormati Rasm Utsmani adalah prasyarat untuk menghormati Al-Qur'an secara keseluruhan. Ini adalah sebuah pengingat bahwa keindahan dan kedalaman Kitab Suci seringkali terletak pada detailnya yang paling halus—detail grafis yang ditetapkan oleh panitia Utsman, yang kini menjadi penentu keutuhan teks ilahiah bagi miliaran Muslim di seluruh penjuru bumi.

Karya monumental ini adalah pilar utama dalam pemeliharaan agama Islam. Keberadaannya menghilangkan segala keraguan mengenai keaslian teks, memungkinkan umat untuk fokus pada penghayatan dan pengamalan ajarannya, dengan keyakinan penuh bahwa mereka membaca kata-kata yang sama persis yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rasm Utsmani.

Melalui Mushaf Utsmani, cahaya wahyu terus bersinar, menyatukan hati, dan memberikan petunjuk, sebagai warisan abadi dari generasi Sahabat yang setia.

🏠 Homepage