Frasa Alam Tarakaifa, yang mengawali Surat Al-Fil (Gajah), adalah sebuah pertanyaan retoris yang begitu kuat, ia bukan sekadar meminta jawaban, melainkan menuntut pengakuan dan refleksi mendalam. Secara harfiah berarti "Tidakkah kamu perhatikan/lihat bagaimana (Tuhanmu bertindak)...", kalimat ini segera membawa pembaca kembali ke salah satu titik balik paling dramatis dalam sejarah Jazirah Arab, yang dikenal sebagai Tahun Gajah.
Surat yang relatif pendek ini (terdiri dari lima ayat) berfungsi sebagai narasi peringatan dan pengingat akan kuasa absolut Sang Pencipta dalam melindungi rumah-Nya dan, secara tidak langsung, mempersiapkan panggung bagi kedatangan risalah terakhir. Kekuatan Surat Al-Fil terletak pada kemampuannya merangkum krisis besar, intervensi supranatural yang luar biasa, dan kesimpulan teologis yang tegas, semuanya dalam beberapa baris kata yang ringkas dan padat makna.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman narasi *Alam Tarakaifa*, kita harus melakukan perjalanan melintasi waktu, menjelajahi konteks sosio-politik Makkah pra-Islam, dan menggali setiap kata yang dipilih Ilahi untuk menggambarkan kehancuran yang mutlak dan tak terduga terhadap pasukan yang dianggap tak terkalahkan. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek dari surat ini, dari analisis linguistik hingga implikasi historis dan pelajaran abadi yang dibawanya.
Peristiwa yang diceritakan dalam Surat Al-Fil terjadi kira-kira 50 hingga 60 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah yang begitu penting sehingga masyarakat Arab menjadikannya patokan waktu, menggantikan penanggalan yang lebih tua. Invasi yang diceritakan dipimpin oleh Abrahah al-Ashram, seorang Raja Muda (atau Gubernur) Nasrani dari Yaman, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Habasyah/Ethiopia).
Abrahah memiliki ambisi besar. Setelah berhasil mengukuhkan kekuasaannya di Yaman, ia membangun sebuah gereja megah di Sana'a, yang dikenal sebagai Al-Qulais, dengan tujuan agar gereja tersebut menjadi pusat ziarah utama di Jazirah Arab. Tujuan utamanya adalah mengalihkan fokus dan keuntungan ekonomi dari Ka'bah di Makkah ke Sana'a. Ketika kabar tentang Al-Qulais sampai ke telinga orang-orang Quraisy, sebuah tindakan vandalisme—di mana salah satu pemuda Makkah merusak dan menodai gereja tersebut—memberikan Abrahah alasan yang sempurna dan pembenaran yang ia cari untuk melancarkan serangan militer.
Pasukan Abrahah adalah manifestasi kekuatan militer pada masanya. Ia tidak hanya membawa tentara berkuda dan infanteri, tetapi yang paling menonjol adalah kehadiran gajah-gajah perang—sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat oleh masyarakat Hijaz. Gajah ini melambangkan superioritas teknologi dan militer Abrahah, membuat pasukannya tampak tak terkalahkan di mata suku-suku Arab yang hanya mengandalkan unta dan kuda. Gajah utama dalam pasukan itu bernama Mahmud.
Sepanjang perjalanan menuju Makkah, Abrahah berhasil menundukkan atau memaksa suku-suku setempat untuk tunduk. Ketika sampai di pinggiran Makkah, ia menyita harta benda penduduk, termasuk ratusan unta milik Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad. Makkah sendiri, pada waktu itu, adalah sebuah kota kecil yang tidak memiliki kekuatan militer untuk menghadapi pasukan sebesar itu. Abdul Muthalib, sebagai pemimpin Quraisy, menolak untuk bertempur, mengakui bahwa mereka tidak memiliki kemampuan defensif.
Pertemuan antara Abrahah dan Abdul Muthalib adalah momen yang krusial. Ketika Abdul Muthalib datang untuk meminta untanya dikembalikan, Abrahah terkejut. Ia bertanya mengapa Abdul Muthalib tidak meminta perlindungan untuk Ka'bah, yang merupakan inti dari kehormatan sukunya. Jawaban Abdul Muthalib meletakkan dasar pemahaman teologis Surat Al-Fil:
"Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Ka'bah itu memiliki pemilik yang akan melindunginya."
Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan ketidakberdayaan manusia, tetapi juga penyerahan total kepada kekuasaan yang lebih tinggi. Manusia hanya bisa mengurus urusan duniawi mereka (unta), sementara rumah suci adalah urusan Ilahi. Abrahah, yang didorong oleh kesombongan militer, menertawakan gagasan ini, yakin bahwa tidak ada kekuatan di padang pasir yang dapat menghalangi gajah-gajahnya.
Surat Al-Fil (Ayat 1-5) mengisahkan klimaks dari peristiwa ini, menggunakan bahasa yang ringkas namun mengandung gambaran visual yang mengerikan tentang kehancuran massal.
Terjemahan: Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Kata kunci di sini adalah أَلَمْ تَرَ (Alam Tarakaifa). Walaupun secara harfiah berarti "Tidakkah kamu lihat," ini adalah pertanyaan retoris yang kuat dalam bahasa Arab yang berfungsi sebagai penekanan, setara dengan: "Tentu saja kamu tahu dan telah menyaksikan, atau telah mendengar secara meyakinkan, bagaimana Tuhanmu melakukan." Ini adalah seruan untuk merenungkan fakta sejarah yang tak terbantahkan, yang diketahui oleh setiap orang Quraisy pada masa itu.
Penggunaan kata رَبُّكَ (Rabbuka – Tuhanmu) sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa intervensi tersebut adalah tindakan langsung dari Tuhan yang memelihara, bukan sekadar kebetulan alam. Peristiwa ini terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, namun Allah merujuk Diri-Nya sebagai "Tuhanmu," menegaskan bahwa perlindungan Ka'bah adalah bagian dari rencana Ilahi untuk memelihara tempat suci yang kelak menjadi pusat risalah kenabian.
Terjemahan: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
Kata كَيْد (Kaid) berarti tipu daya, rencana jahat, atau makar. Tipu daya Abrahah bukan hanya militer, tetapi juga ideologis—mengubah pusat spiritual jazirah. Allah menegaskan bahwa seluruh rencana yang disusun dengan matang, didukung oleh kekuatan militer yang tak terbayangkan, diubah menjadi تَضْلِيلٍ (Tadhlīl), yakni kesesatan, kegagalan total, atau jalan buntu.
Para ulama tafsir menekankan bahwa kegagalan ini dimulai bahkan sebelum serangan burung-burung. Dicatat bahwa gajah utama, Mahmud, menolak untuk bergerak maju menuju Ka'bah, meskipun dipukul berulang kali. Ini adalah bentuk pertama dari ‘Tadhlil’ (kegagalan) yang disaksikan oleh pasukan tersebut, menandakan bahwa ada kekuatan di luar logika manusia yang mengendalikan hewan tersebut.
Terjemahan 3: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong.
Terjemahan 4: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar.
Ayat-ayat ini menyajikan inti dari mukjizat tersebut. طَيْرًا أَبَابِيلَ (Ṭayran Abābīl) sering diterjemahkan sebagai 'burung-burung yang berbondong-bondong' atau 'kawanan burung dalam jumlah yang sangat besar, datang dari segala arah'. Istilah Abābīl sendiri unik dalam bahasa Arab dan tidak merujuk pada spesies burung tertentu, melainkan pada formasi atau cara kedatangan mereka—datang secara berturut-turut, berlapis-lapis, seperti segerombolan awan.
Batu yang dibawa oleh burung-burung itu disebut سِجِّيلٍ (Sijjīl). Tafsir klasik, seperti yang diungkapkan oleh Mujahid dan Qatadah, menjelaskan bahwa Sijjil adalah batu yang terbuat dari tanah liat yang telah dibakar atau dipanaskan hingga menjadi keras seperti batu. Batu ini bukan batu biasa; ia memiliki kekuatan mematikan yang luar biasa.
Deskripsi kehancuran yang ditimbulkan oleh batu Sijjil adalah bahwa setiap batu, meskipun ukurannya kecil (sebesar kerikil atau biji-bijian), memiliki kekuatan tembus yang dahsyat. Dikatakan bahwa batu itu menembus helm, tubuh, dan gajah, menyebabkan penyakit mengerikan (seperti cacar air yang parah) yang dengan cepat meluas dan membunuh pasukan tersebut. Kehancuran ini bersifat targeted dan cepat, menghancurkan seluruh logistik dan moral pasukan.
Terjemahan: Lalu Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat).
Ayat penutup ini memberikan gambaran visual yang mengerikan tentang sisa-sisa pasukan Abrahah. كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (Ka'aṣfin Ma'kūl) diterjemahkan sebagai daun yang kering, jerami yang hancur, atau sisa-sisa tanaman yang telah dimakan oleh ulat atau ternak. Ini menunjukkan bahwa pasukan yang tadinya megah dan penuh dengan alat perang canggih, seketika berubah menjadi puing-puing organik yang tak berdaya dan terurai.
Perumpamaan ini menekankan kontras antara kemegahan kekuatan manusia (gajah perang) dan kerentanan mereka di hadapan kuasa Ilahi. Mereka tidak hanya dikalahkan; mereka dihancurkan sedemikian rupa sehingga tidak menyisakan apa-apa selain sampah yang terurai, sebuah akhir yang memalukan bagi para penyerbu yang sombong.
Kekuatan Surat Al-Fil tidak hanya terletak pada ceritanya, tetapi juga pada pilihan kata-kata dan struktur retorikanya yang sangat efektif.
Penggunaan pertanyaan retoris di awal berfungsi untuk menarik perhatian dan membangun kredibilitas. Dalam tradisi sastra Arab, memulai dengan pertanyaan tentang peristiwa yang sangat terkenal adalah cara untuk mempersiapkan pendengar menerima kesimpulan teologis yang mendalam. Pertanyaan "Tidakkah kamu perhatikan" menyiratkan bahwa bukti-bukti kejadian ini, dan dampaknya yang masif, masih segar dalam ingatan kolektif masyarakat Makkah.
Seperti yang telah disinggung, penggunaan "Rabbuka" (Tuhanmu) menghubungkan mukjizat tersebut secara personal kepada penerima wahyu (Nabi Muhammad) dan komunitasnya. Ini bukan hanya cerita kuno; ini adalah bukti bahwa Tuhan telah memelihara jalan kenabiannya, bahkan sebelum kenabian itu diresmikan.
Linguistikawan telah lama memperdebatkan asal usul kata Abābīl. Walau tidak memiliki akar kata kerja tunggal yang jelas, konsensusnya adalah kata tersebut menunjukkan kualitas: sesuatu yang datang dalam jumlah besar, berlapis-lapis, tidak terputus, dan dalam formasi yang kacau namun efektif. Ini menekankan aspek keajaiban; kehancuran itu datang bukan dari satu serangan terorganisir, tetapi dari gerombolan makhluk kecil yang tampaknya tidak signifikan.
Bandingkan dengan pasukan gajah yang terstruktur; kehancuran datang dari lawan yang paling tidak mungkin, sebuah penekanan bahwa kuasa Allah tidak terikat pada hierarki kekuatan duniawi.
Surat ini penuh dengan kontras dramatis:
Kontras ini adalah pesan teologis utama: seberapa pun besar dan terorganisirnya kekuatan tiran di bumi, ia akan dihancurkan oleh alat yang paling sederhana jika itu adalah kehendak Ilahi.
Kisah *Alam Tarakaifa* adalah fondasi penting dalam teologi Islam dan memiliki beberapa implikasi fundamental mengenai sifat Tuhan dan hubungan-Nya dengan dunia.
Peristiwa ini adalah bukti nyata dari kedaulatan mutlak Allah (Tauhid ar-Rububiyyah). Allah tidak hanya menciptakan, tetapi juga mengelola, melindungi, dan menghancurkan. Tindakan ini menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan—baik manusia, hewan, maupun teknologi perang—yang dapat bertindak di luar izin dan kehendak-Nya.
Intervensi supranatural ini mengajarkan bahwa ketika semua mekanisme pertahanan manusia gagal (Makkah tidak memiliki tentara), mekanisme perlindungan Ilahi akan mengambil alih. Ini adalah penghiburan abadi bagi kaum beriman yang merasa tertekan oleh kekuatan zalim di dunia.
Mukjizat Al-Fil meninggikan status Ka'bah di mata bangsa Arab. Meskipun pada saat itu Ka'bah dipenuhi oleh berhala, statusnya sebagai 'Rumah Pertama' yang didirikan untuk ibadah (Baitullah) tetap dihormati oleh Allah. Perlindungan ini melegitimasi Makkah sebagai pusat spiritual, sebuah prasyarat vital bagi penerimaan risalah Islam di kemudian hari. Tanpa peristiwa ini, Abrahah mungkin berhasil memindahkan pusat ziarah ke Yaman, dan peta penyebaran Islam akan sangat berbeda.
Surat Al-Fil berfungsi sebagai peringatan keras bagi setiap penguasa yang sombong atau tiran yang menggunakan kekuatan mereka untuk menindas kebenaran atau menghancurkan tempat-tempat suci. Kisah Abrahah menunjukkan bahwa kesombongan militer dan kecongkakan kekuasaan pada akhirnya akan dihadapkan pada murka yang tak terduga.
Ulama modern sering mengaitkan pelajaran ini dengan perjuangan melawan kolonialisme atau agresi militer, menegaskan bahwa penindasan masif, meskipun tampak tak terhindarkan, pada akhirnya tunduk pada hukum pembalasan Ilahi.
Peristiwa Tahun Gajah dianggap sebagai pendahulu langsung bagi kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelahiran beliau dalam tahun yang sama dengan mukjizat ini bukanlah kebetulan. Ini seolah-olah Allah sedang membersihkan panggung dunia, menyingkirkan ancaman besar terakhir terhadap pusat spiritual sebelum Sang Pembawa Cahaya tiba. Ini memberikan aura perlindungan Ilahi yang menyeluruh terhadap Makkah dan keturunan Quraisy.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang peristiwa Alam Tarakaifa, kita perlu menelaah rincian dari pergerakan pasukan dan konsekuensi jangka panjangnya terhadap geostrategi Jazirah Arab.
Pagi hari serangan, ketika Abrahah memerintahkan gajah-gajahnya, termasuk Mahmud, untuk bergerak menuju Ka'bah, terjadi sebuah fenomena aneh. Setiap kali Mahmud diarahkan ke utara (menuju Ka'bah), ia mogok dan berlutut. Namun, jika diarahkan ke timur, selatan, atau barat (arah lain), ia akan segera bangkit dan berjalan. Ini adalah keanehan yang disaksikan oleh seluruh pasukan, yang menanamkan benih keraguan dan ketakutan sebelum intervensi burung-burung dimulai.
Para penafsir melihat mogoknya Mahmud bukan sebagai tindakan hewan semata, tetapi sebagai 'ayat' (tanda) pertama. Hewan, yang secara naluriah lebih peka terhadap kehendak Tuhan, menolak untuk menjadi alat penyerangan terhadap rumah suci, meskipun pemiliknya berkeras hati.
Deskripsi tentang bagaimana batu Sijjil bekerja sangat penting. Batu-batu itu dikatakan menimbulkan penyakit yang menyebabkan kulit melepuh dan terkelupas, menyerupai cacar air atau wabah sampar yang sangat ganas. Tentara Abrahah tidak hanya mati akibat hantaman batu, tetapi mereka menderita penyakit menular dan mengerikan. Mereka yang tidak langsung tewas berusaha melarikan diri kembali ke Yaman, tetapi banyak yang meninggal di sepanjang jalan. Dikatakan bahwa Abrahah sendiri menderita penyakit yang sama, anggota badannya rontok satu per satu, dan ia meninggal setibanya di Sana'a dalam kondisi yang memilukan.
Kisah kehancuran biologis ini menekankan bahwa pembalasan Ilahi tidak hanya bersifat militer, tetapi juga meliputi aspek kesehatan dan siksaan fisik yang mendalam.
Setelah kehancuran pasukan Abrahah, status Quraisy di Jazirah Arab melonjak tajam. Suku-suku Arab lainnya melihat Quraisy dan Makkah sebagai 'orang-orang Tuhan' yang dilindungi secara ajaib. Kepercayaan ini secara signifikan meningkatkan keamanan jalur perdagangan Makkah dan memperkuat monopoli Quraisy atas ziarah, yang kemudian menghasilkan kekayaan besar bagi suku tersebut.
Peristiwa ini memberikan Quraisy otoritas moral yang tak tertandingi di Semenanjung Arab. Mereka dipandang bukan karena kekuatan pedang, tetapi karena perlindungan supranatural yang mereka terima. Inilah konteks damai dan stabil, meskipun masih dalam kegelapan jahiliyah, yang memungkinkan Nabi Muhammad tumbuh dan risalah Islam diluncurkan 40 tahun kemudian.
Meskipun Al-Qur'an dan hadits menyajikan peristiwa ini sebagai mukjizat langsung, beberapa sejarawan non-Islam mencoba mencari penjelasan yang lebih naturalistik, seperti wabah penyakit atau faktor alam. Namun, bukti-bukti historis yang ditemukan (termasuk puing-puing prasasti di Yaman yang menyebutkan kekalahan besar) menunjukkan bahwa bencana itu memang masif dan tiba-tiba. Bagi umat Islam, penjelasan mukjizat adalah yang paling logis, karena tidak ada kondisi alam biasa yang dapat menjelaskan kehancuran pasukan gajah oleh "burung-burung" dan "batu api" secara total dan selektif.
Kisah ini tetap tegak sebagai narasi kebenaran mutlak: Allah Maha Kuasa, dan alat yang digunakan untuk menunjukkan kuasa-Nya tidak harus sebanding dengan kekuatan musuh.
Surat Al-Fil (105) hampir selalu dibaca bersamaan dengan Surat Quraisy (106). Hubungan antara kedua surat ini bersifat sebab-akibat yang sangat kuat, melanjutkan narasi *Alam Tarakaifa* ke dalam konteks sosial-ekonomi.
Al-Fil menceritakan bagaimana Allah menghancurkan musuh-musuh Quraisy (sebab). Surat Quraisy kemudian menjelaskan manfaat yang diterima Quraisy sebagai hasil dari perlindungan itu (akibat):
Surat Quraisy dimulai dengan "Li Īlāfi Quraysh" (Karena kebiasaan/kenyamanan Quraisy). Kenyamanan ini adalah keamanan dan stabilitas yang dihasilkan langsung dari kehancuran Abrahah. Tanpa intervensi Al-Fil, keamanan mereka akan lenyap.
Oleh karena itu, penempatan kedua surat ini secara berturut-turut dalam mushaf menegaskan bahwa mukjizat yang diceritakan dalam *Alam Tarakaifa* bukan hanya insiden sejarah, tetapi anugerah Ilahi yang menghasilkan kemakmuran dan keamanan bagi masyarakat Makkah, menuntut mereka untuk menyembah Tuhan Rumah ini (Falyabudū Rabba hādhā al-Bait).
Inilah siklus yang sempurna: Allah melindungi (Al-Fil), dan sebagai balasannya, manusia harus bersyukur dan beribadah (Quraisy).
Meskipun *Alam Tarakaifa* adalah kisah yang tertanam kuat dalam sejarah, pesan moral dan spiritualnya tetap relevan bagi setiap individu dan masyarakat di masa kini.
Surat Al-Fil mengajarkan bahwa kesombongan (kibr) dan keyakinan berlebihan pada kekuatan materi adalah dosa yang paling fatal. Abrahah tidak hanya ingin menyerang; ia ingin menghapus identitas spiritual suatu bangsa dan menggantinya dengan kemegahan pribadinya. Kisah ini menjadi cermin bagi siapa pun yang merasa kebal dari konsekuensi perbuatannya karena memiliki kekayaan, kekuasaan, atau teknologi unggul.
Dalam konteks modern, hal ini berlaku bagi negara-negara adidaya atau korporasi raksasa yang mencoba mendikte dan menindas yang lemah. Akhir dari ‘Asf Ma’kūl’ (dedaunan yang dimakan) adalah takdir yang menanti setiap kekuatan yang melupakan keterbatasannya di hadapan Tuhan.
Reaksi Abdul Muthalib, yang hanya meminta untanya dan menyerahkan Ka'bah kepada Pemiliknya, adalah pelajaran tentang tawakkal yang sempurna. Ketika manusia telah melakukan segala daya upaya dan pertahanan manusiawi telah habis, satu-satunya jalan adalah berserah diri sepenuhnya. Allah menghormati penyerahan diri ini dan meresponsnya dengan intervensi yang melampaui kemampuan manusia.
Pelajaran ini mendorong kaum beriman untuk tidak putus asa di hadapan tantangan yang tampaknya mustahil. Kekuatan pertahanan kita mungkin nol, tetapi kekuatan Pelindung kita tidak terbatas.
Penggunaan burung Ababil dan batu Sijjil adalah pengingat bahwa Allah dapat menggunakan agen yang paling sederhana dan paling tidak terduga untuk melaksanakan kehendak-Nya. Kita sering terpaku pada solusi-solusi besar dan rumit, padahal perubahan atau pertolongan dapat datang melalui jalur yang kita anggap remeh.
Ini juga mengajarkan nilai dari kontribusi yang tampaknya kecil. Seekor burung kecil, membawa kerikil seukuran biji-bijian, di bawah arahan Ilahi, mampu mengalahkan gajah perang. Setiap tindakan kebaikan, meskipun kecil, memiliki potensi dampak yang besar jika diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya.
Al-Fil menegaskan bahwa sejarah tunduk pada hukum moral Ilahi. Ada siklus kenaikan dan kejatuhan peradaban yang didasarkan pada keadilan, bukan semata-mata kekuatan militer. Kekuatan yang dibangun di atas kesombongan dan penindasan pasti akan runtuh, seolah-olah dimakan oleh ulat, meninggalkan bekas kehancuran yang tak berharga.
Setiap kali kita menghadapi ketidakadilan yang terasa begitu besar, *Alam Tarakaifa* adalah penegasan bahwa Tuhan tidak pernah lalai. Kehancuran tiran mungkin tidak terjadi seketika, tetapi kepastiannya adalah mutlak, sebuah janji yang tertulis dalam sejarah Tahun Gajah.
Surat Al-Fil, meskipun singkat, adalah salah satu narasi paling padat dan paling kuat dalam Al-Qur'an. Ini adalah kisah yang menegaskan identitas Makkah, mempersiapkan landasan bagi Islam, dan mendefinisikan hubungan antara kekuatan fana manusia dengan kuasa abadi Tuhan. Pertanyaan retoris Alam Tarakaifa, "Tidakkah kamu perhatikan...", adalah pertanyaan abadi yang ditujukan kepada setiap generasi.
Peristiwa Tahun Gajah bukan hanya catatan kaki sejarah; ia adalah mukjizat yang hidup yang mendemonstrasikan bahwa pertahanan sejati bukanlah benteng batu, tetapi kehendak dan perlindungan Ilahi. Ketika Abrahah dan pasukannya tiba dengan ambisi untuk mengubah sejarah, mereka justru menjadi katalisator bagi sejarah yang lebih besar. Kehancuran mereka membersihkan debu-debu kesombongan dari padang pasir, membuka jalan bagi kelahiran sang Rasul dan risalah rahmatan lil 'alamin.
Pelajaran dari Al-Fil adalah janji bahwa tidak ada kekuatan di bumi yang dapat menghancurkan kebenaran atau menghentikan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Bagi umat beriman, kisah ini adalah sumber ketenangan, penegasan bahwa pada akhirnya, tipu daya para tiran akan selalu menjadi 'Aṣf Ma'kūl'—jerami yang tak berguna, dimakan habis oleh ketetapan langit. Sebagaimana Tuhan melindungi Rumah-Nya, Dia juga akan melindungi mereka yang mencari perlindungan di bawah naungan kuasa-Nya.