Q

Aliran Qadariyah: Sejarah dan Ajaran Inti

Pengantar Aliran Qadariyah

Dalam khazanah pemikiran Islam, diskusi mengenai kehendak bebas manusia dan takdir ilahi telah melahirkan berbagai aliran teologis. Salah satu aliran yang menonjol dan kerap menjadi perdebatan adalah Aliran Qadariyah. Nama "Qadariyah" sendiri berasal dari kata "qadar" yang berarti ketetapan atau ketentuan. Namun, dalam konteks aliran ini, Qadariyah lebih merujuk pada penegasan terhadap kemampuan manusia dalam memilih dan berkehendak, yang kemudian melahirkan konsekuensi atas perbuatannya. Aliran ini pada intinya meyakini bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (ikhtiar), dan karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya.

Pandangan ini menjadi landasan utama bagi Qadariyah dalam memahami konsep dosa dan pahala, serta pertanggungjawaban moral di hadapan Tuhan. Berbeda dengan pandangan deterministik yang menganggap segala sesuatu telah sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan tanpa campur tangan manusia, Qadariyah menempatkan manusia sebagai subjek aktif yang memiliki daya dan kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri melalui pilihan-pilihannya.

Sejarah Kemunculan Aliran Qadariyah

Kemunculan Aliran Qadariyah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan politik pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW. Periode ini ditandai dengan terjadinya berbagai perselisihan dan peperangan di antara umat Islam, terutama terkait suksesi kepemimpinan. Dalam kondisi yang penuh gejolak ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai keadilan Tuhan, kehendak bebas manusia, dan masalah takdir.

Tokoh sentral yang kerap dikaitkan dengan pendirian Aliran Qadariyah adalah Ma'bad al-Juhani (wafat sekitar 700 M) dan Washil bin Atha' (wafat sekitar 748 M). Ma'bad al-Juhani, seorang ulama dari Bashrah, dianggap sebagai salah satu pelopor yang secara tegas menolak pandangan jabariyah (fatalisme) yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak sama sekali dan segala perbuatannya adalah paksaan dari Tuhan. Ia berargumen bahwa jika manusia dipaksa berbuat, maka tidak ada keadilan jika ia dihukum atau diberi pahala.

Selanjutnya, Washil bin Atha', yang merupakan murid Hasan al-Bashri, mengembangkan gagasan ini lebih lanjut. Ia memisahkan diri dari gurunya dalam beberapa isu teologis, termasuk pandangan tentang kehendak manusia. Washil bin Atha' dan para pengikutnya (yang kemudian dikenal sebagai Mu'tazilah, yang juga menganut pandangan serupa tentang kehendak bebas) sangat menekankan akal (aql) dalam memahami ajaran agama. Bagi mereka, penegasan kehendak bebas manusia adalah keniscayaan akal yang selaras dengan keadilan Tuhan.

Ajaran Inti Aliran Qadariyah

Inti ajaran Aliran Qadariyah berpusat pada penegasan kebebasan dan kemandirian manusia dalam berkehendak dan berbuat. Beberapa poin kunci dari ajaran mereka meliputi:

Implikasi dan Perdebatan

Pemikiran Qadariyah ini memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek teologi Islam. Penegasan kehendak bebas manusia menjadi dasar bagi pemahaman tentang syariat Islam, di mana manusia diperintahkan untuk berbuat baik dan dilarang berbuat buruk karena mereka memiliki kemampuan untuk memilih. Tanpa adanya kehendak bebas, perintah dan larangan tersebut akan kehilangan maknanya.

Namun, pandangan ini juga memicu perdebatan sengit. Sebagian ulama lain khawatir bahwa penegasan kehendak bebas yang terlalu kuat dapat mengurangi kemahakuasaan Tuhan (qudrah ilahiyah) dan berujung pada kesyirikan, karena dianggap menyamakan kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan. Aliran lain, seperti Asy'ariyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari, mencoba mencari jalan tengah dengan tetap mengakui adanya kehendak manusia, namun menekankan bahwa penciptaan perbuatan tetap berada pada Tuhan.

Dalam buku-buku teologi Islam, diskusi tentang Qadariyah seringkali ditempatkan bersebelahan dengan Jabariyah, merepresentasikan dua kutub ekstrem dalam memahami hubungan antara kehendak manusia dan takdir ilahi.

Meskipun demikian, kontribusi Aliran Qadariyah dalam mengembangkan diskursus teologi Islam tidak dapat diabaikan. Mereka telah mendorong umat Islam untuk secara kritis merenungkan konsep kebebasan, tanggung jawab, dan keadilan dalam kerangka ajaran agama. Pemahaman yang mendalam mengenai aliran ini membantu kita memahami keragaman pandangan teologis dalam Islam dan bagaimana setiap aliran berusaha untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Tuhan.

🏠 Homepage