Menguak Tirai Wahyu: Di Manakah Surah Al-Lahab Diturunkan?

Pusat Sejarah dan Spiritual: Kota Turunnya Surah Al-Lahab

Pertanyaan mengenai lokasi spesifik turunnya ayat-ayat suci Al-Qur'an memiliki signifikansi yang mendalam dalam studi ilmu tafsir dan sejarah Islam. Lokasi tidak hanya menandai titik geografis, tetapi juga menyediakan konteks sosiologis dan politik yang penting untuk memahami pesan inti wahyu tersebut. Dalam konteks Surah Al-Lahab (Surah ke-111 dalam Al-Qur'an), jawaban atas pertanyaan tersebut sangat jelas dan krusial: Surah Al-Lahab diturunkan di kota suci Makkah Al-Mukarramah.

Penentuan ini menempatkan Surah Al-Lahab ke dalam kategori Surah Makkiyah, yaitu surah-surah yang diwahyukan sebelum peristiwa hijrah (migrasi) Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Makkiyah, yang berlangsung kurang lebih selama tiga belas tahun, ditandai dengan perjuangan dakwah yang intensif, penolakan keras dari kaum Quraisy, dan penekanan pada fondasi tauhid (keesaan Allah), hari kiamat, serta kisah-kisah para nabi terdahulu. Surah Al-Lahab, dengan pendekatannya yang tegas dan langsung, menjadi salah satu contoh paling ekstrem dari tantangan dakwah yang dihadapi Rasulullah di jantung kota Makkah.

Peta Kota Makkah dan Ka'bah Ilustrasi simbolis Makkah, tempat di mana wahyu Al-Lahab diturunkan. Wahyu Makkah Al-Mukarramah

Konteks Historis Makkah pada Periode Wahyu

Untuk memahami mengapa Surah ini diturunkan di Makkah dan dampaknya begitu besar, kita harus menengok kondisi kota tersebut di awal abad ketujuh Masehi. Makkah bukanlah sekadar pemukiman; ia adalah pusat perdagangan yang vital di Semenanjung Arab dan, yang lebih penting, pusat keagamaan pagan. Ka'bah, yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, saat itu dipenuhi dengan berhala-berhala yang disembah oleh berbagai suku, menjadikan kabilah Quraisy, yang memegang kendali atas kota tersebut, memiliki otoritas spiritual dan ekonomi yang tak tertandingi.

Masyarakat Makkah saat itu terstruktur secara hierarkis, dengan klan-klan besar seperti Bani Hasyim, Bani Umayyah, dan Bani Makhzum bersaing dalam hal kehormatan dan kekayaan. Abu Lahab, tokoh sentral yang menjadi sasaran Surah ini, adalah paman Nabi Muhammad ﷺ dan termasuk dalam klan terpandang, Bani Hasyim. Status sosial Abu Lahab sebagai kerabat dekat Nabi menjadikannya oposisi internal yang sangat berbahaya dan memalukan bagi dakwah Islam yang baru dimulai.

Penolakan di Makkah tidak hanya bersifat ideologis, menolak konsep tauhid, tetapi juga bersifat ekonomis dan politis. Para pemimpin Quraisy khawatir ajaran Islam akan merusak sistem peribadatan berhala yang menjadi sumber kekayaan mereka melalui ziarah. Ketika wahyu mulai turun, reaksi pertama adalah ejekan, disusul oleh pelecehan, dan akhirnya boikot serta penganiayaan fisik. Surah Al-Lahab muncul sebagai respons langsung dan sangat keras terhadap salah satu antagonis utama dalam fase awal perjuangan dakwah ini.

Latar Belakang Penurunan Surah Al-Lahab

Surah Al-Lahab, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad (Tali yang Dipintal), merupakan satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara spesifik menyebut nama seseorang dari kalangan Quraisy sebagai objek laknat dan azab abadi, yaitu Abdul Uzza bin Abdul Mutthalib, yang dikenal dengan nama kun-yahnya, Abu Lahab. Nama 'Abu Lahab' (Bapak Api yang Menyala-nyala) adalah julukan yang mungkin diberikan karena wajahnya yang cerah atau merujuk pada takdirnya di neraka.

Peristiwa Puncak di Bukit Shafa

Menurut riwayat yang sahih, khususnya yang dicatat dalam Sahih Bukhari dan Muslim, Surah Al-Lahab diturunkan setelah sebuah peristiwa monumental yang menandai dimulainya dakwah secara terbuka. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk menyampaikan peringatan kepada kaum kerabatnya yang terdekat. Rasulullah kemudian memanjat Bukit Shafa, salah satu bukit tertinggi di Makkah, dan memanggil kabilah-kabilah Quraisy. Ini adalah momen publik yang sangat penting; Nabi menggunakan tradisi peringatan darurat Arab untuk mengumpulkan perhatian mereka.

Setelah seluruh kabilah berkumpul, Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahu bahwa di lembah ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serentak menjawab, "Tentu saja, kami tidak pernah mendengar engkau berdusta." Kemudian Nabi berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya azab yang pedih."

Di tengah keheningan yang mencekam dan ketidakpercayaan yang meluas, muncul suara yang keras dan penuh kebencian. Itu adalah Abu Lahab, paman Nabi sendiri. Abu Lahab bangkit dan berseru: "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Riwayat lain menyebutkan ia mengambil batu dan melemparnya ke arah Nabi. Tindakan ini bukan hanya penolakan, tetapi penghinaan publik yang dilakukan oleh kerabat darah terdekat Nabi, di hadapan seluruh pemimpin Quraisy.

Sebagai respons langsung, sebagai pembenaran bagi Rasulullah ﷺ dan sebagai kutukan abadi terhadap sang penentang, Surah Al-Lahab diturunkan. Penurunan surah ini di Makkah, tepat setelah peristiwa di Shafa, menggarisbawahi urgensi wahyu tersebut dalam menghadapi fitnah dan permusuhan di markas besar kaum Quraisy.

Analisis Tafsir Ayat Demi Ayat Surah Al-Lahab

Untuk mencapai pemahaman yang mendalam mengenai signifikansi teologis dan retoris Surah Al-Lahab, penting untuk menganalisis setiap ayat, mengingat bahwa Surah ini diturunkan sebagai 'Surat Keterangan Kematian' bagi Abu Lahab di dunia dan akhirat, sebuah fenomena yang sangat unik dalam Al-Qur'an.

Simbol Wahyu Ilahi dan Penurunan Surah Representasi simbolis wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ketegasan Wahyu di Makkah

Ayat 1: Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb

Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.”

Kata kunci di sini adalah Tabbat, yang berasal dari kata kerja yang berarti 'celaka', 'rusak', atau 'binasa'. Kalimat ini diulang dalam bentuk pernyataan (doa buruk) dan kemudian dalam bentuk penegasan (prediksi yang pasti). Para mufassir menjelaskan bahwa 'kedua tangan' (yada) merujuk kepada seluruh usahanya, tindakannya, dan kekuatannya. Abu Lahab menggunakan kekuasaan, pengaruh, dan tangannya untuk melawan Nabi ﷺ. Ayat ini adalah kutukan bahwa semua usahanya (tangan yang digunakan untuk melempar batu di Shafa) akan sia-sia dan binasa.

Pengulangan frasa "wa tabb" (dan dia telah benar-benar binasa) adalah penekanan linguistik yang kuat. Ayat ini tidak hanya mendoakan kebinasaan, tetapi juga menyatakan fakta bahwa kebinasaan itu telah terjadi atau pasti akan terjadi. Ini adalah sebuah mukjizat kenabian yang diturunkan di Makkah, mengumumkan nasib seseorang yang masih hidup.

Ayat 2: Maa aghna ‘anhu maaluhu wa maa kasab

Artinya: “Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.”

Makkah adalah kota kapitalis perdagangan. Kekuatan dan kehormatan seseorang diukur dari harta (maal) dan anak-anak (yang sering diinterpretasikan dari kata 'maa kasab' – apa yang ia usahakan/peroleh, termasuk keturunan). Abu Lahab adalah orang kaya dan memiliki banyak anak. Ayat ini dengan telak menyerang inti dari harga diri Quraisy, yaitu kekayaan dan pengaruh kabilah. Dalam menghadapi Azab Allah, kekayaan yang ia banggakan dan anak-anak yang ia harap akan membelanya tidak akan memberikan manfaat sedikit pun. Kekayaan yang ia gunakan untuk memboikot dan menindas umat Islam akan menjadi tidak berharga.

Ayat 3: Sayashlaa naaran zaata lahab

Artinya: “Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Lahab).”

Inilah puncak kengerian ramalan. Namanya sendiri, Abu Lahab (Bapak Api), secara retoris dipadankan dengan takdirnya: naaran zaata lahab (api yang memiliki Lahab/menyala-nyala). Ini adalah salah satu contoh terkuat dari Jinas Isytiqaq (penggunaan kata yang berasal dari akar kata yang sama) dalam Al-Qur'an untuk menciptakan efek dramatis. Di Makkah, tempat dia berkuasa dan menyala-nyala karena amarah dan kesombongan, ia dinubuatkan akan terbakar di neraka. Azab ini adalah hukuman setimpal di akhirat atas penentangan dan kekejamannya yang ia lakukan di Makkah.

Ayat 4 dan 5: Wamra’atuhuu hammaalatal hathab. Fii jiidihaa hablum mim masad

Artinya: “Dan (begitu juga) istrinya, pembawa kayu bakar. Di lehernya ada tali dari sabut.”

Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan. Ia dikenal karena permusuhannya yang sama sengitnya terhadap Nabi ﷺ. Julukan 'Pembawa Kayu Bakar' memiliki dua interpretasi utama yang disampaikan oleh ulama di Makkah:

  1. Ia secara literal membawa duri dan ranting untuk ditebarkan di jalur yang dilalui Nabi Muhammad ﷺ guna menyakiti beliau.
  2. Ia adalah penyebar fitnah dan gosip (kayu bakar kiasan) yang menyulut api permusuhan terhadap Nabi dan para sahabat.

Ayat terakhir menjelaskan hukuman spesifiknya di neraka: tali yang terbuat dari sabut kasar atau serat kurma (masad) akan melilit lehernya. Sabut adalah bahan yang digunakan oleh para wanita miskin Makkah untuk mengikat kayu bakar. Ironi di sini sangat tajam: wanita bangsawan Makkah ini, yang hidup dalam kemewahan, akan dihukum dengan alat yang paling rendah dan kasar, tali sabut, sebagai pengikat abadi atas perbuatannya dalam menyulut api fitnah di Makkah.

Profil Antagonis Utama: Abu Lahab dan Ummu Jamil

Kekuatan Surah Al-Lahab terletak pada penargetan spesifiknya terhadap dua individu yang memainkan peran sentral dalam penindasan Islam di Makkah. Studi mendalam terhadap karakter mereka memberikan wawasan tentang intensitas konflik yang terjadi di lingkungan Quraisy.

Abu Lahab: Paman yang Menentang

Abu Lahab, atau Abdul Uzza, memiliki hubungan darah yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad ﷺ. Mereka adalah anak dari dua bersaudara (Abdullah dan Abdul Mutthalib), yang seharusnya menjadikannya pelindung Nabi berdasarkan sistem kesukuan Makkah. Namun, Abu Lahab memilih jalan penentangan total, menjadikannya anomali dalam struktur Bani Hasyim yang (sebagian besar, di bawah kepemimpinan Abu Thalib) masih memberikan perlindungan klan kepada Nabi, meskipun mereka tidak menerima Islam.

Peran Abu Lahab sangat destruktif. Ketika musim haji tiba dan orang-orang dari luar Makkah datang, Abu Lahab selalu mengikuti Nabi ﷺ, merusak upaya dakwah beliau. Setiap kali Nabi berbicara, Abu Lahab akan berteriak, "Wahai manusia, ini adalah keponakanku yang gila dan pendusta. Jangan dengarkan dia!" Kerugian yang ditimbulkan oleh Abu Lahab sangat besar karena ia adalah anggota senior Bani Hasyim, klan yang sama dengan Nabi. Kesaksiannya membawa bobot dan kredibilitas di mata para peziarah luar yang datang ke Ka'bah di Makkah.

Tindakan Abu Lahab adalah pengkhianatan klan dan agama. Ia bahkan menarik kembali pernikahan kedua putranya, Utbah dan Utaibah, dari putri-putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, sebagai bagian dari kampanye pemboikotan. Tindakan ini merupakan penghinaan publik tertinggi yang menunjukkan betapa jauhnya kebenciannya. Penurunan Surah Al-Lahab berfungsi sebagai deklarasi ilahi yang memutus hubungan kekerabatan spiritual dan sosial ini, memisahkan Abu Lahab dari garis keturunan Nabi secara abadi.

Ummu Jamil: Agen Fitnah dan Kekejaman

Ummu Jamil, istri Abu Lahab, adalah saudara perempuan Abu Sufyan sebelum Abu Sufyan memeluk Islam. Ia adalah seorang wanita yang memiliki status sosial tinggi dan kekayaan yang besar di Makkah. Namun, ia menyalurkan kekayaan dan pengaruhnya untuk menyebarkan permusuhan terhadap Islam.

Perannya sebagai 'pembawa kayu bakar' tidak hanya metaforis, tetapi juga menggambarkan upaya aktifnya dalam menghasut. Diceritakan bahwa dia adalah wanita yang sangat fasih dan mahir dalam menyebarkan kabar buruk. Di Makkah, wanita bangsawan memiliki pengaruh sosial yang signifikan dalam lingkaran masyarakat. Ummu Jamil menggunakan pengaruhnya untuk mengobarkan permusuhan dan menyebarkan kebohongan di kalangan masyarakat Quraisy, memastikan bahwa lingkungan Makkah tetap menjadi tempat yang berbahaya bagi Nabi dan para pengikutnya yang miskin dan lemah.

Hukuman spesifik bagi Ummu Jamil yang disebutkan di akhir Surah – tali sabut di lehernya – merupakan pembalasan langsung atas kesombongan duniawinya. Di Makkah, dia memakai perhiasan mahal di lehernya, simbol kemakmuran dan kehormatan. Di akhirat, perhiasan itu digantikan oleh tali kasar, simbol penghinaan dan azab yang setimpal atas setiap fitnah yang ia tebarkan di jalan-jalan kota suci tersebut.

Signifikansi Makkah sebagai Tempat Wahyu Surah Al-Lahab

Fakta bahwa Surah Al-Lahab diturunkan di Makkah memiliki implikasi teologis, sosiologis, dan prediktif yang mendalam. Makkah bukanlah sembarang kota; ia adalah Ummul Qura (Induk dari Segala Negeri) dan pusat spiritual yang dihormati di Jazirah Arab.

Mukjizat Prediktif di Makkah

Salah satu aspek paling menakjubkan dari Surah Al-Lahab adalah sifat prediktifnya. Ayat-ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa Abu Lahab akan binasa dan pasti akan masuk neraka, bersama istrinya. Ketika surah ini diturunkan di Makkah, Abu Lahab masih hidup, dan ia memiliki peluang untuk menyangkal klaim kenabian Muhammad ﷺ.

Jika Abu Lahab mau membuktikan bahwa Nabi berdusta, ia hanya perlu menyatakan, meskipun hanya sekali dan secara munafik, bahwa ia telah menerima Islam atau setidaknya berpura-pura tertarik. Namun, ia tidak pernah melakukan itu, bahkan tidak pernah menunjukkan keraguan sedikit pun terhadap permusuhannya. Ia tetap menjadi penentang keras hingga kematiannya, yang terjadi segera setelah Perang Badar. Hal ini memverifikasi kebenaran mutlak wahyu yang diterima di Makkah tersebut; ia tidak akan pernah beriman, dan ia akan binasa dalam kekafiran.

Kisah ini menjadi bukti kuat bagi kaum Muslimin yang tertindas di Makkah bahwa Allah berada di pihak mereka dan bahwa musuh utama mereka, meskipun kaya dan berkuasa, telah ditandai untuk kebinasaan abadi oleh keputusan Ilahi yang tidak dapat diubah.

Tantangan Kekuatan dan Kebangsawanan Quraisy

Penamaan musuh secara spesifik di Makkah adalah strategi dakwah yang berani. Di Makkah, kehormatan dan klan adalah segalanya. Dengan menyerang Abu Lahab—bukan hanya individu biasa, tetapi seorang bangsawan Quraisy dari Bani Hasyim—wahyu ini menantang hierarki sosial Makkah secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa di mata Islam, ikatan darah atau status sosial tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan ikatan tauhid.

Penurunan surah ini di pusat kekuasaan Quraisy memberikan keberanian luar biasa kepada para sahabat yang lemah (mustadh’afin). Mereka melihat bahwa bahkan paman Nabi, yang memiliki kekuasaan dan harta, tidak luput dari hukuman Ilahi ketika ia memilih jalan kesesatan. Ini adalah pembeda yang jelas antara perlindungan duniawi Makkah dan perlindungan sejati yang berasal dari Allah SWT.

Makkah, dengan segala kemegahan dan kesombongannya, menjadi saksi bisu atas pertarungan fundamental antara kebenaran dan kebatilan yang disimbolkan dalam Surah Al-Lahab. Konflik ini tidak hanya terjadi di jalanan Makkah, tetapi juga di hati setiap individu Quraisy yang harus memilih antara tradisi leluhur yang diwakili oleh Abu Lahab dan seruan tauhid yang disampaikan oleh keponakannya.

Pengaruh Retoris dan Linguistik Surah Al-Lahab

Sebagai Surah Makkiyah yang sangat ringkas, Surah Al-Lahab menampilkan kecemerlangan retoris dan kekuatan linguistik Arab yang luar biasa, membenarkan mengapa Surah ini begitu menggetarkan para pendengar aslinya di Makkah.

Ijaz Al-Qur'an (Mukjizat Linguistik)

Surah ini menggunakan pola rima yang kuat dan aliterasi yang tajam (seperti tabb, lahab, hathab, masad). Nada Surah ini adalah deklarasi mutlak, bukan negosiasi atau permohonan. Ini adalah dekret hukuman. Penggunaan kata 'lahab' yang secara harfiah berarti nyala api—dan nama panggilan Abu Lahab—menghadirkan korelasi antara nama dan takdir, sebuah teknik sastra yang sangat kuat dalam tradisi Arab.

Pengulangan "Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb" menciptakan ritme yang mengancam. Menurut ahli bahasa Arab, penggunaan bentuk lampau dalam 'wa tabb' meskipun yang dimaksud adalah prediksi masa depan, menunjukkan kepastian absolut. Seolah-olah peristiwa kebinasaan tersebut sudah terjadi, menegaskan bahwa tidak ada jalan keluar bagi Abu Lahab, sebuah pesan yang sangat mengejutkan bagi kaum elite Makkah yang terbiasa dengan retorika puisi Arab.

Analisis Konsekuensi Sosial di Makkah

Dampak sosial dari Surah ini di Makkah sangat besar. Ayat ini menjadi pemisah yang permanen antara yang beriman dan yang kafir, bahkan dalam satu keluarga. Surah ini menunjukkan bahwa loyalitas utama seorang Muslim haruslah kepada Allah, melampaui ikatan klan yang menjadi fondasi masyarakat Makkah saat itu. Bagi Bani Hasyim, Surah ini adalah aib yang besar, karena mengutuk salah satu anggota terkemuka mereka. Namun, bagi kaum yang tertindas, Surah ini adalah sumber kekuatan moral yang tak terbatas, mengonfirmasi bahwa penindasan mereka di Makkah tidak akan sia-sia.

Surah Al-Lahab, meskipun hanya terdiri dari lima ayat yang pendek, merangkum konflik spiritual yang mendasari transisi Makkah dari pusat paganisme menjadi pusat tauhid. Ia adalah monumen kebenaran ilahi yang diucapkan di tengah-tengah benteng kesombongan Quraisy.

Dalam sejarah Makkah, tidak ada satu pun surah lain yang memberikan hukuman abadi dengan nama spesifik dan prediktif seperti ini. Ini menunjukkan betapa seriusnya kejahatan Abu Lahab terhadap Nabi ﷺ dan misi Ilahi. Ia bukan hanya menolak, tetapi secara aktif dan agresif, menggunakan statusnya di Makkah untuk memadamkan cahaya Islam di masa-masa paling awal dan paling rentan. Oleh karena itu, hukuman yang diturunkan oleh wahyu yang terjadi di Makkah tersebut bersifat setimpal dan abadi.

Makkah Sebelum Wahyu: Struktur Sosial dan Agama

Untuk benar-benar menghargai posisi Surah Al-Lahab dalam kanon Al-Qur'an, kita harus menjelajahi secara mendalam bagaimana kehidupan di Makkah berlangsung sebelum munculnya Islam. Makkah bukanlah hanya sebuah kota, tetapi sebuah entitas geopolitik dan sosiologis yang kompleks, tempat di mana sistem kesukuan (tribalisme) menjadi hukum tertinggi, dan identitas individu sepenuhnya tergantung pada klan (Quraisy) dan sub-klan (seperti Bani Hasyim atau Bani Umayyah). Kebudayaan ini sangat menekankan pada konsep murū’ah (kehormatan dan ksatriaan), yang sayangnya sering diselewengkan menjadi kesombongan dan kebanggaan buta terhadap leluhur (asabiyah).

Peran Ka'bah dan Paganisme di Makkah

Makkah mendapatkan kekuatannya dari statusnya sebagai kota suci. Ka'bah, meskipun awalnya dibangun atas dasar tauhid oleh Nabi Ibrahim, telah dirusak dengan penempatan sekitar 360 berhala. Penyembahan berhala ini, yang dipimpin oleh kabilah Quraisy, menarik peziarah dari seluruh Arab, yang pada gilirannya menghasilkan keuntungan ekonomi yang masif bagi para penjaga Ka'bah. Kepentingan ekonomi inilah yang menjadi akar penentangan terhadap Islam. Tauhid, jika diterima, berarti kehancuran sumber pendapatan utama Makkah dan penurunan drastis status sosial para pemimpin Quraisy.

Abu Lahab, sebagai paman Nabi dan figur penting Quraisy, adalah simbol dari kemakmuran dan kekuasaan Makkah yang berbasis pada paganisme ini. Penolakannya bukan sekadar penolakan teologis, tetapi penolakan terhadap ancaman terhadap struktur kekuasaan yang ia nikmati. Dalam lingkungan Makkah yang sangat sensitif terhadap status dan kekuasaan, tindakan Nabi mengancam tatanan yang telah lama ada. Surah Al-Lahab, yang diwahyukan di Makkah, adalah deklarasi perang terhadap tatanan tersebut, menggunakan bahasa yang tidak ambigu dan secara langsung menyerang fondasi kehormatan Abu Lahab.

Ketegangan Internal Bani Hasyim

Klan Bani Hasyim, tempat Nabi Muhammad dan Abu Lahab berasal, berada dalam posisi yang unik. Meskipun klan ini secara umum melindungi Nabi (terutama di bawah kepemimpinan Abu Thalib), tidak semua anggotanya menerima ajarannya. Abu Lahab adalah representasi dari perpecahan internal ini. Di Makkah, perlindungan klan adalah satu-satunya jaminan keamanan fisik. Ketika Abu Lahab secara terbuka menentang dan mencela Nabi, ia efektif mencoba mencabut perlindungan klan tersebut. Ia menggunakan posisinya sebagai saudara ayah Nabi untuk merongrong dakwah. Tindakan pengkhianatan dari dalam inilah yang memicu respons keras dari langit dalam bentuk Surah Al-Lahab, yang diturunkan di pusat kota tempat konflik kekeluargaan tersebut memuncak.

Peristiwa di Bukit Shafa, yang terjadi di tengah-tengah Makkah, adalah titik balik. Ketika Nabi berdiri di atas bukit, mengumumkan pesan Ilahi, Abu Lahab berdiri di bawahnya, mengumumkan laknat duniawi. Wahyu Surah Al-Lahab adalah respons ilahi yang mengubah laknat duniawi Abu Lahab menjadi laknat abadi, menegaskan bahwa suara kebenaran akan selalu mengalahkan suara kedengkian, bahkan di tempat yang paling tertekan, yaitu Makkah pada masa awal Islam.

Tinjauan Mendalam atas Makna 'Tabb' dan Prediksi Kematian

Kata Tabb, yang digunakan secara berulang di awal Surah, memerlukan pemeriksaan yang lebih cermat karena ia mendefinisikan seluruh Surah dan mengukuhkan keunikan wahyu yang diturunkan di Makkah ini. Dalam bahasa Arab klasik, tabb tidak hanya berarti binasa, tetapi juga merujuk pada kegagalan total, kehancuran usaha, dan kekecewaan mutlak.

Kegagalan Duniawi dan Akhirat

Ketika Surah ini menyatakan, "Binasalah kedua tangan Abu Lahab," ini mencakup semua dimensi perjuangannya. Dalam konteks Makkah, 'tangan' adalah metafora untuk kekuasaan, upaya, dan sumber daya. Abu Lahab mengerahkan hartanya, pengaruhnya, dan energi fisiknya untuk menghentikan Islam. Surah Al-Lahab adalah proklamasi bahwa semua investasi kebenciannya akan menghasilkan nol; kekayaannya akan lenyap, dan keturunannya (yang sebagian besar kemudian memeluk Islam) tidak akan membela dirinya.

Tafsir lain mengaitkan 'kedua tangan' dengan perbuatan baik atau jasa. Dalam sistem Quraisy, orang-orang kaya berusaha mendapatkan kehormatan melalui sedekah dan pelayanan terhadap peziarah Ka'bah. Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan perbuatan baik Abu Lahab tidak akan bermanfaat baginya di hadapan kekafiran dan permusuhannya terhadap Nabi. Semua catatan amal Abu Lahab telah 'binasa' karena ia memilih jalan menentang wahyu Ilahi yang turun di Makkah.

Kematian dan Konfirmasi Kenabian

Kematian Abu Lahab memberikan konfirmasi historis yang brutal terhadap kebenaran Surah ini. Abu Lahab meninggal dalam keadaan mengenaskan tak lama setelah kekalahan Quraisy di Perang Badar. Ia tidak ikut bertempur, tetapi ia mengirim orang lain. Setelah kabar kekalahan sampai di Makkah, ia diliputi kesedihan dan rasa malu yang mendalam. Ia kemudian terserang penyakit menular yang sangat menjijikkan (disebut Al-‘Adasah, sejenis bisul yang mematikan dan membuat orang lain takut mendekatinya).

Penyakitnya begitu menular sehingga keluarganya meninggalkannya. Ia meninggal sendirian. Karena ketakutan tertular, ia tidak dikuburkan dengan layak selama beberapa hari. Akhirnya, ia dikuburkan dengan cara yang sangat tidak terhormat—didorong ke dalam lubang dari jarak jauh menggunakan kayu. Cara kematian ini di Makkah, di mana kehormatan penguburan sangat penting, adalah pemenuhan literal dari kata 'binasa' (tabb), sebuah akhir yang tidak terhormat bagi seorang tokoh bangsawan Quraisy. Surah yang diturunkan di Makkah ini terbukti benar dalam setiap detailnya, menegaskan keabsahan risalah Nabi Muhammad ﷺ.

Dampak Surah Al-Lahab terhadap Perjuangan Dakwah di Makkah

Penurunan Surah Al-Lahab bukanlah peristiwa yang terisolasi; ia adalah senjata retoris yang mengubah dinamika hubungan antara kaum Muslimin dan Quraisy di Makkah. Ini terjadi pada periode di mana kaum Muslimin sangat minoritas dan rentan, menghadapi boikot ekonomi dan sosial yang kejam.

Pembelaan Terhadap Nabi dan Keluarga Ilahi

Di Makkah, seringkali Nabi Muhammad ﷺ dicerca dan dituduh sebagai penyair gila. Permusuhan ini sangat pribadi, terutama datang dari Abu Lahab dan Ummu Jamil yang sering melemparkan kotoran dan duri di depan rumah beliau. Surah Al-Lahab adalah pembelaan ilahi yang langsung dan personal. Ia membalikkan serangan pribadi yang dilakukan oleh Abu Lahab menjadi kehancuran pribadi dan abadi bagi Abu Lahab itu sendiri. Hal ini menguatkan moral para sahabat bahwa serangan pribadi terhadap Nabi akan ditanggapi dengan respons langsung dari Pencipta semesta.

Surah ini juga mengajarkan umat Islam di Makkah bahwa keadilan sejati melampaui kemampuan mereka untuk melawan. Pada saat itu, kaum Muslimin tidak memiliki kekuatan militer atau politik untuk membalas dendam terhadap Abu Lahab. Wahyu ini memastikan bahwa pembalasan telah dijamin oleh Allah, mengalihkan fokus dari pembalasan duniawi ke kepastian pembalasan di Akhirat.

Memutus Ikatan Kebangsawanan untuk Akidah

Masyarakat Makkah sangat menghargai Silaturahmi (ikatan kekeluargaan). Namun, Al-Qur'an melalui surah ini, mengajarkan bahwa ikatan akidah dan tauhid jauh lebih penting daripada ikatan darah. Ketika Abu Lahab memilih kekafiran dan permusuhan aktif, ikatan darah itu terputus di mata Allah. Ajaran ini sangat revolusioner di Makkah, menantang prinsip inti tribalisme yang mengharuskan seseorang melindungi kerabatnya tanpa syarat, bahkan jika kerabat tersebut salah.

Surah ini membantu membentuk identitas komunitas Muslim di Makkah, memisahkan mereka yang memeluk Islam (yang rela memutuskan ikatan darah demi Allah) dari mereka yang menolak (yang memilih mempertahankan kehormatan klan dan paganisme). Batasan yang jelas ini diperlukan untuk kelangsungan hidup komunitas Muslim yang baru lahir.

Makkah Sebagai Panggung Sejarah Ilahi

Penting untuk memahami lanskap geografis Makkah untuk memahami drama Surah Al-Lahab. Makkah adalah lembah gersang yang dikelilingi oleh pegunungan berbatu. Kehidupan di sana keras, dan hanya perdagangan yang menopang kota tersebut. Bukit Shafa, tempat Abu Lahab mengumumkan kutukannya, adalah bagian integral dari ritual haji dan umrah, dan merupakan titik pengamatan utama di kota tersebut.

Peran Geografi dalam Kisah Surah

Pemilihan Bukit Shafa sebagai tempat dimulainya dakwah terbuka bukanlah kebetulan. Ini adalah tempat yang dikenal dan dihormati oleh semua kabilah. Ketika Abu Lahab mengganggu dakwah di sana, ia mengotori tempat suci di mata Nabi. Respon Ilahi (Surah Al-Lahab) harus datang dengan kekuatan yang sama, diturunkan di kota itu sendiri, untuk membersihkan noda yang ditimbulkan oleh Abu Lahab.

Surah Al-Lahab menjadi bagian dari narasi Makkah yang lebih besar: narasi pembangunan kembali tauhid. Sama seperti Nabi Ibrahim yang harus membersihkan Ka'bah dari berhala di Makkah, Nabi Muhammad ﷺ harus membersihkan konsep tauhid dari pengaruh Abu Lahab dan rekan-rekannya. Konflik ini, yang berpusat di sekitar Ka'bah dan Bukit Shafa di Makkah, adalah fondasi dari seluruh perjuangan Makkiyah.

Penguatan Kesabaran (Sabr) di Makkah

Selama periode Makkah, fokus utama Al-Qur'an adalah menanamkan kesabaran (sabr) dan ketabahan. Surah Al-Lahab, meskipun tampak keras, pada hakikatnya adalah alat penguatan moral. Ketika kaum Muslimin menderita di tangan Abu Lahab, wahyu ini datang sebagai jaminan bahwa penderitaan mereka tidak sia-sia, dan penindas mereka sudah dicatat takdirnya oleh Allah. Pengetahuan ini sangat berharga, memungkinkan para sahabat untuk bertahan dalam menghadapi boikot, kelaparan, dan penyiksaan di gurun Makkah. Mereka tahu bahwa di tempat mereka berjuang, di Makkah, Allah telah menjanjikan kemenangan akhir melalui penghancuran moral dan spiritual musuh utama mereka.

Pelajaran Abadi dari Surah Al-Lahab di Kota Makkah

Kesimpulan dari studi mengenai Surah Al-Lahab yang diturunkan di Makkah melampaui sekadar fakta historis. Surah ini memberikan pelajaran etis dan spiritual yang bertahan hingga hari ini.

1. Prioritas Akidah di Atas Kekerabatan

Pelajaran terpenting yang diwahyukan di Makkah adalah bahwa tidak ada hubungan darah yang dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia menolak kebenaran. Abu Lahab adalah contoh klasik bahwa status sosial, kekayaan, atau ikatan kekeluargaan dengan Nabi sekalipun tidak dapat memberikan imunitas dari hukuman ilahi. Ketaatan kepada Allah adalah satu-satunya penentu keselamatan.

2. Penegasan Mukjizat Al-Qur'an

Surah Al-Lahab adalah bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ. Ia adalah ramalan yang sempurna yang diumumkan secara publik di Makkah. Ramalan ini tidak mungkin dipalsukan oleh Abu Lahab, dan ia tergenapi dalam kematiannya yang hina. Ini menggarisbawahi kebenaran mutlak Al-Qur'an yang diturunkan di Makkah dan membuktikan bahwa Nabi berbicara atas dasar wahyu, bukan spekulasi manusia.

3. Peringatan tentang Harta dan Kekuasaan

Ayat kedua Surah ini secara abadi mengingatkan bahwa harta dan kekuasaan (maaluhu wa maa kasab) yang diperoleh di Makkah atau di mana pun tidak akan berguna ketika berhadapan dengan akhirat. Bagi kaum Quraisy yang sangat materialistis, pesan ini adalah teguran langsung terhadap sistem nilai yang mereka anut.

Surah Al-Lahab, diwahyukan di Makkah, adalah kisah tentang permusuhan, pengkhianatan, dan kepastian hukuman Ilahi. Ia berdiri sebagai mercusuar sejarah, mengingatkan umat Islam tentang kerasnya perjuangan awal, dan memberikan jaminan bahwa kebenaran akan selalu menang, bahkan di tengah-tengah kezaliman yang paling intens di pusat kekuasaan duniawi.

Kedalaman Tafsir Lanjutan: Mengapa Istri Abu Lahab Disebut 'Pembawa Kayu Bakar'?

Interpretasi mengenai Ummu Jamil sebagai 'hammaalatal hathab' (pembawa kayu bakar) seringkali menjadi fokus diskusi para ulama tafsir, karena ia menyajikan gambaran yang kaya akan makna ganda yang relevan dengan kehidupan sosial di Makkah saat itu. Ada elaborasi yang luas mengenai korelasi antara perbuatan duniawi di Makkah dengan hukuman spesifik di akhirat.

Simbolisme Kayu Bakar dan Fitnah

Selain interpretasi bahwa Ummu Jamil secara fisik menyebar duri di jalur Nabi, makna kiasan adalah yang paling mendalam. Dalam tradisi bahasa Arab, seseorang yang 'membawa kayu bakar' merujuk pada orang yang menyalakan api perselisihan atau menyebarkan gosip (namimah) yang menghancurkan. Ummu Jamil sangat mahir dalam menyebarkan fitnah di antara kabilah-kabilah Makkah, mencoba memisahkan Nabi dari calon pengikutnya dan menghancurkan reputasinya.

Dalam konteks teologis, fitnah (gosip jahat) ini dianggap sebagai 'kayu bakar' yang akan membakar dirinya sendiri. Ia menyalakan api permusuhan di Makkah, dan hukuman baginya adalah api neraka yang sesungguhnya. Keterangan ini memberikan konteks moral yang tajam kepada masyarakat Makkah: bahwa kejahatan lisan dan sosial sama seriusnya dengan kejahatan fisik.

Detail 'Masad' (Tali Sabut)

Kata masad (tali sabut) adalah detail yang sangat spesifik dan kuat. Di Makkah yang panas dan gersang, tali sabut terbuat dari serat palem atau semacam lilitan kasar. Tali ini tidak hanya rendah nilainya dibandingkan perhiasan bangsawan Makkah, tetapi juga secara fisik menyakitkan. Kontras ini adalah puncak dari penghinaan ilahi. Ummu Jamil, yang lehernya dihiasi dengan kalung berharga di Makkah, akan memiliki tali yang menyakitkan di akhirat. Ini adalah cerminan dari kesombongan yang dimilikinya dan penggunaan posisinya yang terhormat di Makkah untuk melakukan perbuatan tercela.

Surah Al-Lahab dengan demikian, berfungsi ganda: sebagai kutukan dan sebagai cerminan moralitas. Ia menunjukkan bahwa setiap perbuatan—sekecil apapun seperti menyebar gosip atau meletakkan duri di jalanan Makkah—akan mendapatkan balasan yang sangat spesifik dan setimpal di akhirat. Penurunan surah ini di Makkah, di tengah-tengah masyarakat yang sangat peduli pada penampilan luar, menelanjangi kesombongan dan kemunafikan Abu Lahab dan istrinya.

Retorika Qur'an dalam Menghadapi Permusuhan di Makkah

Dalam menghadapi penolakan yang ekstrim di Makkah, Al-Qur'an menggunakan berbagai gaya retoris. Surah Al-Lahab menempati tempat yang unik karena ketegasannya yang sangat personal. Kebanyakan Surah Makkiyah berfokus pada dialog umum dengan kaum musyrikin dan tantangan yang bersifat universal (Hari Kebangkitan, Bukti Penciptaan). Namun, Al-Lahab adalah proklamasi penghakiman yang sangat spesifik.

Alasan Penamaan Personal

Mengapa Al-Qur'an, yang umumnya menggunakan istilah umum seperti 'orang-orang kafir' (al-kaafiruun) atau 'orang-orang zalim' (adz-dzoolimuun), memilih untuk menyebut nama Abu Lahab? Para ulama tafsir di Makkah dan generasi setelahnya menyimpulkan beberapa alasan:

  1. Kedekatan Hubungan: Abu Lahab adalah kerabat terdekat, dan penentangannya adalah yang paling menyakitkan dan memalukan bagi Nabi ﷺ. Hukuman publik diperlukan untuk mengimbangi penghinaan publik yang ia sebabkan di Makkah.
  2. Tanggung Jawab Kepemimpinan: Sebagai pemimpin Quraisy, kejahatannya memiliki efek menggandakan (multiplikatif) pada masyarakat Makkah. Ia tidak hanya berdosa sendiri, tetapi ia memimpin orang lain menuju kesesatan dan kekerasan.
  3. Mukjizat Kenabian: Penamaan spesifik memungkinkan verifikasi nubuat, yang krusial untuk menguatkan iman para sahabat di Makkah bahwa Nabi benar-benar mendapat dukungan ilahi.

Keputusan Allah untuk mengabadikan Abu Lahab sebagai satu-satunya musuh yang disebut namanya dalam konteks kutukan abadi adalah pengingat bahwa penentangan dari dalam, dari orang yang seharusnya mendukung, adalah kejahatan yang sangat serius di mata Allah. Wahyu ini berfungsi sebagai pertahanan moral yang kokoh bagi komunitas kecil di Makkah.

Ketegasan Bahasa dalam Konteks Kekuasaan

Makkah pada saat itu adalah benteng kesombongan bahasa. Orang Quraisy bangga akan kefasihan mereka dan menganggap Al-Qur'an hanyalah puisi atau sihir. Surah Al-Lahab, meskipun pendek, menantang para ahli bahasa Quraisy. Mereka tidak dapat menghasilkan sesuatu yang sekuat atau seakurat secara prediktif. Dengan menggunakan nama Abu Lahab dan nama neraka (Lahab) dalam pola bahasa yang sama, Surah ini menunjukkan keunggulan retoris yang mutlak, yang tidak dapat ditiru oleh penyair atau ahli bahasa di Makkah.

Surah ini menegaskan bahwa Makkah, sebagai pusat bahasa Arab, juga merupakan panggung bagi mukjizat linguistik Al-Qur'an. Tidak ada yang lebih mematikan bagi seorang Arab yang bangga akan bahasanya selain menghadapi teks yang menantang dan mengutuknya, yang terbukti benar di dunia maupun akhirat.

Konfirmasi Ke-Makkiyah-an Surah dan Periode Penurunannya

Konsensus mutlak di antara ulama tafsir, ahli sejarah (Sirah), dan ilmu-ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an) adalah bahwa Surah Al-Lahab adalah Surah Makkiyah. Lebih spesifik lagi, Surah ini diturunkan pada masa-masa awal dakwah, tepat ketika Nabi ﷺ memulai dakwah secara terang-terangan (sebagaimana diperintahkan dalam Surah Al-Hijr: 94).

Klasifikasi dalam Mushaf Utsmani

Dalam urutan pewahyuan (kronologis), Surah Al-Lahab diyakini berada di antara Surah Al-Fath dan Surah Al-Syams, meskipun ada perbedaan pendapat minor. Namun, secara umum, ia termasuk dalam kelompok surah-surah yang pendek dan sangat tegas, khas dari periode Makkah awal. Urutannya dalam Mushaf (urutan yang kita baca hari ini) adalah Surah ke-111, menempatkannya di bagian akhir Al-Qur'an, yang sebagian besar terdiri dari surah-surah Makkiyah yang ringkas.

Kenapa Surah Makkiyah?

Beberapa ciri yang memastikan Surah Al-Lahab diturunkan di Makkah meliputi:

  1. Fokus pada Tauhid dan Azab Akhirat: Surah-surah Makkiyah fokus pada penetapan tauhid dan peringatan Hari Kiamat, bukan pada hukum syariat atau sosial yang menjadi fokus surah Madaniyah. Surah Al-Lahab menegaskan azab neraka.
  2. Gaya Bahasa yang Pendek dan Tegas: Gaya bahasa yang ringkas, berirama kuat, dan penuh sumpah (walaupun tidak dalam bentuk sumpah literal) adalah ciri khas yang digunakan untuk menarik perhatian dan menantang retorika Quraisy di Makkah.
  3. Konteks Historis Konflik Langsung: Penamaan musuh tertentu yang terlibat dalam konflik personal di Makkah (yaitu peristiwa Bukit Shafa) menunjukkan bahwa surah ini lahir dari kebutuhan dakwah di jantung Makkah sebelum Nabi hijrah.

Oleh karena itu, penempatan Surah Al-Lahab sebagai wahyu yang diterima di Makkah adalah fakta yang tidak terbantahkan. Ia adalah dokumentasi abadi mengenai titik balik dalam sejarah Islam, yang berpusat pada konflik antara Nabi Muhammad ﷺ dan pamannya sendiri, di tempat yang paling suci dan paling menentang, Kota Makkah.

Implikasi Kematian Hina Abu Lahab di Makkah

Kematian Abu Lahab, yang terjadi di Makkah, bukan hanya sekadar akhir hayat seorang individu; ia adalah pengeksekusian nubuat Ilahi yang telah dibacakan dalam Surah Al-Lahab. Analisis mengenai kematiannya yang tidak terhormat sangat penting dalam memahami pemenuhan makna 'tabb' (binasa).

Ketakutan akan Al-‘Adasah dan Pengucilan Sosial

Penyakit Al-‘Adasah (kemungkinan bisul atau wabah ganas) yang menimpa Abu Lahab menjadi detail penting. Di Makkah, pada masa itu, epidemi dipandang dengan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan inilah yang menyebabkan putranya sendiri, meskipun masih musyrik, menolak untuk mendekati jenazah ayahnya. Dalam budaya Arab yang sangat menghargai ritual pemakaman dan kehormatan klan, jenazah Abu Lahab dibiarkan membusuk selama tiga hari. Ini adalah penghinaan tertinggi bagi seorang bangsawan Quraisy di kota suci Makkah.

Pada akhirnya, mereka menggunakan tiang kayu panjang untuk mendorong jenazah ke dalam lubang di luar Makkah dan menutupnya dengan batu. Penguburan yang tidak beradab ini melambangkan kehancuran total kehormatannya. Bayangkan kontrasnya: Abu Lahab, yang berdiri tegak di Bukit Shafa, melemparkan kutukan dan batu kepada Nabi, akhirnya sendiri didorong dengan kayu ke dalam kuburan seperti sampah, di pinggiran kota yang selama ini ia kuasai.

Kejadian ini terjadi di Makkah dan disaksikan oleh kaum Quraisy. Ini adalah pemenuhan publik yang kuat dari nubuat yang diturunkan di Makkah itu sendiri, menjadikan Surah Al-Lahab sebagai salah satu bukti kenabian yang paling konkret dan dapat diverifikasi secara historis oleh para penentangnya.

Keunikan Surah Al-Lahab Dibandingkan dengan Antagonis Makkah Lainnya

Makkah dipenuhi oleh penentang Nabi Muhammad ﷺ, termasuk Abu Jahal, Walid bin Al-Mughirah, dan Ash bin Wa'il. Mengapa hanya Abu Lahab yang disorot dengan nama dan kutukan yang begitu spesifik dan abadi dalam Surah Al-Lahab?

Perbedaan Kualitas Permusuhan

Meskipun Abu Jahal adalah musuh Islam yang paling keras secara politik dan militer, permusuhan Abu Lahab bersifat lebih merusak secara internal dan emosional. Abu Jahal adalah pemimpin klan lain; permusuhannya diharapkan. Namun, Abu Lahab adalah paman Nabi; permusuhannya adalah pengkhianatan klan dan keluarga yang menembus lapisan perlindungan sosial yang penting di Makkah.

Kualitas permusuhan Abu Lahab di Makkah adalah upaya untuk mempermalukan Nabi secara pribadi dan menggunakan ikatan kekerabatan untuk menyerang akidah. Ketika para peziarah datang ke Makkah, Abu Lahab akan berdiri di belakang Nabi dan menolak klaimnya. Ia melakukan tindakan ini secara konsisten dan terbuka, menggunakan statusnya sebagai 'pelindung' untuk melakukan kejahatan terberat.

Makna Nama yang Unik

Seperti yang telah dibahas, Surah ini memanfaatkan nama kun-yah Abu Lahab ('Bapak Api') untuk menciptakan hubungan langsung dengan takdirnya di neraka (api yang menyala-nyala). Retorika ini tidak tersedia pada antagonis lain. Walid bin Al-Mughirah, misalnya, dikutuk secara keras dalam Surah Al-Muddassir, tetapi tidak dengan penamaan pribadi yang memprediksi kegagalan mutlak dalam hidupnya seperti yang terjadi pada Abu Lahab di Makkah.

Keunikan Surah Al-Lahab, yang diturunkan di Makkah, adalah cerminan dari keunikan kejahatan yang dilakukan oleh Abu Lahab. Ia adalah kejahatan yang merusak secara internal terhadap misi kenabian, dan ia membutuhkan respons ilahi yang definitif dan tidak dapat diubah.

Makkah: Tanah Ujian dan Kebenaran yang Abadi

Kota Makkah, tempat di mana Surah Al-Lahab diturunkan, adalah panggung bagi beberapa wahyu paling dramatis dan historis dalam Al-Qur'an. Ini adalah tempat di mana nilai-nilai lama diuji, dan nilai-nilai Islam yang baru ditanamkan melalui penderitaan dan penolakan.

Makkah dan Ketetapan Ilahi

Kisah Surah Al-Lahab menguatkan fakta bahwa Makkah, meskipun dihuni oleh penentang yang berkuasa, tetap berada di bawah kendali penuh dan pengetahuan Allah. Setiap kata yang diucapkan di Bukit Shafa, setiap tindakan yang dilakukan oleh Ummu Jamil, dan setiap perencanaan oleh Abu Lahab, semuanya berada dalam lingkup pengetahuan Ilahi, dan Allah menanggapi hal tersebut secara langsung melalui wahyu.

Surah ini menjamin bagi generasi Muslim berikutnya bahwa lokasi suci seperti Makkah, meskipun pernah dinajiskan oleh berhala dan kejahatan, akan selalu menjadi tempat di mana kebenaran tertinggi diumumkan dan dipertahankan. Warisan Surah Al-Lahab di Makkah adalah warisan ketegasan: keadilan Ilahi tidak akan pernah tertunda, dan tidak ada kekuasaan duniawi yang dapat mengatasi takdir yang telah ditetapkan.

Dari bukit-bukit gersang Makkah, muncul kebenaran yang membelah keluarga dan bangsa, memisahkan yang beriman dari yang celaka, sebuah pemisahan yang secara abadi diabadikan dalam Surah Al-Lahab yang singkat namun penuh daya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan tanpa keraguan bahwa Surah Al-Lahab merupakan salah satu wahyu Makkiyah yang paling kuat, diturunkan di jantung kota Makkah Al-Mukarramah. Surah ini tidak hanya berfungsi sebagai kutukan abadi terhadap Abu Lahab dan istrinya, tetapi juga sebagai pilar dukungan moral dan verifikasi kenabian bagi komunitas Muslim yang berjuang di tengah penindasan yang kejam di Makkah. Ia adalah bukti bahwa di tengah konflik keluarga dan klan, keputusan Ilahi selalu didasarkan pada kebenaran dan keadilan akidah.

🏠 Homepage