Analisis Historis dan Tafsir tentang Latar Belakang Pewahyuan Surat Al-Lahab (Al-Masad)
Surat Al-Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surat Al-Masad, adalah salah satu surat pendek yang memiliki latar belakang sejarah dan konteks pewahyuan (Asbabun Nuzul) yang sangat spesifik dan dramatis. Surat ke-111 dalam Al-Qur'an ini dikenal karena secara eksplisit mengutuk salah satu kerabat terdekat Nabi Muhammad ﷺ, yaitu pamannya sendiri, Abu Lahab, dan istrinya, Ummu Jamil.
Pertanyaan mendasar yang sering dikaji oleh para ulama adalah: surat Al-Lahab diturunkan di mana, dan situasi apa yang melatarbelakanginya? Jawaban tunggal dan tegas dari kajian sirah (sejarah kenabian) dan ilmu tafsir adalah: Surat Al-Lahab diturunkan di Makkah Al-Mukarramah, pada masa-masa awal dakwah terang-terangan (dakwah jahr), sebagai respons langsung dari Allah SWT terhadap tindakan permusuhan yang ditunjukkan oleh Abu Lahab.
Surat Al-Lahab termasuk dalam kategori surat Makkiyah. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa seluruh ayat dalam surat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebelum peristiwa Hijrah (migrasi) ke Madinah. Periode Makkiyah, yang berlangsung kurang lebih selama 13 tahun, ditandai oleh beberapa ciri khas, yang semuanya relevan dengan isi dan konteks Surat Al-Lahab:
Oleh karena itu, lokasi turunnya surat Al-Lahab tidak lain adalah di jantung kota Makkah, di tengah komunitas yang baru mulai menolak atau menerima risalah kenabian.
Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) Surat Al-Lahab sangat jelas dan tercatat dalam berbagai riwayat hadis sahih, termasuk dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Peristiwa ini terjadi setelah turunnya firman Allah yang memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berdakwah secara terbuka, yakni Surah Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."
Untuk melaksanakan perintah ini, Rasulullah ﷺ memilih tempat yang strategis dan historis di Makkah: Bukit Safa. Lokasi ini sering digunakan oleh bangsa Arab untuk mengumpulkan klan-klan penting guna menyampaikan berita yang sangat mendesak atau peringatan bahaya.
Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Safa, lalu memanggil suku-suku Quraisy secara spesifik, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adi!" hingga semua klan berkumpul. Beliau kemudian bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda di balik lembah ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayai aku?" Mereka semua serentak menjawab, "Kami tidak pernah mendapati engkau berbohong."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujuran dan kredibilitasnya yang tak terbantahkan, barulah Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan inti risalahnya, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih." Ini adalah titik awal dari deklarasi kenabian secara publik di Makkah.
Saat Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan peringatan tersebut, semua yang hadir, meskipun tidak semua menerima, setidaknya mendengarkan dengan seksama, kecuali satu orang. Orang itu adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang dikenal dengan nama kun-yahnya, Abu Lahab (Bapak Api Neraka), yang merupakan paman kandung Nabi Muhammad ﷺ.
Reaksi Abu Lahab sangat kasar, penuh penghinaan, dan langsung. Riwayat mencatat bahwa Abu Lahab segera berdiri dan mengucapkan kalimat yang menunjukkan kebencian dan penolakan total terhadap risalah yang dibawa oleh keponakannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah:
"Celakalah kamu! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?"
Tindakan ini bukan sekadar penolakan, tetapi penolakan yang merusak dan menghina di depan khalayak ramai, mengganggu momentum dakwah pertama yang dilakukan secara terbuka. Abu Lahab berusaha membubarkan pertemuan tersebut dan merusak kredibilitas Nabi Muhammad ﷺ di mata klan-klan Quraisy. Keberaniannya menantang Nabi didasarkan pada posisinya sebagai tokoh senior Bani Hasyim dan pamannya.
Hinaan dan ancaman yang dilontarkan oleh Abu Lahab adalah penghinaan yang sangat menyakitkan bagi Rasulullah ﷺ, karena ia datang dari lingkaran keluarga terdekat. Namun, Allah SWT tidak membiarkan hamba-Nya berdiri tanpa pembelaan. Segera setelah insiden tersebut, wahyu Surat Al-Lahab turun sebagai respons ilahi yang tidak hanya menolak pernyataan Abu Lahab tetapi juga membalikkan kutukan tersebut kembali kepadanya.
Ayat pertama surat ini merupakan jawaban langsung terhadap ucapan Abu Lahab: "Tabbat Yada Abi Lahab" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab). Ini adalah sebuah mukjizat, karena bukan hanya sebuah pernyataan masa depan, tetapi sebuah kepastian hukuman dari Allah SWT terhadap Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil.
Pewahyuan Surat Al-Lahab di Makkah ini, segera setelah dakwah di Bukit Safa, memiliki fungsi ganda:
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, anak dari Abdul Muthalib (kakek Nabi) dan saudara kandung dari Abdullah (ayah Nabi) dan Abu Thalib (paman yang melindungi Nabi). Julukan "Abu Lahab" (Bapak Api yang Berkobar) konon diberikan kepadanya karena wajahnya yang cerah atau merah merona, namun seiring turunnya surat ini, julukan tersebut berubah makna menjadi metafora untuk tempat kembalinya di neraka.
Abu Lahab memiliki peran yang sangat destruktif dalam dakwah awal Islam di Makkah. Sementara paman Nabi yang lain, Abu Thalib, memberikan perlindungan klanual yang vital (meskipun tidak memeluk Islam), Abu Lahab secara aktif menentang dan merendahkan keponakannya. Ia melakukan segala upaya untuk menghalangi orang-orang yang datang ke Makkah dari mendengarkan Nabi Muhammad ﷺ. Jika Nabi berdakwah di pasar atau pertemuan, Abu Lahab akan membuntuti, sambil berteriak: "Wahai manusia! Jangan percaya dia! Dia bohong! Dia gila! Dia telah murtad dari agama nenek moyang kita!"
Permusuhan yang ditunjukkan oleh Abu Lahab ini bukan hanya didorong oleh penolakan agama, tetapi juga oleh kecemburuan dan kekhawatiran akan status sosial. Ia melihat risalah Muhammad ﷺ sebagai ancaman terhadap hierarki kekuasaan Quraisy yang selama ini mereka nikmati.
Surat Al-Lahab tidak hanya mengutuk Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Ummu Jamil binti Harb, yang merupakan saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan memeluk Islam). Keterlibatan Ummu Jamil dalam permusuhan ini sangat signifikan, digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai "Hammalatal Hatab" (pembawa kayu bakar).
Para ulama tafsir memberikan beberapa interpretasi mengenai makna "pembawa kayu bakar":
Bersama suaminya, Ummu Jamil beroperasi sebagai tim yang terorganisir untuk menyakiti Nabi, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah turunnya Surat Al-Lahab, Ummu Jamil yang murka pernah mencari Nabi Muhammad ﷺ sambil membawa batu besar, bersumpah akan melemparnya. Namun, Allah melindunginya dengan membutakan pandangan Ummu Jamil sehingga ia hanya melihat Abu Bakar, tetapi tidak melihat Nabi yang berada tepat di sampingnya.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa surat Al-Lahab diturunkan di Makkah dengan bahasa yang begitu keras, kita perlu menelaah setiap ayatnya:
"تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ" (Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb) — Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa.
Kata Tabbat berarti kerugian, kehancuran, atau kekecewaan. Ayat ini adalah kutukan ganda. Pertama, kehancuran 'kedua tangan' merujuk pada kerugian dalam upaya dan perbuatannya (yaitu usahanya menghalangi dakwah). Kedua, wa tabb (dan sungguh ia telah binasa) adalah penegasan bahwa kehancuran total telah ditetapkan, tidak hanya di dunia tetapi juga di Akhirat. Ini adalah kontradiksi langsung terhadap harapan Abu Lahab yang ingin menghentikan risalah Islam di Makkah.
"مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ" (Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab) — Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.
Abu Lahab dikenal sebagai seorang yang kaya raya dan memiliki kedudukan tinggi di Makkah. Kebanggaan orang Quraisy terletak pada harta, anak, dan posisi klan. Ayat ini secara eksplisit menolak semua klaim keunggulan duniawinya. Harta yang ia gunakan untuk membiayai permusuhan dan status yang ia gunakan untuk menekan Nabi tidak akan memberikan manfaat sedikit pun saat menghadapi hukuman Allah. Frasa "dan apa yang ia usahakan" sering diartikan sebagai anak-anaknya, yang seharusnya menjadi pendukungnya di hari tua, namun tidak mampu menyelamatkannya dari api neraka.
"سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ" (Sayaṣlā nāran dhāta lahab) — Kelak ia akan masuk ke dalam api yang berkobar-kobar (Lahab).
Ini adalah ayat sentral. Allah menggunakan nama panggilan Abu Lahab (Bapak Api yang Berkobar) untuk mendeskripsikan tempat kembalinya: Neraka yang benar-benar berkobar. Ini adalah puncak ironi ilahi. Julukan duniawi yang mungkin ia banggakan menjadi deskripsi abadi dari azabnya. Ayat ini adalah ramalan definitif yang diturunkan di Makkah, di hadapan banyak saksi, memastikan bahwa Abu Lahab akan mati dalam keadaan kufur.
Ramalan ini merupakan salah satu bukti terbesar kenabian Muhammad ﷺ. Selama bertahun-tahun setelah wahyu ini turun di Makkah, Abu Lahab memiliki banyak kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah, misalnya dengan mengucapkan syahadat (bahkan jika hanya berpura-pura). Namun, ia tidak pernah melakukannya, membenarkan bahwa takdirnya telah ditetapkan oleh Allah SWT sebelum ia mati.
"وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ" (Wamra’atuhū ḥammālatal ḥaṭab) — Dan (begitu juga) istrinya, pembawa kayu bakar.
Ummu Jamil dikutuk karena perannya yang aktif dalam permusuhan. Jika Abu Lahab menggunakan kekuasaan dan posisinya, Ummu Jamil menggunakan lisannya untuk menyebarkan kebencian. Hukuman yang ia terima di Akhirat akan sebanding dengan kejahatan yang ia lakukan di dunia. Jika di dunia ia mengumpulkan kayu bakar untuk fitnah, maka di neraka ia akan menanggung beban yang serupa, yaitu siksaan yang berat.
"فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ" (Fī jīdihā ḥablum mim masad) — Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.
Ayat terakhir ini melengkapi gambaran hukuman bagi Ummu Jamil. Masad (sabut atau serat yang dipintal kuat) adalah bahan kasar yang digunakan untuk tali, seringkali melukai jika dikenakan. Dalam konteks akhirat, tali sabut ini adalah belenggu api neraka yang akan mengikatnya. Beberapa tafsir menyebutkan bahwa tali ini terbuat dari api neraka itu sendiri, atau terbuat dari serat yang ia kumpulkan untuk menyebar fitnah di Makkah.
Pewahyuan Surat Al-Lahab di Makkah bukan sekadar kutukan; itu adalah penegasan otoritas ilahi dan konsekuensi politik yang signifikan dalam konteks suku-suku Quraisy.
Pada masa-masa awal dakwah, kaum Muslimin berada dalam posisi yang sangat lemah. Mereka adalah minoritas yang terancam dan sering menjadi korban penindasan Abu Lahab dan tokoh Quraisy lainnya. Ketika Surat Al-Lahab diturunkan, itu memberikan suntikan moral yang luar biasa. Pesan yang jelas adalah bahwa permusuhan yang datang dari tokoh penting seperti Abu Lahab tidak hanya tidak ditakuti oleh Allah, tetapi juga akan dibalas dengan hukuman definitif.
Hal ini meyakinkan para sahabat bahwa meskipun mereka lemah secara fisik di Makkah, dukungan mereka datang dari kekuatan absolut yang mengendalikan nasib para penentang.
Dalam masyarakat Makkah pra-Islam, klan adalah segalanya. Seseorang dilindungi oleh klanualnya. Nabi Muhammad ﷺ sendiri dilindungi oleh Bani Hasyim, terutama oleh Abu Thalib, meskipun klan tersebut secara keseluruhan tidak memeluk Islam. Abu Lahab, sebagai tokoh sentral Bani Hasyim, seharusnya menjadi pelindung terkuat Nabi.
Ketika Surat Al-Lahab turun, ia memecah tatanan klanual tersebut. Pesan yang disampaikan adalah bahwa pertalian darah tidak berguna di hadapan kebenaran. Permusuhan terhadap risalah akan menghasilkan hukuman ilahi, bahkan jika pelakunya adalah paman kandung Rasulullah ﷺ. Ini adalah pukulan telak terhadap fondasi sosial Quraisy yang mengandalkan ikatan darah di atas segalanya.
Seperti yang telah disebutkan, Surat Al-Lahab adalah ramalan definitif yang diturunkan di Makkah. Surat ini secara eksplisit mengutuk Abu Lahab untuk Neraka (kematian dalam kekufuran). Sejak wahyu ini turun hingga kematiannya, Abu Lahab tidak pernah memeluk Islam.
Jika Abu Lahab pada titik tertentu berpura-pura masuk Islam, atau bahkan masuk Islam secara tulus, surat ini akan menjadi 'salah' atau terbatalkan. Faktanya, Abu Lahab meninggal dalam keadaan hina akibat wabah (disebut 'adasah', semacam bisul menular) segera setelah Pertempuran Badr, di mana putra-putranya ikut berperang melawan kaum Muslimin. Ia meninggal tanpa ada seorang pun yang berani mendekatinya karena takut tertular, dan jasadnya dibiarkan membusuk selama tiga hari sebelum akhirnya dikubur dengan cara dilempar batu dari kejauhan.
Kisah kematian dan penghinaan Abu Lahab di Makkah merupakan pemenuhan sempurna dari kutukan yang diturunkan bertahun-tahun sebelumnya, menjadi bukti nyata akan kebenaran wahyu Al-Qur'an bagi siapa saja yang meragukannya.
Penting untuk menempatkan Surat Al-Lahab dalam konteks surat-surat Makkiyah lainnya untuk mengapresiasi keunikannya dan mengapa ia diturunkan di Makkah sebagai surat kecaman individual.
Sebagian besar surat Makkiyah menyerang ideologi, seperti penyembahan berhala, penolakan Hari Kebangkitan, atau sifat-sifat buruk Quraisy secara kolektif (misalnya, Surat Al-Humazah yang mengecam para pengumpat). Namun, Surat Al-Lahab adalah salah satu dari sangat sedikit surat yang menyebut nama individu tertentu (Abu Lahab) untuk dihukum secara abadi.
Kekhususan ini menunjukkan betapa besar dan intensnya permusuhan yang ditunjukkan oleh Abu Lahab, yang melampaui permusuhan ideologis biasa. Tindakannya adalah permusuhan terhadap pribadi Nabi Muhammad ﷺ, yang memerlukan respons langsung dari Allah SWT untuk melindungi kehormatan Rasul-Nya.
Surat Al-Lahab diturunkan pada periode yang sama dengan surat-surat pendek Makkiyah lainnya yang bertujuan untuk memperkuat Tauhid dan menegaskan Hari Pembalasan, seperti Surat Al-Kafirun dan Surat Al-Kautsar. Jika Al-Kafirun menegaskan pemisahan yang jelas antara iman dan kekafiran, dan Al-Kautsar memberikan janji kebaikan dan kemenangan kepada Nabi, maka Al-Lahab memberikan konsekuensi langsung dari penolakan dan permusuhan.
Di Makkah, surat-surat ini bekerja secara sinergis: memberikan janji surga bagi yang beriman, ancaman neraka bagi yang menolak (Abu Lahab), dan perlindungan bagi sang pembawa risalah.
Konteks historis penurunan Surat Al-Lahab di Makkah mengandung pelajaran teologis yang mendalam mengenai hubungan antara garis keturunan dan takdir, serta konsep keadilan ilahi.
Kisah Abu Lahab secara tegas mengajarkan bahwa status kekerabatan dengan seorang Nabi, bahkan sebagai paman kandung, tidak memberikan jaminan keselamatan. Abu Lahab adalah bagian dari keluarga tersuci di Makkah (Bani Hasyim), namun ia berada di barisan terdepan musuh. Keselamatan hanya datang dari keimanan dan ketundukan kepada Allah, bukan dari status silsilah. Ini menghancurkan kebanggaan klan yang dipegang teguh oleh masyarakat Makkah.
Surat Al-Lahab adalah manifestasi langsung dari keadilan Allah SWT. Ketika Rasulullah ﷺ secara psikologis dan fisik disakiti oleh kerabatnya sendiri (yang seharusnya melindunginya), Allah SWT mengambil alih pembelaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya menderita penghinaan tanpa adanya balasan yang setimpal bagi para pelaku kejahatan.
Peristiwa yang terjadi di Bukit Safa, sebagai latar belakang turunnya surat ini, merupakan momen krusial yang menguji kesabaran dan keteguhan Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Nabi mulai menyampaikan risalah agungnya, respon yang ia terima dari kerabat terdekatnya adalah kutukan, "Celakalah kamu!" Respon ilahi yang turun kemudian adalah sebuah konfirmasi bahwa Allah melihat dan merespons setiap tindakan permusuhan, dan bahwa ancaman yang ditujukan kepada Nabi akan berbalik kepada pelakunya, yaitu Abu Lahab dan istrinya.
Pewahyuan Surat Al-Lahab setelah insiden Bukit Safa menandai pergeseran dalam strategi dakwah. Meskipun Abu Lahab telah mencoba merusak kredibilitas Nabi Muhammad ﷺ di depan umum, turunnya surat ini justru memberikan otoritas yang lebih besar kepada Nabi. Quraisy menyaksikan sendiri bagaimana seorang tokoh utama mereka dicela dalam wahyu yang dibacakan oleh Nabi.
Setelah ini, dakwah tidak lagi hanya berfokus pada Tauhid dan Akhirat, tetapi juga menyertakan demonstrasi konkret dari kekuasaan Allah untuk menghukum musuh-musuh-Nya. Para sahabat Makkah yang lemah semakin teguh, mengetahui bahwa Allah secara langsung terlibat dalam pertarungan ini.
Pewahyuan ini juga memberikan pemahaman mendalam tentang penderitaan pribadi yang harus ditanggung oleh Nabi Muhammad ﷺ. Permusuhan dari orang luar sudah biasa, tetapi permusuhan dari Abu Lahab dan Ummu Jamil sangat menyakitkan. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga melakukan tindakan fisik dan verbal yang jahat:
Surat Al-Lahab adalah penghiburan ilahi dan jaminan bahwa penderitaan ini tidak sia-sia, dan bahwa kejahatan mereka akan dibalas dengan kebinasaan. Ini adalah konteks emosional yang kuat di balik mengapa surat ini diturunkan di Makkah, di tengah kancah permusuhan terberat.
Gaya bahasa surat Al-Lahab, yang begitu eksplisit dan langsung, sangat khas untuk surat-surat Makkiyah awal, yang harus memiliki kekuatan untuk menembus hati yang keras dan skeptis. Kata-kata seperti Lahab, Hammalatal Hatab, dan Masad adalah gambaran yang sangat hidup dan mudah dibayangkan oleh masyarakat Arab pada masa itu, memperkuat pesan azab yang akan datang.
Pilihan kata ini menunjukkan bahwa di Makkah, di mana perdebatan sering kali kasar dan retorika sangat dihargai, Al-Qur'an menggunakan bahasa yang tidak hanya benar tetapi juga superior dalam kekuatan sastra dan kepastian ancamannya.
Imam At-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa 'Tabbat' (Binasalah) menunjukkan kerugian yang tiada tara. Ketika Abu Lahab mengutuk Nabi ("Celakalah kamu"), ia berharap agar upaya dakwah Nabi gagal total. Namun, Allah membalikkan kutukan itu, memastikan bahwa bukan dakwah Nabi yang gagal, melainkan usaha dan kehidupan Abu Lahab sendiri yang sia-sia.
Menurut beberapa mufasir, kehancuran "kedua tangan" adalah metafora untuk semua tindakan yang dilakukan oleh Abu Lahab untuk melawan Islam. Sejak saat wahyu ini turun di Makkah, semua upaya Abu Lahab untuk menekan Islam dipandang sebagai upaya yang sudah ditakdirkan untuk gagal dan hanya akan mengantarkannya pada azab yang lebih pedih.
Penggunaan nama kun-yah (julukan) Abu Lahab, alih-alih nama aslinya Abdul Uzza, juga memiliki signifikansi teologis. Nama 'Abdul Uzza' berarti 'hamba Uzza' (Uzza adalah salah satu berhala utama Quraisy), yang menegaskan kekufurannya. Namun, Allah memilih nama 'Abu Lahab' karena:
Ini adalah peringatan yang luar biasa keras yang diturunkan di Makkah: bahwa identitas duniawi seseorang akan digantikan oleh realitas akhiratnya.
Untuk mengakhiri kajian mengenai di mana surat Al-Lahab diturunkan, penting untuk melihat bagaimana ramalan Makkiyah ini terwujud secara fisik. Kejadian ini terjadi di Makkah dan sekitarnya, memperkuat validitas wahyu tersebut di mata penduduk yang tersisa.
Abu Lahab tidak ikut serta dalam Perang Badr (tahun kedua Hijriyah). Ia mengirim utusan yang bernama Al-Ash bin Hisham untuk menggantikannya. Ketika berita kekalahan telak Quraisy di Badr sampai ke Makkah, Abu Lahab sangat terkejut dan marah. Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Abu Lahab jatuh sakit tak lama setelah mendengar kabar ini. Penyakitnya, yang dikenal sebagai ‘adasah, sangat ditakuti oleh orang Arab saat itu karena sangat menular dan dianggap sebagai pertanda buruk.
Karena takut tertular, keluarga dan kerabat Abu Lahab meninggalkannya hingga ia meninggal sendirian di Makkah. Tubuhnya membusuk selama tiga hari. Ketika bau jenazahnya sudah tidak tertahankan, Bani Hasyim terpaksa bertindak. Namun, mereka tidak menguburkannya secara hormat. Mereka menyiram jenazah dari jauh, lalu mendorongnya ke dalam liang kubur menggunakan kayu panjang, dan menutup kuburan itu dengan batu yang dilempar dari jauh.
Kejadian ini, yang disaksikan di Makkah, secara fisik mewujudkan makna "Tabbat Yada Abi Lahab" (Binasalah kedua tangannya). Harta dan kedudukannya tidak menyelamatkannya dari kematian yang terhina dan sendirian, mengukuhkan bahwa hukuman yang diumumkan dalam wahyu yang turun di Bukit Safa telah terlaksana dengan sempurna di bumi Makkah.
Kesimpulannya, surat Al-Lahab diturunkan di Makkah, segera setelah insiden penyampaian dakwah terbuka oleh Nabi Muhammad ﷺ di Bukit Safa. Latar belakangnya adalah permusuhan langsung, verbal, dan fisik dari Abu Lahab dan istrinya. Surat ini berfungsi sebagai pembelaan ilahi terhadap Rasulullah ﷺ dan sekaligus sebagai nubuat tentang kehancuran dan azab abadi bagi salah satu penentang Islam yang paling kejam dari garis keturunan Nabi sendiri. Keunikan surat ini terletak pada sifatnya yang sangat personal dan nubuat yang terwujud sepenuhnya dalam sejarah, menjadikannya bukti kekal akan kebenaran Al-Qur'an yang diturunkan di masa-masa paling sulit di Makkah.
Pemilihan Bukit Safa sebagai lokasi dakwah terbuka pertama tidak terlepas dari posisinya yang sangat sentral di Makkah, dekat dengan Ka’bah dan jalur perdagangan. Ketika Nabi Muhammad ﷺ berdiri di sana, ia menggunakan tradisi Makkah untuk mengumpulkan masyarakat. Ini membuat penolakan Abu Lahab menjadi sangat publik dan provokatif.
Ketika wahyu Surat Al-Lahab turun sebagai respons, ia bukan hanya wahyu pribadi, tetapi pernyataan publik yang langsung menantang struktur sosial Makkah. Lokasi pewahyuan di Makkah ini memberikan dampak gema yang lebih luas, memastikan bahwa setiap klan yang hadir di Safa menyadari pertarungan teologis yang sedang berlangsung.
Di Makkah, berita menyebar melalui pertemuan klan dan pasar-pasar seperti Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz. Setelah insiden Safa, Surat Al-Lahab menjadi topik perbincangan utama. Ini berarti bahwa pesan azab dan kutukan terhadap Abu Lahab segera dikenal luas. Dengan demikian, proses pewahyuan dan penyebarannya terjadi dalam lingkungan sosial Makkah yang penuh konflik dan intrik.
Bagi para musyrikin yang merasa terancam oleh Islam, Surat Al-Lahab adalah bukti permusuhan total. Bagi kaum Muslimin, surat ini adalah jaminan perlindungan. Semua drama ini terpusat di lingkungan Makkah, tempat di mana kekuatan sosial dan kebenaran ilahi bertabrakan.
Kata Masad (tali sabut yang dipintal), yang disebutkan di ayat terakhir, adalah kata yang sangat dikenal oleh orang-orang Arab Makkah. Biasanya, tali jenis ini terbuat dari serat kasar pohon kurma atau dedaunan. Memakai tali Masad di leher adalah tanda kemiskinan atau hukuman, karena seratnya yang kasar. Pilihan kata ini oleh Allah SWT memberikan gambaran penderitaan yang sangat nyata bagi penduduk Makkah. Ini menunjukkan bahwa meskipun Ummu Jamil hidup mewah sebagai istri bangsawan, di akhirat ia akan diikat dengan tali yang paling rendah dan menyakitkan.
Keakuratan linguistik dan ketajaman retorika ini merupakan ciri khas wahyu yang diturunkan di Makkah, di mana bahasa adalah alat kekuasaan utama.
Frasa "Hammalatal Hatab" (pembawa kayu bakar) adalah metafora kuat yang memiliki akar budaya di Makkah. Kayu bakar secara tradisional digunakan untuk menyalakan api. Dengan menyebut Ummu Jamil sebagai pembawa kayu bakar, Al-Qur'an secara metaforis menempatkannya sebagai pihak yang menyalakan api permusuhan, fitnah, dan dosa di dunia, yang akan dibalas dengan api Neraka di Akhirat. Kebenciannya terhadap Nabi Muhammad ﷺ menjadi bahan bakar yang membawanya menuju takdir yang celaka. Karena ia membawa kayu bakar di Makkah untuk menyakiti Nabi, ia akan membawa tali sabut di Neraka sebagai imbalan.
Konteks di mana surat Al-Lahab diturunkan di Makkah diperkuat oleh riwayat-riwayat yang sangat kuat dalam koleksi hadis utama. Imam Bukhari dan Muslim mencatat Asbabun Nuzul ini melalui Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu.
Ibnu Abbas berkata, "Ketika ayat: 'Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat' turun, Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Safa, lalu beliau berseru, 'Hai Bani Fihr, hai Bani Adi,' — sehingga kabilah-kabilah Quraisy berkumpul... Ketika beliau selesai berdakwah, Abu Lahab berkata, 'Celakalah kamu sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?' Maka Allah menurunkan: 'Tabbat yada Abi Lahab...' " (Riwayat Bukhari).
Riwayat ini memberikan kepastian mutlak mengenai tiga hal krusial:
Kajian mendalam atas hadis ini menunjukkan bahwa Surat Al-Lahab bukan hanya respons terhadap kekufuran Abu Lahab secara umum, tetapi respons terhadap momen spesifik ketika Abu Lahab menghina upaya Nabi Muhammad ﷺ di awal fase dakwah terbuka di tanah Makkah.
Kisah Surat Al-Lahab yang diturunkan di Makkah menjadi lebih dramatis ketika dikontraskan dengan nasib paman Nabi yang lain, Abu Thalib.
Kontras ini menegaskan kembali bahwa keimanan adalah faktor penentu utama. Meskipun Abu Thalib tidak beriman, perlindungannya kepada Nabi memberinya keringanan azab (hukuman paling ringan di Neraka). Sebaliknya, Abu Lahab, yang aktif menentang dan menghina Nabi di tempat-tempat suci Makkah, menerima kutukan abadi yang terperinci.
Meskipun surat Al-Lahab diturunkan di Makkah dan ditujukan kepada individu spesifik, relevansinya tetap abadi. Surat ini mengajarkan umat Islam di setiap zaman bahwa:
Oleh karena itu, kajian mengenai tempat dan sebab turunnya surat ini di Makkah adalah studi tentang keadilan Allah, perlindungan kenabian, dan kegagalan total dari penolakan yang paling keras kepala terhadap Islam.