Mengurai Makna An Nahl 64: Al-Qur'an sebagai Penjelas dan Pemersatu

Visualisasi Al-Qur'an sebagai Sumber Cahaya dan Klarifikasi (Tibyān) Ilustrasi sebuah buku terbuka yang memancarkan cahaya ke arah kegelapan, melambangkan fungsi Al-Qur'an sebagai penjelas. ن

Alt: Visualisasi Al-Qur'an sebagai Sumber Cahaya dan Klarifikasi (Tibyān)

Surah An-Nahl, yang berarti Lebah, adalah salah satu surah Makkiyah yang kaya akan pelajaran mengenai keesaan Allah, bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta, dan fungsi fundamental wahyu ilahi. Di tengah rangkaian ayat-ayat yang membahas tanda-tanda kebesaran Tuhan—dari langit, bumi, hingga kehidupan lebah—terdapat satu ayat sentral yang merangkum keseluruhan misi risalah kenabian, yaitu ayat ke-64.

Ayat ini tidak hanya sekadar memberikan penjelasan, tetapi menetapkan Al-Qur'an sebagai satu-satunya otoritas yang mampu menyelesaikan konflik terdalam yang dihadapi umat manusia, baik dalam ranah teologis, hukum, maupun sosial. Memahami Surah An-Nahl ayat 64 adalah memahami jantung dari tujuan diturunkannya Kitab Suci ini.

Teks dan Terjemahan An Nahl Ayat 64

وَمَآ أَنزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ ٱلَّذِى ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

(64) Dan Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur'an) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, dan (menjadi) petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.


I. Analisis Lafaz dan Tafsir Mufrodāt (Perkata)

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, setiap kata kunci dalam ayat ini harus digali secara mendalam, karena panjangnya fungsi Al-Qur'an diukur dari kedalaman lafaz yang digunakan dalam wahyu itu sendiri. Ayat ini memuat empat fungsi utama, yang masing-masing merupakan pilar dari bangunan risalah Islam.

1. Wa Mā Anzalnā ‘Alaikal Kitāb (Dan Kami tidak menurunkan Kitab ini kepadamu)

Frasa pembuka ini menegaskan otoritas ilahi. Penggunaan kata "Kami" (bentuk jamak pengagungan/pluralis maiestatis) menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah dalam proses penurunan wahyu. "Al-Kitāb" (Kitab) merujuk secara spesifik kepada Al-Qur'an. Struktur kalimat ini menggunakan penekanan (hasr) melalui penggunaan "illā" (melainkan), yang membatasi tujuan penurunan Al-Qur'an hanya pada fungsi-fungsi yang akan disebutkan setelahnya. Artinya, Al-Qur'an diturunkan *hanya* untuk tujuan mulia tertentu, dan bukan untuk perkara duniawi semata, bukan pula sebagai dongeng, melainkan sebagai panduan hidup absolut.

Penekanan ini sangat krusial. Ketika Allah mengatakan "Kami tidak menurunkannya kecuali untuk...", ini secara langsung menyingkirkan semua anggapan lain mengenai tujuan Kitab Suci. Tujuan tunggal ini harus menjadi fokus utama umat; yaitu untuk menjelaskan kebenaran dan menjadi pedoman. Segala aspek lain dalam kehidupan manusia harus tunduk pada tujuan utama ini, memastikan bahwa pembaca dan pengikut tidak pernah menyimpang dari esensi risalah.

2. Illā Litubayyina Lahumu: Agar Engkau Menjelaskan kepada Mereka

Kata kunci di sini adalah Litubayyina (agar engkau menjelaskan). Kata ini berasal dari akar kata B-Y-N, yang memiliki makna dasar yang sangat kuat: memisahkan, memperjelas, menerangkan, atau menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi. Tugas ini dibebankan kepada Nabi Muhammad SAW, menunjukkan bahwa peran beliau tidak hanya sebagai penerima (resipien) wahyu, tetapi juga sebagai penafsir dan penjelas praktis (Bayan) wahyu tersebut. Ini adalah dalil yang sangat kuat bagi urgensi Sunnah Nabi, karena Al-Qur'an memberikan prinsip, dan Sunnah memberikan perincian dan praktik penjelasannya.

Penjelasan yang dimaksud mencakup dua ranah: penjelasan tentang hukum-hukum Allah yang sifatnya global dalam Al-Qur'an, dan yang lebih penting lagi sesuai konteks ayat ini, adalah penjelasan terhadap hal-hal yang menjadi perselisihan di antara manusia. Tanpa penjelasan kenabian, banyak ajaran Al-Qur'an akan tetap bersifat teoretis dan rentan terhadap salah tafsir yang tak berujung.

3. Alladzī Ikhtalafū Fīh: Apa yang Mereka Perselisihkan

Inilah inti masalah yang ditangani oleh Al-Qur'an: Ikhtilaf (perselisihan, perbedaan pendapat, atau pertentangan). Perselisihan yang dimaksud di sini memiliki cakupan yang luas:

Perselisihan ini tidak hanya terjadi di antara kaum Muslim dan non-Muslim, tetapi juga di antara ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengenai dasar-dasar agama mereka sendiri. Al-Qur'an datang sebagai otoritas pemutus (hakam) yang final, menyajikan kebenaran yang tidak ambigu tentang isu-isu yang telah memecah belah komunitas beragama selama berabad-abad. Fungsi Al-Qur'an adalah untuk mengungkap fakta yang mendasari perselisihan, sehingga kebenaran dapat dibedakan dari kebatilan secara jelas.

4. Wa Hudāw wa Raḥmatan: Dan (sebagai) Petunjuk serta Rahmat

Setelah fungsi klarifikasi (tabyin) dan penyelesaian konflik, ayat ini menyimpulkan dengan dua sifat hakiki Al-Qur'an: Hudā (Petunjuk) dan Raḥmah (Rahmat).

Kedua sifat ini—petunjuk dan rahmat—diberikan secara eksklusif bagi: Liqawmin Yu'minūn (bagi kaum yang beriman). Ini menunjukkan bahwa klarifikasi (tabyin) yang disampaikan Al-Qur'an memang universal, tetapi hanya mereka yang memiliki dasar keimanan yang dapat mengambil manfaat sejati dari petunjuk dan rahmat tersebut.


II. Al-Qur’an sebagai Tibyān: Penjelasan Mutlak Segala Sesuatu

Fungsi pertama dan terpenting dalam An Nahl 64 adalah klarifikasi, litubayyina. Ini sejalan dengan ayat lain yang menyebut Al-Qur'an sebagai Tibyān li kulli syai’ (Penjelasan bagi segala sesuatu). Klarifikasi ini tidak hanya terbatas pada masalah hukum, tetapi mencakup seluruh cakupan realitas spiritual, metafisik, dan etika.

Kedalaman Makna Tibyān

Tibyān mengandung arti yang lebih dalam daripada sekadar "menjelaskan." Ia berarti pemaparan yang tuntas, pembedaan yang tajam antara haq dan bathil, antara jalan yang benar dan yang menyimpang. Al-Qur'an tidak meninggalkan ruang abu-abu pada isu-isu fundamental. Ia menjelaskan:

Pertama, ia menjelaskan eksistensi dan sifat Allah (Tauhid) dengan logika yang kokoh dan bukti-bukti kosmik yang tidak terbantahkan. Sebelum Al-Qur'an, konsep ketuhanan telah tercampur dengan mitologi dan politeisme. Al-Qur'an membersihkan kekeruhan tersebut.

Kedua, ia menjelaskan tujuan hidup manusia. Manusia diciptakan bukan tanpa makna; tujuan utamanya adalah beribadah kepada Sang Pencipta (Adz-Dzariyat: 56). Penjelasan ini memberikan makna dan arah pada semua aktivitas manusia, mengintegrasikan spiritualitas dengan kehidupan sehari-hari.

Ketiga, ia menjelaskan konsekuensi dari tindakan. Konsep keadilan ilahi, pahala, dan siksa dijelaskan sedemikian rupa sehingga motivasi moral manusia dibangun di atas fondasi keyakinan yang kuat, bukan sekadar konvensi sosial yang berubah-ubah.

Klarifikasi atas Agama Terdahulu

Salah satu aspek penting dari fungsi Tibyān adalah klarifikasi Al-Qur'an terhadap ajaran nabi-nabi terdahulu. Sebagaimana yang diperselisihkan oleh Ahli Kitab, Al-Qur'an hadir sebagai muhaimin (pengawas dan pemelihara kebenaran), mengoreksi distorsi, meluruskan narasi historis yang keliru, dan mengembalikan ajaran tauhid murni yang dibawa oleh semua nabi, mulai dari Nuh, Ibrahim, Musa, hingga Isa AS.

Klarifikasi ini menjembatani jurang pemisah antara berbagai sekte dan mazhab yang telah lahir dari penyimpangan ajaran asli. Bagi para teolog dan sarjana, Al-Qur'an adalah sumber rujukan utama yang final, yang mampu memberikan jawaban definitif atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terselesaikan selama berabad-abad. Tanpa Al-Qur'an, umat manusia akan terus terombang-ambing dalam spekulasi filosofis dan perdebatan teologis yang tak berkesudahan.

Peran Penjelasan Nabi (Bayanun Nabawi)

Meskipun Al-Qur'an adalah Tibyān, ayat 64 secara eksplisit menugaskan Nabi Muhammad untuk menjadi penjelas (litubayyina). Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an, dalam keagungannya, memerlukan perwujudan praktis. Sunnah Nabi adalah penjelasan hidup dari Kitab Suci. Misalnya, Al-Qur'an memerintahkan shalat, tetapi Nabi-lah yang menjelaskan rukun, syarat, dan tata cara pelaksanaannya. Ini adalah jaminan bahwa pemahaman terhadap wahyu akan tetap murni dan sesuai dengan maksud Ilahi, dilindungi dari interpretasi murni rasionalis yang mungkin menyimpang.

Inilah yang membedakan Islam. Bukan hanya Kitab yang sempurna, tetapi juga model yang sempurna dalam mengimplementasikan Kitab tersebut. Model ini, yang diabadikan dalam Sunnah, menjadi pelengkap tak terpisahkan dari fungsi Tibyān Al-Qur'an, memastikan bahwa jalan petunjuk (hudā) dapat dilalui dengan langkah yang pasti dan terukur oleh seluruh umat manusia, di setiap zaman dan tempat.


III. Menghapus Ikhtilaf: Solusi Final atas Perselisihan

Visualisasi Al-Qur'an menyelesaikan Perselisihan (Ikhtilaf) Ilustrasi dua panah yang saling bertabrakan (perselisihan) lalu diarahkan kembali oleh sebuah tangan menuju satu titik pusat (kebenaran).

Alt: Visualisasi Al-Qur'an menyelesaikan Perselisihan (Ikhtilaf)

Fungsi yang paling spesifik dan mendesak dalam An Nahl 64 adalah peran Al-Qur'an dalam menyelesaikan ikhtilaf. Perselisihan adalah penyakit inheren dalam masyarakat manusia, yang berasal dari hawa nafsu, kepentingan pribadi, dan terbatasnya akal. Al-Qur'an memberikan landasan yang kuat untuk menghentikan siklus perpecahan ini.

Perselisihan yang Ditargetkan

Ketika ayat ini turun, perselisihan yang paling menonjol adalah antara kaum musyrikin Makkah dan umat Islam, serta perselisihan internal di antara kabilah-kabilah Arab yang terus berdarah dingin. Lebih jauh lagi, perselisihan juga terjadi antara Ahli Kitab mengenai esensi kenabian dan hukum-hukum Allah. Al-Qur'an datang dengan klaim sebagai hakim tertinggi:

Pertama, ia menyelesaikan perselisihan mengenai sumber hukum. Ketika manusia berselisih tentang halal dan haram, Al-Qur'an menetapkan kriteria universal yang adil. Tidak ada lagi relativisme moral dalam isu-isu dasar. Kedua, ia menyelesaikan perselisihan mengenai sejarah kenabian. Dengan menceritakan kisah para nabi secara autentik, Al-Qur'an mengakhiri perdebatan tak berujung mengenai status Isa AS atau Musa AS, dan menegaskan mereka semua berada dalam satu rantai risalah Tauhid.

Fondasi Metodologis untuk Penyelesaian Ikhtilaf

Penyelesaian perselisihan oleh Al-Qur'an bukanlah solusi politis atau kompromi, melainkan penetapan kebenaran mutlak. Hal ini memberikan metodologi bagi umat Islam untuk menangani perselisihan internal di masa depan. Meskipun ada ruang untuk perbedaan interpretasi (furu'), fondasi (ushul) harus tetap utuh, merujuk kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi.

Dalam konteks modern, ketika umat Islam terpecah belah oleh ideologi dan mazhab yang berbeda, An Nahl 64 berfungsi sebagai seruan untuk kembali ke titik pusat. Jika perselisihan muncul dari kekaburan atau kebodohan, maka solusinya adalah tabyin (penjelasan); jika perselisihan muncul dari kesesatan, maka solusinya adalah kembali kepada hudā (petunjuk).

Al-Qur'an mengajarkan bahwa ketika suatu masalah muncul, jawabannya sudah ada, baik secara eksplisit (nashsh) maupun implisit (melalui prinsip-prinsip yang dapat diistinbatkan). Tugas ulama dan umat adalah mencari kejelasan itu, bukan menciptakan jawaban baru yang bertentangan dengan wahyu. Proses ini memastikan konsistensi dan integritas hukum Islam sepanjang masa.


IV. Al-Qur’an sebagai Hudā: Petunjuk Universal

Fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk (hudā) adalah ciri khas yang membedakannya dari literatur manapun. Ia bukan sekadar buku sejarah atau kumpulan hukum; ia adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan. Fungsi ini melekat erat pada fungsi tabyin, karena penjelasan tanpa arah tidaklah bermanfaat.

Petunjuk dalam Kegelapan Hidup

Kehidupan manusia seringkali dipenuhi dengan pertanyaan eksistensial, dilema moral, dan godaan materi. Dalam konteks Surah An-Nahl, Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam (lebah, air, gunung). Tanda-tanda ini hanya bisa diinterpretasikan dengan benar melalui petunjuk Kitab Suci. Alam menunjukkan Sang Pencipta, tetapi hanya Al-Qur'an yang menjelaskan bagaimana cara menyembah-Nya.

Hudā yang ditawarkan Al-Qur'an bersifat komprehensif:

  1. Petunjuk Akidah: Membangun keyakinan yang benar tentang Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir. Ini adalah fondasi spiritualitas yang sehat.
  2. Petunjuk Syariat: Menyediakan kerangka hukum dan etika yang adil, memastikan harmoni dalam interaksi sosial dan ekonomi.
  3. Petunjuk Akhlak: Mengajarkan moralitas tinggi, kesabaran, kejujuran, dan belas kasih, membentuk karakter individu yang mulia.

Petunjuk ini bersifat kekal. Hukum-hukum yang dibawa oleh Al-Qur'an tidak tunduk pada perubahan mode atau kebudayaan. Meskipun aplikasi hukum mungkin memerlukan ijtihad (usaha keras para ulama) dalam menghadapi isu kontemporer, prinsip dasarnya tetap tidak berubah, menjamin relevansi Al-Qur'an hingga hari kiamat.

Petunjuk ini juga mengatasi kekosongan spiritual yang sering dirasakan manusia modern. Ketika ilmu pengetahuan memberikan jawaban tentang "bagaimana," Al-Qur'an memberikan jawaban tentang "mengapa." Ia mengisi kekosongan tujuan hidup, memberikan kepastian di tengah ketidakpastian dunia fana.


V. Al-Qur’an sebagai Raḥmah: Manifestasi Kasih Sayang Ilahi

Rahmat (kasih sayang) adalah fungsi penutup dalam An Nahl 64, yang berfungsi sebagai pemanis sekaligus penguat dari fungsi-fungsi sebelumnya. Klarifikasi (tabyin) dan petunjuk (hudā) akan terasa memberatkan jika tidak dilandasi oleh rahmat.

Rahmat dalam Syariat

Hukum-hukum yang dibawa Al-Qur'an adalah rahmat. Mengapa? Karena hukum-hukum itu mencegah manusia dari kehancuran diri sendiri dan masyarakat. Larangan terhadap kezaliman, riba, dan perzinahan adalah bentuk perlindungan yang diberikan Allah karena kasih sayang-Nya.

Contoh nyata rahmat dalam syariat adalah prinsip kemudahan (taysir). Dalam ibadah, terdapat keringanan (rukhsah) bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak ingin menyulitkan hamba-Nya, tetapi ingin membersihkan dan membimbing mereka (Al-Baqarah: 185).

Rahmat Al-Qur'an juga terwujud dalam janji ampunan. Meskipun manusia pasti berbuat dosa dan kesalahan, Al-Qur'an membuka lebar pintu taubat, menawarkan harapan abadi dan pembersihan spiritual. Tanpa rahmat ini, tuntutan kesempurnaan syariat akan menjadi beban yang tak tertahankan.

Rahmat Eksklusif bagi Kaum Beriman

Ayat 64 secara eksplisit membatasi penerima manfaat penuh dari hudā dan raḥmah hanya bagi li qawmin yu'minūn (bagi kaum yang beriman). Ini penting untuk dipahami. Klarifikasi (tabyin) Al-Qur'an ditujukan kepada seluruh manusia, termasuk orang-orang yang berselisih. Namun, hanya mereka yang membuka hati dengan iman yang dapat merasakan petunjuk sejati dan rahmat ilahi. Orang yang menolak Al-Qur'an tidak akan merasakan kedamaian dan kejelasan yang ditawarkannya, bahkan jika mereka telah mendengar ayat-ayatnya.

Keimanan adalah syarat untuk aktivasi. Ibarat obat, petunjuk Al-Qur'an hanya akan menyembuhkan jika diminum dan diikuti dengan keyakinan penuh. Rahmat Allah dalam bentuk Al-Qur'an adalah hadiah termahal yang hanya bisa dihargai oleh hati yang tunduk dan berserah diri.


VI. Implikasi Teologis dan Kultural An Nahl 64

Ayat ini memiliki implikasi yang luas, yang membentuk dasar metodologi pemikiran dan praktik keagamaan dalam Islam. Fungsinya yang multi-dimensi menuntut pendekatan holistik dalam studi Al-Qur'an.

1. Penegasan Otoritas Final (Hujjiyatul Qur’an)

An Nahl 64 menempatkan Al-Qur'an sebagai referensi otoritatif tertinggi, sumber hukum pertama, dan pemutus perdebatan. Dalam setiap isu—baik fiqih, akidah, atau etika—kembali kepada Al-Qur'an adalah keharusan. Ini adalah benteng terakhir melawan relativisme dan bid'ah. Konsep hujjiyah (otoritas) ini memastikan bahwa Islam tidak pernah menjadi agama buatan manusia yang berubah-ubah sesuai zaman, melainkan tetap teguh pada wahyu yang diturunkan.

Penerimaan otoritas ini berarti menerima bahwa akal manusia, meskipun mulia, adalah terbatas dan harus dipandu oleh wahyu. Akal berfungsi untuk memahami dan mengimplementasikan wahyu, bukan untuk menolaknya atau menafsirkannya sekehendak hati hingga bertentangan dengan makna yang jelas.

2. Hubungan Syariat dan Keadilan

Penyelesaian perselisihan (ikhtilaf) oleh Al-Qur'an adalah sinonim dengan penetapan keadilan (‘adl). Perselisihan seringkali timbul karena ketidakadilan atau kezaliman. Ketika Al-Qur'an menjelaskan hukum, ia melakukannya berdasarkan prinsip keadilan yang absolut, yang berasal dari Allah Yang Maha Adil.

Oleh karena itu, setiap sistem hukum, sosial, atau ekonomi yang dibangun di atas prinsip-prinsip Al-Qur'an secara intrinsik bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan perselisihan, karena mereka berlandaskan pada kebenaran. Keadilan Al-Qur'an bersifat komprehensif, mencakup hak-hak individu, hak-hak keluarga, hingga hak-hak minoritas dan lingkungan. Rahmat (raḥmah) yang ditawarkan oleh ayat ini menjamin bahwa keadilan ini tidak pernah bersifat kaku, melainkan lentur dan manusiawi.

3. Dasar Persatuan Umat (Wahdatul Ummah)

Jika Al-Qur'an diturunkan untuk menghilangkan perselisihan (ikhtilaf), maka konsekuensi logisnya adalah persatuan. Umat Islam diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah, yang tidak lain adalah Kitab Suci ini. Persatuan yang didasarkan pada Al-Qur'an adalah persatuan ideologis dan spiritual, bukan hanya persatuan politik semata.

Ayat ini mengajak semua pihak yang berselisih untuk menanggalkan ego dan interpretasi pribadi yang ekstrem, dan kembali ke teks utama. Setiap kali terjadi polarisasi atau perpecahan tajam dalam komunitas, An Nahl 64 mengingatkan bahwa Kitab Suci telah menawarkan solusi yang jelas. Kegagalan mencapai persatuan bukanlah kegagalan Al-Qur'an, melainkan kegagalan manusia dalam mematuhi dan menerima fungsi tabyin-nya.

4. Tantangan Kontemporer dan Relevansi Ayat

Di era modern, perselisihan tidak hanya terbatas pada masalah fiqih atau akidah lama, tetapi juga mencakup isu-isu baru seperti bioetika, teknologi, dan hubungan internasional. Apakah Al-Qur'an, yang diturunkan lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu, masih mampu menjelaskan semua hal ini (tibyān li kulli syai’)?

Jawabannya, berdasarkan An Nahl 64, adalah ya. Al-Qur'an menyediakan prinsip-prinsip universal (maqāṣid syarī'ah) yang bersifat abadi. Misalnya, meskipun Al-Qur'an tidak menyebutkan media sosial, ia memberikan prinsip tentang kejujuran (larangan berbohong), keadilan (larangan fitnah), dan perlindungan kehormatan (larangan ghibah). Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai petunjuk (hudā) untuk mengatur perilaku manusia dalam domain digital, membuktikan bahwa fungsi tabyin-nya mencakup segala aspek kehidupan, tanpa batasan ruang dan waktu.

Para ulama modern menggunakan ayat ini sebagai justifikasi untuk ijtihad yang inovatif, namun tetap terikat pada teks. Setiap solusi baru harus melewati saringan Al-Qur'an agar menjadi rahmat, bukan sumber perselisihan baru.


VII. Elaborasi Mendalam tentang Tiga Fungsi Utama

Untuk memahami sepenuhnya bagaimana ayat ini menyumbang pada pembentukan peradaban Islam, perlu dilakukan pengeboran lebih dalam terhadap keterkaitan antara tiga fungsi utama yang disebutkan dalam struktur ayat: Tabyin (Klarifikasi), Ikhtilaf (Perselisihan), dan Hudā/Raḥmah (Petunjuk/Rahmat).

Keterkaitan antara Tabyin dan Ikhtilaf

Al-Qur'an turun karena adanya perselisihan, tetapi ia menyelesaikannya melalui klarifikasi. Ini bukan sekadar koinsidensi, melainkan desain Ilahi. Perselisihan muncul karena kurangnya pengetahuan yang pasti (jahala) atau karena penyembunyian kebenaran (kitmānul haq). Dengan adanya Tabyin, alasan-alasan rasional untuk berselisih menjadi sirna.

Fungsi Tabyin dalam An Nahl 64 adalah obat spesifik untuk penyakit Ikhtilaf. Ibaratnya, jika masyarakat menderita kabut kebingungan, Al-Qur'an adalah sinar matahari yang menghilangkan kabut tersebut, sehingga semua orang dapat melihat realitas dengan jelas. Jika ada dua pihak bersengketa tentang kepemilikan, Al-Qur'an memberikan hukum waris yang detail dan adil, sehingga tidak ada lagi dasar yang sah untuk sengketa tersebut, kecuali jika salah satu pihak menolak kebenaran yang telah dijelaskan.

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa sebagian besar perpecahan umat, terutama yang bersifat fundamental, sebenarnya dapat diselesaikan jika semua pihak sepakat untuk meletakkan Al-Qur'an sebagai hakim tunggal. Ini menuntut kerendahan hati intelektual dari semua pihak yang berselisih.

Klarifikasi sebagai Prasyarat Rahmat

Petunjuk (Hudā) dan Rahmat (Raḥmah) tidak dapat dicapai tanpa adanya Klarifikasi (Tabyin). Seseorang tidak dapat dibimbing jika ia masih bingung tentang jalan yang harus diambil. Dan rahmat Allah dalam syariat hanya dapat dinikmati jika hukum-hukum-Nya dipahami dengan jelas. Oleh karena itu, urutan fungsi dalam ayat ini sangat metodologis dan sistematis:

  1. Masalah: Ikhtilaf (Perselisihan).
  2. Solusi Utama: Tabyin (Penjelasan, melalui Al-Qur'an dan Sunnah).
  3. Hasil: Hudā (Petunjuk) dan Raḥmah (Rahmat).

Tanpa Tabyin, petunjuk akan samar dan rahmat akan tersembunyi. Misalnya, jika seseorang tidak jelas tentang kewajiban sedekah, ia mungkin tidak akan pernah mendapat rahmat dari peningkatan rezeki dan keberkahan yang dijanjikan. Jadi, penjelasan adalah kunci pembuka bagi pintu petunjuk dan rahmat.

Fokus pada Kaum Beriman

Penekanan pada "kaum yang beriman" menunjukkan bahwa respons manusia terhadap Al-Qur'an adalah faktor penentu apakah Kitab itu akan berfungsi sebagai rahmat atau justru memperkuat kesesatan mereka. Bagi yang menolak iman, Al-Qur'an tetaplah jelas (tabyin), tetapi kejelasan itu tidak akan membimbing mereka, melainkan menjadi hujjah (bukti) atas penolakan mereka di Hari Kiamat.

Iman (īmān) di sini berarti tidak hanya pengakuan lisan, tetapi kepatuhan batin dan penerimaan total terhadap semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Hanya iman yang murni yang memungkinkan seorang individu untuk mengambil petunjuk dari larangan yang mungkin terasa sulit, atau perintah yang mungkin terasa berat. Mereka melihat di balik kesulitan syariat, adanya rahmat dan hikmah Ilahi.


VIII. Memperluas Cakupan Filosofis Tabyin

Konsep Tabyin dalam An Nahl 64 tidak hanya berlaku pada hukum dan teologi, tetapi juga pada epistemologi (teori pengetahuan) dalam Islam. Al-Qur'an mengajarkan cara berpikir yang benar, yang memisahkan antara spekulasi dan fakta yang diwahyukan.

Tabyin dan Ilmu Pengetahuan

Para mufassir kontemporer juga melihat fungsi tabyin ini dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan. Al-Qur'an bukanlah buku sains, tetapi ia menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mendorong penelitian ilmiah. Ia memerintahkan manusia untuk merenungkan alam semesta (An-Nahl adalah contoh sempurna dari surah yang mendorong observasi alam).

Tabyin dalam konteks ini berarti klarifikasi tentang hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan. Al-Qur'an menyingkirkan perselisihan antara agama dan sains yang sering terjadi di peradaban lain. Dalam Islam, ilmu alam adalah sarana untuk memperkuat iman, karena alam adalah manifestasi dari ayat-ayat Allah (tanda-tanda kekuasaan-Nya).

Tabyin dan Definisi Manusia

Klarifikasi terpenting yang diberikan Al-Qur'an, dan yang menjadi dasar semua ikhtilaf yang ada, adalah definisi yang jelas tentang hakikat manusia. Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah ilahi, tetapi juga rentan terhadap lupa, kesalahan, dan keangkuhan.

Ketika manusia melupakan hakikat dirinya—yaitu sebagai hamba dan khalifah—maka muncul perselisihan tentang hak, kekuasaan, dan moralitas. Al-Qur'an, melalui fungsi tabyin-nya, secara konstan mengoreksi pandangan dunia yang berpusat pada ego, dan mengembalikannya pada orientasi Tauhid, di mana semua standar kebenaran datang dari Allah SWT. Inilah langkah awal dan esensial dalam menyelesaikan semua bentuk ikhtilaf.

Ketekunan dalam membaca dan memahami Al-Qur'an, dengan niat yang tulus untuk mencari petunjuk, adalah wujud pengakuan terhadap fungsi mulia yang diuraikan dalam An Nahl 64. Setiap kata dalam Kitab Suci ini adalah rahmat yang membimbing, setiap hukum di dalamnya adalah keadilan yang menyingkirkan perselisihan, dan setiap ajarannya adalah penjelasan yang memisahkan kebenaran dari kekeliruan. Kesempurnaan fungsi-fungsi ini menjamin bahwa Al-Qur'an akan selalu menjadi cahaya abadi bagi kaum beriman, sumber kedamaian di tengah badai perpecahan dunia.

Dengan demikian, Surah An-Nahl ayat 64 bukan sekadar deskripsi, melainkan manifesto teologis yang menyatakan posisi Al-Qur'an sebagai panduan hidup yang komprehensif. Ayat ini mewajibkan setiap Muslim, di setiap masa, untuk menjadikan Kitab Suci ini sebagai sumber rujukan pertama dan terakhir dalam menghadapi dilema dan konflik, baik personal maupun komunal. Kekuatan tabyin dan rahmat yang terkandung di dalamnya adalah jaminan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan sejati, asalkan mereka termasuk dalam golongan qawmin yu'minūn.

Pengulangan dan penekanan terhadap pentingnya tabyin, serta konsekuensinya dalam meredam ikhtilaf, adalah pengingat konstan bagi umat agar tidak pernah lalai terhadap peran sentral Al-Qur'an dalam kehidupan. Manusia cenderung lupa dan menyimpang; oleh karena itu, Kitab Suci ini diturunkan sebagai pengingat yang tak terputus, memastikan bahwa jalan menuju kebenaran dan rahmat selalu terbuka dan jelas bagi mereka yang mencari. Fungsi ini adalah bukti terbesar dari kasih sayang Allah, yang tidak membiarkan hamba-Nya tersesat dalam kebingungan abadi.

Penerimaan terhadap Al-Qur'an sebagai penjelas segala hal yang diperselisihkan juga merupakan ujian keimanan. Apabila seseorang mengklaim beriman tetapi menolak solusi Al-Qur'an untuk perselisihan, maka klaim imannya patut dipertanyakan. Ayat ini menuntut konsistensi logis dan spiritual: jika Allah adalah Hakim yang adil, maka firman-Nya adalah keputusan yang harus diterima tanpa syarat dalam segala bentuk persengketaan. Ini mencakup persengketaan antar individu, antar keluarga, antar negara, dan bahkan persengketaan intelektual dalam memahami realitas.

Fungsi rahmat dalam ayat ini juga memberikan perspektif yang menenangkan. Meskipun syariat Islam menuntut ketaatan yang ketat, ketaatan tersebut pada akhirnya kembali pada manfaat dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Hukum-hukum yang mencegah maksiat adalah rahmat, karena maksiat hanya membawa kerusakan di dunia dan siksa di akhirat. Rahmat tersebut tidak akan terasa oleh mereka yang melihat syariat sebagai beban, melainkan hanya bagi mereka yang melihatnya sebagai pembebasan dari belenggu hawa nafsu dan kesesatan.

IX. Penutup dan Penguatan Pesan An Nahl 64

An Nahl 64 adalah fondasi bagi studi tafsir, ushul fiqih, dan teologi Islam. Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur'an memiliki dimensi fungsional yang praktis, bukan hanya teoretis. Kitab ini datang untuk mengatasi masalah nyata, yaitu perselisihan manusia tentang kebenaran.

Kesimpulan dari kajian mendalam ini adalah: Al-Qur'an adalah Kitab yang diturunkan dengan tujuan tunggal—mengakhiri perselisihan fundamental di antara manusia melalui penjelasan yang jelas (Tabyin). Penjelasan ini kemudian berfungsi sebagai Petunjuk (Hudā) yang membawa kepada Rahmat (Raḥmah), tetapi hanya bagi mereka yang memenuhi prasyarat utama, yaitu keimanan yang tulus (Liqawmin Yu'minūn). Tanpa Al-Qur'an, umat manusia akan selamanya tersesat dalam lautan spekulasi dan perpecahan yang tiada akhir.

Umat Islam memiliki tanggung jawab historis untuk memelihara fungsi ini. Mereka harus terus belajar, menafsirkan, dan mengaplikasikan Al-Qur'an dalam kehidupan mereka agar Kitab Suci ini terus menjadi sumber klarifikasi dan persatuan yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta, sesuai dengan janji Ilahi yang terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 64.

Pengulangan interpretasi ini melayani kebutuhan akan pemahaman yang mendalam bahwa Al-Qur'an adalah solusi final, bukan sekadar salah satu pandangan. Setiap detail yang dijelaskan oleh para mufassir, mulai dari Tabari hingga Qurtubi, dari Razi hingga Ibnu Katsir, berakar pada penegasan fungsi Al-Qur'an sebagai pemutus segala sengketa. Tugas menjelaskan (tabyin) yang diemban Nabi Muhammad SAW adalah jaminan historis bahwa Kitab ini dapat dipahami dan dilaksanakan dengan benar, sehingga perselisihan tidak muncul dari ketidakjelasan teks itu sendiri.

Kajian yang berulang mengenai terminologi ikhtilaf menunjukkan bahwa perselisihan yang dimaksud mencakup spektrum yang sangat luas, mulai dari masalah ketuhanan yang paling mendasar hingga masalah hukum yang paling rumit. Keberadaan ayat ini dalam Surah An-Nahl, yang sarat dengan tanda-tanda kebesaran Allah di alam, semakin memperkuat argumen bahwa Kitab Suci adalah penjelas yang diperlukan untuk menginterpretasikan alam semesta secara benar. Tanpa panduan wahyu, keindahan alam hanya akan memicu perselisihan filosofis tentang asal-usul, bukan keyakinan yang kokoh kepada Sang Pencipta.

Demikianlah, kekuatan ayat 64 dari Surah An-Nahl ini terletak pada ketegasannya dalam mendefinisikan peranan Kitab Suci. Ayat ini bukan sekadar kalimat penenang, melainkan sebuah deklarasi bahwa Al-Qur'an adalah kunci bagi persatuan umat, pembimbing keadilan, dan sumber rahmat yang tak terbatas. Tugas setiap Muslim adalah menjadikan fungsi-fungsi ini aktif dalam setiap aspek kehidupan mereka, sehingga mereka benar-benar dapat menjadi kaum yang beriman (yu'minūn) dan berhak menerima petunjuk dan rahmat yang dijanjikan.

Pemahaman ini harus terus diperbarui dan diperkuat, mengingat tantangan zaman yang kian kompleks sering kali memicu bentuk perselisihan baru. Namun, jaminan Al-Qur'an tetap konstan: ia adalah penjelas. Kita hanya perlu kembali padanya dengan hati yang terbuka dan keinginan tulus untuk mengikuti petunjuk-Nya. Dalam ketaatan inilah terletak rahmat Ilahi, yang menjadi penutup sempurna bagi misi Kitab Suci sebagaimana diuraikan dalam Surah An Nahl ayat 64.

Ayat ini mengajarkan kita tentang tanggung jawab intelektual. Klarifikasi (tabyin) menuntut studi yang serius dan mendalam. Ini bukan sekadar membaca, melainkan memahami konteks, linguistik, dan implikasi hukum dari setiap ayat. Tanpa upaya serius dalam studi ilmu-ilmu Al-Qur'an, potensi tabyin tidak akan terwujud sepenuhnya, dan perselisihan akan terus berlanjut. Ilmu tafsir, hadis, dan ushul fiqih adalah alat yang diberikan untuk memastikan bahwa kita dapat melaksanakan tugas litubayyina yang awalnya diemban oleh Nabi Muhammad SAW, kini dilanjutkan oleh umatnya.

Ayat ini juga memberikan harapan besar. Meskipun dunia dipenuhi dengan perpecahan, adanya Kitab yang berfungsi sebagai pemersatu dan penjelas adalah anugerah terbesar. Rahmat dan petunjuk tersebut menanti setiap individu yang memilih untuk meninggalkan jalan perselisihan dan kembali kepada sumber kebenaran yang tidak pernah pudar, yaitu Al-Qur'an Al-Karim.

Setiap kali keraguan atau konflik muncul, ingatlah Surah An-Nahl 64. Ingatlah bahwa solusinya telah diturunkan. Tugas kita hanya menerima solusi tersebut sebagai rahmat dan menggunakannya sebagai petunjuk. Ini adalah esensi dari kehidupan seorang mukmin sejati.

Al-Qur'an adalah Kitab yang diturunkan untuk menghilangkan perselisihan, menyediakan kejelasan, dan memberikan rahmat abadi. Fungsi ini adalah bukti mutlak dari kesempurnaan dan keilahian sumbernya, menjadikannya warisan terpenting bagi umat manusia yang selalu mencari kebenaran dan kedamaian hakiki. Penerapannya secara menyeluruh adalah jalan satu-satunya menuju keberkatan dan kesuksesan yang abadi.

🏠 Homepage