Ilustrasi prinsip transaksi yang adil dalam Islam.
Surat Al-Baqarah Ayat 282-286: Fondasi Keadilan dalam Transaksi
Surat Al-Baqarah, juz terakhirnya, menyimpan sebuah ayat yang sangat fundamental bagi umat Islam dalam urusan muamalah atau interaksi ekonomi. Ayat 282 dari surat terpanjang dalam Al-Qur'an ini adalah ayat terpanjang di dalam Al-Qur'an itu sendiri, memberikan panduan yang rinci mengenai pencatatan utang piutang. Ayat-ayat berikutnya, hingga ayat 286, melengkapi prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan pertanggungjawaban dalam segala bentuk transaksi. Ayat-ayat ini bukan sekadar aturan hukum, melainkan sebuah ajaran moral dan etika yang membentuk peradaban Islam yang adil dan sejahtera.
Ayat 282 turun sebagai respons terhadap kebutuhan akan kejelasan dalam transaksi yang semakin kompleks, terutama di masa Nabi Muhammad SAW. Ayat ini memerintahkan kaum beriman untuk mencatat setiap transaksi utang piutang, sekecil apapun. Perintah ini mencakup:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dalam urusan yang ditentukan hingga waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antaramu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhak atas sesuatu (piutang) membacakan dan bertakwalah kepada Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika orang yang berhak atas sesuatu itu orang yang lemah ingatannya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu membacakan, maka hendaklah walinya membacakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelakimu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari orang-orang yang kamu setujui di antara para saksi, agar jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi kesaksian) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulisnya (baik) kecil maupun besar sampai batas waktu pembayaran(nya). Yang demikian itu, di sisi Allah lebih adil, lebih dapat menguatkan persaksian, dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Yang demikian itu ialah) kecuali jika muamalah itu menjadi perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu tidak menulisnya. Dan apabila kamu berjual beli, maka ambillah saksi dan janganlah penulis dan saksi menyulitkan. Jika kamu melakukan yang demikian, maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan dalam dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarkanmu segalanya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ayat ini secara gamblang menekankan pentingnya transparansi dan dokumentasi dalam transaksi. Ini mencakup aspek-aspek krusial seperti:
Kewajiban Mencatat: Setiap utang piutang yang memiliki tenggat waktu wajib dicatat.
Penulis yang Adil: Harus ada penulis yang jujur dan adil dalam mencatat.
Peran Pihak yang Berutang: Orang yang berutang harus memberikan rincian yang benar dan bertakwa kepada Allah.
Peran Wali: Jika pihak yang berutang tidak mampu, walinya yang akan bertanggung jawab.
Saksi: Diperlukan dua saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan jika diperlukan, untuk menguatkan perjanjian.
Kewajiban Saksi: Saksi tidak boleh menolak ketika dipanggil.
Pengecualian: Transaksi tunai yang langsung terjadi tidak wajib dicatat, namun tetap disunnahkan untuk menghadirkan saksi.
Ayat 283: Kewajiban Menjaga Amanah Harta
Melanjutkan semangat keadilan, ayat 283 membahas tentang menjaga amanah harta, terutama ketika barang jaminan tertahan.
"Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapati seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberi piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya adalah dosa. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Ayat ini menjelaskan solusi ketika penulis tidak ditemukan, yaitu dengan adanya barang jaminan (rahn). Namun, jika ada kepercayaan antara kedua belah pihak, maka orang yang dipercayai wajib menunaikan amanahnya. Penting juga ditekankan larangan menyembunyikan kesaksian, karena hal itu merupakan dosa besar.
Ayat 284-286: Kelimpahan Rahmat dan Kemampuan Manusia
Dua ayat terakhir dari rangkaian ini (284-286) lebih bersifat memberikan semangat, penegasan, dan keyakinan kepada umat Islam. Ayat 284 menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah.
"Hanya kepada Allah-lah hak kepemilikan segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentangnya."
Ayat ini mengingatkan bahwa Allah mengetahui segala isi hati manusia, baik yang diucapkan maupun yang tersembunyi. Ini adalah penekanan pada kesadaran diri dan tanggung jawab moral yang mendalam.
Ayat 285 kemudian memberikan kabar gembira mengenai keutamaan beriman dan bertawakal kepada Allah.
"Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan orang-orang beriman pula, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): 'Kami tidak membedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya', dan mereka mengatakan: 'Kami dengar dan kami taat'. (Mereka berdoa): 'Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali'."
Ayat ini menegaskan iman para rasul dan mukminin kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya, tanpa membeda-bedakan. Kesadaran akan kelemahan diri dan permohonan ampun kepada Allah menjadi puncak keimanan mereka.
Terakhir, ayat 286 memberikan penegasan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat seksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau telah bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir'."
Ayat penutup ini memberikan gambaran yang luar biasa tentang kasih sayang Allah. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan, namun Allah tidak akan memberikan beban yang di luar batas kemampuannya. Doa yang diajarkan dalam ayat ini mencakup permohonan agar tidak dihukum karena lupa atau salah, tidak dibebani beban berat, dan memohon ampunan serta pertolongan dari Allah.
Implikasi dan Relevansi
Rangkaian ayat 282-286 Surat Al-Baqarah memberikan landasan yang kuat bagi sistem ekonomi syariah. Prinsip pencatatan, kejujuran, keadilan, pertanggungjawaban, dan penghindaran dari unsur-unsur yang meragukan menjadi pilar utama. Dalam konteks modern, ayat-ayat ini relevan untuk:
Transparansi Finansial: Mendorong transparansi dalam segala bentuk transaksi, baik personal maupun bisnis.
Etika Bisnis: Menjadi panduan etika dalam berbisnis, menekankan kejujuran dan keadilan terhadap semua pihak.
Perbankan Syariah: Memberikan dasar filosofis bagi produk dan layanan perbankan syariah.
Akuntabilitas: Meningkatkan rasa akuntabilitas dalam pengelolaan harta dan kewajiban.
Dengan memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat-ayat ini, umat Islam diharapkan dapat membangun tatanan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga diberkahi oleh Allah SWT, serta menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis.