Di sebuah kota yang tak pernah benar-benar terlelap, hiduplah seorang pria bernama Kael. Bukan seorang pahlawan dalam arti tradisional, Kael lebih dikenal sebagai pengembara malam, seseorang yang menemukan keindahan dan misteri dalam kegelapan yang terbentang luas setelah matahari terbenam. Ia tak memiliki tujuan pasti, hanya naluri yang membawanya menyusuri jalan-jalan sepi, lorong-lorong sempit, dan sudut-sudut kota yang tersembunyi dari pandangan publik.
Malam itu, seperti malam-malam lainnya, Kael melangkahkan kakinya keluar dari apartemen sederhana miliknya. Udara dingin menyentuh kulitnya, membawa aroma khas kota malam: campuran aspal basah, bunga melati yang samar, dan sedikit aroma kopi dari kafe yang masih buka. Lampu-lampu jalan berpendar kuning, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di trotoar. Kael menikmati simfoni visual ini, sebuah lukisan surealis yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memilih untuk berjalan saat dunia beristirahat.
Perjalanannya membawanya ke area yang jarang dikunjungi, sebuah distrik tua yang dulunya ramai namun kini tampak terlupakan. Bangunan-bangunan bergaya kolonial berdiri kokoh, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela gelap yang seolah menyimpan cerita dari masa lalu. Kael merasa tertarikkah oleh energi bisu dari tempat itu. Ia membayangkan kehidupan yang pernah berdenyut di sana, tawa anak-anak, percakapan hangat, dan alunan musik yang mengiringi malam.
Saat ia menyusuri sebuah lorong yang lebih gelap dari biasanya, diapit oleh dinding bata kuno yang lembab, Kael mendengar suara. Bukan suara yang mengancam, melainkan suara gemerisik lembut, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik tumpukan sampah yang tersisa. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, melainkan karena rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Ia perlahan mendekat, matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan.
Di sana, meringkuk di antara kardus-kardus bekas, duduklah seekor kucing hitam. Bulunya halus dan berkilau diterpa cahaya remang-remang. Matanya yang besar berwarna hijau zamrud menatap Kael dengan kewaspadaan namun tanpa rasa takut yang berlebihan. Kael tersenyum. Ia selalu punya hubungan khusus dengan makhluk-makhluk kesepian, entah itu manusia atau hewan.
Ia duduk perlahan di dekat kucing itu, menjaga jarak agar tidak membuatnya terkejut. "Halo, teman," bisiknya. Kucing itu membalas dengan gerakan ekor yang perlahan. Kael mengeluarkan sedikit makanan kering dari sakunya, sesuatu yang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga. Ia meletakkannya beberapa langkah dari kucing itu, lalu kembali duduk tenang. Perlahan tapi pasti, kucing itu mendekat, mencium aroma makanan, dan mulai memakannya dengan lahap.
Sambil mengamati kucing yang kini terlihat lebih nyaman, Kael merasa ada kedamaian yang meresap. Malam ini terasa berbeda. Bukan sekadar perjalanan tanpa tujuan, melainkan sebuah momen koneksi. Ia sadar bahwa di tengah kesibukan dan hiruk pikuk kehidupan, seringkali kita melupakan keberadaan makhluk lain yang juga berbagi ruang dan waktu dengan kita, yang juga memiliki kebutuhan dan perasaan.
Ia berdiri, dan kucing itu tidak serta-merta pergi. Sebaliknya, ia menggesekkan badannya ke kaki Kael sebelum akhirnya berlari kecil ke dalam kegelapan lorong, seolah mengundangnya untuk mengikuti. Kael menggeleng pelan, senyumnya terulas. Ia tidak akan mengikutinya terlalu jauh. Ia tahu bahwa setiap pertemuan, sekecil apapun, memiliki maknanya sendiri.
Malam semakin larut. Kael melanjutkan langkahnya, namun kini dengan perasaan yang lebih ringan. Ia melihat bintang-bintang yang mulai bermunculan di antara celah bangunan. Langit malam yang luas seolah menjadi saksi bisu atas setiap cerita yang tersembunyi di kota ini. Ia membayangkan bahwa mungkin di luar sana, ada banyak "Kael" lainnya yang juga sedang menjelajahi kegelapan, mencari sesuatu yang tak terucap, atau sekadar menikmati ketenangan yang hanya bisa ditawarkan oleh malam.
Kael percaya, setiap orang adalah petualang dalam ceritanya sendiri. Terkadang, petualangan itu terjadi di siang hari yang terik, penuh dengan tantangan dan sorotan publik. Namun, terkadang, petualangan itu terjadi dalam sunyi malam, di mana hati dan jiwa lebih leluasa untuk merenung dan menemukan makna. Dan ia, Kael, adalah salah satu dari mereka yang memilih untuk merajut kisahnya di bawah permadani gelap yang bertabur bintang.
Kembali ke apartemennya, Kael merasa hari itu telah memberinya lebih dari sekadar gambar-gambar visual. Ia mendapatkan pengingat tentang keindahan dalam kesederhanaan, tentang koneksi yang bisa terjalin di tempat yang tak terduga, dan tentang betapa kaya dunianya ketika ia bersedia membuka mata, bahkan di tengah malam.