Surah Al-Fil (Gajah) adalah salah satu surah Makkiyah terpendek yang mengandung pesan historis dan teologis yang monumental. Meskipun terdiri dari hanya lima ayat, surah ini menceritakan salah satu peristiwa paling signifikan dalam sejarah Jazirah Arab, yang dikenal sebagai ‘Am al-Fil (Tahun Gajah), tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kisah ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan bukti nyata intervensi langsung Allah SWT dalam melindungi rumah-Nya yang suci, Ka'bah, dari kehancuran yang direncanakan oleh kekuatan militer super kala itu.
(1) Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
(2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?
(3) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
(4) yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,
(5) sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Fil, kita harus kembali ke peristiwa yang terjadi beberapa dekade sebelum masa kenabian, sekitar tahun 570 Masehi. Peristiwa ini adalah sumbu sejarah yang menentukan, di mana kekuatan alam dan militer tunduk di hadapan kehendak Ilahi.
Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Abraha al-Ashram, seorang gubernur Kristen dari Abyssinia (Ethiopia) yang memerintah Yaman. Yaman saat itu merupakan wilayah kekuasaan yang strategis dan makmur. Abraha melihat bahwa seluruh Jazirah Arab, bahkan wilayah di luar kekuasaannya, memiliki pusat spiritual dan ekonomi yang berpusat di Ka'bah, Makkah. Ziarah ke Ka'bah membawa kemakmuran bagi Makkah, yang membuat Abraha iri dan berambisi untuk mengalihkan aliran peziarah.
Ambisi ini diwujudkan dengan pembangunan gereja besar yang megah di Sana'a, Yaman, yang ia beri nama Al-Qulays. Abraha bertujuan menjadikan Al-Qulays sebagai pusat ziarah baru bagi seluruh Arab. Ia mengeluarkan proklamasi bahwa semua orang harus berziarah ke gerejanya dan meninggalkan Ka'bah. Namun, bangsa Arab, yang memiliki ikatan spiritual turun-temurun dengan Ka'bah meskipun saat itu masih menyembah berhala, menolak keras. Penolakan ini bahkan disertai dengan tindakan penistaan terhadap Al-Qulays, yang memicu kemarahan besar Abraha.
Merasa harga dirinya dan proyek agungnya dihina, Abraha bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah. Ia memobilisasi pasukan besar yang belum pernah terlihat di Jazirah Arab. Pasukan ini tidak hanya terdiri dari prajurit terlatih, tetapi juga dilengkapi dengan senjata pamungkas saat itu: Gajah Perang.
Gajah merupakan simbol kekuatan militer yang tak terhentikan di masa itu. Pemimpin dari gajah-gajah ini adalah seekor gajah raksasa bernama Mahmud. Kehadiran gajah ini menunjukkan keseriusan dan keyakinan Abraha bahwa tidak ada kekuatan darat yang mampu menghentikannya. Tujuan tunggal ekspedisi ini adalah meratakan Ka'bah dengan tanah, menghapus pusat spiritual Makkah, dan memastikan dominasi Al-Qulays.
Ketika pasukan Abraha tiba di pinggiran Makkah, mereka menjarah beberapa ternak milik penduduk Makkah, termasuk 200 unta milik pemimpin Makkah saat itu, Abdul Muttalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad SAW. Penjarahan ini merupakan ancaman psikologis, menunjukkan betapa tak berdayanya suku Quraisy di hadapan kekuatan asing tersebut.
Abdul Muttalib, dalam kapasitasnya sebagai Sayyid (pemimpin) Makkah, mendatangi perkemahan Abraha. Abraha terkesan dengan postur dan martabat Abdul Muttalib. Namun, kekagumannya berubah menjadi keheranan ketika Abdul Muttalib tidak meminta Abraha untuk menghentikan serangan ke Ka'bah, melainkan hanya meminta unta-untanya yang dirampas untuk dikembalikan.
Abraha berkata dengan nada menghina, “Aku datang untuk menghancurkan rumah yang menjadi pusat agamamu dan kehormatan nenek moyangmu, namun kau hanya bicara tentang unta?”
Jawaban Abdul Muttalib adalah intisari dari tawakal yang akan diabadikan dalam surah ini: “Aku adalah pemilik unta-unta itu. Sedangkan Rumah itu (Ka'bah), ia memiliki Pemilik yang akan melindunginya.”
Jawaban ini menandakan penyerahan total suku Quraisy. Mereka, yang tidak memiliki kekuatan militer, mundur ke perbukitan di sekitar Makkah, meninggalkan kota itu dan Ka'bah. Mereka percaya bahwa jika Allah menghendaki Ka'bah hancur, mereka tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi jika Allah menghendakinya bertahan, maka tidak ada kekuatan di bumi yang dapat merobohkannya.
Tafsir Surah Al-Fil menawarkan bukti definitif tentang kekuasaan mutlak Allah SWT. Setiap ayat memuat detail penting mengenai bagaimana tipu daya yang paling terencana pun dapat dengan mudah dibatalkan oleh kekuatan yang tak terlihat.
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ
Terjemah: Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Kata kunci di sini adalah "أَلَمْ تَرَ" (Alam Tara), yang secara harfiah berarti "Tidakkah engkau melihat?". Ini adalah pertanyaan retorik yang berfungsi sebagai penekanan kuat. Meskipun Nabi Muhammad SAW belum lahir atau masih sangat muda ketika peristiwa itu terjadi, pertanyaan ini merujuk pada pengetahuan yang pasti dan jelas, seolah-olah ia menyaksikannya sendiri. Bagi masyarakat Makkah saat Surah ini diturunkan, peristiwa Tahun Gajah masih segar dalam ingatan generasi tua; itu adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Hal ini menjadikan kisah tersebut sebagai fondasi kebenaran dalam dakwah Islam.
"أَصْحَابِ الْفِيْلِ" (Ashab al-Fil), Pasukan Gajah, merujuk kepada Abraha dan seluruh tentaranya. Dengan menyebut mereka berdasarkan gajah, Al-Qur'an menyoroti kebanggaan dan kekuatan militer yang mereka sandang. Gajah, simbol keperkasaan, ternyata tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak Allah.
Peristiwa ini adalah mukadimah bagi kenabian. Allah seakan-akan berkata, "Rumah ini (Ka'bah) telah Aku lindungi sebelum kamu ada, dan Aku akan menjadikannya pusat kenabianmu." Surah ini secara implisit menantang para penentang Nabi Muhammad SAW dari kalangan Quraisy yang mulai menyakiti dan mengusir beliau, mengingatkan mereka bahwa Allah yang melindungi Ka'bah dari kekuatan super Abraha juga mampu melindungi Rasul-Nya dari tipu daya mereka yang kecil.
اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ
Terjemah: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?
Kata "كَيْدَهُمْ" (Kaydahum) berarti 'tipu daya', 'rencana licik', atau 'skema'. Rencana Abraha bukan hanya sekadar serangan fisik, tetapi sebuah skema politis, ekonomis, dan religius untuk menggeser sentralitas Makkah. Namun, semua perencanaan matang tersebut, yang didukung logistik militer besar, dijadikan Allah "فِيْ تَضْلِيْلٍ" (Fi Tadhlil), yang artinya dalam kesesatan, sia-sia, atau tersesat dari tujuan yang diharapkan.
Tafsir klasik menekankan bahwa 'Tadhlil' dimulai sebelum burung-burung datang. Diceritakan bahwa ketika Abraha mempersiapkan gajah-gajahnya untuk masuk ke Makkah, gajah pemimpin (Mahmud) tiba-tiba berlutut dan menolak bergerak menuju Ka'bah, meskipun dipukuli dan disiksa. Ketika dihadapkan ke arah lain (Yaman), ia bergerak cepat, tetapi ketika dihadapkan kembali ke Ka'bah, ia kembali diam. Ini adalah pembatalan rencana pada tingkat psikologis dan militer—kekuatan terbesar mereka lumpuh oleh kehendak Ilahi bahkan sebelum serangan balasan datang.
وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ
Terjemah: dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
Ayat ini memperkenalkan elemen keajaiban. Allah mengirimkan bala bantuan dari alam yang paling tidak terduga: burung. Kata "طَيْرًا" (Tayran) berarti burung-burung, dan "أَبَابِيلَ" (Ababil) adalah kunci linguistiknya.
Ada beberapa pandangan tafsir mengenai makna Ababil:
Intinya, kekuatan militer yang sombong dihancurkan bukan oleh tentara lain, tetapi oleh makhluk paling kecil dan rapuh di udara. Ini adalah manifestasi sempurna dari kekuasaan Allah yang tidak terikat pada sebab-akibat fisik biasa.
تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ
Terjemah: yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,
Burung-burung itu membawa amunisi spesifik. Mereka melempari tentara dengan batu-batu kecil (seukuran biji kacang atau lentil) yang disebut "سِجِّيْلٍ" (Sijjil). Para mufassir menjelaskan Sijjil sebagai tanah liat yang telah dibakar atau dikeraskan seperti batu. Interpretasi ini menghubungkannya dengan konsep batuan yang sangat keras dan panas, yang dalam tradisi Islam juga sering dikaitkan dengan azab (seperti batu yang ditimpakan pada kaum Luth).
Meskipun batu itu kecil, dampaknya luar biasa. Menurut riwayat, setiap batu ditujukan secara tepat kepada satu prajurit. Ketika batu itu mengenai, ia mampu menembus helm, tubuh, dan bahkan menembus gajah. Dampak batu Sijjil ini tidak hanya mematikan secara fisik tetapi juga menyebabkan luka bakar atau penyakit mengerikan yang membuat tubuh para prajurit membusuk dengan cepat, mengubah mereka menjadi pemandangan yang mengerikan.
Ini adalah pelajaran bahwa keampuhan sebuah senjata tidak ditentukan oleh ukurannya, tetapi oleh kekuatan yang memberinya izin dan tujuan. Batu sekecil apa pun, jika dilemparkan oleh Kehendak Ilahi, akan jauh lebih efektif daripada panah dan tombak tentara terbesar.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ
Terjemah: sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Ayat penutup ini menggambarkan hasil akhir dari kehancuran Pasukan Gajah dengan metafora yang kuat dan menghinakan. "عَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ" (Ka’ashfim Ma’kul) berarti seperti daun atau jerami kering yang telah dimakan ulat atau binatang ternak, yang tersisa hanya remah-remah hancur, sisa-sisa yang tidak berguna, dan sangat rapuh.
Metafora ini sangat efektif karena dua alasan:
Bahkan Abraha sendiri tidak luput. Diriwayatkan bahwa ia menderita luka parah dan meninggal dalam perjalanan kembali ke Yaman, tubuhnya hancur sedikit demi sedikit, mencerminkan nasib daun yang dimakan ulat.
Surah Al-Fil tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah; surah ini adalah fondasi akidah yang mengajarkan pelajaran fundamental tentang Tauhid, keadilan, dan janji perlindungan Ilahi.
Pelajaran utama adalah penekanan pada Kekuasaan Mutlak Allah (Qudratullah). Surah ini diturunkan di Makkah, di tengah-tengah suku Quraisy yang terbiasa menyembah berhala dan mengagungkan kekuatan fisik. Kisah ini membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah tentara, ukuran gajah, atau kekayaan, melainkan pada kehendak Sang Pencipta. Jika Allah menghendaki sesuatu, Dia cukup mengatakan 'Jadilah!' maka jadilah ia.
Kisah ini menghancurkan mitos bahwa hasil perang selalu ditentukan oleh perhitungan materiil. Allah memilih alat yang paling lemah—burung kecil—untuk mengalahkan alat yang paling kuat—gajah. Ini mengajarkan bahwa mukjizat dapat datang dari arah yang paling tidak terduga, asalkan kita berpegang teguh pada keyakinan.
Peristiwa ini menetapkan Ka'bah sebagai tempat yang sakral dan tak tersentuh. Perlindungan Ka'bah menunjukkan bahwa Allah menetapkan tempat tersebut sebagai pusat bagi agama yang akan datang (Islam). Sejak peristiwa itu, suku Quraisy mendapatkan penghormatan yang lebih besar di Jazirah Arab karena mereka dianggap sebagai 'penjaga' rumah yang dilindungi oleh Tuhan. Peristiwa ini juga memberikan dasar bagi konsep Tanah Haram (wilayah suci) di Makkah, di mana segala bentuk kekerasan dilarang.
Bagi Muslim, ini adalah pengingat bahwa Ka'bah adalah simbol persatuan dan tujuan ibadah (Qiblat), dan kehormatannya dijaga oleh Allah, terlepas dari siapa pun yang mencoba menodainya, baik dari luar maupun dari dalam.
Surah ini menggambarkan bentuk Azab Istidraj (hukuman yang datang setelah seseorang mencapai puncak arogansi). Abraha, dalam kesombongannya, percaya bahwa ia dapat mengganti pusat ibadah umat manusia. Hukuman yang menimpa pasukannya sangat mengerikan dan cepat, berfungsi sebagai peringatan universal bagi semua tiran dan orang yang berniat jahat terhadap simbol-simbol keagamaan. Kehancuran mereka setara dengan kejahatan yang mereka niatkan—menghancurkan rumah Tuhan.
Peristiwa ini merupakan manifestasi dari hukum alam semesta bahwa kezaliman tidak akan pernah menang melawan kebenaran yang dilindungi oleh Sang Pencipta.
Tahun Gajah, sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, memberikan landasan spiritual yang kuat bagi dakwah beliau di kemudian hari. Ketika Nabi mulai berdakwah di Makkah, beliau dapat merujuk pada peristiwa ini untuk meyakinkan kaum Quraisy bahwa mereka menyaksikan sendiri bagaimana Allah melindungi kota dan tempat ibadah mereka. Keajaiban ini menjadi bukti historis bahwa Tuhan yang mereka sembah (Allah) adalah Tuhan yang sama yang memiliki kekuasaan atas alam semesta dan sejarah.
Seolah-olah Allah menyiapkan panggung: Dia melindungi Rumah-Nya dari penghancur militer, kemudian Dia mengirimkan seorang Rasul dari keluarga penjaga Rumah itu (Abdul Muttalib), untuk membersihkan Rumah itu dari kotoran berhala dan mengembalikannya ke fungsi semula, yaitu menyembah Allah Yang Maha Esa.
Keindahan Surah Al-Fil terletak pada pilihan kata-kata Arab yang sangat padat makna, yang menyampaikan narasi dramatis hanya dalam lima kalimat pendek.
Penggunaan kata kerja 'Alam Tara' (Tidakkah engkau melihat?) yang sudah dibahas sebelumnya menunjukkan bahwa peristiwa ini bukan sekadar mendengar, tetapi harus dihayati dengan kepastian seolah-olah melihat. Sedangkan kata kerja 'Fa’ala' (Dia telah bertindak/berbuat) merujuk pada tindakan aktif dari 'Rabbuka' (Tuhanmu).
Penekanan pada 'Rabbuka' (Tuhanmu) menunjukkan hubungan intim antara Allah dan Nabi Muhammad SAW, serta penegasan bahwa tindakan tersebut berasal dari otoritas tertinggi yang mengatur seluruh alam.
Konsep 'Tadhliil' lebih dalam dari sekadar 'gagal'. Dalam konteks linguistik Al-Qur'an, Tadhliil sering kali merujuk pada tindakan yang dibuat salah arah atau menyebabkan hasil yang berlawanan dari yang diinginkan. Rencana Abraha untuk menggeser pusat ziarah tidak hanya gagal, tetapi kegagalannya justru meningkatkan status Ka'bah dan suku Quraisy, menciptakan kondisi ideal bagi kemunculan Islam.
Abraha berencana menghancurkan Ka'bah, tetapi Allah menggunakan rencananya untuk memastikan bahwa kehormatan Ka'bah terukir abadi dalam ingatan semua orang. Kega-galan ini adalah kesuksesan Ilahi.
Meskipun kita menafsirkan Sijjil sebagai tanah liat yang dibakar, perluasan tafsir para ulama sering menghubungkannya dengan asal-usul azab yang bersifat supra-natural. Beberapa tafsir menyatakan bahwa batu tersebut berasal dari neraka atau lapisan yang lebih tinggi dari bumi, yang membawa hawa panas atau racun yang mematikan, sehingga kehancuran yang terjadi pada tentara bukan hanya karena hantaman fisik, tetapi juga karena sifat ajaib dari material itu sendiri.
Kekuatan penetrasi batu Sijjil adalah pengingat bahwa materi yang dikendalikan oleh Allah memiliki sifat yang melampaui fisika yang kita kenal. Satu batu kecil bisa melumpuhkan satu individu, yang menunjukkan keakuratan dan keadilan hukuman tersebut.
Perumpamaan dengan "daun yang dimakan ulat" atau "jerami yang diinjak" adalah puncak penghinaan dalam sastra Arab. Jerami yang telah dicerna dan dimuntahkan oleh ternak adalah material yang paling rendah nilainya. Penggunaan metafora ini memastikan bahwa kehancuran Abraha dikenang bukan sebagai kekalahan militer biasa, tetapi sebagai pemusnahan total yang merendahkan, menghilangkan seluruh kebanggaan dan martabat militer mereka.
Hal ini kontras dengan keangkuhan gajah-gajah. Gajah, simbol kemegahan dan keperkasaan, diakhiri dengan perumpamaan yang paling menjijikkan dan rapuh.
Meskipun Surah Al-Fil menceritakan peristiwa yang terjadi ribuan tahun lalu, pesannya tetap relevan bagi setiap generasi, mengajarkan tentang kekuasaan, keadilan, dan tawakal dalam menghadapi ancaman modern.
Bagi umat Islam, surah ini adalah sumber ketenangan dan keyakinan di tengah krisis. Ketika umat merasa kecil atau lemah di hadapan kekuatan ekonomi, politik, atau militer global yang seolah-olah tak terkalahkan, Surah Al-Fil mengingatkan bahwa kekuasaan manusia itu fana. Umat harus fokus pada peran mereka sebagai penjaga kebenaran dan melakukan tawakal sejati, seperti Abdul Muttalib yang menyerahkan urusan Ka'bah kepada Pemiliknya.
Ini adalah seruan untuk tidak mudah gentar oleh propaganda, ancaman, atau penindasan, karena bala bantuan Allah dapat datang dalam bentuk yang tak terduga, melumpuhkan musuh dari dalam atau dari luar.
Pesan ini universal bagi semua bentuk tirani. Abraha mewakili setiap pemimpin yang menggunakan kekuatan besar untuk menindas yang lemah, menghancurkan simbol keagamaan, atau memaksakan kehendak mereka atas kebenasan spiritual orang lain. Allah menunjukkan bahwa setiap kali kekuasaan duniawi mencapai tingkat keangkuhan tertinggi, intervensi Ilahi dapat datang untuk meruntuhkannya.
Surah ini meyakinkan bahwa setiap 'Kayd' (tipu daya) yang ditujukan untuk menghancurkan kebenaran, pada akhirnya akan berakhir 'Fi Tadhlil' (sia-sia) dan para pelakunya akan menjadi 'Ka’ashfim Ma’kul' (remah-remah yang hancur).
Meskipun Surah Al-Fil adalah kisah mukjizat, ia juga mengajarkan tentang Sunnatullah (Hukum Allah). Ketika Abraha mencoba mengganggu tatanan spiritual dan keagamaan yang telah Allah tetapkan, hasilnya adalah kehancuran. Ini mengajarkan bahwa ada hukum spiritual yang sama tegasnya dengan hukum fisika.
Dalam konteks modern, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa mereka yang berusaha keras untuk memadamkan cahaya kebenaran, atau yang meremehkan nilai-nilai spiritual demi kekuasaan materiil, akan menghadapi konsekuensi yang tidak dapat mereka perhitungkan dengan logika duniawi mereka.
Peristiwa Tahun Gajah memberikan kontribusi yang tak terhingga terhadap fondasi sejarah Islam, menjadikan Makkah sebagai tempat yang diistimewakan sebelum masa kenabian, dan secara efektif membentuk lingkungan tempat Rasulullah SAW dibesarkan.
Setelah kehancuran Tentara Gajah, otoritas dan kehormatan suku Quraisy meningkat tajam. Mereka diyakini sebagai Ahlullah (Keluarga Allah) atau Juwwarullah (Tetangga Allah) karena Allah telah membela mereka dari musuh yang jauh lebih kuat. Peningkatan status ini memungkinkan Makkah untuk menjadi pusat perdagangan yang lebih aman dan makmur.
Kondisi yang aman dan dihormati ini adalah lingkungan yang Allah siapkan untuk pertumbuhan Nabi Muhammad SAW, memastikan beliau tumbuh dalam masyarakat yang memiliki kebanggaan dan posisi sentral, meskipun masih dalam kegelapan jahiliyah.
Tahun Gajah menjadi penanda kalender bagi bangsa Arab sebelum penetapan kalender Hijriah. Hampir semua peristiwa penting—pernikahan, kelahiran, perjanjian—di Jazirah Arab dirujuk berdasarkan "berapa tahun setelah Tahun Gajah". Hal ini menunjukkan betapa mendalam dan tak terlupakan trauma kolektif yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut, sekaligus menjadi titik referensi sejarah yang pasti untuk kelahiran Rasulullah SAW.
Peristiwa ini juga merupakan bukti awal bagi kebenaran Tauhid, meskipun Quraisy belum menyadarinya sepenuhnya. Ketika Abraha menyerang, kaum Quraisy tidak memohon perlindungan kepada berhala-berhala mereka (seperti Hubal atau Latta), tetapi kepada Allah, Tuhan Ka'bah. Mereka mundur ke perbukitan, memahami bahwa hanya ada satu kekuatan yang mampu melindungi Ka'bah. Ketika Ka'bah diselamatkan, hal itu menunjukkan bahwa berhala-berhala mereka tidak memiliki peran sama sekali dalam pertahanan kota, meletakkan benih pemikiran bahwa ada Kekuatan Tunggal yang lebih besar dari semua patung.
Ironisnya, suku Quraisy adalah penjaga Rumah yang baru saja diselamatkan oleh Allah, namun mereka tetap mengisinya dengan berhala. Misi Nabi Muhammad SAW di kemudian hari adalah menuntaskan pelajaran yang dimulai oleh Surah Al-Fil: membersihkan Ka'bah dan mengembalikan penyembahan hanya kepada Tuhan yang telah melindunginya.
Surah Al-Fil adalah narasi ringkas tentang kebenaran abadi: keangkuhan akan dihancurkan, dan kebenaran, meskipun tampak lemah, akan selalu dilindungi oleh Pemiliknya.
Kisah ini mengajarkan setiap Muslim untuk tidak pernah mengukur kebaikan dan kebenaran berdasarkan kekuatan fisik atau kekayaan materi. Kekuatan sejati terletak pada keselarasan dengan kehendak Ilahi. Saat kita mengingat Abraha dan Tentara Gajah, kita diingatkan bahwa sejarah adalah saksi bisu, dan Allah adalah Hakim yang memegang kendali mutlak atas hasil akhir.
Kehancuran Tentara Gajah adalah mukjizat yang membersihkan jalan bagi agama Islam, menjadikan Ka'bah tegak dan kokoh, menunggu kedatangan seorang bayi yang lahir pada tahun yang sama, yang ditakdirkan untuk membawa pesan Tauhid ke seluruh penjuru bumi. Surah Al-Fil adalah janji, bahwa bagi mereka yang berpegang teguh pada kebenaran dan tawakal, pertolongan Allah akan selalu datang, sekecil apa pun sarana yang digunakan, sekuat apa pun musuh yang dihadapi.
Maka, renungan atas Surah Al-Fil adalah renungan atas keagungan Allah yang tak terbatas, yang menjadikan batu kecil lebih perkasa daripada gajah perang.