Surah Al-Qadr, surah ke-97 dalam Al-Quran, adalah sebuah permata singkat namun sarat makna yang terletak di dalam Juz Amma. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, surah Makkiyah ini (menurut pendapat mayoritas ulama, meskipun ada yang berpendapat Madaniyah) mengemban beban historis, spiritual, dan teologis yang luar biasa. Surah ini secara eksklusif berfokus pada satu malam paling mulia dalam sejarah kemanusiaan: Laylatul Qadr, atau Malam Kemuliaan.
Memahami arti surah ini bukan sekadar menerjemahkan kata per kata, melainkan menyelami implikasi mendalam dari keputusan ilahi yang mengubah takdir umat manusia: diturunkannya Kitab Suci Al-Quran, pedoman abadi, pada malam yang penuh berkah tersebut. Surah Al-Qadr adalah peta spiritual yang menunjukkan nilai tak terhingga dari waktu, takdir, dan koneksi langsung antara langit dan bumi.
Untuk memulai kajian mendalam, mari kita telaah teks Arab Surah Al-Qadr beserta terjemahan literalnya:
Ayat pertama dibuka dengan penegasan yang kuat: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya." Kata 'Innaa' (Sesungguhnya Kami) menggunakan kata ganti kehormatan (pluralis majestatis) yang menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah SWT. Ini menekankan bahwa peristiwa penurunan Al-Quran adalah tindakan yang sangat penting dan direncanakan secara sempurna oleh Dzat Yang Maha Agung.
Adapun kata 'Anzalnaahu' (Kami telah menurunkannya), menunjukkan bahwa penurunan Al-Quran ke langit dunia terjadi secara sekaligus (jumlahtan wahidah) pada Laylatul Qadr. Ini berbeda dengan penurunan yang bertahap (tanjim) kepada Nabi Muhammad SAW selama 23 tahun. Penurunan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia inilah yang diacu oleh ayat ini, menandai dimulainya era kenabian dan risalah Islam.
Penetapan waktu penurunan pada Laylatul Qadr menandakan bahwa nilai spiritual waktu tersebut tidak terpisahkan dari nilai konten (Al-Quran) yang diturunkan. Ini bukan sekadar malam biasa, melainkan malam yang Allah pilih sebagai momen bersejarah. Pemilihan waktu ini mengajarkan kepada manusia bahwa waktu memiliki kualitas yang berbeda-beda, dan Laylatul Qadr adalah puncak dari kualitas waktu tersebut.
Kata Al-Qadr (الْقَدْرِ) dalam bahasa Arab mengandung setidaknya tiga makna utama, dan semua makna ini relevan dengan surah ini:
Salah satu makna utama Al-Qadr adalah 'penetapan', 'pengukuran', atau 'takdir'. Menurut para mufasir, pada malam ini, Allah memerintahkan para malaikat untuk mencatat dan mengatur semua urusan yang akan terjadi sepanjang tahun yang akan datang, termasuk rezeki, ajal, kelahiran, dan berbagai peristiwa penting. Meskipun semua takdir telah tertulis di Lauh Mahfuzh sejak azali, pada Laylatul Qadr takdir tahunan (al-Qadha al-Sanawi) tersebut diturunkan dan diperinci kepada para malaikat pelaksana.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan, "Ditentukanlah pada malam itu semua yang akan terjadi di tahun tersebut, hingga ajal dan rezeki." Ini menekankan betapa krusialnya malam ini; ia adalah malam penetapan takdir dan pengaturan ilahi yang terperinci.
Makna kedua dari Al-Qadr adalah 'kemuliaan' atau 'kehormatan' (Syaraf). Malam ini disebut Malam Kemuliaan karena nilai dan kedudukannya yang sangat tinggi di sisi Allah SWT. Kemuliaan ini berasal dari dua hal:
Malam ini juga menunjukkan kekuatan dan kekuasaan Allah yang tiada batas. Ini adalah malam di mana kekuasaan ilahi diwujudkan melalui pengiriman wahyu, pengutusan para malaikat dalam jumlah besar, dan penetapan takdir semesta alam. Hal ini mengingatkan manusia akan keagungan Sang Pencipta yang mengatur segala sesuatu dengan ketelitian mutlak.
Gaya bahasa pertanyaan retoris ini digunakan untuk menonjolkan keagungan sesuatu yang ditanyakan. Ketika Al-Quran menggunakan frasa 'Wamaa adraaka' (Dan tahukah kamu?), itu menunjukkan bahwa subjek yang dibicarakan melebihi batas pemahaman dan imajinasi manusia biasa. Allah ingin menekankan bahwa nilai malam ini tidak dapat diukur dengan standar duniawi.
Ini adalah inti dari Surah Al-Qadr dan merupakan keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat-umat terdahulu. Seribu bulan setara dengan kurang lebih 83 tahun 4 bulan. Nilai ini melampaui usia rata-rata umat Nabi Muhammad SAW. Artinya, beribadah dengan ikhlas pada satu malam ini dapat menghasilkan pahala dan ganjaran yang setara atau bahkan melampaui ibadah seumur hidup, bahkan ibadah yang dilakukan selama lebih dari delapan dekade penuh.
Para ulama tafsir mengajukan beberapa pandangan mengenai mengapa perbandingan ini spesifik menggunakan angka seribu bulan:
Penafsiran apapun yang dipilih, intinya adalah bahwa Laylatul Qadr merupakan hadiah terbesar Allah bagi umat ini, sarana untuk mengejar ketertinggalan amal dari umat-umat sebelumnya.
Ayat ini menggambarkan sebuah fenomena kosmik yang luar biasa: penampakan keagungan Allah melalui pergerakan makhluk-makhluk suci. Kata 'Tanazzal' (turun) dalam bentuk kata kerja masa kini (mudhari') menunjukkan kesinambungan dan keberulangan peristiwa ini setiap tahun.
Para mufasir menjelaskan bahwa malaikat turun dalam jumlah yang tak terhitung, lebih banyak daripada jumlah butiran kerikil di bumi, sebagai tanda keberkahan dan rahmat yang melimpah. Mereka turun untuk menyaksikan ibadah kaum mukminin, memintakan ampunan, dan membawa serta merealisasikan ketetapan-ketetapan ilahi yang telah ditetapkan untuk tahun tersebut.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, "Turunnya malaikat pada malam itu adalah tanda keberkahan dan rahmat. Sebagaimana mereka turun ketika Al-Quran dibacakan, mereka juga mengepung majelis-majelis zikir."
Penyebutan Ar-Ruh (yaitu Malaikat Jibril) secara terpisah dari 'malaikat' menunjukkan kedudukan istimewanya. Dalam bahasa Arab, menempatkan sesuatu yang spesifik di samping kategori umumnya (al-athfu al-khass ala al-amm) adalah cara untuk memuliakan dan menekankan keagungan item spesifik tersebut. Jibril, pemimpin para malaikat dan pembawa wahyu, memiliki peran sentral dalam peristiwa kosmik ini.
Peran Jibril pada malam ini adalah mengawasi dan memimpin proses penurunan urusan-urusan takdir, menegaskan bahwa ini adalah malam agung yang dipimpin oleh pemimpin makhluk-makhluk spiritual termulia.
Frasa 'Min kulli amrin' (untuk mengatur segala urusan) merujuk pada takdir tahunan yang diserahkan Allah kepada para malaikat, seperti yang dijelaskan pada bagian takdir. Urusan-urusan yang diatur mencakup:
Malaikat tidak bertindak atas kemauan sendiri, melainkan 'bi-idzni Rabbihim' (dengan izin Tuhan mereka), menegaskan ketaatan mutlak mereka terhadap perintah Allah.
Penutup surah ini menyimpulkan esensi Laylatul Qadr sebagai malam yang penuh 'Salam' (Keselamatan, Kedamaian, Kesejahteraan).
Kata 'Salam' di sini memiliki interpretasi yang luas, mencakup aspek fisik, spiritual, dan hubungan antara makhluk:
Kedamaian ini berlangsung 'Hatta mathla'il Fajr' (sampai terbit fajar), yang berarti begitu Laylatul Qadr dimulai, kemuliaan, penurunan malaikat, dan janji keselamatan berlanjut tanpa henti hingga waktu shubuh tiba.
Meskipun Surah Al-Qadr secara umum menekankan keagungan malam tersebut, banyak riwayat yang memberikan konteks historis yang memicu penurunannya. Salah satu riwayat yang paling terkenal berkaitan dengan kisah umat terdahulu:
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW teringat kepada salah satu umat terdahulu yang bernama Syam’un Al-Ghazi (sering disamakan dengan kisah Samson dalam tradisi Barat), yang berjuang di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti. Rasulullah SAW merasa sedih karena usia umatnya yang pendek tidak akan mampu menyamai amal tersebut.
Maka, Allah SWT menurunkan Surah Al-Qadr, memberitahukan bahwa Dia menganugerahkan satu malam kepada umat Muhammad yang amalan di dalamnya lebih baik daripada seribu bulan ibadah yang dilakukan oleh umat terdahulu. Ini adalah manifestasi rahmat ilahi yang memungkinkan umat Islam mencapai derajat yang tinggi dalam waktu yang singkat.
Mengetahui arti Surah Al-Qadr harus diiringi dengan aplikasi praktis dalam mencari malam mulia tersebut. Meskipun malam ini dirahasiakan oleh Allah, Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk yang sangat jelas mengenai kapan dan bagaimana mencarinya.
Mayoritas hadis menunjukkan bahwa Laylatul Qadr terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, khususnya pada malam-malam ganjil. Nabi SAW bersabda: "Carilah Laylatul Qadr pada sepuluh malam terakhir dari Ramadan, pada malam ganjil." (HR. Bukhari dan Muslim).
Malam-malam yang paling mungkin adalah malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Di antara malam-malam ganjil ini, banyak ulama yang cenderung fokus pada malam ke-27, meskipun disembunyikannya tanggal pastinya adalah ujian bagi keimanan dan konsistensi ibadah umat Islam.
Para ulama menyoroti beberapa hikmah di balik kerahasiaan Laylatul Qadr:
Tujuan utama beribadah pada Laylatul Qadr adalah untuk mendapatkan ampunan dosa. Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa yang menghidupkan Laylatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan (pahala), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Menghidupkan malam dengan shalat, baik tarawih, tahajjud, maupun shalat sunnah lainnya, adalah ibadah utama. Ini mencakup memperpanjang ruku' dan sujud, serta meningkatkan kekhusyu'an.
I'tikaf di sepuluh hari terakhir adalah sunnah yang ditekankan (sunnah mu'akkadah) dan merupakan metode terbaik untuk memastikan seseorang bertemu Laylatul Qadr. I'tikaf memungkinkan konsentrasi penuh pada ibadah, menjauhkan diri dari urusan duniawi.
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, jika aku tahu malam apa Laylatul Qadr itu, apa yang harus aku ucapkan?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah: Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni." (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.)
Doa ini menekankan aspek pengampunan, yang merupakan hadiah terbesar yang dibawa oleh Laylatul Qadr.
Meskipun kita tidak bisa memastikan malam mana Laylatul Qadr, hadis-hadis Nabi SAW menyebutkan beberapa tanda yang mungkin dirasakan:
Selain tafsir hukum (fiqh) dan historis, Surah Al-Qadr juga menyimpan dimensi spiritual yang mendalam, terutama dalam tradisi tafsir sufistik.
Dalam perspektif spiritual, Laylatul Qadr adalah Malam Takdir, bukan hanya takdir eksternal (rezeki dan ajal), tetapi juga takdir internal spiritual. Ini adalah malam di mana potensi ruhani seorang hamba dapat diukur dan ditingkatkan. Jika seorang hamba berhasil "menemukan" malam ini melalui keikhlasan yang dalam dan ibadah yang murni, ia akan mengalami penyingkapan spiritual (kasyf) yang akan menuntunnya pada perjalanan spiritual sepanjang tahun.
Laylatul Qadr mengajarkan bahwa nilai seorang manusia (Qadr al-Insan) tidak ditentukan oleh lamanya usia, melainkan oleh kualitas pengabdiannya. Ayat 3 ("lebih baik dari seribu bulan") membalikkan logika duniawi tentang kuantitas waktu, menekankan bahwa satu malam yang dipenuhi kesadaran dan kehadiran hati (hudhur al-qalb) jauh lebih berharga daripada puluhan tahun kelalaian.
Ayat terakhir, 'Salamun hiya...', bukan hanya janji damai eksternal. Secara esoteris, ini adalah gambaran keadaan jiwa seorang hamba yang telah mencapai kedamaian mutlak (salamah) dari semua penyakit hati—dengki, riya, dan kesombongan—sehingga ia benar-benar layak menerima manifestasi cahaya ilahi.
Meskipun singkat, Surah Al-Qadr memiliki kaitan erat dengan beberapa surah lain, menegaskan posisinya dalam narasi Al-Quran.
Allah berfirman dalam Surah Ad-Dukhan: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan."
Para ulama tafsir sepakat bahwa "malam yang diberkahi" yang disebut dalam Ad-Dukhan adalah Laylatul Qadr yang diperkenalkan dalam Surah Al-Qadr. Ini menguatkan konsensus bahwa penurunan Al-Quran secara keseluruhan (dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia) terjadi pada malam tersebut di bulan Ramadan.
Surah Al-Bayyinah berbicara tentang orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan musyrikin yang tidak akan meninggalkan kekafiran mereka sampai datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu Rasulullah SAW dan Al-Quran yang suci.
Al-Qadr berfungsi sebagai pendahuluan yang menjelaskan mengapa bukti tersebut begitu kuat dan tak terbantahkan—karena ia diturunkan pada malam dengan kemuliaan dan kekuasaan tak terbatas, Laylatul Qadr, menegaskan keabsahan dan keagungan risalah Nabi Muhammad SAW.
Untuk memahami sepenuhnya konsep Qadr (takdir) yang disebutkan dalam surah ini, penting untuk membedakan antara jenis-jenis takdir menurut akidah Islam.
Ini adalah ilmu Allah yang abadi dan tercatat di Lauh Mahfuzh, meliputi segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi, sejak sebelum penciptaan alam semesta. Takdir ini mutlak dan tidak berubah.
Inilah yang terjadi pada Laylatul Qadr. Pada malam ini, Allah menampakkan dan memerintahkan perincian takdir yang telah ditetapkan di Lauh Mahfuzh kepada para malaikat. Meskipun takdirnya tidak diubah, proses penampakan dan penyerahannya kepada para pelaksana (malaikat) terjadi pada malam ini.
Kehadiran Laylatul Qadr sebagai malam penetapan takdir tahunan membuka pintu bagi konsep Du'a (doa). Meskipun takdir telah ditetapkan, Allah mengajarkan bahwa doa memiliki kemampuan untuk mengubah takdir yang bersifat mu’allaq (yang bergantung pada syarat), sebagaimana Nabi SAW bersabda, "Tidak ada yang dapat menolak qadha' (ketetapan) kecuali doa."
Oleh karena itu, Laylatul Qadr adalah puncak waktu di mana doa memiliki dampak terbesar, karena ia adalah momen transisi takdir tahunan dari catatan ilahi ke implementasi praktis di bumi.
Surah Al-Qadr menanamkan pemahaman bahwa sumber kemuliaan umat Islam adalah Kitab Suci mereka. Jika malam Laylatul Qadr menjadi mulia karena Al-Quran diturunkan di dalamnya, maka hidup seorang Muslim akan menjadi mulia ketika ia menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidupnya.
Kewajiban seorang Muslim setelah memahami surah ini adalah membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Quran, karena inilah inti dari hadiah yang diturunkan pada Malam Kemuliaan.
Surah ini berfungsi sebagai pengingat tahunan yang kuat untuk tidak menyia-nyiakan sepuluh malam terakhir Ramadan. Dengan adanya janji pahala seribu bulan, surah ini menumbuhkan motivasi luar biasa untuk mencapai puncak spiritualitas di penghujung bulan puasa.
Ayat penutup 'Salamun hiya...' bukan hanya merujuk pada kedamaian spiritual, tetapi juga damai dalam hubungan sosial. Seorang hamba yang hatinya dipenuhi ketenangan ilahi (salam) akan memancarkan kedamaian itu ke lingkungannya. Mencari Laylatul Qadr berarti juga mencari keselamatan bagi diri sendiri, keluarga, dan umat secara keseluruhan, sehingga masyarakat dapat hidup dalam kesejahteraan spiritual dan sosial.
Keseluruhan Surah Al-Qadr mengajarkan sebuah pelajaran fundamental: bahwa Allah SWT telah memberikan kesempatan emas, sebuah tombol 'reset' spiritual tahunan, yang memungkinkan seorang hamba membersihkan diri, meningkatkan derajatnya, dan mendapatkan keutamaan yang melebihi usia normal manusia. Kemuliaan malam tersebut adalah cerminan dari kemuliaan Dzat Yang Menurunkan, kemuliaan Al-Quran yang diturunkan, dan potensi kemuliaan bagi hamba yang menghidupkannya.
Memahami Surah Al-Qadr adalah memahami bahwa spiritualitas sejati terletak pada penanaman kualitas di atas kuantitas, keikhlasan di atas penampilan, dan mengejar Takdir Ilahi yang telah ditetapkan dengan penuh harap dan doa yang tulus.