Tafsir Mendalam Surah Al Lahab (Al Masad)

Kajian Komprehensif Mengenai Makna, Konteks Historis, dan Hikmah Abadi

I. Pendahuluan: Identitas dan Keistimewaan Surah

Ilustrasi Api dan Hancurnya Kesombongan لَهَب

Alt Text: Simbol api yang berkobar (Lahab) di atas dasar hitam, mewakili ancaman dan kehancuran yang dijanjikan dalam surah ini.

Surah Al Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surah Al Masad, merupakan salah satu surah Makkiyah. Ia terdiri dari lima ayat yang singkat namun mengandung kekuatan nubuat yang luar biasa. Dinamakan Al Lahab (Nyala Api) merujuk pada julukan salah satu tokoh antagonis utama dalam sejarah awal Islam, Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, serta merujuk pada hukuman abadi yang menantinya.

Penamaan Al Masad (Tali dari Sabut) diambil dari ayat terakhir, yang secara spesifik menggambarkan bentuk hukuman bagi istri Abu Lahab, Ummu Jamil. Keunikan surah ini terletak pada fokusnya yang tajam: surah ini adalah satu-satunya di dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menyebut dan mengutuk individu tertentu yang masih hidup pada saat wahyu diturunkan. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang menjamin bahwa orang yang dikutuk itu akan mati dalam keadaan kufur, sebuah prediksi yang terbukti kebenarannya dan menjadi mukjizat tersendiri.

Surah Al Lahab diturunkan pada periode awal dakwah di Makkah, ketika kaum Muslimin berada dalam kondisi paling rentan dan menghadapi penganiayaan serta cemoohan terbuka. Konteks surah ini sangat penting dalam memahami pertentangan keras antara kebenaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ dengan kesombongan, kekayaan, dan kekuasaan klan Quraisy yang diwakili oleh Abu Lahab.

Klasifikasi Surah dan Kedudukan di Al-Qur'an

Surah ini merupakan surah ke-111 dalam susunan mushaf, termasuk dalam Juz 'Amma (Juz ke-30). Meskipun pendek, fungsinya sangat krusial sebagai penegasan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia menolak risalah kenabian. Pertalian keluarga antara Nabi Muhammad ﷺ dan pamannya Abu Lahab menjadi ujian bagi prinsip keadilan ilahi yang tidak memihak.

Secara retorika, surah ini menggunakan bahasa yang sangat kuat, dimulai dengan kata seru yang mengandung sumpah kutukan, "Tabbat", yang secara harfiah berarti binasa atau merugi. Analisis mendalam terhadap setiap kata dan frasa dalam surah ini mengungkapkan lapisan makna yang jauh melampaui terjemahan literal, memberikan landasan teologis yang kuat tentang kepastian janji dan azab Allah bagi penentang kebenaran yang keras kepala.

II. Teks Lengkap dan Terjemahan Surah Al Lahab

Surah Al Lahab (Al Masad) - 5 Ayat:

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ

2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (nyala api).

وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ

5. Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipilin).

III. Asbabun Nuzul: Konteks Historis Pewahyuan

Latar belakang pewahyuan Surah Al Lahab adalah salah satu kisah yang paling terkenal dalam sejarah dakwah Islam di Makkah. Kisah ini merupakan titik balik penting dalam dakwah Nabi Muhammad ﷺ dari kerahasiaan menuju keterbukaan (jahr ad-da'wah).

Peristiwa di Bukit Safa (Jabal Shafa)

Setelah tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan risalah secara terang-terangan kepada kaumnya. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menaiki Bukit Safa, sebuah bukit dekat Ka'bah, dan memanggil semua kabilah Quraisy, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adi!" dan seterusnya, hingga mereka semua berkumpul.

Ilustrasi Bukit Safa dan Seruan Kenabian Seruan

Alt Text: Sketsa Bukit Safa dengan siluet seorang pembicara di puncaknya, menggambarkan seruan Nabi Muhammad kepada kaum Quraisy.

Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian dari balik bukit ini? Apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka semua menjawab, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."

Nabi ﷺ kemudian melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang keras."

Reaksi Abu Lahab

Di antara kerumunan yang mendengarkan, hadir paman Nabi Muhammad ﷺ, Abu Lahab (nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muthalib). Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Bani Hasyim dan sangat membenci keponakannya karena risalah yang dibawanya mengancam status quo dan agama nenek moyang mereka. Ketika mendengar seruan itu, Abu Lahab berdiri dan berkata dengan penuh kemarahan dan cemoohan:

"Celakalah kamu (Muhammad) sepanjang hari! Untuk inikah kamu mengumpulkan kami?"

Tindakan Abu Lahab ini bukan sekadar penolakan pribadi; itu adalah penghinaan publik yang bertujuan merusak otoritas kenabian tepat pada momen paling krusial dalam dakwah. Ia memanfaatkan ikatan darahnya untuk memberi pukulan moral terbesar kepada Nabi ﷺ.

Pewahyuan Al Lahab

Sebagai respons langsung terhadap kutukan dan cemoohan Abu Lahab, Surah Al Lahab diturunkan. Surah ini membalikkan kutukan yang dilontarkan oleh Abu Lahab kepada Nabi ﷺ, mengembalikannya kepada dirinya sendiri dan bahkan memperluasnya menjadi kepastian kehancuran abadi. Reaksi ilahi ini menunjukkan bahwa Allah sendiri yang membela utusan-Nya dan tidak akan membiarkan penolakan yang sombong tanpa konsekuensi.

Pewahyuan surah ini pada masa itu memiliki implikasi politis dan spiritual yang besar. Secara politis, itu memecah klan Bani Hasyim, memaksa beberapa anggota yang awalnya netral (seperti Abu Thalib) untuk memberikan perlindungan kepada Nabi ﷺ. Secara spiritual, itu menegaskan bahwa permusuhan yang didasari pada kekufuran akan membawa kehancuran, terlepas dari status sosial atau kekayaan.

IV. Tafsir Mendalam Ayat per Ayat

Untuk memahami sepenuhnya arti Surah Al Lahab, kita perlu menganalisis setiap frasa dengan teliti, menggali interpretasi linguistik dan tafsir dari ulama terdahulu.

Ayat 1: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (Tabbat yadaa Abi Lahabin wa tabb)

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

Analisis Linguistik Kata "Tabbat"

Kata تَبَّتْ (Tabbat) berasal dari akar kata T-B-B, yang memiliki makna kehancuran, kerugian, kebinasaan, atau kekecewaan total. Kata ini digunakan dalam bentuk masa lampau (fi'il madhi), namun dalam konteks ini berfungsi sebagai doa atau sumpah kutukan, yang sekaligus memastikan kepastian peristiwa di masa depan (futuristik).

Makna "Yadaa Abi Lahab" (Kedua Tangan Abu Lahab)

Mengapa Allah hanya menyebut "kedua tangan" (yadaa)? Para mufassir mengajukan beberapa pandangan:

  1. Makna Literal: Abu Lahab menggunakan tangannya untuk melakukan perbuatan buruk, seperti melempar batu atau kotoran kepada Nabi ﷺ, atau untuk mengisyaratkan penolakan dan cemoohan.
  2. Makna Kiasan (Kekuatan dan Kekayaan): Tangan sering kali melambangkan kekuatan, usaha, dan kekuasaan. Orang Arab sering mengatakan bahwa seseorang 'menggunakan tangannya' untuk mencari penghidupan atau meraih kemuliaan. Dengan membinasakan tangannya, berarti membinasakan seluruh usahanya, kekuasaannya, dan sumber hartanya. Ini adalah kehancuran total atas daya upaya duniawinya.
  3. Pengulangan "Wa Tabb" (Dan Sungguh Dia Telah Binasa): Pengulangan kata "tabb" setelah menyebut kedua tangannya memperkuat kutukan tersebut. Yang pertama ("Tabbat Yada") merujuk pada kehancuran usaha dan harapan duniawinya. Yang kedua ("wa tabb") merujuk pada kehancuran dirinya secara keseluruhan di akhirat. Ini menunjukkan kerugian yang bersifat duniawi dan ukhrawi.

Tafsir Imam Ar-Razi menyoroti balaghah (retorika) pengulangan ini: hal itu untuk menegaskan bahwa kebinasaan Abu Lahab bukan hanya sekadar harapan, tetapi adalah janji yang pasti dari Allah, sebuah fakta yang akan terwujud sepenuhnya.

Ayat 2: مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ (Maa aghnaa ‘anhu maaluhu wa maa kasab)

Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).

Makna Kekayaan (Maaluhu)

Ayat ini merujuk langsung pada kesombongan Abu Lahab terhadap kekayaan dan kedudukannya. Di dunia Arab, kekayaan sering menjadi penjamin status dan keselamatan. Namun, Al-Qur'an dengan tegas menolak premis ini, menyatakan bahwa semua harta benda yang ia kumpulkan—termasuk aset dan investasi—tidak akan mampu menolongnya dari azab Allah.

Makna "Wa Maa Kasab" (Dan Apa yang Dia Usahakan)

Frasa وَمَا كَسَبَ (Wa maa kasab) memiliki dua interpretasi utama yang sangat penting dalam tafsir:

  1. Anak-Anak: Mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah, menafsirkan *maa kasab* sebagai merujuk kepada anak-anaknya. Dalam budaya Arab pra-Islam, anak laki-laki dianggap sebagai "usaha" terbesar dan pelindung terkuat bagi ayahnya. Anak-anak Abu Lahab, seperti Utbah dan Utaibah, juga aktif dalam memusuhi Nabi ﷺ. Ayat ini menyatakan bahwa bahkan aset spiritual dan fisik terbesar (keturunan) tidak akan dapat membelanya.
  2. Usaha dan Amal Buruk: Sebagian ulama lain menafsirkan *maa kasab* secara lebih umum sebagai segala perbuatan dan amal yang ia lakukan, termasuk dosa, kemusyrikan, dan penganiayaan terhadap Muslim. Ayat ini menegaskan bahwa segala upaya yang ia lakukan selama hidup (baik itu harta, kedudukan, atau perbuatan) adalah nol dan tidak bernilai di hadapan Allah.

Kesimpulannya, ayat ini membantah fondasi utama kesombongan Quraisy: kekayaan dan keturunan. Kedua hal yang mereka andalkan sebagai penyelamat justru menjadi sia-sia ketika berhadapan dengan murka Ilahi.

Ayat 3: سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Sayashlaa naaran dzaata lahab)

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (nyala api).

Makna "Sayashlaa" (Kelak Dia Akan Masuk)

Penggunaan huruf سَـ (Sa) di awal kata kerja menunjukkan kepastian masa depan yang sangat dekat. Ini adalah janji yang tak terhindarkan. Sayashlaa berarti ia akan memasuki dan merasakan panasnya api itu. Ini menunjukkan penderitaan yang bersifat langsung dan menyeluruh.

Api yang Bergelojak (Naaran Dzaata Lahabin)

Ayat ini menggunakan permainan kata (paronomasia) yang luar biasa: Abu Lahab (Bapak Api/Nyala) akan dilemparkan ke dalam api (naar) yang memiliki nyala (lahab).

"Nama panggilannya di dunia adalah 'Bapak Nyala Api' (Abu Lahab) karena wajahnya yang cerah dan kemerahan. Balasannya di akhirat adalah memasuki 'Api yang Memiliki Nyala' (Naaran Dzaata Lahabin). Kesenjangan antara nyala api duniawinya (status dan penampilan) dan nyala api akhirat (azab) adalah perbedaan antara ilusi dan kenyataan yang menghancurkan."

Nama yang dibanggakannya kini menjadi deskripsi azabnya. Nyala api neraka adalah azab yang sangat spesifik dan personal, disesuaikan dengan julukan dan sifat kesombongannya. Ini adalah salah satu contoh paling kuat dari kesesuaian antara amal (dalam hal ini, penentangan) dan balasan.

Ayat 4: وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ (Wamra’atuhu hammaalatal hatab)

Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Identitas Istri Abu Lahab

Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, nama aslinya Arwa binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan. Ia dikenal sebagai sosok yang setara dalam permusuhannya terhadap Nabi ﷺ. Dia adalah seorang wanita terkemuka dari klan Quraisy, tetapi kekejamannya sebanding dengan suaminya.

Makna "Hammalatal Hatab" (Pembawa Kayu Bakar)

Frasa ini memiliki dua penafsiran utama yang saling melengkapi:

  1. Makna Literal (Duniawi): Ummu Jamil secara aktif dan fisik berusaha menyakiti Nabi ﷺ. Ada riwayat bahwa ia sering membawa ranting-ranting berduri (kayu bakar) dan menaburkannya di jalan yang biasa dilalui Nabi ﷺ, khususnya pada malam hari, dengan tujuan melukai beliau.
  2. Makna Kiasan (Akhlak/Fitnah): Mayoritas ulama tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb, lebih condong pada makna kiasan. Kayu bakar (al-hatab) melambangkan api fitnah (pencemaran nama baik, gosip, dan hasutan). Ummu Jamil adalah seorang penebar fitnah ulung. Ia menyebarkan berita bohong dan hasutan di antara kaum Quraisy untuk memecah belah dan memicu permusuhan terhadap Nabi ﷺ. Dengan demikian, ia adalah seorang "pembawa kayu bakar" yang secara metaforis menyalakan api konflik dan kebencian.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, kedua makna ini diterima. Di akhirat, Ummu Jamil akan memanggul kayu bakar yang sebenarnya, yang akan digunakan untuk menyalakan api neraka suaminya, sebagai balasan yang setimpal atas perannya sebagai penyulut api fitnah di dunia.

Ayat 5: فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ (Fii jiidihaa hablun min masad)

Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipilin).

Makna "Jiidihaa" (Lehernya)

Kata jiid secara spesifik berarti leher, berbeda dengan unuq yang lebih umum. Pemilihan kata ini menambahkan detail visual yang kuat mengenai hukuman spesifiknya.

Makna "Hablun min Masad" (Tali dari Sabut)

Masad adalah tali yang dipilin dengan kuat, terbuat dari serat pohon kurma atau bahan kasar lainnya. Tali jenis ini sangat kasar dan menyakitkan jika digunakan untuk mengikat atau menjerat. Ayat ini menggambarkan hukuman bagi Ummu Jamil dengan detail yang menghinakan.

Penghinaan ini memiliki tiga dimensi:

  1. Konteks Akhirat: Tali tersebut akan menjadi rantai dari api atau besi di neraka yang melilit lehernya, mencerminkan bagaimana ia memanggul beban kayu bakar (atau fitnah) di dunia.
  2. Konteks Duniawi (Ironi): Ummu Jamil adalah wanita bangsawan yang suka memakai kalung mahal dari permata. Ayat ini menyatakan bahwa kemuliaan duniawinya akan digantikan dengan kalung yang paling hina dan menyakitkan—tali kasar dari sabut. Ini adalah ironi ilahi yang menelanjangi kesombongan materialistisnya.
  3. Sesuai dengan Kejahatan: Karena ia memanggul kayu bakar (baik secara harfiah maupun kiasan) dan berusaha menjerat Nabi ﷺ dalam kesulitan, ia akan dijerat oleh tali yang kasar sebagai balasan.

Surah ini, dengan lima ayatnya yang ringkas, menutup kisah permusuhan ini dengan deskripsi azab yang sangat visual dan personal, memastikan bahwa ancaman ini tidak hanya berlaku bagi Abu Lahab tetapi juga bagi siapa saja yang menentang kebenaran dengan kekerasan, fitnah, dan kesombongan.

V. Pelajaran dan Hikmah Teologis

Surah Al Lahab menawarkan sejumlah pelajaran teologis, moral, dan spiritual yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar kutukan historis terhadap dua individu tertentu.

1. Penolakan terhadap Kekuatan Ikatan Darah yang Bertentangan dengan Iman

Abu Lahab adalah paman Nabi ﷺ, anggota terdekat dari garis keturunan Hasyim. Dalam masyarakat Arab, ikatan keluarga adalah segalanya. Namun, surah ini mengajarkan bahwa dalam Islam, ikatan iman melampaui ikatan darah. Ketika permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya telah mencapai puncaknya, bahkan hubungan kekeluargaan yang paling dekat pun tidak akan memberikan perlindungan atau syafaat. Kekufuran memutus semua hubungan yang bernilai di hadapan Allah.

2. Kepastian Nubuat Ilahi (Mukjizat Surah)

Surah Al Lahab adalah bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini diturunkan di saat Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan berada di puncak kekuatan mereka. Surah ini memprediksi dua hal secara pasti:

  1. Abu Lahab pasti akan binasa di dunia (secara moral dan spiritual).
  2. Abu Lahab pasti akan mati dalam keadaan kufur dan memasuki neraka.

Selama bertahun-tahun setelah wahyu ini diturunkan, Abu Lahab memiliki kesempatan penuh untuk membuktikan Al-Qur'an salah, cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, meskipun hanya pura-pura (munafik). Namun, ia tidak pernah melakukannya. Ia meninggal setelah Perang Badar karena penyakit yang mematikan, terasing dan dihindari, persis seperti yang diprediksi oleh surah ini. Hal ini menegaskan bahwa janji dan ancaman Allah adalah kepastian absolut.

3. Kehinaan Kekayaan dan Kekuasaan Tanpa Iman

Ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan") adalah pelajaran keras bagi materialisme. Abu Lahab mungkin kaya, berkuasa, dan memiliki anak-anak yang dihormati, tetapi semua itu tidak dapat menyelamatkannya dari kerugian abadi. Ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup bukanlah mengumpulkan aset duniawi, melainkan mengumpulkan bekal akhirat. Harta hanya bernilai jika digunakan di jalan Allah.

4. Keadilan Ilahi yang Meliputi Semua Pelaku Kejahatan

Surah ini tidak hanya menghukum Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Ummu Jamil. Ini mengajarkan prinsip keadilan yang universal: hukuman diberikan berdasarkan perbuatan individu, tanpa memandang gender atau status sosial. Ummu Jamil dihukum secara spesifik karena perannya sebagai "Hammalatal Hatab" (penyebar fitnah), menunjukkan bahwa kejahatan lisan dan merusak reputasi (fitnah dan namimah) adalah dosa besar yang membawa azab spesifik.

Dengan menanggapi peran spesifik Ummu Jamil dalam penyebaran fitnah dan kerusakan, Surah Al Lahab memberikan peringatan serius terhadap mereka yang menggunakan kata-kata mereka untuk menyalakan api permusuhan di tengah masyarakat. Tindakan mengadu domba, menjelek-jelekkan, atau menyebar kebohongan (ghibah dan namimah) dianggap setara dengan membawa kayu bakar ke dalam api neraka.

5. Kepastian Kekalahan bagi Musuh Kebenaran

Dalam konteks Makkah yang sulit, surah ini memberikan penghiburan yang besar bagi Nabi ﷺ dan para sahabat yang tertindas. Meskipun musuh-musuh tampak kuat, kaya, dan berkuasa, Allah menjamin kehancuran mereka. Surah ini memberikan kepastian psikologis dan spiritual bahwa pertarungan antara kebenaran dan kebatilan memiliki hasil yang sudah ditetapkan oleh takdir Ilahi.

6. Detail Azab sebagai Cerminan Perbuatan

Hukuman yang dijabarkan dalam ayat 3 dan 5 adalah hukuman yang sangat terpersonalisasi:

Hal ini menunjukkan bahwa di Hari Kiamat, azab yang diterima akan sangat sesuai dengan sifat dosa yang dilakukan di dunia, menekankan prinsip timbal balik yang sempurna dalam sistem keadilan Allah.

VI. Analisis Retorika (Balaghah) Surah Al Lahab

Surah Al Lahab, meski singkat, adalah salah satu contoh terkuat balaghah Al-Qur'an, yang menggunakan perangkat linguistik untuk mencapai dampak maksimal.

1. I'jaz al-Ghayb (Mukjizat Prediksi)

Sebagaimana telah dibahas, janji bahwa Abu Lahab akan binasa dalam kekufuran dan memasuki neraka adalah sebuah mukjizat kenabian yang terbukti secara historis. Ini adalah salah satu bukti terkuat bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah, bukan perkataan manusia, karena memprediksi peristiwa yang berada di luar pengetahuan manusia (ghaib) dengan akurasi 100%.

2. Struktur Simetris (Muqabalah)

Surah ini dibangun di atas kontras dan simetri yang tajam, terutama dalam penggunaan kata api:

Kontras ini menekankan ironi yang menghancurkan bagi Abu Lahab. Nama yang ia anggap kehormatan justru menjadi label kehinaan abadi.

3. Penggunaan Metafora (Istia’rah) dalam Hukuman Istri

Metafora "Hammalatal Hatab" (Pembawa kayu bakar) adalah istia’rah (metafora) yang sangat efektif. Ia langsung menggambarkan kejahatan lisan (fitnah) Ummu Jamil dengan gambaran fisik yang kasar. Ia adalah wanita bangsawan, namun tindakannya disamakan dengan pekerjaan kasar memanggul kayu bakar. Ini adalah teknik merendahkan (tahqir) yang sangat efektif.

Tali dari sabut (Masad) adalah metafora bagi kehinaan yang menggantikan perhiasan. Dalam Tafsir Zamakhshari (Al-Kashshaf), ditekankan bahwa penggambaran ini sangat kuat karena membandingkan kemuliaan palsu dunia dengan kehinaan mutlak di akhirat.

4. Pengulangan Tabbat (At-Tikrar)

Pengulangan "Tabbat yadaa Abi Lahabin wa tabb" memperkuat tekad ilahi. Pengulangan ini juga berfungsi sebagai teknik balaghah yang disebut Ithnab (perpanjangan atau perluasan makna), memastikan bahwa makna kehancuran dipahami dalam dimensi fisik (tangan/usaha) dan spiritual (dirinya sendiri).

Menurut Al-Jurjani dalam *Dala'il al-I'jaz*, penggunaan bentuk lampau pada "Tabbat" dan "wa tabb" memberikan kesan bahwa kebinasaan itu sudah terjadi dan tidak dapat dihindari, seolah-olah subjek telah mati dan berada di neraka, bahkan saat surah itu baru saja diwahyukan. Ini menghasilkan kekuatan retorika yang luar biasa, mengubah ancaman menjadi deklarasi yang pasti.

5. Kekuatan Penolakan Harta Benda (Nafy al-Ghina)

Ayat kedua menggunakan bentuk penolakan total (Maa aghnaa) untuk menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat membantu Abu Lahab. Penekanan pada harta benda dan usaha ("maa kasab") secara linguistik mencakup segala sesuatu yang dianggap berharga oleh manusia, namun ditegaskan bahwa semua itu nihil di hadapan kehendak Allah. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran Jahiliyah yang menempatkan kekayaan di atas keimanan.

VII. Perbandingan Tafsir Klasik dan Modern

Meskipun Surah Al Lahab adalah salah satu surah yang paling jelas maknanya, para ulama tafsir telah memberikan nuansa yang memperkaya pemahaman kita terhadap ancaman dan janji ilahi di dalamnya.

1. Tafsir Ibn Katsir (Klasik)

Imam Ibn Katsir sangat berpegang teguh pada riwayat Asbabun Nuzul yang shahih, yaitu kisah Bukit Safa. Fokus utamanya adalah membuktikan kenabian melalui pemenuhan janji hukuman. Terkait "Hammalatal Hatab," Ibn Katsir cenderung menerima kedua makna: literal (membawa kayu bakar berduri untuk menyakiti Nabi) dan kiasan (menyebar fitnah). Dalam pandangannya, hukuman di akhirat (tali dari sabut) adalah balasan material yang spesifik terhadap perbuatan fisik dan moralnya di dunia.

2. Tafsir Al-Qurtubi (Hukum dan Fiqh)

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya, *Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an*, membahas aspek hukum yang tersirat. Ia menekankan bahwa Surah Al Lahab adalah dasar teologis untuk membenarkan pemutusan hubungan (al-wala’ wal-bara’) dengan orang kafir yang memusuhi Islam, meskipun mereka adalah kerabat terdekat. Al-Qurtubi juga membahas secara mendalam kenapa kata *yad* (tangan) dipilih, menguatkan bahwa hal itu merujuk pada segala usaha dan pekerjaan duniawi Abu Lahab.

3. Tafsir Ar-Razi (Rasional dan Linguistik)

Imam Fakhruddin Ar-Razi (m. 1210 M) dalam *Mafatih al-Ghayb* (Kunci-kunci Ghaib) memberikan analisis linguistik dan rasional yang sangat detail. Ar-Razi fokus pada bagaimana "Tabbat" berfungsi sebagai prediksi psikologis yang menyebabkan Abu Lahab tidak dapat menerima Islam. Dia berpendapat bahwa setelah ancaman ini diturunkan, Abu Lahab secara psikologis terhalang oleh rasa malu dan harga diri untuk memeluk Islam, karena hal itu akan berarti mengakui kekalahan mutlak terhadap nubuat Al-Qur’an. Dengan demikian, ancaman itu sendiri adalah bagian dari azabnya di dunia.

4. Tafsir Sayyid Qutb (Kontemporer dan Semiotik)

Sayyid Qutb dalam *Fi Zhilal al-Qur’an* (Di Bawah Naungan Al-Qur'an) menempatkan surah ini dalam konteks perjuangan. Ia menekankan bahwa surah ini adalah pernyataan bahwa perjuangan melawan musuh-musuh Islam tidak akan pernah sia-sia. Qutb sangat kuat mendukung interpretasi kiasan untuk "Hammalatal Hatab," melihatnya sebagai simbol penyebar kebencian dan fitnah, sebuah ancaman yang relevan di setiap zaman. Qutb melihat seluruh surah sebagai pukulan telak yang meruntuhkan kekuatan psikologis dan moral para penentang Islam di Makkah.

VIII. Relevansi Surah Al Lahab di Era Kontemporer

Meskipun Surah Al Lahab secara spesifik menargetkan individu historis, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki aplikasi universal dan abadi bagi umat Islam modern.

1. Peringatan Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan dan Kekayaan

Abu Lahab mewakili prototipe penguasa yang sombong, yang menggunakan kekayaan dan status sosialnya (maaluhu wa maa kasab) untuk menindas kebenaran dan melecehkan orang-orang yang jujur. Di era modern, peringatan ini ditujukan kepada siapa saja yang menyalahgunakan platform, modal, atau posisi kekuasaan mereka untuk menentang nilai-nilai keadilan dan kebenaran, percaya bahwa kekayaan mereka akan melindungi mereka dari pertanggungjawaban etis atau ilahi.

2. Pertanggungjawaban atas Fitnah dan Berita Bohong

Perlakuan terhadap Ummu Jamil sebagai "Hammalatal Hatab" (pembawa kayu bakar) memberikan pelajaran krusial di zaman informasi yang serba cepat. Di era media sosial dan berita palsu (hoax), peran menyebarkan fitnah dan hasutan menjadi lebih mudah dan merusak. Ummu Jamil adalah personifikasi dari penyebar narasi kebencian. Surah ini mengingatkan bahwa mereka yang menyalakan api fitnah (kebencian, adu domba) akan menerima hukuman yang sesuai dengan perbuatan mereka, yaitu memanggul beban yang menyakitkan di akhirat.

3. Penegasan Prinsip Al-Wala’ Wal-Bara’ (Loyalitas dan Pelepasan)

Surah ini mengajarkan bahwa loyalitas utama seorang Muslim harus selalu kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika ada konflik antara ikatan keluarga atau suku dengan ikatan akidah, maka akidah harus diutamakan. Meskipun kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada kerabat, dukungan terhadap kekufuran dan kezaliman tidak dapat ditoleransi. Hal ini mendasari bagaimana seorang Muslim harus bersikap dalam menghadapi kerabat atau anggota komunitas yang secara terbuka menentang kebenaran.

4. Pentingnya Ketegasan dalam Dakwah

Respons ilahi melalui Surah Al Lahab menunjukkan bahwa dalam menghadapi penentangan yang kasar dan merendahkan, ketegasan dan kejelasan diperlukan. Nabi Muhammad ﷺ tidak membalas dengan kata-kata kotor, tetapi Allah membalasnya dengan firman yang pasti dan menghancurkan secara moral. Ini adalah model bagi para da’i: dalam menghadapi fitnah, kebenaran (wahyu) adalah senjata paling kuat.

Surah Al Lahab, dalam kesederhanaannya yang struktural, menyajikan gambaran yang kompleks mengenai keadilan ilahi, yang tidak mengenal kompromi terhadap kesombongan yang menolak kebenaran, bahkan jika penolakan itu datang dari lingkaran keluarga terdekat Nabi ﷺ. Ini memastikan bahwa fondasi Islam dibangun di atas keimanan yang tulus, bukan pada kekuasaan politik atau perlindungan suku.

IX. Kesimpulan: Makna Abadi Surah Al Lahab

Surah Al Lahab adalah permulaan dari konfrontasi total antara Cahaya dan Kegelapan dalam sejarah Islam. Arti mendalam dari Surah Al Lahab adalah sebuah proklamasi ilahi yang menjamin kehancuran bagi setiap individu yang menentang kebenaran dengan tangan, harta, dan lidah mereka.

Dari segi makna, surah ini mengajarkan kita tentang kerugian total yang menanti orang-orang yang memilih kekufuran dan kesombongan. Kerugian ini mencakup hilangnya usaha duniawi ("yadaa"), sia-sianya harta dan keturunan ("maa aghnaa"), dan kepastian azab abadi ("sayashlaa"). Sementara itu, hukuman bagi istri Abu Lahab menekankan betapa seriusnya dosa lisan (fitnah) di mata Allah.

Dalam sejarah, surah ini menjadi penanda bahwa meskipun Nabi Muhammad ﷺ menghadapi tekanan yang tak tertandingi, Allah adalah pelindungnya dan penjamin kemenangan-Nya. Dalam konteks spiritual modern, surah ini menjadi pengingat abadi bahwa kekayaan dan kekuasaan hanyalah ilusi yang fana, dan hanya keimanan tulus yang dapat menyelamatkan seseorang dari kerugian yang bersifat abadi.

Surah Al Lahab, atau Al Masad, tetap menjadi salah satu permata Al-Qur’an yang paling kuat, mengingatkan seluruh umat manusia bahwa takdir seorang penentang kebenaran sudah pasti: kebinasaan total di dunia dan azab yang spesifik di akhirat.

🏠 Homepage