Kajian Komprehensif Mengenai Makna, Konteks Historis, dan Hikmah Abadi
Alt Text: Simbol api yang berkobar (Lahab) di atas dasar hitam, mewakili ancaman dan kehancuran yang dijanjikan dalam surah ini.
Surah Al Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surah Al Masad, merupakan salah satu surah Makkiyah. Ia terdiri dari lima ayat yang singkat namun mengandung kekuatan nubuat yang luar biasa. Dinamakan Al Lahab (Nyala Api) merujuk pada julukan salah satu tokoh antagonis utama dalam sejarah awal Islam, Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, serta merujuk pada hukuman abadi yang menantinya.
Penamaan Al Masad (Tali dari Sabut) diambil dari ayat terakhir, yang secara spesifik menggambarkan bentuk hukuman bagi istri Abu Lahab, Ummu Jamil. Keunikan surah ini terletak pada fokusnya yang tajam: surah ini adalah satu-satunya di dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menyebut dan mengutuk individu tertentu yang masih hidup pada saat wahyu diturunkan. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang menjamin bahwa orang yang dikutuk itu akan mati dalam keadaan kufur, sebuah prediksi yang terbukti kebenarannya dan menjadi mukjizat tersendiri.
Surah Al Lahab diturunkan pada periode awal dakwah di Makkah, ketika kaum Muslimin berada dalam kondisi paling rentan dan menghadapi penganiayaan serta cemoohan terbuka. Konteks surah ini sangat penting dalam memahami pertentangan keras antara kebenaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ dengan kesombongan, kekayaan, dan kekuasaan klan Quraisy yang diwakili oleh Abu Lahab.
Surah ini merupakan surah ke-111 dalam susunan mushaf, termasuk dalam Juz 'Amma (Juz ke-30). Meskipun pendek, fungsinya sangat krusial sebagai penegasan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia menolak risalah kenabian. Pertalian keluarga antara Nabi Muhammad ﷺ dan pamannya Abu Lahab menjadi ujian bagi prinsip keadilan ilahi yang tidak memihak.
Secara retorika, surah ini menggunakan bahasa yang sangat kuat, dimulai dengan kata seru yang mengandung sumpah kutukan, "Tabbat", yang secara harfiah berarti binasa atau merugi. Analisis mendalam terhadap setiap kata dan frasa dalam surah ini mengungkapkan lapisan makna yang jauh melampaui terjemahan literal, memberikan landasan teologis yang kuat tentang kepastian janji dan azab Allah bagi penentang kebenaran yang keras kepala.
Surah Al Lahab (Al Masad) - 5 Ayat:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (nyala api).
4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
5. Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipilin).
Latar belakang pewahyuan Surah Al Lahab adalah salah satu kisah yang paling terkenal dalam sejarah dakwah Islam di Makkah. Kisah ini merupakan titik balik penting dalam dakwah Nabi Muhammad ﷺ dari kerahasiaan menuju keterbukaan (jahr ad-da'wah).
Setelah tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan risalah secara terang-terangan kepada kaumnya. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menaiki Bukit Safa, sebuah bukit dekat Ka'bah, dan memanggil semua kabilah Quraisy, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adi!" dan seterusnya, hingga mereka semua berkumpul.
Alt Text: Sketsa Bukit Safa dengan siluet seorang pembicara di puncaknya, menggambarkan seruan Nabi Muhammad kepada kaum Quraisy.
Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian dari balik bukit ini? Apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka semua menjawab, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Nabi ﷺ kemudian melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang keras."
Di antara kerumunan yang mendengarkan, hadir paman Nabi Muhammad ﷺ, Abu Lahab (nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muthalib). Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Bani Hasyim dan sangat membenci keponakannya karena risalah yang dibawanya mengancam status quo dan agama nenek moyang mereka. Ketika mendengar seruan itu, Abu Lahab berdiri dan berkata dengan penuh kemarahan dan cemoohan:
"Celakalah kamu (Muhammad) sepanjang hari! Untuk inikah kamu mengumpulkan kami?"
Tindakan Abu Lahab ini bukan sekadar penolakan pribadi; itu adalah penghinaan publik yang bertujuan merusak otoritas kenabian tepat pada momen paling krusial dalam dakwah. Ia memanfaatkan ikatan darahnya untuk memberi pukulan moral terbesar kepada Nabi ﷺ.
Sebagai respons langsung terhadap kutukan dan cemoohan Abu Lahab, Surah Al Lahab diturunkan. Surah ini membalikkan kutukan yang dilontarkan oleh Abu Lahab kepada Nabi ﷺ, mengembalikannya kepada dirinya sendiri dan bahkan memperluasnya menjadi kepastian kehancuran abadi. Reaksi ilahi ini menunjukkan bahwa Allah sendiri yang membela utusan-Nya dan tidak akan membiarkan penolakan yang sombong tanpa konsekuensi.
Pewahyuan surah ini pada masa itu memiliki implikasi politis dan spiritual yang besar. Secara politis, itu memecah klan Bani Hasyim, memaksa beberapa anggota yang awalnya netral (seperti Abu Thalib) untuk memberikan perlindungan kepada Nabi ﷺ. Secara spiritual, itu menegaskan bahwa permusuhan yang didasari pada kekufuran akan membawa kehancuran, terlepas dari status sosial atau kekayaan.
Untuk memahami sepenuhnya arti Surah Al Lahab, kita perlu menganalisis setiap frasa dengan teliti, menggali interpretasi linguistik dan tafsir dari ulama terdahulu.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Kata تَبَّتْ (Tabbat) berasal dari akar kata T-B-B, yang memiliki makna kehancuran, kerugian, kebinasaan, atau kekecewaan total. Kata ini digunakan dalam bentuk masa lampau (fi'il madhi), namun dalam konteks ini berfungsi sebagai doa atau sumpah kutukan, yang sekaligus memastikan kepastian peristiwa di masa depan (futuristik).
Mengapa Allah hanya menyebut "kedua tangan" (yadaa)? Para mufassir mengajukan beberapa pandangan:
Tafsir Imam Ar-Razi menyoroti balaghah (retorika) pengulangan ini: hal itu untuk menegaskan bahwa kebinasaan Abu Lahab bukan hanya sekadar harapan, tetapi adalah janji yang pasti dari Allah, sebuah fakta yang akan terwujud sepenuhnya.
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).
Ayat ini merujuk langsung pada kesombongan Abu Lahab terhadap kekayaan dan kedudukannya. Di dunia Arab, kekayaan sering menjadi penjamin status dan keselamatan. Namun, Al-Qur'an dengan tegas menolak premis ini, menyatakan bahwa semua harta benda yang ia kumpulkan—termasuk aset dan investasi—tidak akan mampu menolongnya dari azab Allah.
Frasa وَمَا كَسَبَ (Wa maa kasab) memiliki dua interpretasi utama yang sangat penting dalam tafsir:
Kesimpulannya, ayat ini membantah fondasi utama kesombongan Quraisy: kekayaan dan keturunan. Kedua hal yang mereka andalkan sebagai penyelamat justru menjadi sia-sia ketika berhadapan dengan murka Ilahi.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (nyala api).
Penggunaan huruf سَـ (Sa) di awal kata kerja menunjukkan kepastian masa depan yang sangat dekat. Ini adalah janji yang tak terhindarkan. Sayashlaa berarti ia akan memasuki dan merasakan panasnya api itu. Ini menunjukkan penderitaan yang bersifat langsung dan menyeluruh.
Ayat ini menggunakan permainan kata (paronomasia) yang luar biasa: Abu Lahab (Bapak Api/Nyala) akan dilemparkan ke dalam api (naar) yang memiliki nyala (lahab).
"Nama panggilannya di dunia adalah 'Bapak Nyala Api' (Abu Lahab) karena wajahnya yang cerah dan kemerahan. Balasannya di akhirat adalah memasuki 'Api yang Memiliki Nyala' (Naaran Dzaata Lahabin). Kesenjangan antara nyala api duniawinya (status dan penampilan) dan nyala api akhirat (azab) adalah perbedaan antara ilusi dan kenyataan yang menghancurkan."
Nama yang dibanggakannya kini menjadi deskripsi azabnya. Nyala api neraka adalah azab yang sangat spesifik dan personal, disesuaikan dengan julukan dan sifat kesombongannya. Ini adalah salah satu contoh paling kuat dari kesesuaian antara amal (dalam hal ini, penentangan) dan balasan.
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, nama aslinya Arwa binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan. Ia dikenal sebagai sosok yang setara dalam permusuhannya terhadap Nabi ﷺ. Dia adalah seorang wanita terkemuka dari klan Quraisy, tetapi kekejamannya sebanding dengan suaminya.
Frasa ini memiliki dua penafsiran utama yang saling melengkapi:
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, kedua makna ini diterima. Di akhirat, Ummu Jamil akan memanggul kayu bakar yang sebenarnya, yang akan digunakan untuk menyalakan api neraka suaminya, sebagai balasan yang setimpal atas perannya sebagai penyulut api fitnah di dunia.
Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipilin).
Kata jiid secara spesifik berarti leher, berbeda dengan unuq yang lebih umum. Pemilihan kata ini menambahkan detail visual yang kuat mengenai hukuman spesifiknya.
Masad adalah tali yang dipilin dengan kuat, terbuat dari serat pohon kurma atau bahan kasar lainnya. Tali jenis ini sangat kasar dan menyakitkan jika digunakan untuk mengikat atau menjerat. Ayat ini menggambarkan hukuman bagi Ummu Jamil dengan detail yang menghinakan.
Penghinaan ini memiliki tiga dimensi:
Surah ini, dengan lima ayatnya yang ringkas, menutup kisah permusuhan ini dengan deskripsi azab yang sangat visual dan personal, memastikan bahwa ancaman ini tidak hanya berlaku bagi Abu Lahab tetapi juga bagi siapa saja yang menentang kebenaran dengan kekerasan, fitnah, dan kesombongan.
Surah Al Lahab menawarkan sejumlah pelajaran teologis, moral, dan spiritual yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar kutukan historis terhadap dua individu tertentu.
Abu Lahab adalah paman Nabi ﷺ, anggota terdekat dari garis keturunan Hasyim. Dalam masyarakat Arab, ikatan keluarga adalah segalanya. Namun, surah ini mengajarkan bahwa dalam Islam, ikatan iman melampaui ikatan darah. Ketika permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya telah mencapai puncaknya, bahkan hubungan kekeluargaan yang paling dekat pun tidak akan memberikan perlindungan atau syafaat. Kekufuran memutus semua hubungan yang bernilai di hadapan Allah.
Surah Al Lahab adalah bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini diturunkan di saat Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan berada di puncak kekuatan mereka. Surah ini memprediksi dua hal secara pasti:
Selama bertahun-tahun setelah wahyu ini diturunkan, Abu Lahab memiliki kesempatan penuh untuk membuktikan Al-Qur'an salah, cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, meskipun hanya pura-pura (munafik). Namun, ia tidak pernah melakukannya. Ia meninggal setelah Perang Badar karena penyakit yang mematikan, terasing dan dihindari, persis seperti yang diprediksi oleh surah ini. Hal ini menegaskan bahwa janji dan ancaman Allah adalah kepastian absolut.
Ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan") adalah pelajaran keras bagi materialisme. Abu Lahab mungkin kaya, berkuasa, dan memiliki anak-anak yang dihormati, tetapi semua itu tidak dapat menyelamatkannya dari kerugian abadi. Ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup bukanlah mengumpulkan aset duniawi, melainkan mengumpulkan bekal akhirat. Harta hanya bernilai jika digunakan di jalan Allah.
Surah ini tidak hanya menghukum Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Ummu Jamil. Ini mengajarkan prinsip keadilan yang universal: hukuman diberikan berdasarkan perbuatan individu, tanpa memandang gender atau status sosial. Ummu Jamil dihukum secara spesifik karena perannya sebagai "Hammalatal Hatab" (penyebar fitnah), menunjukkan bahwa kejahatan lisan dan merusak reputasi (fitnah dan namimah) adalah dosa besar yang membawa azab spesifik.
Dengan menanggapi peran spesifik Ummu Jamil dalam penyebaran fitnah dan kerusakan, Surah Al Lahab memberikan peringatan serius terhadap mereka yang menggunakan kata-kata mereka untuk menyalakan api permusuhan di tengah masyarakat. Tindakan mengadu domba, menjelek-jelekkan, atau menyebar kebohongan (ghibah dan namimah) dianggap setara dengan membawa kayu bakar ke dalam api neraka.
Dalam konteks Makkah yang sulit, surah ini memberikan penghiburan yang besar bagi Nabi ﷺ dan para sahabat yang tertindas. Meskipun musuh-musuh tampak kuat, kaya, dan berkuasa, Allah menjamin kehancuran mereka. Surah ini memberikan kepastian psikologis dan spiritual bahwa pertarungan antara kebenaran dan kebatilan memiliki hasil yang sudah ditetapkan oleh takdir Ilahi.
Hukuman yang dijabarkan dalam ayat 3 dan 5 adalah hukuman yang sangat terpersonalisasi:
Hal ini menunjukkan bahwa di Hari Kiamat, azab yang diterima akan sangat sesuai dengan sifat dosa yang dilakukan di dunia, menekankan prinsip timbal balik yang sempurna dalam sistem keadilan Allah.
Surah Al Lahab, meski singkat, adalah salah satu contoh terkuat balaghah Al-Qur'an, yang menggunakan perangkat linguistik untuk mencapai dampak maksimal.
Sebagaimana telah dibahas, janji bahwa Abu Lahab akan binasa dalam kekufuran dan memasuki neraka adalah sebuah mukjizat kenabian yang terbukti secara historis. Ini adalah salah satu bukti terkuat bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah, bukan perkataan manusia, karena memprediksi peristiwa yang berada di luar pengetahuan manusia (ghaib) dengan akurasi 100%.
Surah ini dibangun di atas kontras dan simetri yang tajam, terutama dalam penggunaan kata api:
Kontras ini menekankan ironi yang menghancurkan bagi Abu Lahab. Nama yang ia anggap kehormatan justru menjadi label kehinaan abadi.
Metafora "Hammalatal Hatab" (Pembawa kayu bakar) adalah istia’rah (metafora) yang sangat efektif. Ia langsung menggambarkan kejahatan lisan (fitnah) Ummu Jamil dengan gambaran fisik yang kasar. Ia adalah wanita bangsawan, namun tindakannya disamakan dengan pekerjaan kasar memanggul kayu bakar. Ini adalah teknik merendahkan (tahqir) yang sangat efektif.
Tali dari sabut (Masad) adalah metafora bagi kehinaan yang menggantikan perhiasan. Dalam Tafsir Zamakhshari (Al-Kashshaf), ditekankan bahwa penggambaran ini sangat kuat karena membandingkan kemuliaan palsu dunia dengan kehinaan mutlak di akhirat.
Pengulangan "Tabbat yadaa Abi Lahabin wa tabb" memperkuat tekad ilahi. Pengulangan ini juga berfungsi sebagai teknik balaghah yang disebut Ithnab (perpanjangan atau perluasan makna), memastikan bahwa makna kehancuran dipahami dalam dimensi fisik (tangan/usaha) dan spiritual (dirinya sendiri).
Menurut Al-Jurjani dalam *Dala'il al-I'jaz*, penggunaan bentuk lampau pada "Tabbat" dan "wa tabb" memberikan kesan bahwa kebinasaan itu sudah terjadi dan tidak dapat dihindari, seolah-olah subjek telah mati dan berada di neraka, bahkan saat surah itu baru saja diwahyukan. Ini menghasilkan kekuatan retorika yang luar biasa, mengubah ancaman menjadi deklarasi yang pasti.
Ayat kedua menggunakan bentuk penolakan total (Maa aghnaa) untuk menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat membantu Abu Lahab. Penekanan pada harta benda dan usaha ("maa kasab") secara linguistik mencakup segala sesuatu yang dianggap berharga oleh manusia, namun ditegaskan bahwa semua itu nihil di hadapan kehendak Allah. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran Jahiliyah yang menempatkan kekayaan di atas keimanan.
Meskipun Surah Al Lahab adalah salah satu surah yang paling jelas maknanya, para ulama tafsir telah memberikan nuansa yang memperkaya pemahaman kita terhadap ancaman dan janji ilahi di dalamnya.
Imam Ibn Katsir sangat berpegang teguh pada riwayat Asbabun Nuzul yang shahih, yaitu kisah Bukit Safa. Fokus utamanya adalah membuktikan kenabian melalui pemenuhan janji hukuman. Terkait "Hammalatal Hatab," Ibn Katsir cenderung menerima kedua makna: literal (membawa kayu bakar berduri untuk menyakiti Nabi) dan kiasan (menyebar fitnah). Dalam pandangannya, hukuman di akhirat (tali dari sabut) adalah balasan material yang spesifik terhadap perbuatan fisik dan moralnya di dunia.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya, *Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an*, membahas aspek hukum yang tersirat. Ia menekankan bahwa Surah Al Lahab adalah dasar teologis untuk membenarkan pemutusan hubungan (al-wala’ wal-bara’) dengan orang kafir yang memusuhi Islam, meskipun mereka adalah kerabat terdekat. Al-Qurtubi juga membahas secara mendalam kenapa kata *yad* (tangan) dipilih, menguatkan bahwa hal itu merujuk pada segala usaha dan pekerjaan duniawi Abu Lahab.
Imam Fakhruddin Ar-Razi (m. 1210 M) dalam *Mafatih al-Ghayb* (Kunci-kunci Ghaib) memberikan analisis linguistik dan rasional yang sangat detail. Ar-Razi fokus pada bagaimana "Tabbat" berfungsi sebagai prediksi psikologis yang menyebabkan Abu Lahab tidak dapat menerima Islam. Dia berpendapat bahwa setelah ancaman ini diturunkan, Abu Lahab secara psikologis terhalang oleh rasa malu dan harga diri untuk memeluk Islam, karena hal itu akan berarti mengakui kekalahan mutlak terhadap nubuat Al-Qur’an. Dengan demikian, ancaman itu sendiri adalah bagian dari azabnya di dunia.
Sayyid Qutb dalam *Fi Zhilal al-Qur’an* (Di Bawah Naungan Al-Qur'an) menempatkan surah ini dalam konteks perjuangan. Ia menekankan bahwa surah ini adalah pernyataan bahwa perjuangan melawan musuh-musuh Islam tidak akan pernah sia-sia. Qutb sangat kuat mendukung interpretasi kiasan untuk "Hammalatal Hatab," melihatnya sebagai simbol penyebar kebencian dan fitnah, sebuah ancaman yang relevan di setiap zaman. Qutb melihat seluruh surah sebagai pukulan telak yang meruntuhkan kekuatan psikologis dan moral para penentang Islam di Makkah.
Meskipun Surah Al Lahab secara spesifik menargetkan individu historis, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki aplikasi universal dan abadi bagi umat Islam modern.
Abu Lahab mewakili prototipe penguasa yang sombong, yang menggunakan kekayaan dan status sosialnya (maaluhu wa maa kasab) untuk menindas kebenaran dan melecehkan orang-orang yang jujur. Di era modern, peringatan ini ditujukan kepada siapa saja yang menyalahgunakan platform, modal, atau posisi kekuasaan mereka untuk menentang nilai-nilai keadilan dan kebenaran, percaya bahwa kekayaan mereka akan melindungi mereka dari pertanggungjawaban etis atau ilahi.
Perlakuan terhadap Ummu Jamil sebagai "Hammalatal Hatab" (pembawa kayu bakar) memberikan pelajaran krusial di zaman informasi yang serba cepat. Di era media sosial dan berita palsu (hoax), peran menyebarkan fitnah dan hasutan menjadi lebih mudah dan merusak. Ummu Jamil adalah personifikasi dari penyebar narasi kebencian. Surah ini mengingatkan bahwa mereka yang menyalakan api fitnah (kebencian, adu domba) akan menerima hukuman yang sesuai dengan perbuatan mereka, yaitu memanggul beban yang menyakitkan di akhirat.
Surah ini mengajarkan bahwa loyalitas utama seorang Muslim harus selalu kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika ada konflik antara ikatan keluarga atau suku dengan ikatan akidah, maka akidah harus diutamakan. Meskipun kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada kerabat, dukungan terhadap kekufuran dan kezaliman tidak dapat ditoleransi. Hal ini mendasari bagaimana seorang Muslim harus bersikap dalam menghadapi kerabat atau anggota komunitas yang secara terbuka menentang kebenaran.
Respons ilahi melalui Surah Al Lahab menunjukkan bahwa dalam menghadapi penentangan yang kasar dan merendahkan, ketegasan dan kejelasan diperlukan. Nabi Muhammad ﷺ tidak membalas dengan kata-kata kotor, tetapi Allah membalasnya dengan firman yang pasti dan menghancurkan secara moral. Ini adalah model bagi para da’i: dalam menghadapi fitnah, kebenaran (wahyu) adalah senjata paling kuat.
Surah Al Lahab, dalam kesederhanaannya yang struktural, menyajikan gambaran yang kompleks mengenai keadilan ilahi, yang tidak mengenal kompromi terhadap kesombongan yang menolak kebenaran, bahkan jika penolakan itu datang dari lingkaran keluarga terdekat Nabi ﷺ. Ini memastikan bahwa fondasi Islam dibangun di atas keimanan yang tulus, bukan pada kekuasaan politik atau perlindungan suku.
Surah Al Lahab adalah permulaan dari konfrontasi total antara Cahaya dan Kegelapan dalam sejarah Islam. Arti mendalam dari Surah Al Lahab adalah sebuah proklamasi ilahi yang menjamin kehancuran bagi setiap individu yang menentang kebenaran dengan tangan, harta, dan lidah mereka.
Dari segi makna, surah ini mengajarkan kita tentang kerugian total yang menanti orang-orang yang memilih kekufuran dan kesombongan. Kerugian ini mencakup hilangnya usaha duniawi ("yadaa"), sia-sianya harta dan keturunan ("maa aghnaa"), dan kepastian azab abadi ("sayashlaa"). Sementara itu, hukuman bagi istri Abu Lahab menekankan betapa seriusnya dosa lisan (fitnah) di mata Allah.
Dalam sejarah, surah ini menjadi penanda bahwa meskipun Nabi Muhammad ﷺ menghadapi tekanan yang tak tertandingi, Allah adalah pelindungnya dan penjamin kemenangan-Nya. Dalam konteks spiritual modern, surah ini menjadi pengingat abadi bahwa kekayaan dan kekuasaan hanyalah ilusi yang fana, dan hanya keimanan tulus yang dapat menyelamatkan seseorang dari kerugian yang bersifat abadi.
Surah Al Lahab, atau Al Masad, tetap menjadi salah satu permata Al-Qur’an yang paling kuat, mengingatkan seluruh umat manusia bahwa takdir seorang penentang kebenaran sudah pasti: kebinasaan total di dunia dan azab yang spesifik di akhirat.