Simbolis kelimpahan dan petunjuk.
Dalam Al-Qur'an, setiap surah dan ayat memiliki kedalaman makna yang tak terbatas, menjadi petunjuk dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Salah satu ayat yang seringkali menarik perhatian dan menimbulkan perenungan mendalam adalah ayat keempat dari Surah At Tin. Surah ini, yang secara harfiah berarti "Buah Tin", merupakan surah ke-95 dalam urutan mushaf, terdiri dari delapan ayat pendek namun sarat akan pesan ilahi. Ayat keempat, khususnya, menyajikan sebuah sumpah yang mengundang para pembacanya untuk merenungkan kesempurnaan ciptaan Tuhan.
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Ayat ini diawali dengan penegasan yang kuat, "Laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim." Kata "Laqad" (لَقَدْ) berfungsi sebagai penekanan yang menunjukkan kepastian dan kebenaran. Ini menggarisbawahi betapa pentingnya pernyataan yang akan mengikuti. Kemudian, frasa "khalaqnal insana" (خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ) berarti "Kami telah menciptakan manusia". Penggunaan kata ganti orang pertama jamak, "Kami", merujuk pada Allah SWT, yang sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan kemuliaan dan kebesaran-Nya. Kata "insana" (الْإِنْسَانَ) merujuk pada manusia secara umum, mencakup seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dari generasi ke generasi.
Inti dari ayat ini terletak pada frasa "fi ahsani taqwim" (فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ). "Ahsani" (أَحْسَنِ) berarti "terbaik" atau "paling sempurna", sementara "taqwim" (تَقْوِيمٍ) dapat diartikan sebagai "bentuk", "struktur", "proporsi", atau "keseimbangan". Jadi, secara keseluruhan, ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk dan proporsi yang paling sempurna dan terbaik.
Para mufasir (pakar tafsir Al-Qur'an) telah menjelaskan makna "ahsani taqwim" ini dari berbagai sudut pandang, namun semuanya merujuk pada keistimewaan penciptaan manusia. Pertama, secara fisik, manusia diciptakan dengan anatomi yang luar biasa. Bentuk tubuh tegak, dua tangan yang mampu menggenggam dan melakukan berbagai aktivitas kompleks, organ-organ vital yang terlindungi, serta indra yang lengkap untuk berinteraksi dengan dunia. Keseimbangan proporsi tubuh, kemampuan bergerak, dan daya tahan fisik manusia merupakan bukti keajaiban ciptaan-Nya.
Lebih dari sekadar fisik, "ahsani taqwim" juga mencakup aspek akal dan ruhani. Manusia dianugerahi akal pikiran yang mampu berpikir, belajar, membedakan antara yang baik dan buruk, serta merenungkan alam semesta. Kemampuan berbahasa dan berkomunikasi juga merupakan karunia yang membedakan manusia dari makhluk lain. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mengenal Tuhan, merasakan cinta, kasih sayang, dan memiliki fitrah kebaikan.
Dalam konteks surah ini, sumpah Allah SWT dengan "tin" (buah tin) dan "zaitun" (buah zaitun), serta Gunung Sinai (Thur), dan negeri yang aman (Mekkah), menunjukkan betapa pentingnya tempat dan waktu yang menjadi saksi penciptaan manusia dalam bentuk terbaiknya. Buah tin dan zaitun dikenal memiliki khasiat dan nutrisi yang melimpah, melambangkan kesuburan dan keberkahan. Gunung Sinai adalah tempat Allah berbicara kepada Nabi Musa AS, dan Mekkah adalah pusat spiritual Islam. Semua ini menjadi latar belakang bagi penegasan tentang kesempurnaan penciptaan manusia.
Penciptaan manusia dalam bentuk terbaik ini bukanlah tanpa tujuan. Allah SWT menciptakan manusia dengan potensi untuk menyembah-Nya dan menjadi khalifah di muka bumi. Namun, ayat selanjutnya dalam Surah At Tin mengingatkan bahwa ada di antara manusia yang kemudian "Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)". Ini menyiratkan bahwa kesempurnaan penciptaan yang diberikan harus dijaga dan digunakan sesuai dengan tujuan penciptaan tersebut. Manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih jalan kebaikan atau keburukan. Dengan akal dan potensi yang diberikan, manusia memiliki tanggung jawab besar.
Memahami Surah At Tin ayat 4 mengajarkan kita untuk memiliki rasa syukur yang mendalam atas karunia penciptaan diri kita. Betapa berharganya diri ini sebagai ciptaan Allah yang paling mulia, yang dibekali dengan akal, fisik, dan ruhani yang seimbang. Pengakuan atas kesempurnaan ini seharusnya mendorong kita untuk menjaga kehormatan diri, memanfaatkan potensi yang ada untuk kebaikan, dan tidak menyalahgunakannya.
Ayat ini juga menjadi pengingat agar kita tidak meremehkan diri sendiri atau orang lain. Setiap manusia adalah ciptaan yang unik dan berharga. Nilai diri kita tidak ditentukan oleh status sosial, kekayaan, atau penampilan fisik semata, melainkan oleh bagaimana kita menggunakan karunia penciptaan ini untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan berbuat baik kepada sesama.
Dengan merenungkan "ahsani taqwim", kita diajak untuk terus berupaya meningkatkan diri, baik dalam ibadah, ilmu pengetahuan, maupun akhlak. Kesempurnaan yang dimaksud bukanlah kesempurnaan mutlak tanpa cela, melainkan kesempurnaan potensial yang dapat kita kembangkan. Selama hayat masih dikandung badan, ada kesempatan untuk terus memperbaiki diri dan kembali kepada fitrah kesempurnaan yang telah Allah tetapkan.
Pada akhirnya, Surah At Tin ayat 4 adalah sebuah ayat yang penuh inspirasi. Ia mengangkat martabat manusia seraya mengingatkan akan tanggung jawab besar yang menyertainya. Dengan segala bentuk dan potensi yang telah dianugerahkan, manusia dipanggil untuk menjadi pribadi yang utuh, yang mampu mengenali Tuhannya, berbuat kebaikan, dan menjadi rahmat bagi semesta alam.