Sebuah Kajian Mendalam Mengenai Kepastian Hukuman Ilahi dan Keteguhan Nubuat
Surah Al-Lahab, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah salah satu surah terpendek namun paling tegas dalam Al-Qur'an. Surah ini merupakan wahyu Makkiyah yang diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ, ketika penolakan dan penganiayaan terhadap umat Muslim masih berada pada puncaknya. Surah ini memiliki keunikan yang luar biasa: ia adalah satu-satunya surah yang secara eksplisit menyebutkan dan mengutuk individu spesifik yang masih hidup pada saat wahyu diturunkan, yaitu Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil. Keberanian dan ketegasan dalam penyebutan nama ini menegaskan bukan hanya kepastian azab di akhirat, tetapi juga kebenaran absolut dari kenabian Muhammad ﷺ, yang secara spesifik meramalkan nasib buruk mereka.
Konteks historis penurunan surah ini sangat krusial. Pada masa itu, pertalian darah dan suku adalah benteng utama perlindungan. Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad ﷺ, yang seharusnya menjadi pelindung terdekat beliau sesuai tradisi Arab. Namun, Abu Lahab justru menjadi musuh yang paling gigih, kejam, dan terang-terangan dalam menentang risalah Islam. Penentangan ini bukan hanya bersifat pasif, melainkan aktif dan sistematis, mencakup penghinaan publik, penyebaran kebohongan, dan upaya memblokir jalan dakwah. Surah Al-Lahab adalah respons langsung dan definitif dari Allah SWT terhadap permusuhan ini, menandai bahwa hubungan kekerabatan tidak akan berarti apa-apa di hadapan kebenaran dan keadilan Ilahi.
Dalam analisis ini, kita akan menggali setiap kata dan makna dari lima ayat suci ini, menelusuri kedalaman linguistiknya (balaghah), implikasi historisnya (asbabun nuzul), dan pelajaran abadi yang dikandungnya bagi setiap Muslim di segala zaman. Surah ini bukan hanya kisah sejarah tentang dua individu; ini adalah pelajaran tentang konsekuensi penolakan, kesia-siaan kekayaan di hadapan hukuman Tuhan, dan kepastian janji Allah.
Terjemah: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Kata kunci pertama, تَبَّتْ (Tabbat), berasal dari akar kata تَبَّ (Tabb) yang secara harfiah berarti kerugian, kegagalan total, dan kehancuran. Ini bukan sekadar kutukan, melainkan penetapan takdir. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung makna kerusakan yang menyeluruh dan tidak dapat diperbaiki. Ketika Allah menggunakan kata ini, itu berarti bahwa segala upaya, rencana, dan tindakan Abu Lahab akan sia-sia dan berakhir dengan kegagalan yang memalukan, baik di dunia maupun di akhirat.
Penggunaan kata kerja dalam bentuk lampau (تَبَّتْ) menunjukkan bahwa kehancuran ini adalah hal yang pasti, seolah-olah sudah terjadi. Ini adalah sebuah bentuk balaghah (retorika tinggi) Al-Qur'an yang menekankan kepastian janji atau ancaman Allah.
Frasa يَدَا أَبِي لَهَبٍ (Yada Abi Lahab – kedua tangan Abu Lahab) memiliki makna yang sangat kaya. Dalam budaya Arab, tangan sering kali mewakili daya upaya, pekerjaan, kekuasaan, dan sumber penghidupan seseorang. Ketika Allah mengutuk kedua tangannya, itu berarti Allah mengutuk seluruh usahanya, tindakannya, dan hasil dari segala kekuasaan yang ia miliki untuk menentang Islam.
Secara literal, kutukan ini merujuk pada tangan yang digunakan Abu Lahab untuk melempar batu, mengganggu, atau berbuat zalim kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya. Namun, secara figuratif, ini mencakup seluruh kekayaan, pengaruh sosial, dan manuver politiknya. Semua sumber daya yang ia gunakan untuk melawan kebenaran akan dihancurkan, dan ia akan menuai kerugian abadi.
Ayat ini ditutup dengan pengulangan, وَتَبَّ (wa Tabb), yang merupakan penekanan kuat. Para mufassir (ahli tafsir) menafsirkan pengulangan ini dalam dua cara utama:
Surah ini, sejak ayat pertamanya, menetapkan fondasi bahwa permusuhan terhadap Islam adalah permusuhan yang ditakdirkan untuk gagal secara mutlak dan total, tanpa sisa sedikit pun keberhasilan.
Terjemah: "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan."
Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Quraisy yang kaya raya dan terhormat. Dalam masyarakat Makkah, kekayaan (مال/mal) dan status sosial (yang sering dihasilkan dari hasil usaha/kasab) adalah penentu utama keselamatan dan pengaruh seseorang. Abu Lahab percaya bahwa kekayaan dan koneksinya akan melindunginya dari ancaman Nabi Muhammad ﷺ, bahkan mungkin memungkinkannya menyuap atau menekan lawan-lawannya.
Ayat kedua ini menghancurkan ilusi tersebut. Frasa مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ (Ma aghna 'anhu – Tidaklah berguna baginya) adalah penolakan terhadap keyakinan bahwa kekayaan dapat membeli keselamatan abadi atau menunda hukuman Ilahi. Kekayaan, yang menjadi sumber kesombongan dan alat penindasannya, kini dinyatakan tidak berharga.
Kata وَمَا كَسَبَ (wa ma kasab – dan apa yang ia usahakan) memiliki beberapa interpretasi yang melengkapi makna kekayaan:
Ayat ini mengajarkan prinsip universal bahwa ketika hukuman Allah datang, tidak ada kekuatan duniawi, kekayaan materi, atau dukungan keluarga yang dapat menjadi perisai. Ini merupakan peringatan keras bagi semua tiran dan orang kaya yang menggunakan hartanya untuk melawan kebenaran.
Simbol kekayaan yang gagal memberikan perlindungan (Ma Aghna 'Anhu).
Terjemah: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (berkobar-kobar)."
Ayat ketiga menggunakan kata سَيَصْلَىٰ (Sayashla). Awalan سَـ (Sa-) menunjukkan waktu dekat di masa depan (kelak). Ini adalah penegasan mutlak bahwa nasib Abu Lahab sudah pasti dan tidak dapat dihindari. Azabnya bukan harapan atau kemungkinan, melainkan janji Allah yang akan segera terpenuhi setelah kematiannya.
Ini adalah poin teologis yang sangat penting. Abu Lahab hidup setelah surah ini diturunkan selama bertahun-tahun. Jika saja ia, demi membuktikan Al-Qur'an salah, mengucapkan dua kalimat syahadat (bahkan secara munafik), nubuat Al-Qur'an akan tampak palsu. Namun, Abu Lahab, didorong oleh kesombongan dan penolakan murni, tidak pernah menerima Islam. Ia meninggal dalam keadaan kafir, mengkonfirmasi kebenaran setiap huruf dari Surah Al-Lahab. Ini adalah mukjizat kenabian yang sangat jelas.
Frasa نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Naran dzata lahab) secara harfiah berarti "Api yang memiliki Lahab (nyala api)." Inilah asal mula nama surah ini. Kata لَهَبٍ (Lahab) sendiri adalah api yang murni, sangat panas, dan bergejolak tanpa asap. Ini adalah penggambaran visual yang mengerikan tentang sifat azab neraka.
Namun, ada kaitan linguistik dan retoris yang lebih dalam. Abu Lahab memiliki nama asli Abdul Uzza (hamba Uzza), tetapi ia dikenal luas sebagai Abu Lahab, yang secara harfiah berarti "Bapak Api/Nyala Api." Dia dipanggil demikian karena wajahnya yang rupawan dan cerah (seperti nyala api yang indah). Ironisnya, nama julukannya, yang ia banggakan di dunia, kini menjadi takdirnya di akhirat. Ia adalah 'Bapak Api' yang ditakdirkan untuk menjadi penghuni api yang paling murni dan menyala-nyala.
Ini adalah contoh sempurna dari 'hukuman yang sesuai dengan dosa' (al-jaza' min jins al-'amal). Orang yang menentang Nabi dengan api kebencian dan permusuhan di dunia, akan disiksa dengan api neraka yang nyata di akhirat. Kekuatan retoris ini sangat mempengaruhi para penyair dan ahli bahasa Arab saat itu, menunjukkan kehebatan Al-Qur'an.
Terjemah: "Dan (begitu pula) istrinya, si pembawa kayu bakar."
Istri Abu Lahab bernama Arwa binti Harb, lebih dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Dia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan memeluk Islam) dan termasuk dalam klan Bani Umayyah. Dia adalah pasangan yang sempurna bagi Abu Lahab dalam hal penentangan terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Permusuhannya tidak hanya pasif; ia aktif dan militan.
Frasa حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammalatal Hatab – pembawa kayu bakar) memiliki dua interpretasi utama, yang keduanya menunjukkan kejahatan luar biasa:
Dalam konteks azab di neraka, Ummu Jamil akan menjadi pembawa kayu bakar yang digunakan untuk menyalakan api suaminya. Ini adalah bentuk hukuman adl (keadilan) karena perbuatannya di dunia. Dia akan dipaksa untuk terus menambah bahan bakar ke dalam api yang menyiksa dirinya dan suaminya, menciptakan lingkaran penderitaan abadi.
Interpretasi yang lebih umum di kalangan mufassir adalah makna figuratif: Ummu Jamil adalah pembawa kayu bakar fitnah dan gosip. Dalam masyarakat Arab, menyebarkan gosip dan kebohongan untuk menimbulkan perselisihan disebut 'membawa kayu bakar', karena fitnah membakar hubungan antar manusia seperti api melahap kayu. Ummu Jamil terkenal karena:
Dengan demikian, dia disebut pembawa kayu bakar karena dia secara aktif menyalakan api permusuhan di dunia. Keterlibatannya menunjukkan bahwa dalam Islam, tanggung jawab atas dosa bersifat individual, dan bahkan istri seorang pemimpin tidak terkecuali dari hukuman jika dia berpartisipasi dalam kezaliman.
Terjemah: "Di lehernya ada tali dari sabut (ijuk) yang dipintal."
Ayat terakhir memberikan gambaran visual yang mengerikan tentang hukuman Ummu Jamil di neraka. Kata جِيدِهَا (Jiidiha) merujuk pada bagian atas leher atau tengkuk, tempat di mana perhiasan dan kalung mahal biasanya dikenakan, menunjukkan status sosial.
Kata kunci di sini adalah مَّسَدٍ (Masad), yang berarti tali yang dipintal dari serat kasar seperti sabut kelapa atau ijuk, atau serat kurma. Tali ini biasanya digunakan oleh orang miskin di padang pasir untuk mengikat beban berat, atau untuk mengikat kayu bakar. Ini adalah tali yang kasar, menyakitkan, dan tidak berharga.
Penggunaan tali dari masad di leher Ummu Jamil merupakan bentuk penghinaan (degradasi) total yang kontras dengan kehidupan dunianya. Di dunia, sebagai istri pemimpin kaya, ia mungkin mengenakan kalung emas dan mutiara di lehernya (tempat jiidiha). Di akhirat, semua kemuliaan palsu itu diganti dengan tali kasar yang mencekiknya, menjadikannya seperti budak atau binatang pengangkut beban.
Para mufassir juga melihat ini sebagai konsekuensi langsung dari aktivitasnya sebagai 'pembawa kayu bakar'. Ketika dia membawa tumpukan duri dan kayu, dia pasti menggunakan tali kasar. Tali yang ia gunakan untuk berbuat dosa di dunia kini menjadi alat penyiksaannya di akhirat. Ini adalah visual yang kuat tentang bagaimana Allah mengubah alat kejahatan seseorang menjadi sumber azabnya sendiri.
Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa tali tersebut adalah rantai api neraka yang menjeratnya. Dalam keadaan ini, dia akan terus-menerus membawa beban kayu bakar di neraka, dengan tali kasar dari serat api yang melilit lehernya, sebuah siksaan abadi yang mencerminkan kekejamannya di dunia.
Representasi visual tali kasar (Masad) sebagai simbol azab dan penghinaan.
Pemahaman mengenai sebab-sebab turunnya Surah Al-Lahab memberikan konteks dramatis terhadap teksnya. Kisah ini diriwayatkan dalam berbagai sumber, termasuk Sahih Bukhari dan Muslim, menunjukkan keabsahannya.
Setelah tiga tahun dakwah rahasia, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Nabi kemudian naik ke Bukit Safa, salah satu bukit tertinggi di Makkah, dan memanggil seluruh suku Quraisy (termasuk Bani Hasyim, Bani Abdul Muttalib, dan kabilah-kabilah lainnya). Praktik ini lazim digunakan untuk menyampaikan peringatan penting, biasanya tentang bahaya invasi musuh.
Ketika semua orang berkumpul, Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa di lembah sana ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan percaya kepadaku?" Mereka serentak menjawab, "Kami belum pernah mendengar engkau berbohong!"
Nabi kemudian melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih." Dengan keberanian yang luar biasa, beliau menyampaikan bahwa tugasnya adalah menyampaikan pesan tauhid dan memperingatkan mereka tentang Hari Kiamat.
Di tengah kerumunan itu, muncullah Abu Lahab. Dialah yang pertama dan paling keras bereaksi. Dengan rasa permusuhan yang mendalam, ia berkata, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Atau dalam versi lain, "Tabban Laka!"). Abu Lahab kemudian mengambil batu dan berusaha melemparkannya kepada Nabi Muhammad ﷺ, sebelum ia pergi dengan marah.
Reaksi langsung Abu Lahab inilah yang menjadi pemicu diturunkannya Surah Al-Lahab. Allah SWT segera menjawab hinaan Abu Lahab dengan kutukan yang lebih kuat dan abadi: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ. Jika Abu Lahab mengucapkan "Celakalah engkau," Allah menjawab dengan menetapkan bahwa bukan Nabi, melainkan Abu Lahab dan seluruh usahanya yang celaka. Ini adalah pembelaan Ilahi yang instan dan definitif terhadap Rasulullah ﷺ.
Kisah ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar terhadap kebenaran sering kali datang dari orang terdekat. Tindakan Abu Lahab di Bukit Safa adalah penolakan publik dan penghinaan yang bertujuan merusak kredibilitas Nabi Muhammad ﷺ di hadapan para pemimpin Makkah. Respon Al-Qur'an menunjukkan bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang setia diperlakukan dengan zalim dan bahwa pembelaan dari Langit lebih kuat daripada perlindungan suku atau kekerabatan.
Salah satu aspek paling menakjubkan dari Surah Al-Lahab adalah fungsinya sebagai mukjizat kenabian (prophecy). Surah ini meramalkan dua hal yang mutlak:
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Abu Lahab hidup beberapa tahun setelah surah ini diturunkan (ia meninggal tak lama setelah Perang Badar, karena penyakit menular yang menakutkan). Selama periode tersebut, jika Abu Lahab ingin membuktikan Al-Qur'an salah, dia hanya perlu mengucapkan syahadat, bahkan jika hanya di bibir. Namun, dia tidak pernah melakukannya. Dia bersikeras menolak Islam hingga akhir hayatnya, secara tidak sengaja mengesahkan setiap kata dalam surah ini.
Para ulama seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an menyoroti bahwa ini adalah bukti definitif bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Ilahi, bukan karangan Muhammad. Bagaimana mungkin seorang manusia meramalkan takdir abadi musuhnya dengan kepastian mutlak tanpa takut bahwa musuh tersebut akan bertaubat hanya untuk menghancurkan klaim kenabiannya? Kenyataan bahwa ramalan itu terpenuhi, menunjukkan bahwa Penulis Surah ini mengetahui segala yang tersembunyi, termasuk takdir hati Abu Lahab dan Ummu Jamil.
Kepastian kehancuran dunianya pun terwujud. Setelah kekalahan pahit Quraisy dalam Perang Badar, Abu Lahab (yang tidak ikut berperang) jatuh sakit akibat penyakit yang dijauhi orang-orang, sejenis wabah atau luka yang sangat menular. Ia meninggal dalam keadaan terisolasi total, ditinggalkan oleh anak-anaknya karena ketakutan tertular. Mayatnya dibiarkan membusuk selama beberapa hari hingga penduduk Makkah memaksa anak-anaknya untuk menguburkannya. Mereka menguburkannya dengan cara yang paling hina, hanya dengan mendorong mayatnya dengan kayu panjang dan menutupinya dengan batu dari jauh. Ini adalah akhir yang menyedihkan dan memalukan bagi seorang pemimpin Quraisy yang sombong dan kaya, sesuai dengan janji تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ.
Meskipun Surah Al-Lahab singkat, kekuatan retoris (balaghah) dan pilihan katanya sangat luar biasa, menjadikannya salah satu ayat paling efektif dalam membungkam penentang.
Pengulangan kata تَبَّ (Tabb) menciptakan ritme yang kuat dan kesan palu godam. Ini bukan hanya pengulangan retoris; ini adalah penegasan dua fase kehancuran: kehancuran upaya (tangan) dan kehancuran diri (jiwa). Pengulangan ini mengikat nasib Abu Lahab secara erat pada kata kutukan tersebut.
Seperti yang dibahas, menghubungkan azab neraka (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) dengan nama julukannya (Abu Lahab – Bapak Nyala Api) adalah puncak balaghah. Al-Qur'an mengambil sumber kebanggaannya di dunia (nama yang indah) dan mengubahnya menjadi penanda nasibnya yang mengerikan. Ini adalah teknik sastra yang menunjukkan bahwa segala yang dibanggakan oleh kaum musyrik akan menjadi kehinaan mereka di hadapan Tuhan.
Penggambaran Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" dan "tali sabut di lehernya" adalah visualisasi yang sangat efektif. Al-Qur'an tidak hanya menyatakan bahwa dia akan disiksa, tetapi memberikan gambaran yang spesifik dan menghinakan. Tali Masad, benda termurah dan terkasar, melambangkan kejatuhan status sosialnya. Ini menciptakan gambar mental yang jauh lebih kuat daripada sekadar menyebutkan neraka secara umum.
Struktur surah ini mencerminkan keadilan sempurna: Abu Lahab yang menggunakan kekuasaannya (tangan) dan hartanya untuk menentang, dihancurkan usahanya dan hartanya. Istrinya yang menggunakan lidahnya (fitnah/kayu bakar) dan statusnya, dihukum dengan simbol kehinaan yang melilit lehernya. Setiap bagian dari hukuman itu selaras sempurna dengan dosa yang dilakukan.
Surah Al-Lahab, meskipun terfokus pada individu tertentu, mengandung pelajaran universal yang relevan bagi umat Islam di setiap generasi.
Surah ini mengajarkan bahwa iman adalah ikatan yang lebih kuat dan abadi daripada ikatan darah. Abu Lahab, paman Nabi, tidak memperoleh kekebalan atau perlindungan hanya karena statusnya dalam keluarga Hasyim. Di hadapan Allah, hubungan kekerabatan tidak berguna jika tidak didasari tauhid dan keimanan. Ini memecahkan tradisi kesukuan yang mendominasi Arab pra-Islam, menetapkan bahwa satu-satunya kriteria keselamatan adalah ketaatan kepada Allah.
Bagi orang-orang yang mengetahui kebenaran dan menolaknya karena kesombongan, Surah Al-Lahab adalah peringatan paling keras. Surah ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan membiarkan kejahatan dan penindasan terhadap utusan-Nya tanpa hukuman yang pasti. Surah ini memberikan kepastian bagi kaum Muslim awal yang lemah dan tertindas, bahwa musuh-musuh mereka yang tampak kuat di dunia, pasti akan hancur dan hina di hadapan Tuhan.
Ayat kedua merupakan peringatan keras bahwa kekayaan dan status sosial adalah ilusi ketika azab Allah datang. Orang kaya dan berkuasa sering kali merasa kebal dari hukuman. Surah ini mengikis kesombongan tersebut, mengingatkan setiap Muslim untuk tidak menumpuk harta demi kesenangan pribadi atau, lebih buruk lagi, menggunakannya untuk menentang kebenaran. Harta yang tidak digunakan di jalan Allah akan sia-sia, dan hanya amal yang ikhlas yang akan menyelamatkan.
Kisah Ummu Jamil menekankan pentingnya peran pasangan dalam membentuk takdir rohani seseorang. Surah ini mengajarkan bahwa pasangan yang mendukung dan berpartisipasi dalam kezaliman akan ikut menanggung hukuman yang sama. Tidak ada perlindungan yang diperoleh melalui status suami jika perbuatan istri itu sendiri jahat dan merusak.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ dihina dan dilempari batu, beliau tidak perlu membalas. Pembelaan datang langsung dari Allah SWT. Ini adalah pelajaran bagi para da'i dan Muslim yang berjuang di jalan kebenaran: ketika Anda menghadapi permusuhan dan kesulitan, bersabarlah, karena pembelaan Allah akan jauh lebih efektif dan abadi daripada upaya manusia untuk membalas dendam.
Meskipun tokoh utamanya adalah figur sejarah abad ke-7, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Surah Al-Lahab bersifat abadi. Di era modern, di mana kekayaan, media, dan pengaruh digunakan sebagai senjata untuk mendistorsi kebenaran dan menindas kaum beriman, Surah Al-Lahab menawarkan kerangka pemikiran yang vital.
Dalam konteks kontemporer, "Abu Lahab" dapat dipandang sebagai prototipe dari setiap tiran, pemimpin, atau tokoh berpengaruh yang menggunakan kekayaan, posisi, dan media untuk melawan ajaran tauhid. "Tangan" mereka yang binasa adalah proyek-proyek, kebijakan, dan propaganda mereka yang dibangun di atas kebohongan. Meskipun proyek-proyek tersebut mungkin terlihat sukses secara material untuk sementara waktu, Surah Al-Lahab menjamin bahwa fondasi kejahatan mereka ditakdirkan untuk runtuh.
Demikian pula, "Ummu Jamil" atau "pembawa kayu bakar" modern adalah mereka yang menggunakan platform media sosial, berita palsu (hoaks), dan fitnah yang canggih untuk menyalakan api kebencian dan perpecahan di antara umat manusia. Mereka menggunakan lidah dan tulisan mereka, yang merupakan "kayu bakar" modern, untuk menodai kehormatan dan kebenaran.
Surah ini meyakinkan umat beriman bahwa kebenaran akan menang, dan para penentang—sekaya dan sekuat apa pun mereka—akan menghadapi kehancuran pribadi dan azab yang pasti. Ini adalah sumber ketenangan dan motivasi untuk terus berpegang teguh pada Islam, terlepas dari tekanan eksternal.
Kajian mendalam terhadap Surah Al-Lahab membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika keadilan Ilahi. Hukuman yang dijatuhkan bersifat spesifik, adil, dan proporsional terhadap dosa. Abu Lahab menentang dengan sombong; ia dihukum dengan penghinaan total. Ummu Jamil merusak dengan fitnah; ia dihukum dengan tali sabut di lehernya.
Keadilan ini mengingatkan kita akan tanggung jawab individual kita. Setiap tindakan yang kita lakukan—baik itu penggunaan kekayaan, ucapan lisan, atau pengaruh sosial—akan dipertanggungjawabkan secara rinci. Tidak ada tempat persembunyian, dan tidak ada aset duniawi yang dapat menjadi penebusan di hadapan neraka yang menyala-nyala (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ).
Sebagai penutup, Surah Al-Lahab adalah manifestasi yang luar biasa dari izzah (kekuatan dan kemuliaan) Allah SWT dan pembelaan-Nya terhadap para utusan-Nya. Ia adalah mercusuar harapan bagi mereka yang tertindas dan peringatan yang menakutkan bagi mereka yang menentang kebenaran. Lima ayat pendek ini memuat pelajaran sejarah, linguistik, dan teologis yang tak terhingga, menegaskan bahwa janji dan ancaman Allah adalah kepastian yang tidak dapat dihindari.
Kisah Abu Lahab dan istrinya adalah monumen abadi dalam Al-Qur'an, sebuah ukiran kepastian hukuman yang berfungsi sebagai cermin bagi setiap generasi yang cenderung jatuh pada kesombongan, kekayaan, dan penolakan terhadap ajaran suci.
Mari kita kembali menggali akar kata تَبَّتْ (Tabbat). Dalam kamus Arab klasik (misalnya Lisan al-Arab), Tabb tidak hanya berarti kerugian, tetapi juga kering, gersang, dan menjauhkan diri dari kebaikan. Ketika tangan Abu Lahab dikutuk dengan Tabbat, itu berarti tangan yang seharusnya digunakan untuk bersedekah, membantu kerabat, dan melakukan kebaikan, kini menjadi gersang dari segala pahala. Semua upaya fisiknya untuk berbuat (yang disimbolkan oleh tangan) menjadi sia-sia seperti tanah tandus yang tidak menghasilkan apa-apa.
Pilihan kata ini sangat berbeda dari kutukan umum lainnya. Ia secara khusus menargetkan fungsi produktif dari Abu Lahab. Ia adalah seorang pedagang yang sukses, tangannya adalah sumber kekayaannya. Dengan ditetapkannya Tabbat, Al-Qur'an secara profetik menyatakan bahwa sumber keberhasilan dunianya akan menjadi sumber kehancuran kekalnya. Bahkan, keberanian untuk melawan Nabi pun tidak menghasilkan apa-apa selain azab, sebuah kerugian ganda yang sangat mendalam.
Para ahli bahasa juga mencatat bahwa penggunaan bentuk kata kerja feminin تَبَّتْ adalah karena merujuk pada tangan (yang jamaknya adalah feminin dalam tata bahasa Arab), memberikan ketepatan gramatikal sekaligus retoris, menunjukkan bahwa bahkan detail terkecil dalam upaya fisiknya pun telah ditentukan untuk gagal.
Surah Al-Lahab memperkuat beberapa pilar Akidah (teologi) Islam:
Mengapa hanya Abu Lahab yang disebutkan secara eksplisit? Quraisy memiliki banyak musuh Nabi, seperti Abu Jahal dan Walid bin Mughirah. Namun, Abu Lahab mewakili tingkat permusuhan yang paling berbahaya: permusuhan dari dalam lingkaran keluarga terdekat. Ia adalah paman dan tetangga, dan permusuhannya dilakukan dengan memanfaatkan status kekerabatannya untuk merusak reputasi Nabi.
Kontras ini terlihat jelas bila dibandingkan dengan Fir'aun atau Qarun. Fir'aun dihukum karena kesombongan kekuasaannya, Qarun karena kesombongan kekayaannya. Abu Lahab dihukum karena menolak kebenaran meskipun ia sangat mengenalnya, dan karena mengkhianati kewajiban kekerabatan sambil menggunakan kekayaan dan statusnya untuk menghalangi dakwah. Surah ini menetapkan bahwa pengkhianatan dari dalam (orang terdekat) adalah dosa yang sangat serius di mata Ilahi.
Pilihan kata Masad, tali kasar dari ijuk, tidak hanya melambangkan degradasi sosial. Beberapa mufassir menekankan bahwa tali ini juga melambangkan sifat sementara dan rapuh dari segala ikatan duniawi. Sebagaimana tali sabut mudah putus atau usang, demikian pula segala hubungan dan kekayaan yang didasarkan pada kekafiran akan putus dan tidak berarti di hari akhirat.
Tali di lehernya juga dapat ditafsirkan sebagai belenggu yang mengikatnya pada dosa-dosanya sendiri—kayu bakar (fitnah) yang ia kumpulkan di dunia, kini menjadi beban yang harus ia pikul selamanya. Ini adalah siksaan yang melibatkan rasa malu, rasa sakit fisik akibat gesekan tali kasar, dan beban berat yang harus ditanggung, melengkapi gambaran azab yang menyeluruh.
Pada akhirnya, Surah Al-Lahab adalah surah tentang kepastian. Kepastian hukuman, kepastian janji, dan kepastian bahwa kezaliman tidak akan pernah menang melawan kebenaran. Ini adalah salah satu surah yang paling menguatkan hati bagi kaum Muslim, yang menegaskan bahwa sekalipun kekuasaan duniawi tampak tak tertembus, ia hanyalah ilusi rapuh di hadapan takdir Allah SWT. Pesan ini tetap bergema kuat, mengajak setiap jiwa untuk merenungkan ke mana arah usahanya (kasab) dan di mana ia akan menemukan perlindungan abadi.