Surah Al-Lail (Malam) adalah surah ke-92 dalam Al-Qur'an, diturunkan di Makkah, dan merupakan salah satu surah yang memiliki fokus tajam pada dualitas kehidupan dan konsekuensi abadi dari pilihan-pilihan moral yang diambil manusia di dunia. Surah ini datang setelah Surah Asy-Syams dan sebelum Surah Ad-Dhuha, melanjutkan tema polaritas alam semesta—malam dan siang, kegelapan dan cahaya—sebagai landasan untuk memahami polaritas yang lebih mendasar: amal yang baik dan amal yang buruk.
Inti dari Surah Al-Lail adalah penegasan bahwa meskipun semua manusia berusaha (beramal), usaha mereka terbagi menjadi dua jalur yang jelas berbeda, yang masing-masing mengarah pada takdir yang berlawanan. Surah ini memberikan petunjuk yang sangat eksplisit mengenai ciri-ciri orang yang menuju kepada kemudahan (surga) dan ciri-ciri orang yang menuju kepada kesukaran (neraka).
Ayat-ayat pembuka Surah Al-Lail menetapkan nada serius dengan tiga sumpah kosmik, yang berfungsi untuk menarik perhatian pendengar pada pentingnya pesan yang akan disampaikan. Sumpah ini mengaitkan fenomena alam yang tampak sehari-hari dengan realitas spiritual dan moral yang tersembunyi.
Allah bersumpah dengan tiga pasangan yang mewakili dualitas yang sempurna dalam ciptaan-Nya. Sumpah ini bukan sekadar puitis, melainkan landasan filosofis bagi seluruh surah:
Sumpah-sumpah ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara berpasangan dan kontras, menuntut keseimbangan. Kontras ini adalah penekanan bahwa jika alam memiliki kontras fisik yang jelas, maka kehidupan moral manusia juga memiliki kontras yang sama jelasnya.
Para mufassir seperti Ibnu Katsir menekankan bahwa bersumpah dengan penciptaan dua jenis kelamin menggarisbawahi keajaiban dan tujuan penciptaan, yang melahirkan kehidupan manusia yang beragam dan kompleks. Keberagaman ini, pada akhirnya, menghasilkan keberagaman amal.
Ayat keempat adalah jawaban atas sumpah-sumpah tersebut: Inna sa’yakum la shatta (Sesungguhnya usaha kamu benar-benar beraneka ragam). Kata sa'yakum berarti usaha, pekerjaan, atau tujuan hidup. Kata shatta berasal dari kata kerja yang berarti memecah belah, berpisah, atau beraneka ragam.
Pernyataan ini adalah pivot moral surah. Meskipun semua manusia bangun, bekerja, dan berjuang, motivasi dan tujuan akhir dari perjuangan tersebut sangat berbeda. Tidak ada netralitas dalam tindakan manusia; setiap tindakan secara inheren membawa manusia lebih dekat kepada salah satu dari dua jalur yang akan dijelaskan selanjutnya: jalur kemudahan atau jalur kesukaran.
Setelah menetapkan adanya dua jenis usaha, surah ini mulai menguraikan jenis usaha pertama—yang mulia dan berorientasi pada akhirat. Ini adalah janji yang menghibur bagi orang-orang beriman yang menghadapi kesulitan dan ejekan dari masyarakat Makkah pada saat itu.
Surah Al-Lail merangkum inti kebaikan dalam tiga tindakan fundamental yang harus menyertai niat yang benar:
Integrasi ketiga sifat ini menunjukkan keimanan yang sempurna: Tindakan lahiriah (memberi), kondisi batiniah (takwa), dan keyakinan spiritual (membenarkan janji Allah).
Bagi mereka yang memenuhi tiga kriteria di atas, Allah menjanjikan: fa sanuyassiruhu li l-yusra (Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah). Kata Yusra berarti kemudahan.
Jalan kemudahan ini mencakup beberapa aspek penting:
Ayat ini mengajarkan bahwa ketaatan bukanlah beban, melainkan jalan menuju kemudahan. Semakin seseorang berkorban di jalan Allah, semakin lapang jalan hidupnya, karena Allah menyingkirkan hambatan spiritual dan material baginya. Prinsip ini menegaskan bahwa kemudahan sejati hanya dapat ditemukan melalui kesabaran dan ketaatan yang tulus.
Sebagai kontras yang tajam, surah ini kemudian menjelaskan jenis usaha kedua—usaha yang merugikan diri sendiri dan mengarah pada kehancuran.
Orang yang celaka ditandai oleh kebalikan dari sifat orang bertakwa:
Konsekuensi dari kombinasi sifat ini adalah: fa sanuyassiruhu li l-'usrā (Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar). Kata ‘Usra berarti kesukaran, kesulitan, atau penderitaan.
Ini adalah janji yang menakutkan, bahwa Allah akan memudahkannya menuju kesulitan. Artinya, Allah akan membiarkannya terus menerus melakukan perbuatan buruk yang pada akhirnya membawanya ke neraka.
Ayat 11 berfungsi sebagai peringatan keras: Kepercayaan pada harta benda adalah ilusi. Pada saat yang menentukan, yaitu kematian (taradda - jatuh, binasa, atau dilemparkan ke dalam neraka), semua kekayaan yang dikumpulkan dengan kekikiran tidak akan memberikan manfaat sedikit pun. Ini adalah penolakan terhadap pembenaran orang-orang kaya Makkah yang mengira kekayaan mereka adalah jaminan keselamatan dari azab.
Bagian ini menegaskan otoritas mutlak Allah dalam memberikan petunjuk dan kepemilikan. Ini adalah penutup yang logis terhadap diskusi tentang dua jalur di atas.
Inna 'alayna la l-hudā (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk). Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menjelaskan kedua jalan tersebut, jalan kemudahan dan jalan kesukaran, dengan sangat jelas melalui utusan-Nya. Kewajiban Allah di sini adalah kewajiban yang Dia tetapkan atas diri-Nya sendiri, yaitu memberikan hudā ad-dalalah (petunjuk penjelasan), sehingga manusia tidak memiliki alasan di Hari Kiamat. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi Allah menyediakan peta.
Allah menegaskan bahwa Dia adalah Pemilik mutlak dari dunia dan akhirat (Al-Akhirah wa l-Ulā). Hal ini menanggapi kesombongan orang yang merasa cukup dan kikir. Kekayaan yang mereka kumpulkan di dunia (milik Al-Ulā) hanyalah pinjaman. Dengan menegaskan kepemilikan akhirat (Al-Akhirah), Allah mengingatkan bahwa balasan sejati (Surga atau Neraka) berada dalam kendali-Nya. Oleh karena itu, beramal harus ditujukan kepada Pemilik sejati, bukan untuk keuntungan fana.
Mengacu pada otoritas-Nya (Ayat 13), Allah kini memberikan peringatan konkret: Nāran talaẓẓā (Api yang menyala-nyala). Kata Talaẓẓā menunjukkan api yang bergejolak hebat, yang panasnya sangat ekstrem. Peringatan ini ditujukan kepada mereka yang memilih jalan kesukaran, yaitu orang-orang kikir dan sombong.
Ayat 15 dan 16 mengidentifikasi secara spesifik siapa 'orang yang paling celaka' (Al-Asyqā). Ini adalah mereka yang menggabungkan dua dosa besar:
Keseluruhannya, orang yang paling celaka adalah mereka yang hatinya mendustakan kebenaran dan perilakunya menolak untuk mengikuti petunjuk, dengan kata lain, mereka yang menolak tauhid dan menolak berinfak/beramal saleh.
Setelah ancaman yang tajam, surah ditutup dengan janji kemuliaan dan keselamatan bagi mereka yang memilih jalan kemudahan.
Ayat 17 menjanjikan keselamatan bagi Al-Atqā (orang yang paling bertakwa). Jika mereka yang celaka adalah Al-Asyqā, maka yang selamat adalah mereka yang mencapai tingkat takwa tertinggi.
Ayat 18 menguraikan ciri utama Al-Atqā, yaitu menafkahkan harta yatazakkā (untuk membersihkan diri). Infak yang dimaksud di sini bukanlah sekadar memberi, tetapi memberi dengan tujuan utama tazkiyatun nafs (pemurnian jiwa). Pemurnian ini adalah tujuan ibadah, menjauhkan diri dari kekikiran dan sifat mementingkan diri sendiri yang dapat merusak hati.
Banyak mufassir, termasuk Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menyebutkan bahwa ayat 17-21 secara khusus diturunkan berkaitan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dikisahkan bahwa Abu Bakar sering membeli budak-budak lemah yang disiksa oleh majikan mereka yang kafir karena keimanan mereka, lalu membebaskan mereka. Ketika ia melakukan ini, orang-orang musyrik berkata bahwa ia melakukannya untuk mendapatkan balasan dari budak-budak tersebut atau karena ia berutang budi kepada mereka.
Ayat 19 menyangkal tuduhan bahwa Abu Bakar (atau siapapun yang bertindak serupa) memberi karena motivasi duniawi. Tindakannya bukanlah balasan atas kebaikan yang pernah diterima dari orang lain (ni’matun tujzā). Ini adalah penekanan ilahi pada motivasi yang murni. Infak yang diterima Allah adalah infak yang dilepaskan dari hutang budi, riya (pamer), atau harapan pujian.
Ayat ini adalah klimaks dari tema motivasi. Motivasi tunggal orang yang paling bertakwa adalah ibtighā'a wajhi Rabbihi l-A'lā (semata-mata mencari wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi). Ini adalah definisi tertinggi dari keikhlasan (ikhlas). Kedermawanan orang ini didorong oleh visi spiritual, bukan transaksi duniawi. Ia memberi karena ia tahu Allah layak untuk disembah dan ditaati, dan ia mencari pandangan (keridaan) Allah di akhirat.
Surah ini ditutup dengan janji yang luar biasa: wa lasawfa yarḍā (Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan keridaan). Kata lasawfa mengandung penekanan ganda, memastikan bahwa janji ini pasti akan terjadi. Mereka yang berinfak untuk mencari keridaan Allah (Ayat 20) akan DIBERI keridaan oleh Allah (Ayat 21).
Dalam Islam, mendapatkan keridaan Allah (Ar-Ridwan) adalah balasan tertinggi, lebih besar dari surga itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam Hadis, kenikmatan tertinggi di surga adalah ketika Allah menampakkan keridaan-Nya kepada penghuni surga, setelah itu, mereka tidak menginginkan apapun lagi. Surah Al-Lail menghubungkan secara langsung tindakan memberi yang ikhlas dengan pencapaian status spiritual tertinggi ini.
Surah Al-Lail, meskipun pendek, adalah manifesto etika dan teologi yang mendalam. Ia memberikan kerangka kerja yang jelas untuk memahami keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan spiritual.
Perbedaan mendasar antara jalan kemudahan dan kesukaran bukan hanya terletak pada ada atau tidak adanya tindakan memberi. Kedua orang (kaya dan kikir) mungkin sama-sama memiliki harta, tetapi motivasi merekalah yang memisahkan mereka. Orang yang bertakwa memberi (a’tha) dengan niat membersihkan diri (yatazakkā) dan mencari keridaan Allah (ibtighā'a wajhi Rabbihi). Sebaliknya, orang celaka kikir (bakhila) dan merasa cukup (istaghnā). Surah ini mengajarkan bahwa infak tanpa ikhlas adalah usaha yang membawa kesukaran, karena ia didasari oleh kesombongan atau harapan balasan fana.
Sumpah pada Malam dan Siang pada awal surah berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memiliki pasangan yang kontras. Kontras ini adalah sistem penyeimbang yang ditetapkan Allah. Jika Malam adalah saat istirahat dan Siang adalah saat beraktivitas, maka dalam moral, manusia harus memilih antara kegelapan kekikiran dan cahaya kedermawanan. Dualitas ini bersifat mutlak: usaha manusia pasti terpecah belah (la shattā), tidak ada wilayah abu-abu abadi.
Ayat-ayat ini secara khusus menargetkan materialisme yang mendominasi Mekah pada masa wahyu, di mana kekayaan dianggap sebagai tanda keridaan ilahi, terlepas dari bagaimana kekayaan itu diperoleh atau digunakan. Surah Al-Lail membalikkan pandangan ini, menyatakan bahwa kekayaan tanpa takwa dan kedermawanan adalah penyebab kehancuran diri.
Surah ini memberikan definisi operasional takwa yang sangat praktis: Takwa tidak hanya terbatas pada ritual atau ucapan lisan, tetapi harus terwujud dalam pengeluaran harta di jalan Allah, didorong oleh keyakinan pada Al-Husna. Takwa adalah jembatan antara hati yang membenarkan dan tangan yang memberi. Tanpa kedermawanan, takwa menjadi kering dan tidak berbuah. Tanpa takwa, kedermawanan menjadi sekadar amal sosial yang tanpa nilai ukhrawi.
Ayat 5-7 secara indah merangkum tiga komponen utama keimanan yang menyelamatkan:
Ketika Allah menjanjikan kemudahan (li l-yusra) atau kesukaran (li l-‘usrā), ini adalah hasil kausalitas ilahi (sunnatullah) yang tak terhindarkan. Jalan yang sukar bukanlah hukuman arbitrer, melainkan konsekuensi logis dari sikap kikir dan merasa cukup. Orang kikir dan sombong secara mental mempersulit diri mereka sendiri; mereka menolak jalan yang lurus (ketaatan), sehingga Allah menguatkan mereka pada jalan yang mereka pilih, yang secara alami mengarah pada penderitaan.
Sebaliknya, orang bertakwa yang mencari keridaan Allah, meskipun menghadapi kesulitan di dunia, mendapati bahwa kesulitan itu dipermudah oleh Allah. Hati mereka tenang, dan Allah membuka pintu rezeki dan penyelesaian masalah di luar perhitungan manusia biasa. Ini adalah rahasia kedermawanan: memberi justru memudahkan, menahan justru mempersulit.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman penuh dari Surah Al-Lail, diperlukan analisis lebih lanjut terhadap frasa-frasa kunci yang menyusun struktur teologisnya, khususnya mengenai konsep Al-Husna dan motivasi Yatazakkā.
Ayat 6 dan 9 berfokus pada Al-Husna (yang terbaik). Dalam konteks makkiyah, Surah Al-Lail adalah salah satu surah awal yang diturunkan, menekankan keimanan fundamental. Oleh karena itu, penafsiran klasik mengenai Al-Husna mencakup:
Intinya, membenarkan Al-Husna adalah menukarkan yang fana dengan yang abadi, sebuah transaksi yang hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki visi spiritual yang jernih.
Kata Yatazakkā (Ayat 18) memiliki akar kata yang sama dengan Zakat. Zakat secara harfiah berarti tumbuh, berkah, dan menyucikan. Ketika seseorang menafkahkan hartanya yatazakkā, ia melakukan tiga hal simultan:
Ini adalah perbedaan kualitatif dengan memberi untuk tujuan riya atau pujian. Infak yang dilakukan oleh orang bertakwa adalah ibadah terapeutik; ia menyembuhkan jiwa dari sifat-sifat yang mengarah pada jalan kesukaran.
Fokus pada Wajhi Rabbihi l-A'lā (Ayat 20) adalah penegasan kembali doktrin Ihsan (beribadah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa, ketahuilah Dia melihatmu). Ayat ini mengangkat kedermawanan dari tingkat etika sosial menjadi tingkat spiritual tertinggi.
Ketika seseorang memberi hanya untuk 'Wajah Allah', ia melampaui semua motivasi duniawi—ia tidak mencari ketenaran, tidak mengharapkan imbalan materi, dan bahkan tidak mengharapkan pujian. Tujuan utamanya adalah untuk diterima di sisi Ilahi, untuk mendapatkan pandangan keridaan dari Pencipta Yang Maha Tinggi. Inilah ciri khas amal yang diterima, yang menjamin janji wa lasawfa yarḍā (dan dia pasti akan rida).
Surah Al-Lail, meskipun diturunkan dalam konteks Mekah kuno, relevan secara universal, terutama dalam masyarakat modern yang seringkali didominasi oleh kekayaan, konsumsi, dan materialisme. Pesan inti surah ini menawarkan pedoman untuk mengevaluasi kembali makna ‘usaha’ yang kita lakukan setiap hari.
Dalam era di mana kesuksesan diukur dari akumulasi materi, Surah Al-Lail menantang kita untuk bertanya: Apakah usaha kita termasuk li l-yusrā atau li l-’usrā? Usaha yang membawa kemudahan adalah yang diwarnai oleh keikhlasan dan kesadaran akhirat. Jika seluruh energi dan waktu dihabiskan hanya untuk mengumpulkan, melindungi, dan melipatgandakan harta tanpa porsi yang signifikan untuk infak dan kebaikan, maka usaha itu termasuk dalam kategori shatta yang celaka.
Kekikiran (Bakhila) di zaman ini tidak terbatas pada uang. Kekikiran juga mencakup:
Penerapan Surah Al-Lail menuntut kedermawanan holistik—memberi dari apa yang kita miliki, baik itu harta, waktu, tenaga, atau perhatian, dengan tujuan pemurnian diri.
Jalan kesukaran dimulai ketika seseorang mendustakan Al-Husna (balasan terbaik). Ketakutan akan kemiskinan adalah senjata utama Setan untuk mencegah kedermawanan. Untuk mengatasi ketakutan ini, seorang mukmin harus menginternalisasi keyakinan bahwa Allah adalah Ar-Razzaq (Pemberi Rezeki) dan bahwa infak tidak mengurangi harta, tetapi justru mengamankannya dan melipatgandakan pahalanya di sisi Allah.
Jika kita yakin bahwa Al-Husna itu nyata, maka kita akan dengan gembira berinvestasi dalam amal, karena kita tahu bahwa transaksi ini memiliki imbal hasil yang tak terbatas dan abadi. Membenarkan Al-Husna adalah fondasi psikologis untuk memilih jalan kemudahan.
Surah Al-Lail menawarkan pelajaran epistemologis (teori pengetahuan) yang penting. Sumpah-sumpah pada Malam, Siang, Laki-laki, dan Perempuan menunjukkan bahwa kebenaran dan kebohongan (jalan kemudahan dan kesukaran) adalah realitas yang tertanam dalam tatanan alam semesta.
Keberhasilan sejati, yang didefinisikan sebagai tergelincir ke jalan kemudahan, diperoleh melalui harmoni antara niat (iman kepada Al-Husna) dan tindakan (memberi dan bertakwa). Sedangkan kehancuran (taraddā) adalah hasil dari diskordansi antara perasaan diri yang cukup (istaghnā) dan penolakan untuk berkorban (bakhila).
Oleh karena itu, bagi setiap individu yang hidup di bawah naungan janji dan peringatan ilahi, tidak ada pilihan yang lebih mendesak selain menguji kembali: Apakah kita memberikan (harta, waktu, kemampuan) dengan tujuan menyucikan diri dan mencari wajah Allah, ataukah kita menahan, kikir, dan merasa bahwa kita tidak membutuhkan keridaan siapa pun selain diri kita sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan jalur akhir kita, baik menuju kemudahan yang dijanjikan (li l-yusrā) maupun kesukaran yang diancamkan (li l-’usrā). Surah Al-Lail adalah peta jalan moral yang abadi, memandu umat manusia menuju keridaan Allah yang tiada tara.
Pemahaman yang mendalam tentang Surah Al-Lail menuntun kepada kesadaran bahwa perjuangan hidup manusia yang beraneka ragam (sa’yakum la shattā) bukan tentang jumlah harta yang dimiliki, tetapi tentang kualitas pengorbanan yang dilakukan. Kualitas ini bersumber dari keikhlasan total, yang dimanifestasikan dalam kedermawanan tanpa pamrih. Ia adalah surah yang mengajarkan bahwa kekayaan sejati terletak pada kemampuan untuk melepaskan, bukan menimbun. Ini adalah kebenaran yang tidak lekang oleh waktu, memberikan fondasi kuat bagi setiap mukmin untuk mengarungi kehidupan dunia demi tujuan tertinggi: mendapatkan janji agung walasawfa yarḍā—rida Allah yang sempurna.
Perenungan terhadap ayat al lail mengingatkan kita bahwa dualitas ini mencakup setiap aspek eksistensi kita. Dalam kegelapan malam, ada kesempatan untuk bermuhasabah dan berinfak secara diam-diam, yang nilainya jauh lebih besar di sisi Allah. Dalam terang siang, kita diberikan kesempatan untuk mengamalkan takwa secara terbuka. Kedua waktu ini, dan semua yang ada di antara keduanya, adalah medan uji yang menetapkan apakah kita termasuk golongan yang dimudahkan menuju surga atau golongan yang dipersulit menuju api neraka. Perjuangan ini adalah perjuangan keikhlasan melawan kesombongan, kedermawanan melawan kekikiran, dan pembenaran janji akhirat melawan pendustaan kebenaran.