Ilustrasi: Buah Tin dan Zaitun
Surat At Tin adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sarat makna. Surat ini terdiri dari delapan ayat dan termasuk dalam golongan surat Makkiyyah, yang berarti diturunkan sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Nama "At Tin" sendiri diambil dari kata pertama surat ini yang berarti buah tin, salah satu buah yang disebutkan dalam ayat pembuka, bersama dengan buah zaitun.
Kisah makna mendalam surat ini tak lepas dari sumpah Allah SWT yang diungkapkan di awal ayat-ayatnya. Sumpah ini memiliki tujuan untuk menegaskan kebenaran risalah Islam dan keagungan ciptaan-Nya. Berikut adalah uraian lengkap ayat-ayat Surat At Tin beserta artinya:
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ
1. Demi (buah) tin dan zaitun,
وَطُورِ سِينِينَ
2. dan demi Gunung Sinai,
وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
3. dan demi negeri (Mekah) yang aman ini.
Dalam ayat-ayat permulaan ini, Allah SWT bersumpah menggunakan dua buah yang memiliki nilai historis dan gizi tinggi, yaitu buah tin dan zaitun. Buah tin dikenal sebagai buah yang memiliki banyak manfaat kesehatan dan telah dikonsumsi sejak zaman dahulu. Zaitun pun demikian, kaya akan minyak dan menjadi simbol kedamaian serta berkah. Kedua buah ini sering dikaitkan dengan tanah-tanah suci dan para nabi.
Selain itu, Allah bersumpah dengan Gunung Sinai, tempat Nabi Musa AS menerima wahyu. Sumpah dengan gunung ini menekankan pentingnya tempat tersebut dalam sejarah kenabian. Terakhir, sumpah diucapkan atas kota Mekah yang aman, tempat Ka'bah berada dan menjadi pusat spiritual bagi umat Islam. Sumpah-sumpah ini menjadi penegasan betapa agungnya ciptaan Allah dan betapa pentingnya peringatan yang akan disampaikan dalam surat ini.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
Setelah mengawali dengan sumpah, Allah SWT kemudian menjelaskan tentang penciptaan manusia. Ayat keempat menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dan proporsional, diberkahi akal, fisik, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia. Kesempurnaan ini menunjukkan betapa berharganya kedudukan manusia di hadapan Allah.
Namun, ayat kelima memberikan peringatan. Frasa "tempat yang serendah-rendahnya" ini diartikan oleh para ulama sebagai keadaan paling hina yang bisa dialami manusia, yaitu ketika ia menolak kebenaran, mengingkari nikmat Allah, dan tersesat dalam kesesatan. Ketika manusia menggunakan kesempurnaan penciptaannya untuk berbuat maksiat dan menolak petunjuk Allah, ia akan merosot derajatnya, bahkan bisa lebih rendah dari binatang. Ini adalah pengingat agar manusia senantiasa menjaga kesempurnaan penciptaannya dengan beriman dan beramal saleh.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan; maka mereka akan mendapatkan pahala yang tiada putus-putusnya.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ
7. Maka apa lagi yang membuatmu mendustakan hari pembalasan setelah (adanya) semua ini?
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
8. Bukankah Allah hakim yang paling adil?
Menyambung penjelasan sebelumnya, ayat keenam memberikan pengecualian yang sangat penting. Bagi mereka yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, serta mengerjakan amal-amal saleh, mereka akan mendapatkan balasan yang istimewa. "Pahala yang tiada putus-putusnya" mengindikasikan kenikmatan surga yang kekal dan tak terhingga, yang tidak akan pernah berkurang atau terputus.
Ayat ketujuh adalah sebuah pertanyaan retoris yang menegaskan kebenaran ajaran yang dibawa Rasulullah SAW, khususnya tentang hari pembalasan (kiamat dan hisab). Setelah melihat begitu jelas bukti-bukti keagungan Allah dan janji-Nya, mengapa masih ada yang mendustakannya? Pertanyaan ini berfungsi sebagai seruan untuk merenungi dan meyakini akhir kehidupan dunia dan balasan di akhirat.
Terakhir, ayat kedelapan menutup surat ini dengan penegasan yang memantapkan hati. "Bukankah Allah hakim yang paling adil?" Pertanyaan ini menguatkan keyakinan bahwa Allah SWT adalah hakim yang Maha Bijaksana dan Maha Adil. Setiap keputusan-Nya pasti mengandung kebaikan dan kebijaksanaan, serta keadilan bagi seluruh hamba-Nya. Perkara yang baik akan dibalas dengan kebaikan, dan perbuatan buruk akan mendapatkan konsekuensinya. Keyakinan ini seharusnya mendorong manusia untuk selalu berbuat baik dan menjauhi keburukan, karena pada akhirnya, hanya Allah yang memiliki keputusan akhir.
Sumber: Tafsir Al-Qur'an dan terjemahan resmi.