Surah Al Kafirun adalah salah satu surah Makkiyah yang paling fundamental dalam menegaskan batas-batas akidah dan ibadah. Surah yang terdiri dari enam ayat ini seringkali disebut sebagai Surah yang menegaskan prinsip keikhlasan total (pemurnian ibadah) dan prinsip toleransi dalam beragama. Mempelajari bacaan ayat Al Kafirun bukan sekadar menghafal lafal, melainkan mendalami deklarasi tegas yang memisahkan jalan keimanan dengan jalan kemusyrikan, menetapkan fondasi bagi Muslim di tengah pluralitas dunia.
Surah Al Kafirun merupakan surah ke-109 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Ia diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, sebuah masa di mana kaum Muslimin berada dalam tekanan minoritas dan dihadapkan pada negosiasi kompromi dari kaum Quraisy.
Ciri utama surah Makkiyah adalah fokusnya pada penetapan fondasi akidah (tauhid), keimanan kepada hari akhir, dan kisah para nabi terdahulu. Surah Al Kafirun sepenuhnya memenuhi kriteria ini dengan menjadi deklarasi tunggal dan definitif mengenai tauhid uluhiyyah (pengesaan ibadah). Konteks Makkiyah sangat penting, sebab pada masa ini, tantangan terbesar Nabi ﷺ adalah melawan praktik syirik yang mengakar kuat di Jazirah Arab.
Para ahli tafsir, termasuk Ibnu Katsir dan Imam At-Tirmidzi, sepakat bahwa surah ini turun sebagai respons langsung terhadap tawaran kompromi yang diajukan oleh para pemimpin Quraisy, seperti Walid bin Mughirah, Al-'Ash bin Wa'il, dan Umayyah bin Khalaf. Mereka menawarkan Nabi Muhammad ﷺ sebuah solusi damai: Nabi boleh menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun, dan sebagai balasan, mereka akan menyembah Allah selama satu tahun berikutnya. Ini adalah tawaran barter ibadah yang secara total merusak esensi tauhid.
Tawaran ini merupakan puncak dari upaya negosiasi Quraisy untuk menghentikan dakwah Islam tanpa harus menggunakan kekerasan frontal. Ketika tawaran ini disampaikan, Nabi ﷺ tidak langsung menolaknya berdasarkan pemikiran pribadi, melainkan menunggu wahyu. Surah Al Kafirun turun sebagai jawaban ilahi yang mutlak, menutup semua ruang negosiasi terkait akidah dan ibadah.
Berikut adalah lafal lengkap keenam ayat Surah Al Kafirun, beserta transliterasi dan terjemahan literalnya, yang menjadi dasar utama kajian mendalam ini.
Terjemah: Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir!"
Terjemah: Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah.
Terjemah: Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Terjemah: Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah (di masa lalu).
Terjemah: Dan kalian tidak akan pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah (di masa depan).
Terjemah: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus menelaah setiap kata dan struktur kalimat dalam surah ini, sebab pengulangan yang terdapat di dalamnya mengandung makna retoris yang sangat mendalam, bukan sekadar redundansi.
Ayat ini dimulai dengan kata perintah, Qul (Katakanlah), yang menunjukkan bahwa deklarasi ini bukan berasal dari Nabi Muhammad ﷺ secara pribadi, melainkan merupakan pesan langsung dari Allah. Ini menegaskan otoritas ilahi di balik pemisahan akidah ini.
Kata Al-Kafirun (orang-orang kafir) di sini merujuk secara spesifik kepada para pemimpin Quraisy yang mengajukan proposal kompromi, yang pada saat itu jelas menolak tauhid dan menyembah berhala. Pemanggilan ini bersifat langsung dan tegas, memutus harapan mereka akan adanya titik temu dalam ibadah.
Ayat ini adalah deklarasi penolakan. Kata kerja a'budu (aku menyembah) menggunakan bentuk fi'il mudhari' (present/future tense). Secara tata bahasa, ini menunjukkan penolakan yang berlaku sekarang dan untuk masa yang akan datang. Muslim secara definitif tidak menyembah apa yang disembah oleh orang-orang musyrik, baik itu berhala, patung, maupun entitas lain yang disekutukan dengan Allah.
Ayat ini adalah penolakan timbal balik. Penggunaan 'aabiduuna (kata benda aktif/isim fa'il, yang berfungsi seperti kata kerja) menekankan sifat mereka yang teguh dalam kekafiran mereka, seolah-olah penolakan mereka terhadap ibadah yang murni adalah sifat permanen mereka saat itu. Mereka tidak akan menyembah Allah yang disembah oleh Nabi ﷺ selama mereka memilih untuk tetap pada jalan kemusyrikan.
Kedua ayat ini merupakan inti retorika Surah Al Kafirun, memberikan dimensi waktu pada penolakan yang telah disebutkan di ayat sebelumnya, dan menjadi faktor utama yang harus diuraikan untuk memenuhi kedalaman konten.
Di sini, kata kerja yang digunakan untuk ibadah kaum musyrikin adalah 'abattum (kalian sembah) yang menggunakan fi'il madhi (past tense). Ini menegaskan bahwa Nabi ﷺ, bahkan sebelum kenabiannya, tidak pernah terlibat dalam bentuk ibadah yang mereka lakukan. Ini sekaligus menegaskan kesucian sejarah Nabi dari syirik.
Penggunaan 'aabidun (isim fa'il) dengan penekanan masa lalu menyiratkan bahwa sifatku (sebagai penyembah Allah semata) tidak pernah berubah dan tidak akan pernah selaras dengan apa yang telah kalian sembah di masa lalu.
Ayat ini diulang sama persis dengan Ayat 3, namun pengulangannya memiliki fungsi penekanan yang luar biasa. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pengulangan ini berfungsi untuk memutus total setiap kemungkinan kompromi, sekarang maupun di masa depan. Jika Ayat 3 menolak ibadah sinkretis di masa kini, Ayat 5 menolak kemungkinan bahwa mereka akan mengakhiri kompromi mereka di masa depan atau mengubah cara ibadah mereka untuk menyembah Allah secara murni.
Pengulangan ini adalah Tawkid (penguatan) yang menghilangkan setiap keraguan bahwa batasan akidah bersifat temporal atau fleksibel.
Ini adalah klimaks surah, sebuah kesimpulan yang merangkum batasan yang ditetapkan. Frasa ini menegaskan prinsip penting dalam Islam: pemisahan akidah dan ibadah total (Bara'ah) diikuti dengan pengakuan hak bagi setiap kelompok untuk menjalankan keyakinannya (toleransi).
Ayat ini sering disalahpahami sebagai sinkretisme, padahal justru kebalikannya. Ia adalah ayat pemisah yang paling jelas. Toleransi yang diajarkan adalah toleransi sosial (tidak mengganggu peribadatan mereka), namun bukan toleransi akidah (tidak mencampuradukkan keyakinan atau ibadah).
Pemahaman yang mendalam terhadap bacaan ayat Al Kafirun memerlukan telaah detail pada setiap aspek fonetik dan gramatikal. Surah ini, meskipun pendek, kaya akan pelajaran tajwid dasar yang sangat penting bagi pembacaan Al-Qur'an yang benar.
Setiap kata dalam surah ini memiliki hukum tajwid tertentu yang harus diperhatikan untuk memastikan kebenaran makharijul huruf (tempat keluarnya huruf) dan sifatul huruf (sifat-sifat huruf).
Analisis akar kata sangat penting untuk memahami kedalaman makna surah. Dua kata kunci utama adalah 'A-B-D' dan 'D-Y-N'.
Akar kata ini muncul dalam kata a'budu (aku menyembah), ta'buduun (kalian sembah), 'aabiduun (para penyembah), dan 'abattum (kalian sembah di masa lalu). Makna inti dari 'A-B-D' adalah: penghambaan, ketaatan, kepatuhan, dan perendahan diri yang mutlak.
Dalam konteks Al Kafirun, pengulangan akar kata ini menegaskan bahwa ibadah adalah inti dari perbedaan:
Pemisahan ini bukan hanya tentang nama tuhan yang disembah, tetapi juga tentang cara dan konsep penghambaan itu sendiri. Tauhid menuntut ibadah murni (Ikhlas), sementara syirik adalah pencampuran dan ketidakmurnian dalam perbuatan penghambaan.
Kata Diin (agama/jalan) mencakup makna yang jauh lebih luas daripada sekadar ritual. Diin adalah sistem hidup yang meliputi keyakinan (akidah), hukum (syariah), dan perilaku (akhlak).
Ketika Allah berfirman: "Lakum diinukum wa liya diin," maknanya adalah:
Ini menunjukkan bahwa perbedaan antara iman dan kekafiran adalah perbedaan sistematis yang mencakup keseluruhan eksistensi, bukan sekadar perbedaan nama tuhan. Ini adalah penegasan terhadap keunikan dan kesempurnaan Diin yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Ulama Nahwu (Gramatika Arab) sangat menekankan perbedaan antara fi'il mudhari' (masa kini/depan) dan fi'il madhi (masa lampau) dalam surah ini.
Dalam Ayat 2 (لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ), penggunaan Mudhari' menunjukkan penolakan yang berkelanjutan. Demikian pula di Ayat 5 (وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ), penegasan berulang ini berfungsi untuk meniadakan potensi perubahan di masa depan, selama mereka tetap berada dalam identitas "Al Kafirun."
Sebaliknya, Ayat 4 (وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ) menggunakan Madhi (past tense) untuk membersihkan sejarah Nabi, memastikan bahwa tidak ada momen dalam hidup beliau, baik pra-kenabian maupun pasca-kenabian, yang menyentuh ibadah syirik. Ini adalah jaminan kenabian yang murni dari noda kesyirikan.
Kombinasi penggunaan bentuk kata kerja ini menciptakan pagar retoris yang rapat, menutup pintu kompromi dari tiga dimensi waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Surah Al Kafirun memiliki posisi istimewa dalam tradisi Islam dan dikaruniai keutamaan yang besar, terutama karena kandungannya yang murni menegaskan tauhid. Para sahabat Nabi dan ulama salaf sering merujuk pada surah ini sebagai bagian penting dari ibadah sehari-hari.
Dalam beberapa riwayat hadis yang sahih dan hasan, Surah Al Kafirun disebutkan memiliki bobot setara dengan seperempat Al-Qur'an. Ini adalah indikasi nilai spiritualnya yang tinggi, bukan dari segi jumlah huruf, melainkan dari segi kandungan maknanya.
Mengapa seperempat? Karena inti dari seluruh ajaran Al-Qur'an dapat dibagi menjadi empat kategori utama: 1) Hukum dan Syariat, 2) Janji dan Ancaman (Surga dan Neraka), 3) Kisah-kisah (Sejarah Kenabian), dan 4) Tauhid (Pengesaan Allah). Surah Al Kafirun sepenuhnya dan secara ringkas mencakup poin keempat, yaitu pemurnian ibadah dan penolakan syirik. Oleh karena itu, membacanya sama dengan menegaskan sepertiga/seperempat dari fondasi ajaran ilahi.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa Surah Al Kafirun adalah Bara'ah minasy Syirk (pembebasan/perlepasan diri dari syirik). Membaca surah ini secara rutin, terutama sebelum tidur, berfungsi sebagai pengingat dan benteng spiritual (tameng) yang melindungi hati seorang Muslim dari godaan syirik, baik syirik akbar maupun syirik asghar (seperti riya').
Seseorang yang merenungkan makna bacaan ayat Al Kafirun secara mendalam akan memperbarui janji tauhidnya setiap kali membacanya, menguatkan ikatan eksklusif dengan Allah Yang Maha Esa.
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan untuk membaca Surah Al Kafirun dan Surah Al Ikhlas sebelum tidur. Ini adalah praktik sunnah yang dikenal untuk menjamin tauhid sebagai penutup amalan harian seorang hamba.
Selain itu, kedua surah pendek ini (Al Kafirun dan Al Ikhlas) sangat sering dibaca dalam shalat sunnah yang sangat ditekankan, seperti:
Penggunaan dua surah ini dalam shalat menunjukkan pentingnya penegasan tauhid (Al Kafirun: penolakan ibadah selain Allah) dan sifat-sifat Allah (Al Ikhlas: penegasan keesaan Allah) pada momen-momen spiritual penting.
Surah ini tidak hanya tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang Manhaj (metode hidup). Surah ini mengajarkan bahwa dalam berinteraksi dengan non-Muslim, seorang Muslim harus jelas batasannya. Keutamaan surah ini terletak pada kemampuannya memberikan kejelasan identitas tanpa menimbulkan permusuhan yang tidak perlu, karena ia diakhiri dengan prinsip Lakum diinukum wa liya diin.
Meskipun diturunkan pada abad ke-7 sebagai respons terhadap Quraisy, relevansi bacaan ayat Al Kafirun tetap abadi. Prinsip tauhid dan batasan yang digariskan surah ini sangat krusial dalam menghadapi tantangan kontemporer, seperti globalisasi, pluralisme, dan sinkretisme.
Sinkretisme adalah pencampuran atau penggabungan elemen-elemen dari dua atau lebih agama yang berbeda menjadi satu sistem keyakinan baru. Surah Al Kafirun adalah antitesis total terhadap sinkretisme. Ayat-ayatnya mencegah Muslim untuk berkompromi dalam inti keyakinan, seperti:
Deklarasi "Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah" adalah filter pertama yang harus digunakan Muslim dalam menilai aktivitas yang berpotensi melanggar tauhid.
Ayat terakhir, Lakum diinukum wa liya diin, adalah definisi toleransi Islam yang sempurna. Toleransi di sini berarti:
Toleransi dalam Islam bukanlah menyetujui kebenaran agama lain (Toleransi Akidah), melainkan menghormati hak asasi mereka untuk berkeyakinan dan beribadah (Toleransi Sosial). Surah Al Kafirun adalah panduan utama dalam menjaga keseimbangan ini.
Meskipun surah ini tegas dalam ibadah, ia tidak melarang muamalah (hubungan sosial, ekonomi, dan politik) dengan non-Muslim. Nabi ﷺ sendiri berinteraksi, berdagang, dan membuat perjanjian dengan non-Muslim. Surah ini memisahkan:
Ini mengajarkan umat Muslim bagaimana hidup berdampingan di tengah masyarakat majemuk tanpa kehilangan identitas keimanan mereka yang unik dan murni.
Surah Al Kafirun tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan erat, terutama dengan Surah Al Ikhlas (Surah 112) dan Surah Al Nashr (Surah 110), yang sering disebut sebagai surah-surah "Qul" (Katakanlah) di akhir mushaf.
Hubungan antara Al Kafirun dan Al Ikhlas sangat fundamental sehingga keduanya sering dijuluki "Al-Muqasyqisyan" (dua surah yang membersihkan/menyelamatkan) atau "Al-Mu'awwidzatain" yang lebih kecil (pelindung).
Kedua surah ini bersama-sama membentuk definisi lengkap Tauhid:
Seorang Muslim yang menguasai dan mengamalkan kedua surah ini telah mengukuhkan fondasi Tauhidnya: menolak segala bentuk syirik sekaligus menetapkan keesaan Allah Yang Maha Mutlak.
Surah Al Kafirun diturunkan di awal periode Makkah, ketika Nabi ﷺ berada dalam posisi lemah, menegaskan pemisahan diri dari kompromi. Surah Al Nashr (Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan) diturunkan di akhir periode Madinah, sebagai pengumuman kemenangan Islam di Makkah dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam agama Allah.
Al Kafirun adalah deklarasi perjuangan Tauhid, sementara Al Nashr adalah janji hasil dari perjuangan Tauhid yang tidak pernah berkompromi tersebut. Kemenangan (Nashr) adalah buah dari ketegasan dan keikhlasan (Kafirun).
Untuk benar-benar menghargai bacaan ayat Al Kafirun, kita perlu memahami bagaimana enam ayat pendek ini merangkum seluruh konsep Tauhid dalam menghadapi tekanan eksternal. Ayat-ayat ini tidak hanya menolak persembahan berhala, tetapi juga menolak semua bentuk perantaraan atau penyekutuan dalam ibadah.
Kata "Laa" (Tidak/Bukan) dalam bahasa Arab adalah negasi yang kuat. Dalam konteks ayat kedua dan keempat, ini melampaui penolakan fisik terhadap penyembahan berhala. Secara filosofis, ini menolak:
Deklarasi ini adalah pemurnian niat (Ikhlas) di mana ibadah seorang Muslim harus steril dari elemen-elemen yang berasal dari kekafiran.
Perintah 'Qul' (Katakanlah) menunjukkan dua dimensi penting:
1. Dimensi Personal (Akidah Batin): Muslim diperintahkan untuk menetapkan batasan ini di dalam hati. Bahkan jika secara sosial ia berinteraksi, keyakinan dasarnya harus tetap teguh: Aku tidak menyembah apa yang mereka sembah.
2. Dimensi Publik (Dakwah dan Klarifikasi): Nabi ﷺ tidak hanya menegaskan ini dalam hati, tetapi harus mendeklarasikannya secara terbuka kepada Quraisy. Deklarasi publik ini penting untuk menghilangkan ambiguitas dan tuntutan kompromi di masa depan. Ia menetapkan garis batas yang tidak bisa dilintasi.
Dalam konteks modern, 'Qul' mendorong Muslim untuk berani menyatakan identitas keimanannya ketika prinsip tauhid dipertanyakan atau dituntut untuk dicairkan.
Pengulangan ayat 3 dan 5 (وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ) telah menjadi subjek diskusi mendalam para mufassir selama berabad-abad. Selain tafsir tentang masa lalu dan masa depan yang sudah dijelaskan, ada pandangan lain yang memperkaya makna pengulangan tersebut:
Sebagian ulama seperti Ar-Razi berpendapat bahwa pengulangan tersebut merujuk pada perbedaan yang mendalam dalam objek dan cara ibadah. Ayat pertama (Ayat 2) menolak ibadah mereka, dan ayat yang berikutnya (Ayat 3) menolak bahwa mereka menyembah Allah, karena:
Pengulangan ini adalah penolakan terhadap konsep ibadah yang dilakukan oleh orang musyrik, bahkan jika mereka mengklaim menyembah "Tuhan".
Ibnu Katsir menafsirkan pengulangan tersebut sebagai penegasan takdir ilahi. Pengulangan ini ditujukan kepada kelompok musyrikin spesifik yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah bahwa mereka tidak akan beriman. Deklarasi ini bersifat informatif, menyatakan kepastian bahwa mereka tidak akan mengubah jalan mereka dan masuk ke dalam tauhid, sehingga kompromi adalah mustahil.
Ini membedakan Surah Al Kafirun dari ayat-ayat dakwah lain yang terbuka bagi semua orang. Al Kafirun adalah respons terhadap penawaran kompromi yang datang dari orang-orang yang hatinya telah tertutup.
Prinsip Al-Wala' wal-Bara' (Loyalitas dan Pelepasan Diri) adalah konsep fundamental akidah Islam. Surah Al Kafirun merupakan manifestasi paling jelas dari prinsip ini.
Pelepasan diri ini adalah pelepasan akidah. Ia tidak menuntut pelepasan hubungan sosial atau kemanusiaan, tetapi menuntut kejelasan ideologis agar keimanan tetap murni.
Tahsin (memperindah dan memperbaiki) bacaan Surah Al Kafirun adalah keharusan, terutama karena surah ini sering diulang dalam shalat. Memperhatikan hukum tajwid bukan sekadar aturan, tetapi metode untuk menjaga makna ayat agar tidak menyimpang.
Dalam bacaan ayat Al Kafirun, dua huruf yang sering keliru diucapkan oleh non-Arab adalah Kha (خ) pada "Kaafirun" dan Ain (ع) pada "a'budu".
Ketepatan makhraj pada kata "Al Kaafirun" (orang-orang kafir) dan "A'budu" (aku menyembah) secara langsung memengaruhi inti pesan surah: pemisahan penyembah yang murni dari penyembah yang musyrik.
Beberapa kesalahan tajwid yang sering terjadi saat membaca Surah Al Kafirun meliputi:
Tahsin bukan hanya teknis, tetapi juga spiritual. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isinya, maka Allah akan memakaikan mahkota kemuliaan kepada kedua orang tuanya di hari kiamat..."
Membaca Surah Al Kafirun dengan tajwid yang benar, disertai pemahaman yang ikhlas tentang penolakan terhadap syirik, akan memastikan pembacaan tersebut diterima di sisi Allah sebagai deklarasi tauhid yang murni, sejalan dengan tujuan utama surah ini diturunkan.
Setiap pengulangan dalam bacaan, seperti "Laa a'budu maa ta'buduun," seharusnya dihayati sebagai penolakan yang diperbarui, sebuah pernyataan janji spiritual bahwa seorang hamba tidak akan pernah menukar ibadah murninya dengan apapun di dunia ini.
Pengulangan ayat 3 dan 5, yang secara harfiah identik, wajib dibaca dengan ketelitian yang sama, menegaskan bahwa prinsip tauhid adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh, tidak peduli seberapa besar tekanan yang dihadapi dari lingkungan sekitar.
Bahkan dalam konteks shalat, ketika surah ini dibaca, ia berfungsi sebagai konfirmasi ulang atas niat shalat yang hanya ditujukan kepada Allah, membebaskan diri dari segala bentuk riya' atau penyimpangan niat.
Dengan demikian, bacaan ayat Al Kafirun adalah latihan spiritual yang berkelanjutan, menajamkan pemahaman tentang batasan-batasan suci ibadah dan akidah. Surah ini merupakan cerminan dari prinsip dasar agama Islam yang tidak mengenal abu-abu dalam masalah ketuhanan dan penyembahan.
Ketegasan Surah Al Kafirun ini adalah rahmat. Ia memberikan pegangan yang kuat bagi Muslim di tengah lautan ideologi dan kepercayaan yang saling bertabrakan, memastikan bahwa kapal tauhid senantiasa berlayar lurus menuju keesaan Allah tanpa terkontaminasi oleh arus kesyirikan.
Kajian mendalam terhadap bacaan ayat Al Kafirun menegaskan bahwa surah ini adalah pilar utama dalam akidah Islam. Diturunkan pada masa kritis dakwah, surah ini berfungsi sebagai palu godam yang menghancurkan semua upaya sinkretisme dan kompromi terhadap tauhid.
Dari analisis linguistik yang membedakan dimensi waktu (lampau, kini, dan masa depan) hingga keutamaan spiritualnya yang menyetarakan bobotnya dengan seperempat Al-Qur'an, Surah Al Kafirun adalah panduan praktis tentang bagaimana mempertahankan keimanan murni di tengah dunia yang majemuk.
Prinsip Lakum diinukum wa liya diin adalah warisan terbesar surah ini. Ia mengajarkan Muslim untuk menjadi pribadi yang teguh dalam keyakinannya (tauhid) dan adil dalam perilakunya terhadap sesama manusia (toleransi sosial). Selama seorang Muslim terus membaca dan menghayati ayat-ayat ini dengan benar, ia memastikan dirinya berada pada jalan yang jelas, tanpa kebimbangan dalam urusan ibadah.
Setiap pengulangan dalam surah ini adalah pengulangan sumpah dan deklarasi. Ia adalah pemurnian hati dari segala bentuk ilah palsu. Dengan menguasai bacaan dan makna Surah Al Kafirun, seorang Muslim tidak hanya memperbaiki kualitas shalatnya, tetapi juga memperkuat integritas akidahnya secara keseluruhan.