Pengantar dan Klasifikasi Surah Al-Lahab
Surah Al-Lahab, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, menempati urutan ke-111 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surah ini termasuk golongan surah Makkiyah, yang berarti ia diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebelum hijrah ke Madinah, pada fase-fase awal dakwah di Makkah. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, Surah Al-Lahab memiliki bobot sejarah dan teologis yang sangat besar, secara eksplisit menamakan dan mengutuk salah satu penentang utama Islam di masa itu, Abu Lahab, beserta istrinya.
Nama "Al-Lahab" sendiri berarti "nyala api" atau "gejolak api," yang merujuk pada nasib kekal yang dijanjikan bagi Abu Lahab. Sementara nama alternatif, "Al-Masad," yang berarti "tali dari sabut" atau "tali dari serat," merujuk pada bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada istrinya di akhirat. Surah ini diturunkan dalam konteks perseteruan yang sangat sengit antara Nabi Muhammad ﷺ dan kerabat dekatnya sendiri, menjadikannya salah satu manifestasi paling jelas dari pemisahan akidah yang melampaui ikatan darah.
Posisi Surah dalam Sejarah Dakwah Awal
Surah Al-Lahab diturunkan pada periode kritis, ketika Rasulullah ﷺ mulai melakukan dakwah secara terbuka kepada suku Quraisy. Secara tradisional, surah ini dianggap sebagai respons langsung terhadap penolakan keras dan penghinaan yang dilakukan oleh Abu Lahab, paman Nabi, pada hari dakwah terbuka pertama di Bukit Safa. Peristiwa ini sangat penting karena ia menandai titik balik dari dakwah sembunyi-sembunyi menjadi dakwah terang-terangan, dan demonstrasi permusuhan dari Abu Lahab menjadi pembenaran ilahi atas penamaannya secara spesifik dalam wahyu.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada sifatnya sebagai nubuat (ramalan) yang seketika terpenuhi. Surah ini secara definitif menyatakan bahwa Abu Lahab akan binasa dan masuk neraka (api yang menyala-nyala). Ia meninggal dalam keadaan kafir, beberapa saat setelah Perang Badar, tanpa sempat melihat kemenangan Islam yang besar. Pengungkapan nasib akhir seseorang yang masih hidup adalah tantangan yang luar biasa; jika Abu Lahab berpura-pura masuk Islam, maka Surah ini akan menjadi tidak valid. Namun, ia tidak pernah melakukannya, membenarkan kebenaran mutlak wahyu ini dan menegaskan bahwa pengetahuan Allah meliputi masa lalu, kini, dan masa depan.
Ilustrasi Nyala Api (Lahab), mencerminkan takdir Abu Lahab.
Teks Bacaan Surah Al-Lahab
Berikut adalah bacaan lengkap Surah Al-Lahab dalam Bahasa Arab, transliterasi, dan terjemahan dasar. Penting untuk memastikan ketepatan tajwid saat membaca teks suci ini.
Ayat 1
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Transliterasi: Tabbat yadā Abī Lahabīw-wa tabb.
Terjemahan: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Ayat 2
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Transliterasi: Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab.
Terjemahan: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa (usaha) yang dia usahakan.
Ayat 3
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Transliterasi: Sayaṣlā nāran dzāta lahab.
Terjemahan: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka Lahab).
Ayat 4
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Transliterasi: Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab.
Terjemahan: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
Ayat 5
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Transliterasi: Fī jīdihā ḥablum-mim-masad.
Terjemahan: Di lehernya ada tali dari sabut.
Konteks Historis: Kisah Abu Lahab dan Umm Jamil
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Lahab, kita harus menengok kembali kondisi sosial dan kekeluargaan Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Abu Lahab, nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, adalah paman Nabi Muhammad. Ia adalah sosok terpandang dari Bani Hasyim, klan yang sama dengan Nabi, dan memiliki kekayaan serta pengaruh yang signifikan. Hubungan kekerabatan ini seharusnya menjadi pendukung utama dakwah, namun kenyataannya justru sebaliknya. Abu Lahab menjadi penentang Nabi yang paling keras, tidak hanya menentang ajarannya tetapi juga mengganggu beliau secara personal.
Peristiwa di Bukit Safa
Tafsir klasik sepakat bahwa turunnya Surah ini terkait langsung dengan perintah Allah agar Nabi Muhammad ﷺ berdakwah secara terang-terangan, dimulai dengan mengumpulkan kaum Quraisy di Bukit Safa. Ketika Nabi menyampaikan pesan tauhid dan peringatan akan azab, Abu Lahab berdiri dan berkata, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Kemudian ia mengambil batu dan melemparkannya kepada Nabi. Sikap kurang ajar dan kutukan yang dilontarkan oleh Abu Lahab inilah yang kemudian dibalas oleh Allah ﷻ melalui wahyu pertama dalam surah ini.
Kontrasnya sangat tajam: seorang nabi menyeru kaumnya pada keselamatan, dan pamannya sendiri yang seharusnya melindunginya, justru mengutuk dan mencelakakannya. Surah ini adalah deklarasi bahwa ikatan keimanan lebih kuat daripada ikatan darah. Meskipun Abu Lahab adalah paman Nabi, kekufurannya menyebabkan ia dikutuk secara abadi.
Umm Jamil: Mitra Kejahatan
Istri Abu Lahab, Arwa binti Harb, yang dikenal dengan julukan Umm Jamil, memainkan peran penting dalam permusuhan terhadap Islam. Dia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam). Umm Jamil dikenal sebagai penyebar fitnah (gosip jahat) dan penabur duri di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad ﷺ. Karena perannya dalam menyakiti Nabi secara verbal dan fisik, ia dijuluki ‘Hammalat al-Hathab’ atau ‘pembawa kayu bakar’—kiasan yang sangat kuat, karena kayu bakar adalah bahan bakar neraka, dan secara kiasan, ia membawa api fitnah dan permusuhan di dunia.
Keterlibatan Abu Lahab dan Umm Jamil menunjukkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran sering kali merupakan upaya timbal balik, di mana kekuatan harta (Abu Lahab) dan kekuatan lidah/fitnah (Umm Jamil) bersatu untuk melawan risalah ilahi. Hukuman yang dijanjikan dalam Surah ini mencerminkan kejahatan mereka masing-masing.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat (Analisis Linguistik dan Teologis)
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu menganalisis setiap ayat, meneliti akar kata, implikasi gramatikal, dan pandangan ulama tafsir terkemuka (tanpa menyebutkan kutipan langsung). Kedalaman linguistik Surah Al-Lahab mengungkapkan kemukjizatan Al-Qur'an dalam merespons agresi.
Ayat 1: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (Tabbat yadā Abī Lahabīw-wa tabb)
Kata kunci di sini adalah تَبَّتْ (Tabbat). Kata ini berasal dari akar kata tabba (تَبَّ), yang berarti binasa, merugi, hancur, atau kering. Bentuknya adalah doa atau deklarasi. Para mufassir berbeda pendapat tipis mengenai makna ganda ‘Tabbat’:
- Binasalah Kedua Tangan: Mengapa tangan yang disebut? Tangan adalah simbol usaha, tindakan, dan kekuatan mencari nafkah atau menyerang. Kutukan ini adalah balasan atas tindakan tangannya yang melemparkan batu atau menghalangi orang dari Islam.
- Binasalah Dia dan Apa yang Diusahakannya: Frasa kedua, وَتَبَّ (wa tabb), yang artinya “dan sesungguhnya dia telah binasa” (atau “dan binasalah dia”), menegaskan kutukan itu meluas dari tindakannya (tangannya) hingga kepada dirinya secara keseluruhan. Sebagian ulama menganggap ‘tabb’ yang pertama adalah doa Nabi, sementara ‘tabb’ yang kedua adalah penegasan atau nubuat dari Allah bahwa kehancuran itu pasti terjadi.
Kekuatan ayat ini adalah penamaan langsung. Jarang sekali Al-Qur'an secara eksplisit menyebut nama musuh, kecuali dalam kasus yang memiliki implikasi besar terhadap sejarah risalah, seperti Firaun. Penamaan ‘Abu Lahab’ (Bapak Api/Nyala) bukan hanya nama panggilan, tetapi mengandung arti nubuat takdirnya—ia adalah seorang yang ditakdirkan untuk api yang menyala-nyala.
Ekspansi Linguistik Kata Tabbat:
Studi leksikal menunjukkan bahwa *tabba* membawa konotasi kehancuran total yang tidak dapat diperbaiki. Ini berbeda dari kehancuran duniawi sementara. Ketika Allah menggunakan kata ini, itu mengindikasikan kehancuran abadi di akhirat, yang mencakup baik hilangnya kekayaan maupun hilangnya pahala atau keselamatan. Penggunaan bentuk lampau (*Tabbat*) pada bagian pertama dan bentuk doa/konfirmasi pada bagian kedua menekankan kepastian dan kecepatan azab tersebut.
Ayat 2: مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab)
Ayat ini adalah komentar ilahi terhadap kesombongan Abu Lahab. Sama seperti banyak tokoh Quraisy yang menentang Nabi, Abu Lahab bergantung pada kekayaan (māluhū) dan status sosialnya (mā kasab). Kata مَا أَغْنَىٰ (Mā aghnā) berarti ‘tidaklah memberi manfaat’ atau ‘tidaklah menyelamatkan.’
- Hartanya (Māluhū): Mengacu pada kekayaan, perak, emas, dan properti yang ia miliki di dunia. Abu Lahab terkenal kaya raya. Ayat ini menyatakan bahwa semua kekayaan materiilnya tidak akan mampu menolongnya dari hukuman ilahi.
- Apa yang Diusahakannya (Mā Kasab): Tafsir tentang "apa yang dia usahakan" memiliki dua pandangan utama:
- Pendapat 1 (Harta/Anak): Ini merujuk pada anak-anaknya. Dalam budaya Arab, anak laki-laki adalah bagian dari 'kasab' (usaha/harta) yang diharapkan melindungi ayahnya. Namun, di Hari Kiamat, anak-anak tidak akan berguna.
- Pendapat 2 (Pekerjaan/Status): Merujuk pada semua usaha, pengaruh, dan kebaikan duniawi yang dia kumpulkan. Karena semua usahanya diarahkan untuk melawan kebenaran, usahanya itu menjadi tidak bernilai di sisi Allah.
Ayat ini mengajarkan prinsip universal dalam Islam: Kekayaan dan status bukanlah jaminan keselamatan spiritual. Mereka yang menggunakan kekayaan mereka untuk menentang kebenaran akan mendapati kekayaan itu tidak berdaya melawan keputusan Allah ﷻ.
Implikasi Filosofis Harta:
Dalam konteks teologi Islam, ayat ini adalah pengingat penting tentang nilai fana dan abadi. Harta hanya memiliki nilai instrumental, bukan nilai hakiki. Di hari pertanggungjawaban, hanya amal saleh (yang tidak dimiliki Abu Lahab) yang akan bermanfaat. Penggunaan *Mā aghnā* (tidak memberi manfaat) secara harfiah meruntuhkan semua fondasi sosial yang dibanggakan oleh kaum Quraisy.
Ilustrasi Tali Sabut (Masad), merujuk pada hukuman Umm Jamil.
Ayat 3: سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Sayaṣlā nāran dzāta lahab)
Ini adalah nubuat yang pasti. Kata سَيَصْلَىٰ (Sayaṣlā) menggunakan partikel *sa* (س) yang menunjukkan masa depan yang dekat dan pasti. Artinya: ‘Kelak dia akan masuk’ atau ‘Dia pasti akan dibakar.’ Penekanannya adalah pada kepastian nasibnya di neraka.
Ayat ini menciptakan hubungan langsung antara nama panggilan Abu Lahab dan hukuman akhiratnya. Ia akan dibakar dalam نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Nāran dzāta lahabin), yang berarti 'api yang memiliki nyala api' atau 'api yang bergejolak'. Ini adalah permainan kata yang luar biasa: nama dunianya mencerminkan takdirnya yang kekal. Api ini bukan api biasa; ia adalah api yang memiliki nyala yang dahsyat.
Mukjizat Nubuat yang Terpenuhi:
Ayat ini adalah salah satu bukti terkuat kenabian Muhammad ﷺ. Ketika surah ini turun, Abu Lahab masih hidup. Ia memiliki kesempatan untuk secara publik menerima Islam, yang akan secara teologis "membatalkan" nubuat ini—atau setidaknya mengubah maknanya. Namun, ia tidak pernah masuk Islam. Ia wafat dalam kekafiran, memvalidasi kepastian yang dinyatakan oleh Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa Surah ini bukan hanya kutukan emosional, tetapi deklarasi takdir ilahi yang tidak dapat diubah bagi mereka yang secara aktif menentang kebenaran setelah bukti disampaikan kepada mereka.
Ayat 4: وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab)
Ayat ini mengalihkan perhatian kepada Umm Jamil, istri Abu Lahab, dan menamainya dengan julukan khusus: حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Ḥammālatal-Ḥaṭab), ‘pembawa kayu bakar.’
Julukan ini ditafsirkan dalam dua cara yang saling melengkapi:
- Makna Harfiah: Beberapa mufassir menyatakan bahwa ia benar-benar membawa duri dan kayu berduri dan menebarkannya di jalur yang akan dilalui Nabi Muhammad ﷺ pada malam hari untuk menyakiti beliau. Dalam hal ini, hukuman akhiratnya (tali sabut) akan sesuai dengan kejahatan harfiahnya.
- Makna Kiasan (Metaforis): Ini adalah penafsiran yang paling kuat dan umum. Kayu bakar adalah metafora untuk fitnah (gosip jahat), permusuhan, dan hasutan. Sebagai ‘pembawa kayu bakar’, Umm Jamil adalah orang yang secara aktif memanaskan suasana permusuhan, menyebarkan kebohongan, dan menghasut orang lain untuk membenci Nabi Muhammad ﷺ. Karena fitnah dan hasutannya adalah bahan bakar api duniawi (permusuhan), maka di akhirat, ia akan dihukum dengan membawa kayu bakar yang sesungguhnya, bahan bakar neraka suaminya.
Pentingnya Keterlibatan Istri:
Penyebutan Umm Jamil secara spesifik menekankan bahwa tanggung jawab spiritual adalah individu. Dia dihukum bukan hanya karena menjadi istri Abu Lahab, tetapi karena kejahatannya sendiri yang aktif dan disengaja dalam menentang risalah.
Ayat 5: فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Fī jīdihā ḥablum-mim-masad)
Ayat terakhir menjelaskan hukuman spesifik bagi Umm Jamil. فِي جِيدِهَا (Fī jīdihā) berarti ‘di lehernya.’ حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Ḥablum-mim-masad) berarti ‘tali dari sabut’ atau ‘tali dari serat kurma yang dipilin.’
Gambaran ini adalah puncak retorika dalam Surah ini:
- Kontras Status: Di dunia, Umm Jamil adalah wanita bangsawan Quraisy yang kaya, mungkin mengenakan kalung mutiara atau emas. Di akhirat, kalungnya akan diganti dengan tali kasar dan berat dari sabut (masad), melambangkan kehinaan dan kesengsaraan yang ekstrem.
- Kesesuaian Hukuman: Tali sabut ini akan digunakan untuk mengikatnya saat dia membawa kayu bakar (fitnah) ke dalam api suaminya (neraka Lahab). Hukuman ini sangat sesuai dengan kejahatan: jika ia bangga membawa fitnah di dunia, ia akan dipaksa membawa beban yang memalukan di akhirat.
Analisis Kata Masad:
Kata *Masad* secara khusus merujuk pada serat kasar dari pelepah kurma yang dipilin kuat. Tali ini sangat kuat tetapi kasar, menyakitkan, dan tidak berharga. Penggunaan *Masad* secara rinci dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa hukuman di akhirat bersifat detail dan sangat spesifik, kontras dengan kemewahan yang ia nikmati di Makkah.
Hukum Tajwid dan Tata Cara Bacaan Surah Al-Lahab
Membaca Al-Qur'an dengan benar adalah kewajiban (fardhu 'ain) yang disebut Tajwid. Karena Surah Al-Lahab sering dibaca dalam salat karena pendeknya, memahami hukum-hukum di dalamnya sangat penting.
1. Hukum pada Ayat Pertama (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ)
- تَبَّتْ (Tabbat): Terdapat *Qalqalah Sughra* pada huruf Ba’ (ب) karena sukun (mati) di tengah kata.
- أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (Abī Lahabīw-wa tabb): Pada lafaz Lahabīw, terjadi hukum *Idgham Bi Ghunnah* (dilebur dengan dengung) antara tanwin (kasratain) dengan huruf Waw (و). Dengung harus ditahan 2 harakat.
- وَتَبَّ (wa tabb): Ketika berhenti (waqaf) pada huruf Ba’ (ب), maka terjadi *Qalqalah Kubra* (pantulan besar).
2. Hukum pada Ayat Kedua (مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ)
- مَا أَغْنَىٰ (Mā aghnā): Terdapat *Mad Jaiz Munfasil* pada *Mā* yang diikuti Hamzah. Panjangnya 4 atau 5 harakat.
- عَنْهُ (Anhu): Terdapat *Idzhar Halqi* (jelas) karena Nun sukun bertemu Ha (ه). Nun harus dibaca jelas tanpa dengung.
- مَالُهُ (Māluhū): Jika disambung, terdapat *Mad Silah Qasirah* (memanjangkan ha dhomir selama 2 harakat).
3. Hukum pada Ayat Ketiga (سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ)
- سَيَصْلَىٰ (Sayaṣlā): Terdapat *Mad Thabi'i* pada Alif Layyinah (alif bengkok).
- نَارًا ذَاتَ (Nāran dzāta): Terjadi *Ikhfa Haqiqi* (penyamaran) karena tanwin (fathatain) bertemu dengan Dzal (ذ). Suara nun mati disamarkan menuju makhraj Dzal dengan dengung 2 harakat.
- لَهَبٍ (Lahab): Ketika berhenti, tanwin diubah menjadi sukun. Jika disambung ke ayat 4, terjadi *Idzhar Syafawi* (jelas) jika bertemu *Waw*.
4. Hukum pada Ayat Kelima (فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ)
- جِيدِهَا (Jīdihā): Terdapat *Mad Thabi'i* pada Ya’ sukun dan Alif.
- حَبْلٌ مِّن (Ḥablum-mim): Terdapat *Idgham Bi Ghunnah* (tanwin bertemu Mim) pada "hablum-mim". Dileburkan dengan dengung 2 harakat.
- مِّن مَّسَدٍ (Mim-masad): Terdapat *Idgham Mitslain Ma'al Ghunnah* (pertemuan dua Mim, dilebur dengan dengung).
- مَسَدٍ (Masad): Ketika berhenti, tanwin (kasratain) diubah menjadi sukun pada Dal (د). Terdapat *Qalqalah Kubra* pada Dal (د).
Teknik Pengucapan Qalqalah Kubra:
Dalam Surah Al-Lahab, huruf Ba’ (ب) pada ayat 1 dan Dal (د) pada ayat 5 harus dibaca dengan pantulan yang jelas saat berhenti. Qalqalah Kubra harus lebih kuat daripada Qalqalah Sughra, memastikan bunyi huruf pantulan terdengar jelas di akhir bacaan.
Pelajaran Utama dan Relevansi Abadi Surah Al-Lahab
Meskipun Surah Al-Lahab secara spesifik menargetkan individu tertentu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan berlaku di setiap zaman, khususnya dalam menghadapi penentangan terhadap kebenaran.
1. Konsep Takdir dan Nubuat yang Terjamin
Surah ini menawarkan salah satu bukti terkuat tentang pengetahuan Allah ﷻ atas masa depan dan kebenaran risalah. Ini adalah ramalan yang sangat berisiko dari sudut pandang manusia, karena nasib Abu Lahab di masa depan diumumkan saat ia masih hidup. Kehancuran kekal Abu Lahab adalah pelajaran bahwa takdir kekal ditentukan oleh pilihan spiritual dan tindakan nyata di dunia, dan tidak ada ikatan sosial atau kekayaan yang dapat menghindarinya.
Pelajaran untuk Masa Kini:
Dalam era modern, di mana skeptisisme dan keraguan terhadap agama lazim, Surah Al-Lahab menegaskan bahwa janji dan ancaman Allah adalah mutlak. Ini menguatkan keyakinan bahwa janji surga bagi yang taat dan azab bagi yang menentang bukanlah fiksi, melainkan kepastian. Nubuat ini berfungsi sebagai penenang bagi para dai yang menghadapi penolakan keras; mereka diyakinkan bahwa penentang mereka, sekuat apapun, sudah ditetapkan nasibnya jika mereka terus dalam kekufuran.
2. Fana’nya Harta dan Status
Ayat kedua secara tegas menghancurkan ilusi bahwa kekayaan dan kekuasaan dapat membeli keselamatan dari Tuhan. Abu Lahab adalah simbol keangkuhan materialisme. Harta, anak-anak, dan status sosial tidak bernilai sama sekali ketika menghadapi hukuman ilahi. Ini adalah peringatan keras bagi umat Islam di semua generasi agar tidak terpedaya oleh gemerlap dunia, dan menggunakan kekayaan sebagai sarana menuju kebenaran, bukan sebagai tujuan akhir.
Penerapan dalam Etika Sosial:
Pelajaran ini menjadi relevan dalam memerangi korupsi dan keserakahan. Seringkali, individu yang kuat merasa kebal terhadap hukum, baik hukum dunia maupun hukum akhirat. Surah Al-Lahab menegaskan bahwa meskipun mereka dapat lolos dari pengadilan manusia, mereka tidak akan lolos dari pengadilan Allah. Kekayaan yang diperoleh dengan menindas kebenasan justru akan menjadi bahan bakar neraka mereka.
3. Bahaya Fitnah dan Lidah Jahat
Hukuman yang dijatuhkan kepada Umm Jamil menekankan betapa seriusnya dosa lisan (fitnah, adu domba, dan hasutan). Dalam Surah Al-Lahab, tindakan menyebarkan gosip jahat disamakan dengan membawa kayu bakar neraka. Ini menempatkan dosa fitnah pada tingkat yang sangat berbahaya dalam timbangan ilahi.
Relevansi Media Digital:
Di era informasi dan media sosial, peran Umm Jamil sebagai ‘pembawa kayu bakar’ dapat dianalogikan dengan penyebar informasi palsu (hoax) atau fitnah digital. Orang yang aktif menyebarkan kebencian, permusuhan, dan kebohongan melalui platform digital sedang melakukan tindakan yang setara dengan menabur duri di jalan para pencari kebenaran. Hukuman yang dijanjikan dalam Surah ini adalah peringatan terhadap penyalahgunaan kekuatan komunikasi dan media.
4. Ikatan Akidah Melebihi Ikatan Darah
Surah Al-Lahab adalah deklarasi tegas bahwa garis pemisah antara yang beriman dan yang kafir melampaui ikatan kekerabatan, bahkan antara paman dan keponakan, atau suami dan istri. Abu Lahab adalah kerabat Nabi yang paling dekat dari Bani Hasyim yang menentang beliau. Kehancurannya membuktikan bahwa tidak ada perlindungan dalam garis keturunan jika hati dipenuhi kekufuran.
Pelajaran ini vital dalam menjaga kemurnian tauhid. Kesetiaan utama seorang Muslim harus selalu kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya, bahkan jika hal itu berarti menjauhi keluarga yang menentang kebenaran secara terang-terangan dan aktif.
Penutup: Keindahan Retorika Surah Al-Lahab
Surah Al-Lahab, meskipun ringkas, merupakan masterpiece dari segi retorika (balaghah) Al-Qur'an. Surah ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana hukuman di akhirat sesuai (mencerminkan) kejahatan yang dilakukan di dunia.
Keseimbangan antara hukuman Abu Lahab (api yang menyala, merujuk pada kekuasaan dan harta) dan hukuman Umm Jamil (tali sabut yang kasar, merujuk pada fitnah dan tindakan fisik yang hina) menunjukkan keadilan sempurna dari hukum Allah. Kehancuran mereka berdua adalah sebuah unit retorika yang terpadu, menunjukkan bahwa mereka adalah mitra dalam kejahatan dan mitra dalam azab.
Struktur *Tabbat yadā* (binasalah kedua tangan) diikuti oleh *wa tabb* (dan ia sungguh binasa) adalah contoh teknik pengulangan yang menekankan kepastian dan meliputi tindakan (tangan) dan diri (Abu Lahab). Ini mengakhiri semua keraguan tentang nasib mereka.
Membaca Surah Al-Lahab bukan hanya sekadar mengulang ayat-ayat pendek, melainkan merenungkan kebenaran ilahi yang menjamin bahwa keadilan akan ditegakkan, kekufuran akan dihukum, dan bahwa tidak ada kekuatan duniawi—baik harta, status, maupun ikatan keluarga—yang dapat menyelamatkan seseorang dari murka Tuhan ketika mereka memilih jalan permusuhan terhadap risalah kebenaran.
Surah Al-Lahab adalah bagian dari wahyu yang abadi.